• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah I. Richard Gatot Nugroho Triantoro Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Pascasarjana IPB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah I. Richard Gatot Nugroho Triantoro Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Pascasarjana IPB"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah I

EKOLOGI PENELURAN Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA

(Nesting Ecology of Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) at Vriendschap River Asmat Regency, Papua)

Richard Gatot Nugroho Triantoro

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Pascasarjana IPB

Email : [email protected]

ABSTRACT

Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of southern Papua. Land clearing for human development affect the condition of forest ecosystems and put pressure on C. insculpta, while the scientific information in Indonesia is still lacking. In effort to obtain information of C. insculpta in Indonesia, the study was conducted to determine the nesting ecology of C. insculpta in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried out in 8 – 25 November 2011 during nesting season by transect methods. Results showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the Vriendschap River). Nesting occurred during sunset (night) and in clear weather (no rain). High density of nests were built near vegetation cover compared to area without vegetation. Females prefer the sands with the presence of vegetation cover for nesting habitat.

Key Words : Carettochelys insculpta, Papua, pressure, Vriendschap River, nesting ecology

1. PENDAHULUAN

Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi) merupakan salah satu jenis labi-labi di Indonesia yang hanya didapati hidup di wilayah Selatan Papua, menyebar dari Danau Yamur di Kabupaten Kaimana sampai ke Merauke. Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman yang dapat terjadi seiring perkembangan pembangunan. Kebutuhan ruang untuk pembangunan diberbagai bidang seperti pembukaan lahan untuk perkebunan, pertanian, pemukiman (transmigrasi), pertambangan, pembangunan bendungan,

(2)

dan sarana transportasi yang berkembang pesat di Papua ikut mempengaruhi kondisi ekosistem hutannya dengan cepat pula. Tekanan pada C. insculpta telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Papua Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga 2010), sedangkan kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Australia Utara potensi memberikan dampak serius bagi populasi Labi-labi moncong babi (Georges et al. 2008a). Tanpa disadari proses degradasi habitat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menyebabkan kehilangan atau kepunahan spesies. Dampak degradasi hutan terhadap hilangnya spesies diungkapkan oleh Arief (2001) yang mengatakan bahwa sepetak hutan kecil yang dirusak dapat mengakibatkan banyak spesies yang hilang sama sekali atau punah secara lokal. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009).

Di alam, Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang membuat sarang di pasir, meletakkan telurnya pada sarang yang dibangun dan menyerahkan proses penetasan sepenuhnya pada alam. Sarang-sarang C. insculpta umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al. 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada berbagai substrat mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, sekumpulan pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al. 2003b), pasir pada tepi sungai atau rawa, substrat pasir halus sampai bercampur kerikil (Triantoro dan Rumawak 2010). Keberhasilan penetasan telur-telurnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan seperti faktor panas, tekstur pasir, kelembaban pasir, luas pasir, tutupan vegetasi pasir, predator, rusaknya sarang dan telur akibat terendam air saat sungai meluap, dan faktor pemangsa seperti babi hutan (Sus sp) dan biawak (Varanus sp).

(3)

Informasi terkait spesies C. insculpta di Indonesia sangatlah kurang walau dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Dengan mengetahui informasi terkait populasi, biologi peneluran, habitat hidup, perilaku bertelur, pemilihan habitat persarangan, dan informasi pendukung lainnya, maka manajemen pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan baik. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam penelitian ini dapat diketahui pola sebaran sarang dan biologi penelurannya.

Pengujian secara ekologi dilakukan untuk mengetahui informasi terkait pola sebaran sarang dan biologi peneluran yang dapat menjadi indikator dalam upaya pengelolaan dan konservasi C. insculpta kedepannya. Pertama, survei dilakukan di sepanjang sungai dan rawa untuk mendapatkan jumlah sarang secara akurat dan jumlah pasir peneluran, baik yang terdapat sarang maupun tidak terdapat sarang. Pengukuran terhadap induk betina, sarang dan telur dilakukan untuk melihat karakteristik morfologi induk, ukuran sarang, ukuran telur dan jumlah telur terkait tingkat kedewasaan induk betina dan mengestimasi calon anakannya. Jumlah sarang digunakan sebagai salah satu cara pendekatan terhadap populasi induk C. insculpta maupun calon regenerasinya (anakan) di alam. Kedua, menguji pola sebaran sarang apakah bersifat acak, homogen atau berkelompok. Kepadatan sarangnya diuji berdasarkan luasan pasir dan perimeter pasir pada pasir peneluran bervegetasi dan tanpa vegetasi. Pola sebaran dan kepadatan sarang dapat memberikan informasi terkait wilayah bersarang potensial.

