• Tidak ada hasil yang ditemukan

Topik : Budaya dan Identitas Kemelayuan Sub Topik: Bahasa, Kearifan Lokal, Lingkungan dan Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Topik : Budaya dan Identitas Kemelayuan Sub Topik: Bahasa, Kearifan Lokal, Lingkungan dan Pembangunan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 Topik : Budaya dan Identitas Kemelayuan

Sub Topik: Bahasa, Kearifan Lokal, Lingkungan dan Pembangunan

Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR): Perspektif Administrasi Publik

Teguh Kurniawan, M.Sc

Administrative Sciences Department, University of Indonesia Kampus FISIP UI, Gedung B, Lantai 2, Depok 16424 INDONESIA

Tel./Fax. 62-21-78849087 Email: teguh1@ui.edu

Abstract

In the social and political perspectives, “Corporate Social Responsibility (CSR)” has been agreed by some experts as a tool in forming the new relations between government, private and civil society. Within this context, CSR is a main form of corporate (private) responsibility to the community. In the view of Falck & Heblich (2007), CSR is set of tools of a company to create order in the community as well as to gain profit in the same time. Therefore, CSR has been consider as an effective strategic management for a company to promote the new social slope in the community through several short time activities such as donation for social events as well as long term activities such as social investment. The above arguments are somehow in accordance with the governance paradigm in public administration. According to the governance paradigm, the governance is developed by giving opportunities to actors outside the government (private and civil society) to join the government in the policy making and policy implementation processes. This would make clear that it is not the only responsibility of the government in addressing the social and economical issues in the community. The private could also involve in addressing the issues by implementing CSR. Based on above arguments, this paper tries to give description on the role of CSR as a form of partnership between the government and the private in the implementation of governance.

Pendahuluan

Dalam perspektif sosial dan politik, “Tanggungjawab Sosial Perusahaan” atau yang lebih dikenal dengan “Corporate Social Responsibility” (CSR) telah disepakati oleh sejumlah pakar sebagai sebuah perangkat dalam mewujudkan suatu bentuk hubungan baru antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara1. Dalam konteks ini, CSR merupakan perwujudan dari

1

Lihat misalnya dalam Demirag, Istemi, 2006, Corporate Social Responsibility, Accountability and Governance: Global Perspectives, Greenleaf Publishing

(2)

tanggungjawab utama perusahaan (swasta) terhadap masyarakat (Minow, 1996 dalam Esrock & Leichty, 1998). Atau dalam pandangan Falck & Heblich (2007), CSR merupakan perangkat sebuah perusahaan untuk menciptakan ketertiban masyarakat sekaligus memperoleh keuntungan. Karenanya, CSR dipertimbangkan sebagai strategi manajemen yang efisien bagi perusahaan untuk mempromosikan kecenderungan sosial baru dalam masyarakat melalui sejumlah aktivitas baik yang bersifat jangka pendek seperti donasi dalam kegiatan sosial maupun melalui sejumlah aktivitas lainnya yang bersifat investasi sosial jangka panjang.

Pandangan di atas dalam banyak hal sangat sejalan dengan paradigma governance dalam penyelenggaraan pemerintahan (administrasi publik). Menurut paradigma governance, pemerintahan dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada aktor-aktor diluar pemerintah (swasta dan masyarakat sipil) untuk bersama-sama dengan pemerintah membuat dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara2. Dengan demikian, hal ini mempertegas pandangan yang mengatakan bahwa bukanlah tanggungjawab pemerintah semata dalam mengatasi isu sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Swasta pun dapat berperan dalam mengatasi hal ini melalui penerapan CSR.

Berangkat dari argumen-argumen di atas, tulisan singkat ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai peranan CSR sebagai wujud kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam pelaksanaan governance.

Peranan berbagai aktor dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara: perspektif governance

Konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas antara dan diantara sektor publik dan sektor swasta menjadi kabur. Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah, swasta dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004).

Upaya memahami governance dan perbedaannya dengan government menurut Schwab dan Kubler (2001) dapat dilihat dari 5 (lima) fitur dimensi yaitu aktor, fungsi, struktur, konvensi interaksi, dan distribusi kekuasaan.

