• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evidence-based Case Report Terapi Hepatitis C Kronis pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir yang Menjalani Dialisis: Berbagai Bukti Ilmiah Terkini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evidence-based Case Report Terapi Hepatitis C Kronis pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir yang Menjalani Dialisis: Berbagai Bukti Ilmiah Terkini"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Evidence-based Case Report

Terapi Hepatitis C Kronis pada Pasien

Penyakit Ginjal Tahap Akhir yang Menjalani

Dialisis: Berbagai Bukti Ilmiah Terkini

Penulis:

dr. Laurentius Aswin Pramono NPM: 1006824384

Divisi Hepatologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Jakarta, November-Desember 2012

(2)

2 Pendahuluan

Pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis merupakan populasi yang berisiko tinggi tertular penyakit yang ditransmisikan melalui darah (blood borne

diseases) seperti hepatitis C, hepatitis B, dan HIV/AIDS.1Hingga saat ini, prevalensi hepatitis C kronis pada pasien yang menjalani hemodialisis bervariasi dari 3 sampai 23% di negara maju hingga lebih dari 50% di negara berkembang.2Sebuah telaah sistematis dan meta-analisis terbaru yang dilakukan oleh Su dkk.3 menyebutkan laju insidens hepatitis C pada pasien hemodialisis sebesar 1,47 per 100 pasien dalam setahun. Berdasarkan analisis subgrup, negara berkembang memiliki insidens lebih tinggi yaitu 4,44 per 100 pasien setahun, dibandingkan negara maju yang memiliki insidens 0,99 per 100 pasien setahun.3

Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, memiliki prevalensi hepatitis C yang cukup tinggi pada populasi hemodialisis. Beberapa studi menyebutkan insidens dan prevalensi hepatitis C pada populasi hemodialisis di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Saketi JR dkk.4 dan Chanpong dkk.5 Studi Chanpong dkk. mengemukakan prevalensi hepatitis C pada pasien hemodialisis di Indonesia sebesar 63,4%.5Data lain yang dilaporkan Soetjipto dkk.6 malah menyebutkan bahwa prevalensi hepatitis C pada pasien hemodialisis di Indonesia sebesar 76,3%.

Pasien hemodialisis yang mengidap hepatitis C kronis memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengidap hepatitis C kronis.7Risiko relatif (RR) kematian pada pasien hemodialisis y ang terinfeksi hepatitis C kronis dibandingkan non-infeksi adalah 1,25-1,57.2,7Laporan Fabrizi dkk.7 menyebutkan karsinoma hepatoseluler dan sirosis hepatis sebagai dua penyebab kematian pada pasien dialisis yang mengidap hepatitis C. Berbagai laporantersebut menyimpulkan adanya kebutuhan melakukan terapi antiviral pada pasien hemodialisis y ang mengidap hepatitis C.

Selama ini, interferon alfa (IFN-α2a) dan pegylated-interferon merupakan terapi yang dipakai untuk pengobatan hepatitis C kronis pada pasien-pasien dialisis (baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal). Tidak sama halnya dengan pasien hepatitis C non-dialisis yang mendapat kombinasi interferon dan ribavirin, pasien PGTA yang menjalani dialisis memiliki toleransi yang rendah terhadap ribavirin. Hal itu disebabkan salah satu efek samping ribavirin yaitu anemia hemolitik sangat berbahaya pada pasien-pasien PGTA yang memiliki kecenderungan anemia renal akibat defisiensi eritrop oetin dan hemodialisis.8

M eskipun kasus hepatitis C pada pasien dialisis cukup banyak, efikasi monoterapi interferon pada pencapaian SVR (sustained virological response) belum banyak dieksp os dalam berbagai publikasi ilmiah.9 Pusat riset dan peneliti yang melakukan berbagai studi

(3)

3

terkait topik ini pun masih sangat terbatas, salah satunya adalah Fabrizi dkk. dari Cedars-Sinai M edical Center, Los An geles.Padahal, data ini amat penting sebagai bahan rujukan dokter maupun ahli penyakit dalam untuk melakukan monoterapi interferon pada pasien dialisis y ang mengidap hepatitis C kronis.

