• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter di kawasan Asia yang menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan terakhir Indonesia. Dari sekian negara yang mengalami krisis ekonomi, Indonesia adalah negara yang paling parah tertimpa krisis tersebut yaitu dengan anjloknya dollar Amerika yang sangat tajam. Karena sistem perekonomian di Indonesia tidak memiliki fundamental yang cukup kuat, maka penyelesaiannya pun tidak mendapatkan hasil yang baik, bahkan semakin berlarut-larut dan rupiah semakin anjlok. Hal ini membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan rakyat mulai hilang kepercayaannya.

Djojohadikusumo memandang bahwa ketidakpercayaan masyarakat telah menjadi institusional disease yang tercermin dari serangkaian fenomena yang telah melembaga, seperti maraknya praktek-praktek korupsi dan kolusi pejabat pemerintah dan pengusaha serta ketidakpastian hukum. Sedangkan R. William Liddle memandang krisis ekonomi (moneter) di Indonesia telah berpengaruh buruk terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini telah membawa

(2)

 

       

pemerintahan Orde baru kehilangan legitimasinya.1 Memburuknya situasi ini

membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama para intelektual yang tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa dan pelajar. Berbagai aksi demonstrasi oleh mahasiswa yang didukung oleh elemen masyarakat seperti para tokoh masyarakat, buruh, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lain-lain, digelar di berbagai daerah di seluruh pelosok tanah

air.2 Mereka mengklaim bahwa semua permasalahan yang ada saat itu adalah

karena akibat kesalahan manajemen Presiden Soeharto, sehingga mereka menuntut keras agar Presiden Soeharto bergegas mundur dari kekuasaannya. Akhirnya demontrasi besar-besaran diarahkan mahasiswa menuju ke gedung DPR/MPR sebagai simbol dari wakil suara rakyat. Demontrasi ini mengakibatkan pimpinan DPR dipaksa mengambil tindakan tegas terhadap tuntutan para demonstran. Tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR atas kesepakatan dialog dengan delegasi masyarakat yang memadati areal tersebut mengeluarkan statement bahwa akan segera mengadakan SI (Sidang Istimewa) MPR jika Presiden Soeharto tidak secepatnya mengundurkan diri. Dan tanggal 21 Mei 1998 di Istana Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti dari

jabatan Presiden.3

Sejak jatuhnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi

 

1

Malik A.Haramain dan Nurhuda Y.MF, Mengawal Transisi:Refleksi atas Pemantauam

Pemilu’99,JAMPPI-PB PMII dan UNDP, Jakarta 2000.

2

Mengenai tokoh-tokoh dan unsure-unsur pendukung gerakan mahasiswa dalam perjuangannya dapat dilihat dalam Adi Suryadi Culla,Patah Tumbuh,Hilang Berganti :Sketsa Pergolakan

Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia1908-1998, Jakarta : Penerbit Rajawali,

1999,halaman 161-164 3

Mengenai kronologi jatuhnya Presiden Soeharto, dapat dilihat S. Sinansari Encip, Kronologi

(3)

       

ABRI dalam peta perpolitikan Indonesia ikut jatuh pula. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ABRI adalah kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya ABRI sebagai penyangga pemerintahan, karena ABRI selama Orde Baru lebih identik dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada alat penyangga dan pelindung negara dari segala ancaman dari luar melalui konsep Dwi Fungsi ABRI. ABRI di desak untuk melakukan reformasi, walaupun secara garis besar ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya terjadinya Reformasi TNI, bukan hanya karena Dwi Fungsi ABRI.

Program pembangunan dalam masa Orde Baru dilancarkan melalui konsep Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan (3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Di dalam “stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan”. Praktek Dwi Fungsi ABRI menjadi subur sejak Orde Baru, yaitu dengan di terapkannya “pendekatan keamanan”. Pendekatan keamanan ini diberlakukan mengingat dua hal, yaitu: Pertama, suasana pasca G30S/PKI 1965 masih menuntut dilaksanakannya segala bentuk aktivitas keamanan di seluruh sektor dan di seluruh wilayah Republik Indonesia dari bahaya laten komunisme. Kedua, Orde baru bertekat melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya

menuntut adanya stabilitas keamanan.4 Dari praktek Dwi Fungsi ABRI pada masa

itu berkembanglah militerisme dan militerisasi. Demi terlaksananya pembangunan dengan mencapai keberhasilan maka ABRI harus aktif menjalankan kekuasaan

 

4

Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia baru lewat Reformasi Total, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001, halaman 167.

