PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DALAM PERJAJIAN JUAL BELI
DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
ICE TRISNAWATI NIM : 050200206
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBARAN PENGESAHAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DALAM PERJAJIAN JUAL-BELI
DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
ICE TRISNAWATI NIM : 050200206
Departemen Hukum Keperdataan Perogram Kekhuususan Hukum Perdata BW
Disetujui Oleh : Ketua Bagian
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP : 131. 764. 556
Pembimbing I Pembimbing II
Edy Ikhsan, SH, MA Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum NIP : 131. 796. 147 NIP : 131. 961. 354
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala petunjuk rahmat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam
Perjanjian Jual Beli dengan Menggunakan Klausula Baku”, yang ditulis
sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi S1, program studi Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga proses penulisan dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu Penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Syafruddin, SH, MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Edy Ikhsan, SH, MA selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
7. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
8. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang positif.
9. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis, dan seluruh dosen dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membantu Penulis selama menjalani perkuliahan, khususnya untuk Bang Anto yang merupakan Petugas Stambuk 2005 yang baik dan selalu membantu Penulis dalam urusan administrasi.
10. Instansi terkait, dalam hal ini Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) cabang Medan, yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH sebagai Ketua, Bapak Ivan sebagai Humas, serta pejabat dan karyawan lainnya dimana Penulis melakukan wawancara, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan kepada Penulis selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
11. Kedua orang tua tercinta A. Aritonang Rajagoek-goek dan M. Tambunan yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian, semangat, bimbingan, dan memberikan segala kebutuhan Penulis, serta memberikan bantuan moril dan materil yang tak putus-putusnya, selamanya itu tidak akan pernah bisa terbalas. Terima kasih atas doa dan segala nasehat, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai kalian berdua.
12. Kepada keluarga Riris Panjaitan, keluarga GZ. Panjaitan, keluarga Beta Manullang, keluarga S. Rajagoek-goek, dan keluarga besar Aritonang, terima kasih atas bantuan moril dan materil yang senantiasa diberikan kepada Penulis, dan terima kasih untuk menjadi keluarga besar terbaik yang pernah Penulis miliki.
13. Kepada kelompok Jehova Syalom (Bang Bob, Anita, Nova, Sandro, Jones) terima kasih atas doa kalian semua.
14. Sahabat-sahabat terbaik ku : Anita, Nova, Liza, Kak Maria, Eka, Echa, Tio, terima kasih atas mimpi, harapan, canda tawa, air mata, dan hentakan kenyataan yang membuat hari-hari lebih berwarna dan bermakna, juga terima kasih atas jalinan doa yang telah diberikan selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, semoga persahabatan kita akan tetap selamanya. Terkhusus untuk MJ Girls (Anita, Nova dan Liza) terima kasih atas persahabatan yang manis, tempat berbagi suka duka, berverita sambil menangis bersama, terhadap tangan yang selalu terulur, terhadap semangat yang tak kunjung padam.
15. Teman-teman di bagian Hukum Perdata BW Stambuk 2005 tetap semangat dan selalu menjadi yang nomor satu.
16. Teman-teman Penulis di Fakutas Hukum Stambuk 2005 dan yang kenal dengan Penulis.
17. Kepada Senior dan Junior yang kenal dan dekat dengan Penulis.
18. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Mengingat bahwa sifat ilmu pengetahuan adalah dinamis dan akan terus mengalami perkembangan, sementara skripsi ini tidak dapat dikatakan sempurna maka Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun, dan sebelumnya Penulis memohon maaf bilaman terdapat kekurangan dan kesalahan lain yang tidak berkenan di hati.
Akhir kata, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih. Medan, 2009 Penulis Ice Trisnawati Nim: 050200206
ABTRAKSI
Permasalahan pada penulisan skripsi ini adalah bagaimana penggunaan klausula baku dilihat dari asas kebebasan berkontrak, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dengan keluarnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli, serta bagaimana tata cara penyelesaian sengketa konsumen jika terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.
Metode penelitan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara metode penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Teknik penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan Perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan. Pendekatan ini dilakukan demi memperoleh data sekunder. Sedangkan pendekatan secara empiris dilakukan demi memperoleh data primer yaitu dengan melakukan penelitian dan wawancara langsung kepada Ketua Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH dan wawancara dengan konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. Dalam menganalisis data yang diperoleh, maka penulis menggunakan analisis kualitatif.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa penggunaan klausula baku tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen sepanjang pelaku usaha tidak mencantumkan hal-hal yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang berisikan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, menolak penyerahan kembali barang, pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, tunduknya konsumen kepada peraturan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya, dan lain-lain. Klausula baku tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, karena kepada konsumen masih diberikan suatu kehendak bebas untuk menerima atau menolak perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku tersebut.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen adalah pertama, melalui kegiatan pembinaan kepada konsumen dalam bentuk penyuluhan seputar konsumen. Kedua, melalui kegiatan pengawasan terhadap pelaku usaha dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Upaya penanggulangan terjadinya sengketa konsumen adalah dengan diubahnya pemikiran pelaku usaha yang menempatkan posisi konsumen sebagai mitra kerjanya yang saling membutuhkan dan adanya iktikad baik dari masing-masing pihak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia bisnis belakangan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, ditandai oleh banyaknya produk barang dan/atau pelayanan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha kepada masyarakat selaku konsumen baik melalui iklan, promosi, maupun melalui event penawaran secara langsung, yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa berdasarkan kebutuhan.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta makin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Ketika keputusan konsumen telah dijatuhkan untuk memilih barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka telah terjadi transaksi perdagangan antara pihak pelaku usaha dengan konsumen. Dengan demikian transaksi tersebut merupakan hubungan jual- beli dan didalamnya telah terikat adanya perjanjian.1
Namun jika konsumen tidak berhati-hati memilih barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, hal ini dapat menjadikan konsumen sebagai objek eksploitasi para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari,
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani., Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta 2003, hal 51
konsumen menerima begitu saja barang yang diberikan kepadanya tanpa mengetahui apakah produk yang dikonsumsinya itu baik atau tidak.