Ketiga, menguji pemilihan habitat bersarang induk betina C. insculpta terhadap pasir peneluran berdasarkan parameter lingkungan yaitu 1) apakah pemilihan didasarkan atas luasan pasir peneluran, 2) apakah pemilihan didasarkan atas perimeter (perimeter) pasir, 3) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk bentang (fractal dimension) pasir, 4) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk permukaan (shape index) pasir, 5) apakah pemilihan didasarkan atas tekstur pasir (halus, sedang, kasar), dan atau 6) apakah pemilihan didasarkan atas luas tutupan vegetasi pasir peneluran. Pada penelitian ini ingin diketahui parameter fisik lingkungan yang paling mempengaruhi induk betina dalam memilih habitat pasir penelurannya.

(4)
(5)

2. METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar I.1) yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di rawa dan sepanjang sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain, Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar. Penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada dalam rentang waktu puncak musim peneluran.

Gambar I.1 Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap.

2.2. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan adalah metode survey (perjumpaan) dengan sistem transek. Sebagai transek adalah panjang Sungai Vriendschap. Pendataan dilakukan disepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah Bor (rawa) dilakukan selama 4 hari (terdapat jejak dalam 3 hari dan sarang dalam 2 hari), di

(6)

wilayah Bor (sungai) dilakukan selama 2 hari (terdapat jejak dan sarang dalam 1 hari), di wilayah Obokain, Indama dan Sumo dilakukan selama 5 hari (terdapat jejak dalam 5 hari dan sarang dalam 3 hari di Obokain, jejak dan sarang dalam 2 hari di Indama, dan jejak dan sarang dalam 3 hari di Sumo). Data yang dikumpulkan meliputi sarang peneluran, biologi peneluran, dan habitat persarangan. Pendataan dilakukan mulai jam 05.00 – 16.00 WIT. Sarang peneluran terlebih dahulu di data kemudian dilanjutkan dengan pendataan habitat persarangan. Pengukuran biologi peneluran dilaksanakan saat tidak melakukan pendataan sarang peneluran dan habitat persarangan. Pengambilan data meliputi :

1. Data Sarang Peneluran

Jumlah sarang : menghitung jumlah sarang yang ditemui dan mengambil

titik-titik koordinat sarang peneluran menggunakan GPS pada setiap pasir peneluran disepanjang Sungai Vriendschap. Sarang yang telah dihitung kemudian ditandai untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda (double counting).

Jejak induk : menghitung jejak induk yang naik pada pasir peneluran baik

jejak induk membuat sarang maupun tidak membuat sarang. Induk yang naik ke pasir sering membuat jejak berputar-putar mulai saat naik dari tepi sungai sampai kembali ke sungai, sehingga satu jejak induk dihitung sebagai satu individu induk dengan mengikuti jejak yang dibuat pada saat naik ke pasir sampai kembali ke sungai.

Keterangan : a. Jejak induk Labi-labi moncong babi; b. Sarang Labi-labi moncong babi

Gambar I.2. Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi.

Jarak sarang : mengukur jarak sarang peneluran dari tepi sungai. Jarak

sarang yang diukur adalah jarak sarang yang paling terdekat dari tepi sungai atau air. Pengukuran dilakukan menggunakan roll meter (50 m) dengan satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam satuan terkecil milimeter.

(7)

2. Data Biologi Peneluran

Data biologi peneluran yang diambil meliputi ukuran karapas induk C. insculpta, ukuran plastron, karakteristik telur, dan karakteristik sarang. Pengukuran karapas induk C. insculpta mengacu pada metode pengukuran karapas penyu menurut Bolten (1999) yang meliputi panjang karapas tegak lurus (SCL : Straight Carapace Length) yang di ukur secara panjang tegak lurus karapas, panjang karapas lengkung (CCL : Curved Carapace Length) yang di ukur mengikuti panjang lengkung karapas, lebar karapas tegak lurus (SCW : Straight Carapace With) yang di ukur mengikuti lebar tegak lurus karapas dan lebar karapas lengkung (CCW : Curved Carapace With) yang di ukur mengikuti lebar lengkung karapas. Plastron di ukur terhadap panjang dan lebarnya. Pengukuran karapas dan plastron menggunakan roll meter (3 m) dengan satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam satuan terkecil milimeter. Jumlah individu yang ditangkap dan berhasil diukur sebanyak 14 ekor. Pengukuran SCL, CCL, SCW, CCW, dan plastron Labi-labi moncong babi seperti terlihat pada Gambar I.3 dan I.4.