(4)

 

       

negara. Itulah prinsip militerisme dan demi pembangunan itu pula, anggota ABRI harus ada dimana-mana, sebagaimana pembangunan dilaksanakan di semua sektor, inilah yang disebut dengan militerisasi.

Praktek militerisme Orde Baru dilakukan dengan menempatkan ABRI dalam kekuasaan legislatif, baik sebagai anggota DPR (tanpa ikut serta dalam pemilu) maupun sebagai anggota MPR (non-DPR, dari golongan karya/fungsional). Selain itu pula atas hak prerogatif presiden, banyak anggota ABRI dilibatkan di departemen-departemen pemerintah, bahkan menjadi mentri dalam kabinet walaupun masih dalam posisi anggota ABRI aktif. Selain itu juga anggota ABRI banyak duduk di posisi pemerintahan daerah mulai dari jabatan bupati/walikota sampai gubernur. Kedudukan di BUMN atau BUMD juga banyak di minati anggota ABRI. Perusahaan-perusahaan milik pemerintah (Negara/Daerah) menjadi sumber pembiayaan kegiatan ABRI, dikarenakan kelangkaan sumber dana, inilah yang mengharuskan anggota TNI/ABRI (khususnya TNI-AD) melakukan kegiatan bisnis untuk membiayai dirinya, terlebih-lebih untuk melakukan operasi pada saat itu. Hal inilah yang membuat

ABRI (TNI-AD) memasuki sektor ekonomi dan bisnis.5

ABRI pada akhirnya menjadi kekuatan yang adikuasa di semua sektor, para anggotanya mendapatkan hak-hak istimewa yang melebihi warga negara yang lain. Kekuasaan yang besar dan hak-hak istimewa itu akhirnya membangun pula tata nilai tertentu dalam lingkungan ABRI yang memberikan pengaruh kuat

 

5

Di rangkum dari kutipan perkataan Saurip Kadi (Perwira tinggi AD), Sri-Bintang Pamungkas,

(5)

terhadap berkembangnya budaya KKN dan budaya berbisnis-ria. KKN juga berkembang oleh adanya dana besar non-budgeter negara yang di peruntukan oleh ABRI bagi mendukung segala operasi ABRI menciptakan stabilitas keamanan. ABRI telah menjadi alat kekuasaan, bukan lagi alat negara.

Dalam suasana militerisme dan militerisasi, sulit dibedakan berlakunya kekuasaan sipil dari kekuasaan militer, antara keadaan aman atau darurat perang. Seakan-akan negara selalu ada dalam keadaan tidak aman, penuh ancaman, khususnya dari dalam negeri sendiri. Sebagai akibatnya, ABRI mencurigai adanya musuh di mana-mana di dalam negeri. Kritik terhadap pemerintah dan perbedaan pendapat dianggap sebagai gangguan dan ancaman terhadap negara, pemerintah dan pembangunan dan harus dihadapi dengan tindak kekerasan secara militer. Tentu saja ini justru menciptakan kekacauan yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya situasi yang tak terkendali yang memakan korban jiwa rakyat sipil yang lemah.

Situasi tidak terkendali muncul dengan keterlibatan ABRI (terutama TNI-AD) dalam banyak tindak kekerasan militer disertai dengan jatuhnya puluhan, bahkan ratusan ribu korban jiwa, dalam kurun waktu panjang Orde Baru yang mencerminkan tidak adanya perlindungan masyarakat atas Hak Asasi Manusia.

Pertama, dalam berbagai kasus menghadapi protes para aktivis Pro-demokrasi, antara lain seperti yang terjadi dalam Peristiwa Golput (Golongan Putih,1971) di Jakarta, Peristiwa Taman Mini (1973) di Jakarta, Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari, 1974) di Jakarta, Peristiwa Buku Putih Penolakan

(6)

 

Mahasiswa terhadap Soeharto (1978) di Bandung, Peristiwa Penyataan Keprihatinan Petisi 50 (1980) di Jakarta, Peristiwa SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana, 1994) di halaman gedung DPR/MPR Jakarta, Peristiwa Berdarah UMI (Universitas Muslim Indonesia, 1996) di Makasar, Peristiwa Penculikan (19970 terutama di Jakarta, Peristiwa Trisakti (1998) di Jakarta, Peristiwa Semanggi I dan II (1999) di Jakarta.