Dilihat dari dimensi aktor, governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta baik yang berasal dari sektor publik maupun swasta yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Sementara itu, government dicirikan dengan sangat sedikit dan terbatasnya jumlah peserta dalam proses pengaturan kebijakan tersebut, aktor yang terlibat pun biasanya merupakan badan-badan (lembaga) pemerintahan.

2

Lihat misalnya dalam Schwab, B and D Kubler, 2001, “Metropolitan Governance and the ‘democratic deficit’: Theoretical Issues and Empirical Findings”, Paper in Conference Area-based initiatives in contemporary urban policy, Copenhagen, May; serta Stoker, G, 1998, “Governance as Theory: Five Propositions”, International Social Science Journal, 50, 1

(3)

Dari dimensi fungsi, governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam pengaturan kebijakan. Hal ini memungkinkan bagi adanya kerjasama dalam pembuatan kebijakan antara aktor-aktor yang terlibat sehingga issue-isue kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih sempit. Hal ini berbeda dengan government yang dicirikan dengan sedikitnya konsultasi, tidak adanya kerjasama antar aktor dalam pembuatan kebijakan yang menyebabkan luasnya issue kebijakan yang dihasilkan.

Berdasarkan dimensi struktur, governance dicirikan dengan adanya batas-batas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka selain keanggotaan dari struktur yang bersifat sukarela. Batas-batas yang didefinisikan secara fungsional disini berarti pertimbangan pengaturan kebijakan didasarkan atas kebutuhan fungsional. Hal ini tidak seperti government yang mendefinisikan batas-batas berdasarkan kewilayahan dan bersifat tertutup selain tentu saja keanggotaannya yang tidak sukarela, artinya untuk dapat masuk sebagai struktur harus merupakan anggota dari organisasi sektor publik.

Dari dimensi konvensi interaksi, governance dicirikan dengan konsultasi yang sifatnya horisontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Sementara itu government dicirikan dengan adanya hirarkhi kewenangan sehingga pola hubungan yang terjadi lebih banyak bersifat konflik dan dipenuhi dengan banyak kerahasiaan.

Berdasarkan dimensi distribusi kekuasaan, governance dicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor. Sementara itu government dicirikan dengan adanya dominasi negara yang dalam banyak hal tidak terlalu memperhatikan kepentingan masyarakat serta tidak adanya keseimbangan antar aktor yang terlibat

Dari sejumlah uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa konsep governance merujuk kepada sebuah proses pembuatan kebijakan dan proses dimana kebijakan tersebut dilaksanakan yang melibatkan baik negara (pemerintah), swasta, maupun masyarakat sipil dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan negara.

Governance melibatkan tidak hanya negara (pemerintah) tetapi juga swasta dan masyarakat sipil. Kesemuanya merupakan aktor yang memiliki peran sama penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah berperan dalam menciptakan situasi politik dan hukum yang kondusif; Swasta berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan; dan Masyarakat Sipil berperan dalam memfasilitasi interaksi secara sosial dan politik yang memadai bagi mobilisasi individu atau kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas, ekonomi, politik dan sosial. Dalam perkataan lain menurut Salomo (2002), Birokrasi (Pemerintah) dituntut agar mempunyai karakter bersih, terbuka, akuntabel responsif, berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat bagi keterlibatan dalam proses pembuatan, pelaksanaan dan kontrol kebijakan; Dunia Usaha (Swasta) dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, moralitas tinggi, social responsibility dan patuh pada perundang-undangan yang berlaku; serta Masyarakat Sipil dituntut agar kuat, selalu menyatakan pendapatnya, berkualitas tinggi serta partisipatif terhadap berbagai proses yang dilakukan baik oleh birokrasi maupun oleh

(4)

dunia usaha. Setiap aktor tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Karenanya melalui governance diharapkan terciptanya interaksi yang konstruktif dan memadai diantara para aktor tersebut.

CSR sebagai salah satu bentuk peranan sektor privat dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara Ide dasar dari konsep CSR menurut Malovics, Csigene dan Kraus (2007) adalah bahwa sektor swasta harus memainkan peranan (non ekonomi) yang lebih mendalam dalam masyarakat tidak hanya sekedar menghasilkan barang dan memperoleh keuntungan. Termasuk dalam peranan ini adalah peranan yang terkait dengan tindakan-tindakan swasta menyangkut masyarakat dan lingkungan, yang artinya sektor swasta diharapkan melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan melalui aktivitas komersial mereka, melainkan juga melakukan aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik (Robins, 2005 dalam Malovicks, Csigene dan Kraus, 2007).