Disamping itu, banyak pelaku usaha yang menggunakan klausula baku untuk mempercepat proses perjanjian jual beli yang isinya terlebih dahulu ditentukan oleh pelaku usaha tanpa ada negosiasi dengan konsumen. Biasanya klausula baku yang ditetapkan pelaku usaha berisi hal-hal yang berkenaan dengan kewajiban konsumen tanpa menjelaskan hak yang akan diperolehnya secara jelas dan bersifat menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha, sehingga ketika konsumen merasa tidak puas dengan barang yang dibelinya dari pelaku usaha, konsumen tidak dapat mengembalikannya kepada pelaku usaha karena hal tersebut telah dicantumkan dalam klausula baku perjanjian jual beli yang menyatakan, ”Barang yang sudah dibeli tidak apat dikembalikan lagi”. Ada juga pelaku usaha yang mau menerima kembali barang yang telah dijual tetapi dengan proses yang begitu panjang dan rumit, misalnya konsumen disuruh untuk membuktikan bahwa kerusakan barang memang sudah ada sejak barang tersebut belum berpindah ke tangan konsumen, padahal pelaku usaha mengerti bahwa pengetahuan konsumen seputar produksi barang sangat minim.
Dengan kondisi yang seperti ini, konsumen tidak lagi di tempatkan sebagai subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek sasaran pelaku usaha untuk dapat meraih keuntungan yang besar dengan jalan memperdaya konsumen melalui trik-trik bisnis yang etis. Posisi konsumen yang demikian, maka perlu diupayakan suatu perlindungan hukum yang mampu melindungi hak-hak konsumen dari kesewenang-wenangan pelaku usaha.
Disatu sisi, konsumen karena ketidakberdayaannya memerlukan suatu perlindungan yang dapat menyelamatkannya dari kesewenang-wenangan pelaku usaha. Disisi lain, pemerintah juga memiliki kepentingan untuk melindungi semua warga masyarakatnya terhadap tindakan yang dapat merugikan kepentingan warganya.
Untuk itu pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diundangkannya UU Perlindungan Konsumen tersebut, diharapkan bahwa konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai objek dalam bisnis, tetapi sebagai subjek yang memiliki kedudukan yang seimbang dengan pelaku usaha. Pelaku usaha harus semakin menyadari bahwa masa depan usahanya juga ditentukan oleh konsumen. Usaha pelaku usaha tidak akan berkembang apabila tidak ada konsumen yang membeli barang dan/atau jasa yang diproduksinya, antara pelaku usaha dan konsumen adalah sebuah mitra kerja yang baik dan saling bergantung antara satu dengan yang lain.
Bagi konsumen di Indonesia diundangkannya UU Perlindungan Konsumen merupakan kabar baik yang memberikan kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen dan kepentingannya, disamping itu merupakan suatu upaya hukum yang tegas, dimana konsumen dapat menggugat atau menuntut jika para pelaku usaha melanggar atau merugikan hak-hak dan kepentingan konsumen. Misalnya dengan ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan konsumen yang memberikan batasan-batasan yang dapat dituangkan dalam sebuah klausula baku. Hal ini ditujukan agar pelaku usaha tidak seenaknya saja menetapkan isi klausula baku tanpa memperhatikan hak konsumen dan ketentuan
hukum yang berlaku. Jika pelaku usaha menetapkan klausula baku bertentangan dengan isi Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, maka terhadap pelaku usaha akan diberikan sanksi yang telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut.
Adanya peraturan hukum yang baik harus didukung oleh sistem pemerintahan yang jujur dan adil, serta didukung oleh sikap pelaku usaha yang tidak menjalankan perusahaanya secara legal saja, tetapi juga harus menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Artinya, hukum bagi pelaku bisnis adalah standar minimal yang harus dipenuhi. Selanjutnya, dalam menjalankan bisnis pelaku usaha menempatkan konsumen sebagai rekan bisnis yang memiliki kedudukan seimbang. Dengan demikian terciptalah suatu relasi yang saling menguntungkan antara satu dengan yang lain.
B. Pengertian dan Pengesahan Judul
Penulis dalam skripsi ini memberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJAJIAN JUAL BELI DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU”. Untuk mengantarkan pada pemahaman yang benar perlu kiranya penulis menerangkan pengertian dan batasan judul tersebut di atas sehingga jelas bagi kita segala pengertian yang ada di dalamnya.
Pertama sekali yang dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1), menyebutkan bahwa, ”Perlindungan Konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Artinya, Pemerintah memberikan kepastian hukum kepada konsumen dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya. Hal ini tentu saja dipicu oleh kedudukan yang tidak seimbang antara para pelaku usaha dengan konsumen, dimana kedudukan pelaku usaha lebih tinggi dan kedudukan konsumen lebih rendah baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, kemampuan, maupun daya bersaing/daya tawar yang sering menyebabkan eksploitasi terhadap konsumen oleh pelaku usaha yang tidak bertangung jawab. Meskipun demikian bukan berarti hak-hak pelaku usaha menjadi diabaikan hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen, karena dalam UU Perlindungan Konsumen ini diatur juga mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Pelaku usaha juga masyarakat yang harus dilindungi oleh pemerintah.
Pengertian Perjanjian Jual- Beli adalah :
1. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata, ”Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
2. Perjanjian Jual Beli adalah suatu perjanjian bertimbal- balik dalam mana pihak yang satu (sipenjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si penjual) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.2
2
Proses jual beli terjadi jika adanya proses serah-terima barang, dimana pihak penjual menyerahkan barang yang diinginkan oleh pembeli dan pembeli membayar sejumlah uang atas barang yang diperolehnya. Jadi di dalam perjanjian jual beli terdapat dua unsur yaitu unsur hak dan unsur kewajiban. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang telah dibeli oleh pembeli dan kewajiban pembeli untuk menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sebagai ganti atas harga barang tersebut. Hak penjual untuk menerima uang dari pembeli dan pembeli berhak untuk menerima barang yang sudah dibayarkannya kepada penjual.