Pertanyaan klinis yang terpenting berkaitan dengan topik ini adalah seberapa besar efikasi yang diberikan monoterapi interferon pada pasien-pasien hepatitis C yang menjalani dialisis. Ap akah monoterapi interferon dapat disarankan pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis. Lebih lanjut, faktor-faktor apa sajakah yang berperan terhadap pencapaian SVR pada pasien-pasien hepatitis C - dialisis yang mendapatkan terapi interferon. Pada sebagian kecil kasus (seperti yang akan ditemukan pada laporan kasus berikut ini), kita dapat menjumpai pasien dialisis yang mempertanyakan model dialisis terbaik bagi dirinya yang mengidap hepatitis C; manakah yang memberikan kesintasan lebih baik pada pasien hepatitis C; apakah hemodialisis atau peritoneal dialisis.

Berbagai permasalahan klinis pada seorang pasien dialisis yang mengidap hepatitis C dapat kita jumpai pada laporan kasus di bawah ini. Dengan model pelaporan kasus berbasis bukti, akan dicari bukti-bukti ilmiah terbaru untuk menjawab permasalahan klinis yang dihadapi. Pada laporan ini, akan dibahas tiga permasalahan (pertanyaan klinis) yang ditemukan pada pasien ini.

Resume kasus

Seorang pasien perempuan, Nn. TR, 25 tahun, datang ke poliklinik hepatologi dengan rujukan dari poliklinik nefrologi dan hemodialisis untuk pertimbangan terapi antiviral pada hepatitis C kronis dengan peningkatan enzim transaminase. Pasien sudah menjalani hemodialisis selama 6 tahun (dari tahun 2005 hingga 2011) dan dialisis peritoneal sejak 1 tahun terakhir (sejak Oktober 2011 hingga kini). Penyebab PGTA p ada pasien adalah infeksi kedua ginjal sejak usia remaja yang menyebabkan sumbatan pada kedua pangkal ureter.

Pasien datang tanpa keluhan, hemodinamik stabil, dan terpasang alat dialisis peritoneal pada abdomennya. Hasil laboratorium terbaru hemoglobin 9,6; leukosit 3.930; trombosit 189.000. Ureum dan creatinin terbaru 85/9,5, dengan SGOT/SGPT 283 dan 208. Anti-HCV positif dan laboratorium lain dalam batas normal. Dari USG abdomen didapatkan gambaran hepatitis kronis dengan asites dan contracted kidney bilateral. Pasien didiagnosis dengan PGTA yang menjalani dialisis peritoneal selama 1 tahun 2 bulan, serta hepatitis C kronis dengan peningkatan enzim transaminase.

(4)

4

Pasien mempertanyakan dua masalah klinis: (1) apakah monoterapi interferon dapat disarankan pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisisserta (2) manakah model dialisis yang lebih baik sesuai kondisi dirinya (mengidap hepatitis C kronis); apakah hemodialisis seperti yang pernah ia jalani sebelumnya (selama 6 tahun) atau dialisis peritoneal (yang baru dijalaninya selama 1 tahun 2 bulan ini). M elalui pendekatan EBCR, kita akan menjawab kedua pertanyaan ini dan memberikannya pada pasien.

Formulasi pertanyaan klinis

Pada EBCR ini akan dilakukan terobosan dengan mengemukakan tiga pertanyaan klinis yang berkaitan dengan pasien ini. M asing-masing pertanyaan akan dijawab dengan pendekatan berbasis bukti (evidence-based) menggunakan pencarian dan telaah kritis (critical appraisal) sesuai masing-masing pertanyaan dan jenis artikel.

1. Ap akah monoterapi interferon dapat disarankan pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis?

2. Faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan keberhasilan (SVR atau sustained

virological response) terapi interferon pada pasien-pasien dialisis?

3. M anakah model dialisis yang memberikan kesintasan lebih baik pada pasien-pasien hepatitis C; apakah hemodialisis atau dialisis peritoneal?

Pencarian bukti ilmiah

Dalam rangka menjawab ketiga pertanyaan klinis di atas, maka dilakukan pencarian di situs PubM ed, M EDLINE, dan Cochrane terhadap masing-masing pertanyaan.

(5)

5

Pertanyaan klinis 1: apakah monoterapi interferon dapat disarankan pada pasien

hepatitis C yang menjalani dialisis.