Kedua, tindak kekerasan ABRI menghadapi protes-protes masyarakat terhadap kebijakan aparat dan pejabat Negara, seperti dalam Peristiwa Pembantaian G-30-S/ 1965 berikut penangkapan-penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan korban ke Pulau Buru, Peristiwa Invasi ke Timor-Timur dan pendudukannya selama 23 tahun (1975-1998), Peristiwa Tanjung Priok (1984) di Jakarta, Peristiwa Lampung (1989), Peristiwa Santa Cruz (1991) di Timor-Timur, Peristiwa Sei Lepan (1993) di Sumatera Utara, Peristiwa Haur Koneng (1993) di Jawa Barat, Peristiwa Nipah (1993) di Madura, Peristiwa Parbuluhan (1995) di Sumatera Utara, Peristiwa Jenggawah (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Freepot (1996), Abepura (1996) dan Nabire (1996) di Irian Jaya, Peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer, 1989-1998) di Aceh, dan masih banyak peristiwa lain yang hampir selalu berakhir dengan tindak kekerasan dan penghilangan nyawa oleh pihak ABRI.

Ketiga, tindak kekerasan terhadap perorangan dan anggota masyarakat yang justru di mulai dari pihak ABRI, seperti Peristiwa Komando Jihad (1977-1978) di beberapa kota di Jawa, Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla (1981) di Bangkok, Peristiwa Petrus (Penembak Misterius,1983) terutama di Jawa, Peristiwa

(7)

       

Marsinah (1993) di Jawa Timur, Peristiwa Sri-Bintang Pamungkas (1995) di Jerman, Peristiwa 27 Juli (1996) di Jakarta, Peristiwa Wartawan Udin (1996) di Yogyakarta, Peristiwa Situbondo (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Tasikmalaya (1996) di Jawa Barat, Peristiwa Kartu Lebaran Politik (1997) di Jakarta, Peristiwa Dukun Santet (1998) di Jawa Timur, Peristiwa Ketapang (1998) di Jakarta dan Kupang, Peristiwa Kerusuhan Mei (1998) di Jakarta dan beberapa kota di Jawa, Peristiwa Tengku Bantaqiah (1999) di Aceh Barat, Peristiwa Jajak Pendapat

(1999) di Timor-Timur dan Peristiwa Haruku dan lain-lain (2000) di Maluku.6

Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan pihak negara dengan memakai ABRI sebagai alatnya harus diakhiri, militerisme dan militerisasi harus diakhiri. ABRI harus kembali kepada profesionalismenya. Rakyat sendiri tidak boleh diperlakukan sebagai musuh. Negara harus mampu meredakan setiap gejolak dalam masyarakat tanpa harus membunuh rakyat sendiri. Semua gejolak harus bisa diselesaikan secara politis tanpa melibatkan militer dan kekerasan militer dan tanpa harus melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia.

Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara kekuasaan membawa ABRI terjebak dalam pola-pola pendekatan yang represif. Sehingga tidak jarang oknum ABRI bertindak di luar pegangan yang mereka ucapkan setiap Apel atau Upacara yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Pelanggaran-pelanggaran dalam berbagai bentuk, baik kriminal maupun motif politik, semakin lama semakin terakumulasi. Sehingga pada momentum yang tepat, yaitu saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru meledaklah semua akumulasi

 

6

(8)

 

       

pelanggaran ABRI pada masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat rakyat karena dianggap lebih sebagai pelindung dan pengaman Orde Baru selama 32 tahun daripada menjadi pelindung dan pengayom rakyat.

Slogan-slogan yang didengungkan seperti “ABRI dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, “Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk ABRI”, “ABRI manunggal dengan rakyat” dan sebagainya hanyalah kata-kata yang tidak bermakna dan dianggap mengelabuhi rakyat saja. Akhirnya, tuntutan atas Reformasi TNI pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari kalangan militer sendiri. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI menjadi salah satu tuntutan pokok yang di lontarkan, walaupun dapat dikatakan proses Reformasi TNI bukan semata karena lengsernya Soeharto saja, ada empat alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, Peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, Campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi

dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini.7

Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade di bawah orde baru akibat dari akses kekuatan ABRI disegala hal

 

7

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (MABES TNI), TNI abad XXI: Redefinisi, Reposisi

dan Reaktualisasi Peran TNI dalam kehidupan bangsa, Jakarta : Mabes TNI, 1999, dalam Bukhari

Barus, Tesis tentang Peran Politik Tentara Nasional Indonesia Pasca Orde Baru, Medan : Magister Study Pembangunan FISIP USU, 2007.