Pengertian Klausula Baku adalah :
1. Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (10), “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
2. Menurut E.H. Hondius3
Kontrak Standar atau Klausula Baku adalah konsep janji-janji yang tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu).
3
E.H. Hondius.,” Staandardvoorwaarden”, dalam Syahmin., Hukum Kontrak
Jadi keseluruhan dapat disimpulkan bahwa penulis bermaksud menguraikan tentang PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU. Maksudnya adalah bagaimana upaya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen yang melakukan transaksi atau perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku yang dibuat terlebih dahulu oleh para pelaku usaha secara sepihak tentang ketentuan-ketentuan tertentu, dimana klausula-klausula tersebut dibuat tanpa ada kesepakatan para pihak, dan apabila karena penggunaaan klausula baku yang tidak sesuai dengan batasan yang telah diberikan oleh UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) konsumen merasa hak dan kepentingannya dirugikan, maka konsumen dapat menggugat ataupun menuntut pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pada umumnya klausula baku yang disediakan oleh pelaku usaha sering kali hanya menguntungkan para pelaku usaha saja, dan sebaliknya bagi konsumen itu merugikan. Hal ini dikenal dengan istilah “take it or leave it”.
C. Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan penulis memilih judul skripsi “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU”, adalah penulis melihat banyak sekali dalam ruang lingkup jual beli pelaku usaha menggunakan klausula baku yang bersifat simbiosis parasitisme yakni dimana hanya salah satu pihak saja
yang untung dan satu pihak lagi terpojok dalam posisi yang lemah. Ketika terjadi sengketa, acap kali konsumen tidak dapat dengan sempurna menuntut ataupun menggugat pelaku usaha karena kurangnya pengetahuan masyarakat selaku konsumen seputar prosedur penyelesaian sengketa konsumen baik yang ditempuh non litigasi (secara damai) maupun secara litigasi dan upaya perlindungan hukum yang diberikan pemerintah yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis terhadap berbagai literatur, Perundang-undangan, maka untuk dapat memahami lebih lanjut tentang pembahasan skripsi ini, kiranya penulis perlu mengemukakan permasalahan yang ada dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana penggunaan klausula baku dilihat dari asas kebebasan berkontrak?
2. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli?
3. Bagaimana tata cara penyelesaian sengketa, jika terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha dalam penggunaan klausula baku?
E. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui penggunaan klausula baku dilihat dari asas kebebasan berkontrak.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli.
3. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian sengketa konsumen, jika terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.
Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Teoritis
Untuk memberikan manfaat dibidang pengetahuan baik melalui pengembangan wawasan dan pemikiran untuk mahasiswa/kalangan akademis serta masyarakat tentang perlindungan hukum yang diberikan pemerintah terhadap konsumen yang dirugikan karena penggunaan klausula baku yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang sering kali merugikan dan meletakkan konsumen pada posisi yang lemah, yaitu dalam bentuk pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku usaha dan pembinaan terhadap konsumen seperti memberikan penyuluhan seputar konsumen, serta sejauh mana batasan-batasan yang ditetapkan oleh UU Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku agar berlaku sah dan tidak melanggar kaedah-kaedah Hukum Perdata. Adapun yang menjadi peranan UU
Perlindungan Konsumen adalah melindungi masyarakat selaku konsumen didalam membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia yang dilakukan melalui proses jual beli dalam masyarakat.
2. Manfaat Praktis
Untuk memberikan pengembangan wawasan pada masyarakat mengenai tata cara penyelesaian sengketa konsumen.
Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitan yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini penulis lakukan dengan menggabungkan antara metode penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum empiris dilakukan untuk memperoleh data primer yaitu dengan melakukan wawancara langsung kepada Ketua Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH dan wawancara dengan konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. Sedangkan penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan Perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini.
2. Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data primer adalah dari wawancara langsung kepada Ketua Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH dan wawancara dengan konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. Sedangkan metode pengumpulan data sekunder terbagi atas tiga bagian, yaitu :
a. Bahan hukum primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, peraturan dasar seperti peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
b. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.
c. Bahan hukum tertier adalah kamus, bahan dari internet dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu melalui :
a. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam
penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan Perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Kegiatan ini penulis lakukan dengan cara turun langsung ke lapangan. Pengumpulan bahan-bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat, dilakukan dengan mencari informasi langsung dengan mempergunakan instrumen penelitian seperti wawancara (interview) terhadap lembaga yang berhubungan dengan konsumen yaitu Lembaga Konsumen Indonesia dan wawancara langsung terhadap konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare.
4. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan Perundang-undangan, buku-buku yang berhubungan, dan hasil wawancara langsung.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kantor Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yang beralamat di Jln. Sena No.58 Medan, dan wawancara
langsung kepada konsumen Maria Margaretha Simaremare yang beralamat di Jln. Harmonika No.3 Padang Bulan-Medan.
H. Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini, secara keseluruhan dapat diuraikan yaitu: 1. BAB I : Pendahuluan yang menjadi sub bab terdiri dari yaitu Latar
Belakang, Pengertian dan Pengesahan Judul, Alasan Memilih Judul, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
2. BAB II : Hukum Perlindungan Konsumen terdiri dari sub bab yaitu Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen yang terdiri dari anak sub bab yaitu Pengertian Konsumen dan Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha yang terdiri dari anak sub bab yaitu Hak dan Kewajiban Konsumen, dan Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.
3. BAB III : Perjanjian Jual Beli yang terdiri dari;
A. Teori Umum Tentang Perjanjian Jual Beli terdiri dari sub bab yaitu Pengertian Perjanjian Jual Beli, dan Asas-asas dalam Perjanjian Jual Beli dan Syarat Perjanjian Jual Beli.
B. Perjanjian Baku Dalam Praktek terdiri dari sub bab yaitu Pengertian Perjanjian Baku, Latar Belakang dan Perkembangan
Perjanjian Baku di Indonesia, dan Bentuk dan Ciri-ciri Perjanjian Baku yang terdiri dari anak sub bab yaitu Bentuk-bentuk Perjanjian Baku, dan Ciri-ciri Perjanjian Baku.
4. BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku terdiri dari sub bab Perjanjian Jual Beli dengan Menggunakan Klausula Baku Tidak Bertentangan dengan Asas Kebebasan Berkontrak, Perlindungan Hukum yang diberikan Pemerintah dengan Keluarnya UU No. 8 Tahun 1988 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan Penggunaan Klausula Baku dalam Perjanjian Jual Beli, dan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
BAB II
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Setiap hari jutaan unit barang diproduksi oleh pelaku usaha, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin hari kian meningkat. Dalam keadaan demikian dapat dibayangkan betapa banyaknya hubungan hukum yang terjadi yaitu salah satunya adalah jual beli. Berbagai transaksi baik barang dan/atau jasa tersebut dapat menimbulkan peristiwa hukum antara kedua belah pihak.
Permasalahan antara pelaku usaha dan konsumen dapat terjadi karena ketidakjujuran pelaku usaha, misalnya keadaan barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha yang tidak sesuai dengan informasi barang dan/atau jasa yang diperoleh konsumen4, maupun perilaku konsumen itu sendiri yang tidak memperhatikan kewajibannya melainkan hanya menuntut hak saja.
Konsumen sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap kegiatan produksi, pemasaran, kualitas barang dan lain sebagainya maka konsumen perlu dilindungi agar mereka mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya, demikian juga dengan para pelaku usaha agar tidak menindas konsumen karena posisinya yang lemah. 5
A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen
4
Wawancara tanggal 26 November 2008 kepada Maria Margaretha Simaremare, Konsumen, Medan.
5
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan.
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris) atau consument (Belanda). Batasan mengenai konsumen menurut AZ. Nasution adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk semua kegunaan tertentu.6 Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan pengertian konsumen adalah pemakai atau pengguna produksi terakhir dari benda dan jasa.7
Dari rumusan ini Hondius ingin mengemukakan bahwa ada konsumen akhir dan konsumen bukan pemakai terakhir. Artinya ada konsumen yang membeli barang dan/atau jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk menambah penghasilan, disamping itu juga terdapat konsumen akhir yaitu konsumen yang membeli barang dan/atau jasa untuk memenuhi hidupnya dan keluarganya dengan tujuan melangsungkan kehidupan. Untuk itu, batasan pengertian konsumen perlu dibedakan, yaitu :
1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersil). 3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).8
Defenisi Konsumen menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
6
Az. Nasution., Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995, hal 69.
7
Shidarta., Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006, hal 3.
8
Sehat, ”Konsumen adalah setiap pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”.
Pengertian konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (2) menyatakan bahwa, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Pengertian konsumen pada UU Perlindungan Konsumen yang memakai istilah “pemakai” sepertinya kurang tepat, kata pemakai disini dapat menimbulkan kesan bahwa barang dan/atau jasa yang sudah dibeli dari pelaku usaha tersebut belum menjadi miliknya pribadi.9 Dari rumusan ini, terlihat seolah-olah konsumen hanya bersifat sebagai pemakai bukan pemilik dari barang tersebut meskipun telah terjadi transaksi jual beli yang mengakibatkan telah terdapatnya perpindahan kepemilikan antara pelaku usaha dengan konsumen.
Disamping itu, cakupan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen adalah sangat sempit. Jika kita telaah kembali pengertian konsumen yang terdapat pada UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (2) menyatakan yang termasuk pada konsumen itu hanya terbatas pada subjek hukum “Orang”, padahal subjek hukum “Badan Hukum” juga merupakan konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dipakai sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena
9
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo., Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2008, hal 4
itu, lebih tepat bila dalam Pasal ini menentukan setiap orang yang memperoleh barang dan/atau jasa yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum.10
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian konsumen adalah:11 Konsumen adalah :
1. Setiap orang
Subjek yang disebut dengan konsumen berarti orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah orang sebenarnya dapat menimbulkan keraguan apakah orang atau termasuk juga badan hukum. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menyebutkan “produsen” sebagai lawan dari konsumen, tetapi lebih tepat “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas yaitu dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, ”Pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang di dirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Jadi pelaku usaha yang dimaksud disini adalah orang alamiah dan badan hukum.
2. Pemakai.
Sesuai dengan penjelasan dari Pasal 1 angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen, kata konsumen menekankan pada konsumen
10
Ibid, hal 5
11
akhir. Konsumen tidak hanya setiap orang yang membeli (buyer) tetapi semua orang dan badan hukum yang mengkonsumsi barang dan jasa. 3. Barang dan Jasa.
Kata barang dan jasa yang ditentukan oleh UU Perlindungan Konsumen diganti dengan kata Produk. UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran yang dapat dilihat dari rumusan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun pada zaman sekarang tidak lagi dituntut hal yang demikian oleh masyarakat. Misalnya di Indonesia telah banyak berkembang perusahaan pengembang (developer) perumahan, yang mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi yang dikenal dengan istilah ”booking”.
5. Bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Unsur ini berupaya untuk memperluas defenisi dari konsumen dan kepentingannya. Kepentingan akan barang dan jasa itu tidak hanya tergantung pada pemakaian untuk diri sendiri dan keluarga tetapi juga barang dan jasa yang diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri
dan keluarga), bahkan untuk makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan.
6. Tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen dipertegas hanya sebatas pemakai akhir yang menggunakan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang bersifat non komersial.