Dalam rangka pencarian bukti ilmiah terbaik mengenai efikasi monoterapi interferon pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis, maka dilakukan pencarian di situs PubM ed, M EDLINE, dan Cochrane dengan kata kunci “hepatitis C AND dialysis AND interferon” dengan kategori telaah sistematis (systematic review) atau meta-analisis, sehingga diperoleh 21 artikel. Pada pencarian ini, dilakukan seleksi artikel yang tersedia naskah lengkap dan didapatkan 5 artikel dengan naskah lengkap. Dari kelima artikel, hanya 1 artikel yang fokus menjawab pertanyaan penelitian sehingga 1 artikel tersebut yang masuk dalam telaah kritis (critical appraisal). Artikel tersebut berjudul “M eta-analysis: interferon for the treatment of chronic hepatitis C in dialysis patients” ditulis oleh Fabrizi dkk.9 (Aliment Pharmacol Ther 2003;18:1071-1081).

21 telaah sistematis dan/atau

meta-analisis (PubMed,

MEDLINE, Cochrane)

5 artikel tersedia naskah lengkap

1 artikel meta-analisis

menjawab pertanyaan klinis

1 artikel masuk dalam telaah

kritis meta-analisis

16 artikel tidak tersedia naskah lengkap 4 artikel tidak fokus menjawab pertanyaan klinis

(6)

6

Pertanyaan klinis 2: faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan keberhasilan (SVR

atau sustained virological response) monoterapi interferon pada pasien-pasien dialisis.

Untuk menjawab pertanyaan kedua, dilakukan pencarian menggunakan modus pencarian yang sama dengan pertanyaan pertama, yaitu menggunakan kata kunci “hepatitis C AND

dialysis AND interferon”, dengan kategori yang sama dengan pencarian pertama. Dari 5 artikel dengan naskah lengkap, didapatkan 2 artikel yang berhubungan dengan pertanyaan faktor-faktor apa saja yang terkait dengan keberhasilan monoterapi interferon pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis. Kedua artikel tersebut masuk dalam telaah kritis (critical

appraisal). Kedua artikel tersebut adalah: (1) “M eta-analysis of factors associated with

sustained viral response in patients on hemodialysis treated with standard or pegylated interferon for hepatitis c infection” ditulis oleh Alavian dkk.10 (Iran J Kidney Dis 2010;4(3):181-94) dan (2) “Interferon for hepatitis hepatitis C virus in hemodialysis – an individual patient meta-analysis of factors associated with sustained virological response” ditulis oleh Gordon CE dkk.2 (Clin J Am Soc Nephrol 2009;4(9):1449-58).

21 telaah sistematis dan/atau

meta-analisis (PubMed,

MEDLINE, Cochrane)

5 artikel tersedia naskah lengkap

2 artikel meta-analisis

menjawab pertanyaan klinis

2 artikel masuk dalam telaah

kritis meta-analisis

16 artikel tidak tersedia naskah lengkap 3 artikel tidak fokus menjawab pertanyaan klinis

(7)

7

Pertanyaan klinis 3: manakah model dialisis yang memberikan kesintasan lebih baik

pada pasien-pasien hepatitis C; apakah hemodialisis atau dialisis peritoneal.

Untuk pertanyaan ketiga, kami menggunakan kata kunci yang berbeda dari pertanyaan pertama dan kedua, yaitu “hepatitis C AND hemodialysis AND peritoneal dialysis” dengan kategori bebas (tidak dibatasi jenis studi tertentu) sehingga diperoleh 3 artikel. Selanjutny a, dilakukan seleksi lagi untuk mengeksklusi artikel yang tidak tersedia naskah lengkap dan artikel yang tidak menjawab pertanyaan klinis sehingga diperoleh 1 artikel yang masuk telaah kritis (critical appraisal), yaitu “Comparing survival between peritoneal dialysis and hemodialysis treatment in ESRD patients with chronic hepatitis C infection” ditulis oleh Chou C dkk.11 (Perit Dial Int 2010;30:86-90).