Terkait dengan aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan dalam mengimplementasikan CSR ini kita dapat merujuk kepada pendapat dan pandangan dari sejumlah ahli seperti Rondinelli dan Berry (2000) dan Spitzek (2005) yang diantaranya dapat kita temukan dalam tulisan Malovicks, Csigene dan Kraus (2007).

Menurut Rondinelli dan Berry (2000), aktivitas CSR dapat dibedakan antara aktivitas yang bersifat eksternal maupun internal perusahaan. Aktivitas eksternal adalah aktivitas pelaksanaan CSR yang ditujukan terhadap pemangku kepentingan yang berada diluar struktur organisasi perusahaan, sementara aktivitas internal adalah aktivitas pelaksanaan CSR yang ditujukan terhadap pemangku kepentingan yang berada didalam lingkup organisasi perusahaan. Selain itu, Rondinelli dan Berry (2000) juga membedakan CSR kedalam 4 (empat) tingkatan, yakni: (1) kepentingan komersial (commercial self-interest) yaitu mengikuti semua undang-undang dan peraturan lainnya dan memilih aktivitas-aktivitas yang memberikan keuntungan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat yang dapat memberikan kontribusi secara langsung terhadap keuntungan dan daya saing; (2) kepentingan yang diperluas dengan keuntungan jangka pendek (expanded self interest with immediate benefits) yaitu melakukan aktivitas yang melebihi dari apa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan memberikan keuntungan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat tetapi juga memberikan keuntungan nyata dalam jangka pendek dan menengah kepada perusahaan; (3) kepentingan yang diperluas dengan keuntungan jangka panjang (expanded self interest with long-term benefits) yaitu mendukung aktivitas masyarakat misalnya dalam pendidikan dan pelatihan yang akan memberikan dampak penting terhadap kesuksesan keberlanjutan usaha; dan (4) mempromosikan barang umum/publik (promoting the common good), yaitu mendukung atau berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat meningkatkan kondisi masyarakat atau untuk pemangku kepentingan tanpa mengharapkan keuntungan langsung kepada perusahaan.

Pendapat lainnya mengenai aktivitas CSR dikemukakan oleh Spitzek (2005) yang membedakan CSR kedalam 3 (tiga) kelompok, yakni: (1) wajib bertanggungjawab (must-responsibilities), yaitu pemenuhan aturan hukum dan kebutuhan konsumen dimana kelalaian terhadap hal ini akan membahayakan

(5)

kelangsungan perusahaan dalam jangka pendek; (2) harus bertanggungjawab (should-responsibilities) yang merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang dimana perusahaan harus memenuhi apa yang menjadi harapan masyarakat yang seringkali tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap hal ini akan dapat menyebabkan adanya boikot dari masyarakat dan macetnya investasi; dan (3) dapat bertanggungjawab (can-responsibilities) yaitu melakukan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya tidak diharapkan oleh masyarakat, tidak ditentukan oleh undang-undang atau pasar, tidak akan ada sanksi apabila tidak dilakukan namun dapat membantu memberikan reputasi yang baik terhadap nama perusahaan.

Berdasarkan berbagai pemahaman mengenai CSR tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR merujuk kepada aktivitas-aktivitas perusahaan yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesejahteraannya baik yang dilakukan untuk kepentingan perusahaan sendiri baik secara moral dan sosial maupun sebagai bagian dari kewajiban perusahaan untuk memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada. Atau dengan kata lain, CSR merupakan perangkat perusahaan (dunia usaha/sektor swasta) dalam mewujudkan tujuan utama dari keberadaan sebuah negara yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik yang dilakukan sebagai pelaksanaan kewajiban perusahaan terhadap undang-undang maupun yang dilakukan karena kewajiban moral dan atau guna memperoleh legitimasi sosial dari masyarakat.