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaedah-kaedah bersifat mengatur, dan melindungi kepentingan konsumen dari pelaku usaha yang bertindak sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab yang menempatkan posisi konsumen sebagai objek dari bisnis yang dilakukannya. Artinya usaha untuk melakukan perlindungan hukum terhadap konsumen diatur oleh hukum perlindungan konsumen yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab awal yang menyatakan bahwa konsumen itu terdapat pada posisi yang lemah baik dalam hal pengetahuan seputar produk yang dibuat oleh pelaku usaha maupun dalam hal tawar-menawar berkaitan dengan penggunaan klausula baku yang terlebih dahulu ditetapkan oleh pelaku usaha tanpa ada kehendak bebas dari konsumen. Guna menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka dirasa perlu adanya suatu
hukum yang melindungi kepentingan konsumen yang lemah tersebut yang disebut dengan hukum perlindungan konsumen. 12
AZ. Nasution, SH memberikan batasan dari hukum perlindungan konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.13 Dengan demikian Hukum Perlindungan Konsumen digunakan apabila antara konsumen dengan pelaku usaha yang mengadakan suatu hubungan hukum, kemudian terjadi permasalahan yang dipicu oleh kedudukan yang tidak seimbang tersebut.
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1), menyebutkan bahwa, ”Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Artinya, Pemerintah memberikan kepastian hukum kepada konsumen dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya. Meskipun UU Perlindungan Konsumen ini bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen bukan berarti mengabaikan kepentingan pelaku usaha yang mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan dan pemenuhan akan kebutuhan masyarakat.
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen
12
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan.
13
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen, yang merupakan asas-asas dari perlindungan konsumen adalah :14 1. Asas Manfaat
Yaitu segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya satu pihak saja yang mendapatkan manfaat sedangkan pihak yang lain mendapatkan kerugian yang dikenal dengan istilah tidak boleh memperoleh manfaat di atas kerugian orang lain.
2. Asas Keadilan
Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun pelaku usaha, jadi tidak hanya membebani pelaku usaha dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak dan kepentingannya. Tidak hanya pro kepada konsumen. Hal ini dikarenakan tidak selamanya sengketa konsumen itu diakibatkan atas kesalahan pelaku usaha saja, tetapi dapat juga diakibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya atau terburu-buru menyetujui ketentuan-ketentuan yang terdapat klausula baku, contohnya tanpa membaca terlebih dahulu sehingga ketika terjadi sengketa langsung menuduh pelaku usaha yang berbuat jahat padanya.
3. Asas Keseimbangan
14
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha, konsumen maupun pemerintah sebagai pengawas dari hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi perdagangan antara pelaku usaha dan konsumen.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan dan kepastian keselamatan kepada konsumen dalam menggunakan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha yang beredar di pasaran untuk dikonsumsi ataupun digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak. Dengan adanya asas kepastian hukum ini, jika salah satu pihak melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan pihak yang lain maka terhadap pihak tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban dan ganti kerugian.
Disamping asas-asas yang tersebut di atas, maka terdapat asas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas iktikad baik. Di zaman reformasi sekarang ini, banyak sekali para pelaku usaha yang menggunakan perjanjian-perjanjian yang bersifat baku yang bertujuan agar dapat memberikan suatu pelayanan yang cepat, efisien, dan efektif dan tidak memakan waktu yang lama.
Perjanjian baku yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha kebanyakan bersifat menguntungkan kepada satu pihak saja
yaitu pelaku usaha, sedangkan bagi pihak konsumen adanya perjanjian baku tersebut merupakan suatu kerugian karena tidak adanya kehendak bebas konsumen dalam menetapkan perjanjian tersebut dan tidak dapat melakukan tawar-menawar apalagi untuk mengubah isi perjanjian.15
Dalam hal ini konsumen hanya dapat memilih untuk menerima perjanjian berserta konsekuensinya ataupun menolak perjanjian tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, dalam melakukan transaksi ataupun hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen baik dalam hal transaksi jual beli barang dan/atau jasa, maka terhadap pelaku usaha tersebut telah ditanamkan prinsip iktikad baik. Tidak hanya mengambil keuntungan sendiri dengan merugikan pihak lain, karena konsumen dalam hal ini merupakan mitra bisnis pelaku usaha yang keduanya saling membutuhkan antara satu dengan yang lain.
Berdasarkan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata dapat kita ketahui bahwa suatu perjanjian itu hendaklah dibuat dengan suatu iktikad yang baik. Dengan kata lain perjanjian itu tidak berlaku sah apabila dilakukan dengan iktikad buruk yang bertujuan untuk merugikan pihak lain ataupun pihak ketiga yang terkait, yang diperoleh dari pemaksaan, penipuan ataupun kekeliruan. Pelaku usaha tidak boleh mendapat keuntungan dari kebutuhan konsumen yang mendesak tersebut.
Adapun yang menjadi tujuan dari diadakannya perlindungan terhadap konsumen tercantum dalam Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
15
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, Ketua LKI cabang Medan
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Guna mewujudkan tujuan UU Perlindungan Konsumen ini, pemerintah mempunyai peranan yang besar, hal dikarenakan dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa negara bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalam hal tanggung jawab pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen untuk dapat mempertahankan apa yang telah menjadi haknya dan melakukan apa yang menjadi kewajibannya.16 Prinsip ekonomi “dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”, yang dianut oleh pelaku usaha dapat menjadikan konsumen menderita kerugian, yaitu konsumen tidak lagi mendapatkan produk dengan kemanfaatan yang maksimal dan aman dikonsumsi. Bisa saja produk yang
16
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, Ketua LKI cabang Medan.
diproduksi oleh pelaku usaha tersebut asal jadi saja. Misalnya naged yang bahan bakunya berasal dari bangkai-bangkai ayam yang sudah mati dan membusuk kemudian dibersihkan dan digoreng lalu di pasarkan kepada masyarakat. Jelas dalam hal ini konsumen sangat dirugikan terutama dalam hal kesehatan.
Meskipun tujuan dari UU Perlindungan Konsumen mayoritas memperhatikan kepentingan konsumen, namun bukan berarti dengan diterbitkannya UUPK ini justru mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya yaitu untuk menciptakan suatu prinsip positif bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah mitra yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain (saling ketergantungan). Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen termuat dalam rumusan Pasal 29 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen
2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat 3. Meningkatkannya kualitas sumber daya serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.