3 studi (PubMed, MEDLINE, Cochrane)

2 artikel tersedia naskah lengkap

1 artikel menjawab pertanyaan klinis

1 artikel masuk dalam telaah kritis prognostik

1 artikel tidak tersedia naskah lengkap 1 artikel tidak fokus menjawab pertanyaan klinis

(8)

8 Telaah kritis (critical appraisal)

Dalam melakukan telaah kritis untuk tiga artikel pertama, digunakan metode telaah untuk jenis studi meta-analisis, yaitu PRIS MA (Preferred reporting items for systematic reviews and meta-analyses). PRISMA memperhatikan berbagai aspek yang harus terdapat di dalam sebuah studi telaah sistematis (systematic review) dan meta-analisis. M etode ini merupakan revisi terbaru dari telaah kritis QUORUM (Quality of reporting of meta-analyses) yang diperkenalkan oleh British M edical Journal (BM J) pada tahun 2009.12

Beberapa poin pokok yang terdapat di dalam telaah PRISMA adalah: Judul, Abstrak, M etode, Hasil, Diskusi, dan Pendanaan. Telaah PRI SM A ditampilkan dalam kertas kerja (worksheet) menggunakan sistem cek list (√) yang diberikan bila di dalam artikel meta-analisis tersebut terdapat poin yang diminta. Semakin lengkap daftar cek list, terutama pada kolom M etode dan Hasil, maka semakin baik meta-analisis tersebut.

Untuk artikel keempat, kami menggunakan telaah uji prognostik dari JAMA.13 Dalam telaah yang sederhana ini, sebuah studi prognostik diharapkan memiliki beberapa poin, yaitu pertanyaan klinis yang jelas, validitas, hasil yang jelas, serta hasil yang dikemukakan dapat membantu pasien kita. Berikut adalah telaah kritis menurut PRISM A dan JAMA pada artikel-artikel yang kami dapatkan.

(9)

9

“Meta-analysis: interferon for the treatment of chronic hepa titis C in dialysis patients” ditulis oleh Fabrizi dkk. (Aliment Pharmacol Ther 2003;18:1071-1081). – telaah PRISMA

(10)

10

“Meta-analysis of factors associated with sustained viral response in patients on hemodialysis treated with standard or pegylated interferon for hepatitis c infection”, Alavian. (Iran J Kidney Dis 2010;4(3):181-94).

(11)

11

“Interferon for h epatitis hepatitis C viru s in hemodialysis – an individual patient meta-analysis of factors associated with sustained virological response”, Gordon dkk. (Clin J Am Soc Nephrol 2009;4(9):1449-58).

(12)

12

“Comparing survival between peritoneal dialysis and hemodialysis treatment in ESRD patients with chronic hepatitis C infection” ditulis oleh Chou C dkk. (Per it Dial Int 2010;30:86-90) – telaah JAMA

(13)

13

Berdasarkan telaah PRISMA y ang dilakukan terhadap ketiga artikel meta-analisis dan telaah JAMA pada satu artikel prognosis, dapat disimpulkan bahwa keempat artikel ini memiliki validitas yang baik dan dapat menjadi bahan rujukan bagi ketiga pertanyaan klinis dalam EBCR ini. Selanjutny a, jawaban dan diskusi atas pertanyaan klinis yang diajukan dalam kasus mengacu pada temuan hasil dan simpulan keempat artikel tersebut.

Diskusi: dari bukti ilmiah ke aplikasi di pasien

Studi yang dilakukan Fabrizi dkk.9 pada artikel pertama hanyalah satu dari beberapa publikasi Fabrizi mengenai terapi hepatitis C pada pasien dialisis. Beberapa studi lain yang dipublikasikannya – yang tidak dapat diakses atau tidak tersedia naskah lengkapnya – memiliki hasil yang kurang lebih sama dengan temuannya pada artikel ini. Pada studi tersebut, Fabrizi menggunakan keluaran primer (primary outcome) SVR (sustained

virological response) yang memiliki definisi tidak terdeteksinya HCV-RNA dengan teknik

PCR minimal 6 bulan setelah terapi antiviral selesai. Sebagai keluaran sekunder (secondary

outcome), digunakan laju drop out sebagai penilaian terhadap tolerabilitas, EVR (end-of treatment biochemical response), EBR (end-of-treatment biological response), dan SBR

(14)

14

di akhir terapi antiviral. EBR dan SBR adalah normalisasi kadar SGPT di akhir terapi dan setelah 6 bulan selesai terapi antiviral.