(9)

yang berlebihan ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu mengurusi masalah pertahanan dan keamanan negara. Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat memojokan posisi ABRI. Luka-luka lama terungkit kembali ke permukaan. Dilain pihak ABRI juga menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan konsolidasi dan reformasi internal dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan memperbaiki serta belajar dari pengalaman masa lalu.

Tentara yang dalam tradisi kemiliteran Indonesia akrab dengan kehidupan politik, sejak tanggal 21 mei 1998 secara bertahap telah meninggalkan gelanggang politik. Di mulai dari masa pemerintahan Presiden BJ Habibie itulah, peran tentara kembali kepada jati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan paradigma barunya. Namun, perubahan yang diharapkan terjadi sejak tahun 1998 ternyata masih belum dapat di wujudkan oleh pemerintahan baru pasca rezim Soeharto. Hal ini terjadi karena kekuasaan Orde Baru yang masih kuat serta mesin politiknya yang masih solid serta belum ada kesepahaman serta konsolidasi yang baik dari kelompok-kelompok Pro Demokrasi, Kekuasaan Orde Baru masih membayang-bayangi pemerintahan pasca 1998, sehingga mempengaruhi tindakan pemerintahan transisi. Hal ini dapat dilihat dari Pemerintah masih belum menunjukkan kesungguhan untuk melakukan perubahan sistem politik, hukum dan ekonomi yang lebih demokratis, tidak akomodatif terhadap aspirasi dan

(10)

 

       

kebutuhan rakyat dalam merumuskan kebijakan, serta tidak melakukan secara maksimal upaya-upaya penegakan hukum dan HAM.

Kenyataan bahwa masih banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Aparat (Polisi dan Militer) di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya, mendorong peneliti untuk meneliti keterkaitan antara reformasi TNI dengan besarnya tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara.

B. Perumusan Masalah

Masyarakat Sipil termasuk sebagai satu dari beberapa elemen yang mempunyai kontribusi dalam mendorong terjadinya Reformasi TNI. Sejak 1998 sampai sekarang, kalangan masyarakat sipil (civil society) secara aktif telah melakukan upaya-upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi, terutama untuk memastikan berjalannya reformasi di institusi TNI. Perubahan yang diharapkan bukan saja atas perubahan kebijakan dan legislasi di tubuh TNI, tetapi juga perubahan institusi dan struktur, dan juga

perubahan akan prilaku dan sikap aparat TNI itu sendiri.8 Peneliti kemudian

memfokuskan penelitiannya terhadap perubahan perilaku dan sikap aparat TNI salah satunya pokok besarnya adalah menyoroti berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aparat.

 

8

Tim IDSPS, Penjelasan Singkat Reformasi TNI, Seri ke-4 dari 10 seri Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta : IDSPS dan Rights & Democracy Kanada, 2008, halaman 5.

(11)

Maka penulis merumuskan pertanyaan penelitiannya, yaitu : “Apakah pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di Sumatera Utara masih terjadi setelah reformasi TNI?“

C. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi dan memfokuskan skripsinya kepada kasus pelanggaran HAM oleh aparat TNI kepada masyarakat sipil di Provinsi Sumatera Utara saja setelah Reformasi TNI terjadi, namun peneliti hanya meneliti dalam kurun waktu tahun 2006 sampai Maret 2010. Data yang di dapat berupa data wawancara dan juga data tertulis dari KontraS dan juga SSRC, sebagai berikut dari KontraS berupa data dari tahun 2006 sampai Maret 2010 (dengan beberapa kekosongan data) dan data dari SSRC berupa data dari awal tahun 2010 sampai April 2010. Jadi Reformasi TNI dan korelasinya terhadap pelanggaran HAM di skripsi ini di teliti dari tahun 2006 saja di karenakan keterbatasan data.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perubahan perilaku aparat TNI pasca Reformasi TNI di Sumatera Utara, khususnya menyangkut persoalan pelanggaran HAM.

(12)

 

2. Menjadi pembelajaran tentang bagaimana Reformasi TNI itu sendiri dan persoalan kompleks yang terdapat di dalamnya dan menjadi tugas kita untuk memonitoring perkembangannya.