Mengenai ketentuan dari Pasal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, yaitu sebagai berikut :
1. Menciptakan iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 4 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi menteri teknis terkait, berupa:
b) Pemasyarakatan peraturan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
c) Peningkatan peranan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui peningkatan kualitas umber daya manusia dan lembaga
d) Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing
e) Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan
f) Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen
g) Peningkatan kualitas barang dan/atau jasa
h) Peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha untuk memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa, dan
i) Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.
2. Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dijabarkan dalam Pasal 5 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait, berupa :
a) Pemasyarakatan peraturan Perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
b) Pembinaan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan
3. Berbagai upaya yang dimaksudkan untuk peningkatan kualitas sumber daya disamping kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 6 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi menteri dengan menteri teknis terkait, berupa :
a) Peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil dibidang perlindungan konsumen
b) Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa, dan c) Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu
barang dan/atau jasa serta penerapannya.
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menjamin diperolehnya hak dan kewajiban baik konsumen dan pelaku usaha secara seimbang dan berdasarkan kepada keadilan yang dianut oleh UU Perlindungan Konsumen.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Perdagangan bebas yang didukung dengan faktor teknologi yang berkembang semakin pesat merupakan pemicu semakin banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi baik bersifat primer, sekunder, dan tersier. Disamping kebutuhan yang semakin meningkat, pelaku usaha pun semakin kreatif dengan menyediakan kebutuhan dalam jumlah yang banyak dan bervariasi sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini memberikan manfaat kepada konsumen yakni
konsumen bebas memilih barang dan/atau jasa yang diinginkannya, tetapi juga dapat memberikan kerugian bagi konsumen yang dijadikan objek bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan keamanan dan kelayakan konsumsi dari barang yang diproduksinya.
Dilain sisi, pelaku usaha dalam mempromosikan barang dan/atau jasa sering menggunakan informasi yang bersifat menyesatkan dan menggunakan perjanjian baku dengan alasan agar memberikan pelayanan yang efisien dan efektif. Mengacu kepada hal di atas, ditentukanlah apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen dengan tujuan jika terjadi hal yang tidak adil terhadap dirinya, konsumen dapat menyadarinya dan memperjuangkan haknya.
Adapun hal-hal yang menjadi hak dari konsumen tercantum dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Hak ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman, nyaman dan menjamin keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperolehnya dari pelaku usaha.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
Hak untuk memilih ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan atau yang sesuai dengan keinginannya, yang tentu saja barang dan/atau jasa yang ditawarkan tersebut sama kondisi dan kualitasnya
dengan yang dipromosikan oleh pelaku usaha. Dan tentu saja pemilihan terhadap barang dan/atau jasa tersebut disesuaikan dengan nilai uang yang dipergunakannya sebagai alat pembayaran.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/ jasa.
Informasi yang merupakan hak konsumen adalah informasi mengenai kegunaan produk, efek samping penggunaan produk, tanggal kadaluarsa, identitas produsen yang membuat produk barang dan/atau jasa.
Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannnya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.17
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Konsumen mempunyai hak untuk mengeluhkan mengenai kekurangan barang dan/atau jasa yang dibelinya dari pelaku usaha, yang mungkin saja berbeda dengan yang dipromosikan oleh pelaku usaha. Disamping itu, apabila kekurangan dari barang dan/atau jasa tersebut besifat fatal maka konsumen berhak meminta ganti yang baru. Tentu saja hal ini didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima.
5. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
17
Apabila terdapat persengketaan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka konsumen berhak untuk didampingi oleh seorang advokat sebagai kuasa hukumnya (dalam litigasi), sedangkan jika ditempuh secara non-litigasi maka konsumen dapat menyelesaikan sengketanya dengan bantuan instansi yang berwenang yaitu Badan Penyelesaian Sengeta Konsumen (BPSK).
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak yang satu ini ditujukan untuk memberikan kesadaran dan pengetahuan seputar hak dan kewajiban dari konsumen itu sendiri serta pengetahuan tentang tata cara menggugat atau menuntut (litigasi), ataupun mengajukan permohonan kepada BPSK (non-litigasi), sehingga apabila suatu hari konsumen meras dirugikan, ia dapat menggugat atau menuntut pelaku usaha sesuai dengan hukum yang berlaku.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Konsumen berhak mendapat perlakuan adil yang tidak diskriminatif oleh pelaku usaha terkait kurang mampunya konsumen dalam hal materi. Dengan kata lain, pelaku usaha harus berlaku tidak diskriminatif terhadap pembelinya, yang kaya didahulukan dan yang miskin tidak diacuhkan. 8. Hak untuk mendapatan konpensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang
dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.
Hak untuk memdapatkan garansi dari barang dan/atau jasa yang dibelinya ataupun hak untuk mendapatkan ganti rugi terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kualitas saat dipromosikan.
9. Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan lainnya. Jika ada hak, maka akan ada kewajiban yang menyertainya. Adapun yang menjadi kewajiban dari konsumen termuat dalam Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yaitu sebagi berikut :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dari pemanfaatan barang dan/ atau jasa.
Hal ini wajib dilakukan oleh konsumen, agar tidak ada persengketaan yang muncul dikemudian hari. Dengan membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian maka konsumen tahu resiko ataupun hal-hal lain yang melekat pada barang dan/atau jasa tersebut. Bagi konsumen yang tidak dapat membaca, maka ia wajib bertanya kepada pelaku usaha tentang segala sesuatu mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya.
2. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Tidak hanya pelaku usaha saja yang wajib untuk bertikad baik dalam menjalani usahanya, tetapi konsumen juga wajib beriktikad baik dalam bertransaksi seperti tidak adanya keinginan untuk menipu.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Konsumen wajib membayar harga barang dan/atau jasa sesuai dengan harga kesepakatan antara konsumen itu sendiri dengan pelaku usaha.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dengan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya, konsumen tidak dapat lagi dijadikan sebagai objek eksploitasi oleh pelaku usaha yang kerap kali tidak memperdulikan hak dari konsumen. Sebagai konsumen yang telah mengerti akan hak dan kewajibannya, dapat menjadikan posisi antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi seimbang dan tidak ada yang berada diposisi yang lemah ataupun kuat. Memang pada dasarnya konsumen mempunyai kekurangan dalam hal pengetahuan dibidang produksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha, namun hal ini dapat diatasi dengan bersikap waspada serata menjadi konsumen yang bijak dan mandiri yaitu dengan :
1. Membiasakan diri untuk berbelanja dengan menggunakan rencana
2. Mengkonsumsi barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan 3. Teliti sebelum membeli
4. Membeli barang dan/atau jasa yang berkualitas sesuai dengan standart kesehatan dan keamanan
5. Memerhatikan lebel, keterangan barang, dan tanggal kadaluarsa.18
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Sebelumnya telah kita ketahui bahwa UU Perlindungan Konsumen tidak hanya ditujukan semata-mata untuk mengatur hak dan kewajiban konsumen saja, tetapi juga hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini maksudkan agar pelaku usaha juga mendapatkan jaminan hukum dari negara, dan untuk menciptakan
18
kenyamanan dalam berusaha serta menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen.
Hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen, meliputi :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik
3. Hak untuk mendapat pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, dan
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, mencakup :
1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
Selain hak dan kewajiban di atas pelaku usaha juga mempunyai tanggung jawab yang harus dipikulnya yang disebut dengan istilah “product liability”. Pelaku usaha berkewajiban untuk bersikap hati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa yang akan di pasarkan kepada konsumen.
Menurut Saefullah, Product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk, dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk, atau mendistribusikan produk tersebut.19 Pada dasarnya pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan dari barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Hal ini dikarenakan, dapat dipastikan pelaku usaha mengetahui segala sesuatu mengenai barang dan/atau jasa yang diproduksinya baik mengenai keamanan, kesehatan, dan kelayakan untuk dikonsumsi atau digunakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (1) ditegaskan bahwa, ”Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
19
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Jadi jelas tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan hak dan kepentingannya. Adapun bentuk ganti rugi yang diberikan diatur dalam ketentuan UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (2) yaitu, ”berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Pemberian ganti rugi ini dilakukan dalam jangka waktu tujuh hari setelah terjadinya transaksi jual beli. Namun pemberian ganti rugi ini tidak menghilangkan sanksi pidana apabila di persidangan pengadilan dapat dibuktikannya adanya unsur kesalahan yang disengaja dalam diri pelaku usaha. Disamping product liability, ada pula “strict liability” yaitu bahwa produsen seketika itu juga bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen.20 Dalam hal ini Dann menyebut pelaku usaha dengan produsen yang menghasilkan barang yang beredar di pasaran.
Menurut DL Dann, ada beberapa alasan mengapa konsep strict liability perlu untuk diterapkan yaitu beban kerugian atau resiko ditanggung oleh pihak yang memproduksi barang-barang yang cacat atau berbahaya ke pasaran. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang kepasaran, berarti pelaku usaha menjamin barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan.
20
BAB III
PERJANJIAN JUAL BELI
A. Teori Umum Tentang Perjanjian Jual Beli 1. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli merupakan suatu perjanjian yang sangat popular dan banyak digunakan oleh orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik jual beli secara besar-besaran maupun jual beli secara kecil-kecilan. Jual beli berasal dari bahasa Inggris yang disebut dengan Sale and Purchase, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Koop en Verkoop. Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerima hak milik orang lain tersebut dengan harga.21 Perjanjian jual beli banyak dilakukan karena kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, yaitu adanya kebutuhan manusia untuk makan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, dan kepentingan-kepentingan lainnya yang bersifat komplementer dan tersier. Kesemuanya ini dapat diperoleh dengan mudah melalui proses jual beli. Sisi lain yang mendorong manusia untuk melakukan proses jual beli adalah kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai (barang dan/atau jasa) dan dia tidak dapat mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut kecuali menggantinya dengan sesuatu yang lain (sejumlah uang sebagai pembayaran dari barang dan/atau jasa yang telah diperolehnya). Sebelum melakukan perjanjian jual beli
21
setiap pihak mempunyai hak untuk memilih jenis barang yang akan dibelinya dan menentukan harga yang sesuai dengan barang tersebut.
Pada dasarnya perjanjian jual beli sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1457 KUHPerdata, “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”.
Sarjana Munir memberikan defenisi, Jual beli adalah suatu kontrak dimana (satu) pihak, yang disebut sebagai penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak yang lainnya yang disebut dengan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama.22
Gunawan, dalam bukuya yang berjudul “Jual Beli”, menyatakan bahwa, Jual Beli adalah suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.23
Obyek dari perjanjian jual beli adalah barang-barang tertentu yang dapat ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjualbelikan. Dari rumusan di atas, dapat dilihat bahwa jual beli memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, yaitu:
1. Jual beli melahirkan kewajiban berupa penyerahan barang dari penjual kepada pembeli dan hak untuk menerima barang yang telah dibayar dari penjual kepada pembeli.
22
Munir Fuady., Pengantar Hukum Bisnis, Grasindo, Bandung 2005, hal 25
23
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi., Jual Beli,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, hal 7
2. Kewajiban untuk melakukan pembayaran harga atas barang yang diperoleh dari pembeli kepada penjual dan menerima sejumlah uang atas barang yang telah diperjualbelikan tersebut.
Rumusan di atas memberikan suatu penjelasan bahwa dalam perjanjian jual beli itu terdapat adanya peralihan hak dari satu pihak kepada pihak yang lain yaitu dari pihak penjual yang menyerahkan barangnya dan memperoleh sejumlah uang serta pihak pembeli yang menerima barang yang diinginkan dan menyerahkan sejumlah uang sebagai harga pembayaran yang telah disepakati. Peralihan hak terjadi setelah penyerahan barang oleh si penjual kepada pembeli (levering). Dalam penyerahan barang, terdapat aturan-aturannya yaitu :
1. Bila barang yang diserahkan tersebut adalah barang bergerak maka cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang tersebut. Misalnya jual beli mobil, pihak showroom menyerahkan mobil yang telah disepakati dengan jumlah harga tertentu kepada pihak pembeli.