M eta-analisis yang dilakukan Fabrizi dkk.9 mengambil 14 uji klinis, 2 diantaranya merupakan studi terkontrol, dengan jumlah sampel total sebanyak 269 subjek. Kriteria inklusi pada meta-analisis ini adalah studi yang dipublikasikan pada jurnal dengan sistem mitra bestari (peer-reviewed), memakai monoterapi interferon sebagai perlakuan utama, serta menggunakan SVR sebagai keluaran primer. Pasien-pasien yang mengikuti studi dapat menjalani hemodialisis maupun peritoneal dialisis (tidak dibedakan dalam meta-analisis ini).

Fabrizi dkk.9 memperoleh rerata SVR pada studinya sebesar 37% (95% CI 28-48%) dengan laju drop out sebesar 17% (95% CI 10-28%). Secara sederhana, dapat disebutkan bahwa terdapat sepertiga (satu dari tiga) pasien hepatitis C yang menjalani dialisis yang mampu mencapai SVR dengan monoterapi interferon. Sementara itu, dari keseluruhan pasien dialisis yang mendapat monoterapi interferon, hanya 17% pasien yang drop out diakibatkan tidak dapat mentoleransi pengobatan dengan interferon. Adapun efek samping yang sering dilaporkan adalah gejala mirip flu (flu-like symptoms) 17%, gejala neurologis 21%, dan gastrointestinal 18%. SVR pada genotipe 1 lebih rendah dari rerata SVR yaitu 30,6% (95% CI 20,9-48%).

Studi Fabrizi dkk.9 ini menyimpulkan bahwa tolerabilitas pasien hepatitis C yang menjalani dialisis terhadap monoterapi interferon lebih rendah daripada populasi hepatitis C yang tidak menjalani dialisis. Namun demikian, patut diperhitungkan bahwa terdapat kurang lebih sepertiga (37%) pasien hepatitis C yang menjalani dialisis yang mampu mencapai SVR dengan monoterapi interferon. Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan meta-analisis terbaru Fabrizi dkk. yang dipublikasikan pada tahun 2012 (tidak dapat diakses naskah lengkapnya). Berdasarkan studi ini, Fabrizi dkk.14 mendapatkan bahwa pencapaian SVR pada kelompok yang mendapat antiviral berbasis interferon adalah 58% (95% CI 38-77%) dengan laju drop out sebesar 9% (95% CI 4-14%). Efek samping yang sering ditemukan adalah gejala mirip flu dan gangguan hematologi. Secara tegas, Fabrizi dkk menyarankan perlunya terapi interferon pada pasien-pasien yang menjalani dialisis.

Dalam telaahnya, Bereunger15 menyebutkan bahwa terapi interferon memberi harapan SVR yang cukup baik dari berbagai riset yang telah dipublikasikan selama ini. Sebagai kesimpulan, Bereunger mengemukakan bahwa SVR tercapai pada 37% pasien hepatitis C yang menjalani dialisis dengan monoterapi interferon alfa (IFN-α2a), sementara dengan monoterapi pegylated interferon, SVR tercapai pada 13-75% pasien. Sepakat dengan pernyataan Fabrizi dan Bereunger, Liu dan Kao16 dalam telaahnya juga menyebutkan bahwa

(15)

15

“ESRD patients with HCV infection should be encouraged to receive antiviral therapy, and those who achieve an SVR usually have long-term, durable, virological, biochemical, and histological responses”. Berbagai data dan telaah tersebut kuat untuk merekomendasikan pemberian monoterapi interferon pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis.

Japanese Society for Dialysis 2011 telah merekomendasikan terapi interferon pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis, serta tidak menyarankan pemberian ribavirin pada populasi tersebut. Guidelines ini menyebutkan bahwa respons terapi interferon sama baiknya pada pasien dialisis maupun pasien dengan fungsi ginjal normal, hanya saja efek sampingnya lebih berat/prominen pada kelompok dialisis sehingga observasi ketat diperlukan. Dibandingkan dengan monoterapi interferon alfa standar (IFN-α2a), pemberian monoterapi pegylated interferon memberikan efektivitas lebih baik dan risiko efek samping yang lebih rendah sehingga lebih dianjurkan.17