Gambar I.3. Pengukuran karapas induk Labi-labi moncong babi

Gambar I.4. Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi

Karakteristik telur dan sarang C. insculpta yang dikumpulkan meliputi jumlah telur dalam satu sarang, jumlah telur normal dan abnormal dalam satu sarang,

c b a d a. Pengukuran SCL b. Pengukuran CCL c. Pengukuran SCW d. Pengukuran CCW e f

e. Pengukuran panjang plastron f. Pengukuran lebar plastron

(8)

diameter telur normal dan abnormal, berat telur normal dan abnormal, diameter sarang dan kedalaman sarang. Pengukuran diameter telur menggunakan digital caliper dengan satuan nilai dalam millimeter. Telur abnormal berbeda dengan telur normal dimana telur abnormal tidak mempunyai kuning telur dan secara visual telur abnormal mempunyai ukuran lebih kecil (biasanya setengah atau lebih kecil dari ukuran telur normal) bila dibandingkan dengan telur normal, dan semakin kecil mendekati akhir peneluran.

3. Data Habitat Persarangan

Habitat sarang peneluran Labi-labi moncong babi yang dimaksudkan adalah sekumpulan pasir di tepi sungai atau rawa yang digunakan oleh Labi-labi moncong babi untuk melakukan aktifitas bertelur. Data yang dikumpulkan meliputi :

Luasan pasir : mengingat bentuk luasan pasir di alam tidak beraturan maka

luasan pasir dihitung berdasarkan titik-titik koordinat (tracking) terluar. Posisi koordinat diambil menggunakan Global Positioning System (GPS). Pasir yang di data adalah pasir yang terdapat sarang, pasir yang terdapat jejak, dan pasir tanpa sarang dan jejak. Luasan masing-masing pasir peneluran akan dihitung dan kemudian diakumulatif untuk mendapatkan luasan pasir peneluran yang terdata disepanjang Sungai Vriendschap. Luasan pasir akan dibedakan antara pasir di wilayah rawa dengan pasir di wilayah sungai.

Panjang pasir (Perimeter) : merupakan ukuran panjang pasir dalam meter

yang didapatkan dengan nilai indeks > 0 sampai tidak terbatas.

Bentuk bentang pasir (Fractal Dimension) : diperoleh dengan mengambil

titik koordinat tepi pasir menggunakan GPS untuk mendapatkan dimensi bentuk pasir sarang peneluran. Nilai bentuk bentang pasir berupa nilai indeks tanpa satuan dengan interval nilai indeks 1 ≤ Fract ≤ 2. Nilai 1 menunjukkan bentuk pasir adalah sederhana dan bentuk semakin kompleks mencapai nilai 2.

Bentuk permukaan pasir (Shape Index) : diperoleh dalam bentuk nilai

indeks tanpa satuan dengan nilai indeks ≥ 1 sampai tidak terbatas. Nilai 1 menunjukkan bahwa bentuk permukaan pasir adalah teratur dan semakin tinggi nilainya dari angka 1 menunjukkan semakin tidak teratur.

(9)

Tekstur pasir : analisa terhadap tekstur pasir dilakukan dilaboratorium tanah

Institut Pertanian Bogor. Analisa tekstur pasir dilakukan dari sampel pasir pada keseluruhan pasir (site) yang di data yaitu sebanyak 48 area pasir peneluran. Pendataan tekstur pasir dilakukan pada pasir yang terdapat sarang, jejak maupun yang tidak terdapat sarang. Sampel diambil pada kedalaman 10 – 25 cm yang didasarkan pada kedalaman sarang labi-labi moncong babi dengan cara mencampurkannya (mix). Hasil ditunjukkan dalam bentuk ukuran butiran pasir berdasarkan metode penyaringan. Tekstur butiran pasir diklasifikasikan berdasarkan kelompok yang meliputi pasir sangat halus (very fine sand) 0,05 – 0,1 mm, pasir halus (fine sand) 0,1 – 0,25 mm, pasir sedang (medium sand) 0,25 – 0,5 mm, pasir kasar (coarse sand) 0,5 – 1,0 mm, dan pasir sangat kasar (very coarse sand) 1,0 – 2,0 mm (Gee dan Bauder, 1986).

Luas tutupan vegetasi : tutupan vegetasi di lakukan dengan mendata ada

tidaknya vegetasi penutup pada habitat peneluran. Luasan vegetasi penutup dihitung pada setiap satu luasan pasir peneluran untuk mendapatkan luasan tutupan vegetasi. Untuk luasan tutupan vegetasi yang besar atau luas, pengukuran luas dilakukan dengan mengambil titik-titik koordinat tepi vegetasi terluar menggunakan GPS kemudian dihitung luasnya menggunakan ArcView 3.3, sedangkan untuk luasan tutupan vegetasi yang kecil dapat diukur secara manual menggunakan roll meter (50 m). Untuk memudahkan penghitungan luas tutupan vegetasi ang kecil secara manual, pendekatan penghitungannya disesuaikan dengan bentuk tutupan vegetasi dilapangan, apakah berbentuk lingkaran, persegi panjang, bujur sangkar, dan lain-lain. Jika terdapat lebih dari satu luasan tutupan vegetasi dalam satu pasir peneluran maka luasan tutupan vegetasinya merupakan kumulatif dari lebih dari satu luas tutupan vegetasi yang ada.