2. Bila barang yang diserahkan tersebut adalah penyerahan utang-piutang dilakukan dengan cessie.
3. Untuk barang yang tidak bergerak, penyerahannya dapat dilakukan melalui proses balik nama di muka pejabat yang berwenang, dan khusus untuk jual beli tanah dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Penjual tidak hanya dibebani oleh kewajiban untuk menyerahkan barang dan/atau jasa, tetapi juga dibebani suatu kewajiban untuk memberikan jaminan, yaitu:
1. Menjamin bahwa penguasaan benda adalah aman dan tidak ada penguasaan dari pihak ketiga atas barang yang diperjualbelikan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya sengketa konsumen dikemudian hari.
2. Menjamin bahwa pada barang tersebut tidak terdapat cacat yang tersembunyi. Ini dapat dilakukan dengan memberitahukan kelemahan dan kelebihan dari barang tersebut, dan memberikan informasi yang sesungguhnya tentang barang tersebut tanpa ada niat untuk menipu konsumen/pembeli.
Proses jual beli dapat dilakukan dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, yaitu :
1. Melalui perkataan
Jual beli ini dilakukan dengan adanya suatu pernyataan dari penjual yang menyatakan “saya jual” dan terhadap statement tersebut pembeli memberikan respon “saya beli”. Setelah penyataan tersebut barulah dilakukannya proses penyerahan barang dan penerimaan uang atas barang tersebut.
2. Melalui perbuatan
Jual beli yang dilakukan melalui perbuatan, biasanya dilakukan dengan perbuatan mengambil dan member, seperti penjual memberikan barang dagangannya kepada pembeli dan pembeli memberikan sejumlah uang sebagai pembayaran yang wajar.
Suatu perjanjian jual beli telah bersifat mengikat ketika diantara pihak-pihak yang bersangkutan telah terdapat kata sepakat, baik mengenai jenis barang maupun mengenai harga barang meskipun belum adanya proses penyerahan barang dan belum dilakukannya proses pembayaran. Hal ini diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan, “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.
Sumber hukum dari perjanjian jual beli adalah sebagai berikut : 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III (tiga) tentang Perikatan.
2. Undang-undang tentang Pertanahan sejauh yang menyangkut dengan jual beli tanah.
3. Hukum Adat setempat terhadap jual beli yang terkait dengan masyarakat adat. 4. Yurisprudensi.
5. Perjanjian Internasional sejauh yang menyangkut dengan jual beli internasional.
6. Kebiasaan perdagangan, baik nasional maupun internasional. 7. Doktrin dan pendapat ahli.
Secara keseluruhan menuju pada satu sasaran pokok dari diadakannya suatu perjanjian jual beli adalah suatu prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan, “Prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi yang mewajibkan satu atau kedua belah pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang
diperjanjikan, memberikan sesuatu adalah setiap prestasi yang bersifat memberikan sesuatu baik dalam bentuk penyerahan suatu barang ataupun melakukan pembayaran. Sedangkan tidak melakukan sesuatu adalah dimana satu pihak atau kedua belah secara bersamaan tidak melakukan sesuatu prestasi, prestasi yang demikian disebut sebagai prestasi yang bersifat negatif.
Adapun yang menjadi subjek dalam perjanjian jual beli adalah subjek hukum yaitu “orang“ (natuurlijke persoon), dimana orang yang dimaksud adalah orang sudah dewasa, cakap dimata hukum dalam melakukan perbuatan hukum, serta dapat mempertanggung jawabkan segala seuatu yang telah diperbuatnya, dan “badan hukum” (recht persoon) yang telah memenuhi syarat formal dan material dari berdirinya suatu badan hukum.
Kedua jenis subjek hukum itu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mengadakan suatu kontrak. Dengan demikian, dalam hukum perjanjian yang dapat menjadi subjeknya adalah perjanjian yang dilakukan oleh individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan hukum dengan badan hukum, dan antara individu dengan badan hukum.
2. Asas-asas Perjanjian Jual Beli dan Syarat Perjanjian Jual Beli
Dalam mengadakan suatu perjanjian termasuk perjanjian jual beli, dikenal beberapa prinsip atau asas yang secara teori berfungsi untuk mengantisipasi dari hal-hal yang dapat merugikan para pihak tersebut. Adapun asas yang dimaksud adalah :
1. Asas Personalia
Asas Personalia merupakan asas yang paling utama dalam mengadakan suatu perjanjian jual beli. Pengaturan mengenai asas personalia terdapat dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan, “Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.
Secara spesifik ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata ini menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi dan sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Pada setiap perjanjian jual beli sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak penjual yang menyediakan barang objek jual beli, dan pembeli yang membayar harga pembelian terhadap barang objek jual beli.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Salah satu asas yang ada dalam hukum perjanjian (perjanjian jual beli) adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Asas kebebasan berkontrak ini lebih cenderung digunakan terhadap transaksi jual beli dalam skala besar, yang dalam pelaksanaannya dibutuhkan suatu naskah kontrak. Artinya dalam membuat suatu naskah perjanjian para pihak dapat dengan bebas mengatur dan menentukan sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan dasar hukum dari asas kebebasan berkontrak ini, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kata sepakat diantara dua belah pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut
2. Kecakapan para pihak yang membuat perjanjian 3. Objek perjanjian adalah suatu hal tertentu, dan 4. Adanya suatu sebab yang halal.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian.24 Asas kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak yang mengikat diri mereka antara satu dengan yang lain untuk membuat dan menentukan isi dari perjanjian jual beli sesuai dengan kesepakatan bersama, tetapi bukan berarti hal tersebut dilakukan tanpa ada pembatasan yang jelas dari Undang-undang. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak dirumuskan sebagai berikut :
1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya,
2. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk itu, dan
3. Persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan iktikad baik.
Dasar eksistensi dari asas kebebasan berkontrak terdapat dalam rumusan angka (4) Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dimana suatu kontrak itu harus didasarkan pada sebab yang halal. Maksudnya isi perjanjian jual beli yang telah disepakati dan dinyatakan sebagai undang-undang bagi para pihak yang
24