Dalam menjawab pertanyaan faktor-faktor yang berperan terhadap keberhasilan terapi (pencapaian SVR), kedua meta-analisis mengemukakan kesimpulan yang berbeda. Dalam meta-analisis pertama dari Alavian dkk.10jenis kelamin perempuan, jumlah HCV-RNA, genotipe, SGPT, durasi infeksi, derajat fibrosis hati, dan durasi pengobatan tidak berperan terhadap SVR. Hanya usia di bawah 40 tahun yang signifikan berhubungan dengan SVR pada pasien hepatitis C – dialisis y ang mendapatkan terapi interferon. Kesimpulan ini bertentangan dengan hasil studi Gordon dkk.2 yang justru menyebutkan bahwa terapi interferon dengan dosis sebesar 3 juta unit (tiga kali seminggu), durasi terapi minimal selama 6 bulan, terapi komplit (selesai), jumlah HC V-RNA yang rendah, jenis kelamin perempuan, dan respons awal virologis (early virological negativity) berhubungan dengan keberhasilan terapi (pencapaian SVR), baik pada analisis univariat maupun multivariat.

Dari pro-kontra antara kedua meta-analisis, kita dapat merekomendasikan pemberian dosis minimal terapi interferon 3 juta unit (3 kali seminggu) dan durasi terapi minimal 6 bulan pada pasien kita. Kenyataan bahwa pasien pada kasus ini adalah perempuan usia muda (25 tahun) memberikan harapan keberhasilan terapi yang lebih tinggi. Berdasarkan studi meta-analisis kedua, pemeriksaan HC V-RNA di awal terapi dan 12 minggu terapi (untuk mengetahui early virological response) dapat kita rekomendasikan.

Pertanyaan terakhir pasien dijawab oleh studi Chou dkk.11 Studi ini menyimpulkan bahwa kesintasan tidak berbeda antara pasien PGTA pengidap hepatitis C kronis yang menjalani hemodialisis maupun dialisis peritoneal (CAPD). Studi ini menyebutkan bahwa pada pasien PGTA yang mengidap hepatitis C kronis, koinfeksi dengan virus hepatitis B

(16)

16

merupakan faktor prognostik yang sangat penting. Kepada pasien ini, kami dapat memberikan data bahwa baik hemodialisis maupun CAPD memiliki kesintasan yang sama.

Kesimpulan

Kesimpulan dari EBCR ini merupakan data dan saran yang diberikan kepada pasien kita. Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari EBCR ini adalah

1. M onoterapi interferon disarankan pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis. Kesimpulan ini diperoleh dari data rerata SVR pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis yang mendapat monoterapi interferon sebesar37% (95% CI 28-48%) dengan laju drop out sebesar 17% (95% CI 10-28%) berdasarkan studi meta-analisis Fabrizi dkk.9

2. Faktor-faktor yang berperan terhadap keberhasilan (SVR) pada pasien hepatitis C yang menjalani dialisis y ang mendapat terapi interferon belum terjawab melalui kedua studi meta-analisis2,10 yang menjadi rujukan kasus ini. Namun demikian, kita dapat menyarankan pemberian dosis minimal terapi interferon 3 juta unit (3 kali seminggu) dan durasi terapi minimal 6 bulan, serta pemeriksaan HC V-RNA pada awal dan 12 minggu terapi.

3. Baik hemodialisis maupun peritoneal dialisis memberikan kesintasan yang sama pada pasien PGTA yang mengidap hepatitis C. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Chou dkk.11

Daftar pustaka

1. Natov SN, Pereira BJ. Hepatitis C in dialysis patients. Adv Ren Replace T her. 1996;3(4):275-83 .

2. Gordon CE, Uhlig K, Lau J, Schmid CH, Levey AS, Wong JB. Interferon for hepatitis hepatitis C virus in hemodialysis – an individual patient meta-analysis of factors associated with sustained virological response. Clin J Am Soc Nephrol 2009;4(9):1449-58.

3. Su Y, Norris JL, Zang C, Peng Z, Wang N. Incidence of hepatitis C virus infection in patients on hemodialysis: a systematic review and met a-analysis. Hemodial Int. 2012; Epud ahead of print.

4. Saket i JR, Boland GJ, Loon AM, Hattum J, Abdurachman SA, Sukandar E. Prevalence of hepatitis C virus infection among haemodialysis patients in West Java, Indonesia. Adv Exp Med Biol 2003;531:201-9.