Penutup: membumikan dan mendorong penerapan CSR di Indonesia

Melihat begitu besarnya peran yang dapat diambil oleh CSR dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan berbagai langkah dan upaya dalam mendorong penerapan CSR di Indonesia. Langkah dan upaya yang bijak adalah tentu saja dengan menumbuhkan kesadaran internal dari segenap perusahaan yang ada untuk melaksanakan CSR. Kesadaran ini dalam pandangan penulis hanya bisa terwujud apabila pelaku usaha khususnya mereka yang menempati pucuk pimpinan di perusahaan memahami benar filosofi dari CSR itu sendiri. Selain itu, upaya membangun kesadaran ini juga perlu didukung oleh keberadaan kompetisi yang dapat merangsang dunia usaha untuk menampilkan upaya terbaiknya dalam mewujudkan CSR yang pada akhirnya dapat mengangkat reputasi dan nama baik mereka. Karenanya, penulis sangat menyambut baik upaya yang dilakukan oleh sejumlah institusi seperti NCSR (National Center for Sustainability Reporting) melalui kerjasama dengan sejumlah institusi lain yang selama 3 (tiga) tahun sejak 2005 menyelenggarakan ISRA (Indonesian Sustainability Reporting Award). Melalui kompetisi ini, dalam pandangan penulis telah dapat menumbuhkan semangat dari sejumlah perusahaan untuk mulai memperhatikan aspek sosial dan lingkungan di luar aktivitas komersial mereka.

Upaya di atas tentu saja perlu didukung oleh Pemerintah, dimana Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang telah membuktikan diri berpartisipasi aktif dalam kegiatan CSR yang melebihi batas kewajibannya dan terbukti mampu meningkatkan harkat dan derajat kehidupan masyarakat. Selain itu, Pemerintah dan juga perusahaan perlu

(6)

untuk saling membuka diri dalam menjajaki berbagai kemungkinan kerjasama dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kerjasama ini tentu saja harus dalam koridor governance, dalam artian harus dilakukan secara partisipatif, transparan dan akuntabel.

Akhirnya, apabila upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan kesadaran dunia usaha mengenai pentingnya CSR telah tumbuh, maka kondisi ini akan sangat sejalan dengan maksud dari pengaturan mengenai CSR yang terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada penolakan dan ketakutan dari kalangan dunia usaha mengenai apa yang ingin dicoba diatur oleh Pemerintah melalui Undang-Undang tersebut. Bahkan, yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah bagaimana membantu pemerintah dalam mengawal agar pelaksanaan ketentuan tersebut dapat berjalan dengan semestinya dan menguntungkan baik masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha sendiri. Semoga.

Daftar Referensi

Esrock, Stuart L and Greg B Leichty, 1998, “Social Responsibility and Corporate Web Pages: Self-Presentation or Agenda-Setting?”, Public Relations Review, 24, 3

Falck, Oliver and Stephan Heblich, 2007, “Corporate Social Responsibility: Doing Well by Doing Good”, Business Horizons, 50

Malovicks, Gyorgy, Noemi Nagypal Csigene and Sascha Kraus, 2007, “The Role of Corporate Social Responsibility in Strong Sustainability”, The Journal of Socio-Economics,

Salomo, Roy, 2002, “E-Government: Suatu Inovasi dalam Kerangka Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, X, 2

Referensi

Dokumen terkait

Kysymyksellä kirjoittaja pystyykin vaikuttamaan lukijan lukuprosessiin ja ottamaan tämän selkeämmin osaksi tekstiä, rakentamaan tälle paikkoja (ks. myös Sakki [tekeillä]).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar antosianin, vitamin C, total solid, uji rasa, aroma dan uji warna tertinggi pada pemanasan pasteurisasi pada penyimpanan 0

Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil

Data pengamatan berat kering per sampel tanaman sawi dengan pemberian pupuk kompos dan POC akar bambu serta sidik ragam dapat di lihat pada Lampiran 20.. Berdasarkan hasil

PLANNING DESIGN Sitting area seabagai salah satu sarana pada landscape yang dapat dimamfaat kan oleh pengunjung.untuk duduk-du duk.atau nonton pertunjukan Tempat untuk tanaman

padahal kesadaran ini akan memudahkan mereka agar tidak terjebak pada situasi “salah pilih jurusan” atau terjebak pada pekerrjaan yang tidak disu kai. Pada pembuatan

(2010) menyatakan ada 6 (enam) faktor penting kepuasan pelanggan ritel antara lain: (1) Lokasi atau tempat berdirinya toko ritel memiliki daya tarik tertentu

Maksud dilaksanakan pekerjaan Perencanaan penarikan kabel fiber optic di 23 kecamatan di Kabupaten Bekasi adalah dalam rangka menyiapkan dokumen lelang berupa