3. Sebagai refrensi kepada masyarakat untuk lebih dapat mengetahui lebih lanjut salah satu lembaga atau birokrasi Negara.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuannya dan pemahaman penulis untuk berfikir secara akademis dalam melihat perkembangan reformasi yang terjadi di tubuh militer dan ke depannya penulis berharap memberikan manfaat lebih terhadap dirinya sendiri .

2. Manfaat bagi akademis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu politik, diharapkan hasilnya dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan juga masyarakat luas tentang implementasinya Reformasi TNI terutama terhadap perubahan sikap dan prilaku TNI atas penggunaan wewenangnya.

3. Manfaat praktis , hasil penelitian ini dapat memberikan realitas mengenai kenyataan akan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata tentang Hak Asasi Manusia dan kedepannya diharapkan seluruh elemen

(13)

       

menyadari pentingnya menghormati Hak Asasi Manusia tidak terkecuali siapapun itu.

F. Landasan Teori

a. Pengertian Militer dan Sipil

Dalam bahasa Inggris, Militer atau “ military ” adalah “the soldiers ; the army ; the army forces” 9 yang berarti prajurit atau tentara ; angkatan bersenjata.

Di negara modern, militer biasanya adalah angkatan bersenjata yang terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang yaitu : darat, laut, udara dan atau marinir. Sedangkan polisi, meski diberi kewenangan memegang senjata, tidak termasuk di dalamnya.

Di Indonesia, batasan militer berubah dan berbeda dari masa ke masa. Militer pada masa Orde Lama adalah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pada tahun 1959 sebutan APRI diubah menjadi ABRI yaitu kepanjangan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lalu pada masa Orde Baru, melalui UU Nomor 13/1961 Pasal 3, Keppres Nomor: 225/1962, Keppres Nomor: 290/1964 menetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi

 

9

AS Horby, Oxpord Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hal 536

(14)

 

TNI AU.

       

TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), TNI Angkatan Udara

(AU) dan Kepolisian Negara RI.10 Dimana kedudukannya sama dan

sederajat dengan ketiga angkatan lainnya dengan garis-garis komando dan

hierarki yang utuh dan bulat.11 Pasca Orde Baru, di era Reformasi ,

terhitung 1 April 1999, yang dimaksud dengan militer adalah TNI (bukan ABRI lagi) yang terdiri dari TNI AD, TNI AL dan

Batasan militer ini menjadi baku kemudian melahirkan istilah Sipil. kepada mereka yang bekerja di luar profesi Angkatan Bersenjata. Dalam bahasa Inggris, Sipil yaitu “civilian”, “(person) not serving with armed forces”.12 Yang berarti seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata. Semua orang dengan segala macam profesi yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta yang berada di luar struktur organisasi militer, termasuk polisi di sebut warga sipil. Namun di Indonesia batasan ini tentu berbeda, karena polisi cenderung di anggap sebagai warga non-sipil.

Cohan13 mendefinisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum,

lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Sayidiman

 

10

Buku Peraturan Perundang-undangan Pertahanan dan Keamanan RI,Sekretariat Jendral Dephankam, Jakarta, 1996, halaman 88.

11

Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan Bidang Hankamneg dari tahun 1961-1971, Buku III, Biro Organisasi Sekretariat Jendral Dephankam Tahun 1989, halaman 142-144

12

AS Horby, op.cit., hal.151 13

Elliot A. Cohen, “Civil-Military Relation in the Contemporary World”, dalam Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil – Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam seminar nasional mencari format baru Hubungan Sipil-Militer Jurusan Ilmu Politik – Fisip Universitas Indonesia, Jakarta, 24-25 Mei 1999, Gedung Pusat Studi Jepang, Kampus UI Depok.

(15)

       

Suryohardiprojo memberikan batasan sipil sebagai semua lapisan

masyarakat.14

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat dibuat suatu pengertian secara universal bahwa sipil adalah semua orang baik individu ataupun institusi yang berada di luar organisasi militer.

b. Tipe-tipe orientasi militer

Setiap negara mempunyai tipe-tipe orientasi militer yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait sangat erat dengan peran pihak militer dalam pemerintahan, selain itu terkait juga dengan sistem politik yang dianut oleh negara itu sendiri. Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya.

Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap

jenis kekuatan sipil yang dilembagakan, yakni:15

1. Prajurit Profesional

Perwira profesional di zaman modern mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: 1) keahlian (managemen kekerasan), 2) pertautan (tanggung jawab kepada klien, bangsa dan Negara), 3) korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan 4) ideologi (semangat militer). Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun negara berkembang.

 

14

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, Sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999

15

(16)

 

Menurut Huntington keempat ciri tersebut merupakan variabel penting yang dapat menjauhkan fungsi militer dari intervensi politik suatu negara. Huntington melihat bahwa prajurit profesional klasik timbul apabila koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian dan pengetahuan profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara.

2. Prajurit Pretorian

Kaum pretorian sebenarnya juga prajurit profesional namun karena kurang diperhatikan dan selalu dikendalikan oleh pemerintah sipil maka terbuka kemungkinan besar mereka melakukan intervensi

dalam politik. Menurut Perlmutter kaum pretorian memang lebih

sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah. Secara keseluruhan, kondisi pretorian mempengaruhi lembaga militer secara negatif dan menurunkan standar-standar profesionalisme.

Frederick Mundel Watkins mendefinisikan pretorianisme sebagai suatu kata yang sering dipakai untuk mencirikan suatu situasi dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom di dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan actual atau ancaman penggunaan kekuatan.

Perlmutter membedakan tipe praetorian kedalam dua kategori yaitu tipe praetorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe praetorian yang kurang ekstrim (tipe penengah). Tentara praetorian

(17)

penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Sedangkan tentara praetorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukan minat dalam penciptaan ideologi politik.

3. Tentara Revolusioner Profesional

Tentara revolusioner seperti tentara pretorian yang mempunyai pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan kelompok – kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang illegal yang beroprasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.

Tentara revolusioner bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi adalah angkatan bersenjata misal, suatu bangsa yang dipersenjatai.

(18)

 

       

c. Hubungan Sipil Militer menurut Samuel P. Huntington

Menurut Samuel P. Huntington hubungan sipil-militer ditunjukan

melalui dua cara,16 yaitu :

1) Subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif)

Dilakukan dengan cara memperbesar kekuatan sipil (maximizing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer. Cara ini, dapat menimbulkan hubungan sipil-militer kurang sehat karena merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat ke sipil (civilian the military).

2) Objective civilian control (pengendalian sipil objektif)

Dilakukan dengan cara sebaliknya yaitu dengan cara militarizing the military untuk mencapai pengendalian sipil objektif yaitu dengan cara memperbesar profesionalisme kaum militer, kekuasaannya akan diminimkan namun tidak sama sekali melenyapkan kekuasaan kaum militer, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu untuk melaksanakan hubungan sipil-militer yang sehat.

Menurut Huntington istilah Objective civilian control

mengandung : 1). Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2). Subordinasi yang efektif dalam militer kepada pemimpin

 

16

Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military

(19)

       

politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3). Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesionalisme dan otonomi bagi militer; dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju-mundurnya sebuah negara. Hubungan sipil-militer yang harmonis dan sinergis akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kejayaan negara dan bangsa. Namun, sebaliknya hubungan sipil-militer yang buruk akan membawa bangsa dan negara pada perpecahan dan kehancuran. Hubungan sipil-militer yang baik adalah terjadinya interaksi timbal balik antara pemerintahan sipil dengan kalangan militer dimana pemerintahan sipil membutuhkan militer untuk melindungi wilayah dan rakyat negaranya serta menjamin kepentingan nasionalnya, sedangkan militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan, untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman

yang timbul.17

 

17

Budi Santoso, Ketahanan Nasional Indonesia : Penangkal Disintergrasi Bangsa dan Negara, Jakarta : Penerbit Pusaka Sinar Harapan, 2000, halaman 199-207

(20)

 

       

Pada akhirnya, Reformasi TNI yang dijalankan secara sungguh-sungguh sesuai dengan sistem yang berlaku akan melahirkan tentara profesional yang mempunyai karakteristik; (1) tidak berpolitik dan berniaga, (2) Mempunyai keahlian, kesatuan profesi, kompetensi teknis, serta mengetahui secara persis etika-etika militer dan etika-etika perang, (3) Menghormati Supremasi, hukum, demokrasi dan Hak Asasi Manusia dan (4) ketika tentara digelar untuk digunakan, berhasil memenangkan peperangan.

d. Teori tentang Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia dapat dibagi atau dibedakan sebagai berikut:18

1. Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights” yang meliputi

kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya.

2. Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk

memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya.

3. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam

hukum dan pemerintahan atau “rights of legal equality”.

4. Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk

ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih

 

18

C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2000, hal 203.

(21)

       

dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik dan sebagainya.

5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture

rights”, misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

6. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan dan tata-cara

peradilan dan perlindungan atau “procedural rights”, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.

Menurut UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 7 (tujuh) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida19 adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. Membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok;

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

 

19

(22)

 

       

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran

didalam kelompok; atau

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke

kelompok lain.

Sedangkan Kejahatan terhadap kemanusiaan20 adalah salah satu

perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan

yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,

 

20

(23)

       

budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum Internasional;

i. Penghilangan orang secara Paksa; atau

j. Kejahatan apartheid.

e. Landasan Normatif tentang Tugas dan Peran TNI

Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul pada masa reformasi 1998. Penggunaan kata TNI terkait dengan upaya reformasi internal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Munculnya istilah ini sebagai respon kalangan TNI terhadap desakan publik atas peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang di lakukan sebelum 1998. Tuntutan reformasi tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru.

Secara umum, tuntutan gerakan masyarakat bukan hanya kepada TNI melainkan dapat dikalkulasikan sebagai tuntutan atas adanya reformasi di sektor keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan (termasuk TNI) menjadi institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi pemerintahan sipil,

akuntabel serta menghormati HAM. 21

Sektor keamanan yang dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau

 

21

(24)

 

ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara. Dalam definisi ini termasuk TNI dan Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi sipil yang bertanggung-jawab dalam pengelolaan dan pengawasannya, seperti Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu reformasi kolektif intra-institusional yang meliputi; Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Dinas Imigrasi, Departemen Pertahanan, Kejaksaan, Parlemen, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Polri.

Reformasi TNI menjadi penting karena TNI merupakan institusi yang tidak terpisah dari sejarah kelam politik pemerintahan Orde Baru yang mendapat tekanan untuk mereformasi dirinya. Karenanya, salah satu agenda Reformasi TNI adalah menjauhkan institusi ini dari berbagai praktek-praktek yang menyimpang di masa lalu dan mendorong pertanggungjawaban politik dan hukum yang akuntabel terhadap berbagai kejahatan dan pelanggaran serta memastikan terbentuknya militer profesional sebagaimana dimaksud dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, yang berbunyi “Tentara Profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,

(25)

       

ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi”22

Secara normatif, gerakan reformasi mendorong TNI melakukan perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya. Pemerintah pun mewujudkan upaya-upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama masa Orde Baru yang di tuntut rakyat Indonesia melalui beberapa kebijakan dan peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No.VI/2000), Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Amandemen Kedua Undang Undang Dasar 1945 pada Bab XII Tentang Pertahanan dan Keamanan negara Pasal 30 ayat 2 (dua) dan ayat 3 (tiga) menyatakan bahwa :

“…(2) usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”

 

22

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, poin d, pasal2, Bab II.

(26)

 

Konstitusi menyatakan bahwa fungsi dan tugas pokok TNI di bidang pertahanan sebagai alat negara dengan tugas pertahanan, perlindungan dan pemeliharaan keutuhan dan kedaulatan negara. Sebagai alat negara, TNI mutlak tunduk pada negara (melalui perintah dan pengelolaan oleh otoritas politik sipil), mendapatkan fasilitas negara dan mendapatkan previledge untuk menggunakan kekuatan koersifnya atas perintah negara terkait upaya-upaya pertahanan. Sejauh ini tidak ada institusi atau alat negara lainnya yang memiliki otoritas penggunaan kekuatan koersif atas perintah otoritas politik sipil selain militer.

Lebih lanjut UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara pasal 10 ayat 1 (satu) dan 3 (tiga) menegaskan tugas konstitusional tersebut dengan menyatakan,

“… (1) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;… (3) Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk : a. Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; b. Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; c. Menjalankan Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut serta aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.”

Selanjutnya, fungsi dan tugas pokok TNI dijabarkan dalam UU no 34 Tahun 2004 tentang TNI bab IV tentang Perang, Fungsi dan Tugas pasal 5 sampai dengan Pasal 10.