(17)

17

5. Chanpong GF, Laras K, Sulaiman HA, Soeprapto W, Purnamawat iS, Sukri N, et al. Hepatitis C among child t ransfusion and adultrenal dialysis patients in Indonesia.Am J Trop Med Hyg. 20 12;66:317-320.

6. Soetjipto, Handajani R, Lusida ML, Darmadi S, Adi P, Soemarto, et al. Differential prevalence of hepatitis C virus subtypes in healthy blood donors, patients on maintenance hemodialysis, and patients with hepatocellular carcinoma in Surabaya, Indonesia. JClinMicrobiol. 1996;34:2875-80.

7. Fabrizi F, Martin P , Dixit V, Bunnapradist S, Dulai G. Met a-analysis: effect of hepatitis C virus infection on mortality in dialysis. Aliment Pharmacol T her. 2004 ;20 :1271-7.

8. Esforzado N, Campistol JM. T reatment of hepatitis C in dialysis patients. Contrib Nephrol. 20 12;176 :54-65.

9. Fabrizi F, Dulai G, Dixit V, Bunn apradist S, Martin P. Meta-analysis: interferon for the treatment of chronic hepatitis C in dialysis pat ients. Aliment Pharmacol Ther. 2003;18:1071-81 .

10 . Alavian SM, T abatabaei SV. Met a-analysis of factors associated with sustained viral response in patients on hemodialysis treated with standard or pegylated interferon for hepatitis C infection. IJKD. 2010;4:181-94.

11 . Chou CY, Wang IK, Liu JH, Lin HH, Wang SM, Huang CC. Comparing survival between peritoneal dialysis and hemodialysis treatment in ESRD pat ients with chronic hepatitis C infection. Perit Dial Int. 2010;30 :86-90.

12 . Moher D, Liberati A, T etzlaff J, Altman DG. Preferred report ing it ems for systematic reviews and meta-analyses: the PRISMAstatement. BMJ. 2009;339:332-6.

13 . Laupacis A, Wells G, Richardson WS, T ugwell P. Users’ guides to the medicalliterat ure. V. How t o use an article on prognosis. JAMA.1994 ; 272: 234-237.

14 . Fabrizi F, Dixit V, Messa P, Martin P. Interferon therapy of acute hepatitis C in dialysis patients: meta-analysis. J Viral Hepat. 2012;19(11):784-91.

15 . Berenguer M. Treatment of chronic hepatitis C in hemodialysis patients. Hepatology. 20 08;48:1690-9.

16 . Liu CH, Kao JH. T reatment of hepatitis C virus infect ion in patients with end-st age renal disease. JGH. 20 11 ;26:228-39.

17 . Akiba T , Hora K, Imawari M, Sato C, T anaka E, Izumi N, et al. 2011 Japanese Society for Dialysis T herapy: Guidelines for the treatment of hepatitis C virus infection in dialysis patients. Therapeutic Aph eresis and Dialysis. 2012 ; 16(4):289–310.

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan protokol yang digunakan untuk membuat koneksi Packet-Switched dengan performa yang tinggi dan dapat digunakan di atas berbagai macam interface jaringan.. Untuk

[r]

material rarnah lingkungan; (d) Dengan menerapkan konsep green building perusalzaan akan nten.fadi bagian dari industri yang bermanfaat bagi

Pola hias yang sudah dirancang untuk busana atau untuk keperluan lenan rumah tangga dipindahkan terlebih dahulu pada bahan yang akan dihias. Cara memindahkan desain hiasan

Dimana Jaran-jaranan (kuda) ini hanya dilaksanakan apabila ada upacara besar di Pura Khayangan Tiga di Desa Pakraman Tanggahan Peken pada saat upacara memasar

C merupakan bahasa universal dalam bidang pegembangan software dan banyak digunakan pada mesin-mesin dan komputer, banyak sekali software sistem yang dibuat dengan C karena

Untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya heteroskedastisitas di dalam model regresi, dapat dideteksi dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen (ZPRED)

1) Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengetahui kondisi dunia kerja yang sesungguhnya. 2) Mengimplementasikan ilmu sesuai konsentrasi selama masa perkuliahan ke dunia