(27)

Pasal 5 menegaskan kembali peran TNI sebagai “alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Pasal 6 menjabarkan fungsi pertahanan TNI yang meliputi “fungsi penangkalan terhadap ancaman luar dan dalam terhadap keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa; fungsi penindakan; dan fungsi pemulihan.”

Pasal 7 menjelaskan secara mendetail tugas pokok TNI yang meliputi “operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yang diantaranya adalah: 1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata; 2. Mengatasi pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan wilayah perbatasan; 5. Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden berserta keluarganya; 8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9. Membantu tugas pemerintah di daerah; 10. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14. Membantu pemerintah dalam mengamankan

(28)

 

       

pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan

penyeludupan”.23

Pasal 8, 9 dan 10 menjabarkan tugas masing-masing Angkatan (Darat,Laut dan Udara) berupa pelaksanaan tugas-tugas pokok di atas di masing-masing matra, menjaga keamanan perbatasan di wilayah darat, laut dan udara, melaksanakan tugas pembangunan dan pengembangan di masing-masing matra serta melakukan pemberdayaan di setiap wilayah

darat, laut dan udara. 24

G. Metodologi Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian. Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan sejarah. Metode deskriptif ini menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan Reformasi TNI, hubungan sipil-militer dan Hak Asasi Manusia.

 

23

Kelemahan dari pasal ini adalah masih dimasukannya problem keamanan internal sebagai bagian dari ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang kemudian memberikan justifikasi bagi pelibatan TNI dalam penyelesaian problem-problem tersebut. Pasal ini memunculkan wilayah abu-abu peran TNI dan Polri seperti mengatasi sparatisme dan pemberontakan bersenjata, memerangi aksi terorisme, mengamanaan obyek vital dan membantu tugas pemerintah daerah. Tak heran kemudian muncul anggapan bahwa secara terselubung legitimasi peran sosial,politik dan ekonomi militer seperti di masa lalu.

24

Mufti Makaarim A., Mempertimbangkan Hak Pilih TNI, Konsistensi reformasi TNI dan

(29)

Usaha mendeskripsikan tentang keterkaitan antara Reformasi TNI terhadap tindak pelanggaran HAM oleh TNI, pada tahap permulaan tertuju pada usaha mempaparkan berbagai tindakan TNI/ABRI yang dilakukan di masa lampau, kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran oknum-oknumnya, mengemukakan perbedaan antara sipil dan militer, mengartikan Reformasi TNI yang merupakan bagian dari Reformasi Sektor Keamanan. Pada umumnya penelitian deskriptif ini merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesa.

b. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta hal-hal lain yang menunjang dan juga melakukan beberapa riset dan berdiskusi dengan berbagai pihak, kemudian apabila perlu juga dilakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait dalam rangka menyempurnakan penelitian ini.

c. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut :

(30)

 

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA

Menguraikan tentang penjelasan secara menyeluruh tentang bentuk-bentuk dari Reformasi TNI dan tindakan-tindakan yang mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

BAB III: PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA UTARA

Menguraikan tentang penjelasan tentang tindak pelanggaran HAM oleh aparat TNI di Sumatera Utara, mengkorelasikan antara reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM oleh Aparat TNI. Menjelaskan apa yang menjadi penyebab pelanggaran HAM di Sumatera Utara dan Solusinya.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna terkait dengan hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada kurikulum terpadu dan sistematis di dunia pendidikan Indonesia yang mendukung kecenderungan dan perkembangan dunia usaha yang mengarah pada kinerja ekonomi Islam..

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul " Strategi Pemasaran Produk Produk BMT Dalam Menarik Minat Calon Nasabah (Studi Komparasi Pada BMT

Pengejawantahan ciri pribadi kritis (gabungan Iseng, Khas, Peka) disebut sebagai ciri kreasi kelayak anetis-estetis suatu karya.Suatu hasil kreasi yang memiliki

Alamat Kuasa : IPANEMA CONSULTANT JALAN GRIYA PRATAMA III BLOK IV NO.. 14 KELAPA GADING, JAKARTA UTARA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Responden dengan jenjang pendidikan S-1 keperawatan mengalami kejenuhan kerja (burnout) ringan dan begitu juga dengan yang berpendidikan S.Kep.Ns mengalami burnout

Seiring dengan perkembangan kendaraan yang semakin meningkat dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan arus lalu lintas,

yang dihasilkan simulasi program tersebut diatas dapat diartikan grafik fungsi kecepatan planet Venus dalam