2.3. Analisis Data

Analisis data secara deskriptif dilakukan untuk mengetahui struktur habitat sarang peneluran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap. Variabel-variabel yang di analisis terhadap jumlah sarang peneluran dan jejak induk betina meliputi meliputi luasan pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk

(10)

bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir.

Nilai Shape Index (SHAPE), Fractal Dimension (FRACT) dan Perimeter (PERIM) dicari dengan menggunakan rumus (McGarigal et al. 1995) sebagai berikut :

Shape Index : Vector

SHAPE : pij 2√π ₀ aij

Satuan : tidak ada; Kisaran nilai : SHAPE ≥ 1, sampai tidak terbatas Fractal Dimension :

Vector

FRACT : 2 ln pij ln aij Satuan : Tidak ada

Kisaran nilai : 1 ≤ FRACT ≤ 2 Perimeter :

Vector

PERIM : pij Satuan : Meter

Kisaran nilai : PERIM ≥ 0, sampai tidak terbatas

Proses mendapatkan nilai luasan pasir, Perimeter (PERIM), Fractal Dimension (FRACT) dan Shape Index (SHAPE), diawali dengan membuat polygon setiap pasir peneluran terlebih dahulu kemudian dianalisis menggunakan ekstension Habitat Analysis dan Patch Analysis pada ArcView 3.3, sedangkan untuk mendapatkan nilai luasan tutupan vegetasi menggunakan ArcView 3.3 dan Microsoft office exel 2007. Nilai tekstur pasir didasarkan pada kelas ukuran tekstur pasir mulai dari pasir sangat kasar sampai sangat halus berdasarkan hasil analisis di laboratorium tanah IPB.

Analisis terhadap bentuk sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi dilakukan menggunakan Metode rasio ragam dan Metode indeks (Ludwig dan Reynolds 1988). Peubah yang diukur dalam menggunakan metode rasio

(11)

ragam adalah nilai tengah dan nilai keragaman. Rumus yang digunakan berdasarkan metode rasio ragam adalah :

= = dan S² =

Dimana : = nilai tengah atau rata-rata S2 = varians/keragaman xi = jumlah individu

fi = frekuensi banyaknya jumlah individu ditemukan

n = jumlah total individu (jumlah sarang/jejak induk) N = jumlah plot (jumlah pasir peneluran)

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi berdasarkan metode rasio ragam adalah :

 Jika S² = X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah acak (randomly disperse)

 Jika S² < X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah homogen/teratur (regularly disperse)

 Jika S² > X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah mengelompok/agregat (contagiously disperse)

Dari nilai tengah dan nilai keragaman kemudian dilanjutkan dengan melihat pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menggunakan Metode indeks yang meliputi Index of Dispertion (ID), Index of Clumping (IC) dan Green’s Index (GI) (Ludwig dan Reynolds 1988).

Index of Dispertion (ID) :

Untuk menghitung nilai Index of Dispertion (ID) dan nilai Chi-square (X2) menggunakan rumus :

ID = S2 / x dan X2 = ID (N - 1)

Dimana : = = dan S2 =

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi berdasarkan Index of Dispertion (ID) adalah jika :

x i i i f f x . N n x 1 . ) . ( 2 N n x f xi i x i i i f f x . N n 1 . ) . ( 2 N n x f xi i

(12)

 ID = 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara acak (randomly disperse)

 ID < 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara homogen (regularly disperse)

 ID > 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara mengelompok (contagiously disperse)

Index of Clumping (IC) :

Untuk menghitung nilai Index of Clumping (IC) digunakan rumus : IC = (S2 / x) – 1 = ID – 1 dimana : IC = Index of Clumping

ID = Index of Dispertion Green’s Index (GI) :

Untuk menghitung nilai Green’s Index (GI) digunakan rumus : GI = [(S2 / x) – 1] / n-1 = IC / n-1 dimana : GI = Green’s Index

IC = Index of Clumping

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi berdasarkan Index of Clumping (IC) dan Green’s Index (GI) adalah jika :

 IC atau GI = 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah acak (randomly disperse)

 IC atau GI < 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah seragam (regularly disperse)

 IC atau GI > 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah mengelompok (contagiously disperse)

Untuk mengetahui nilai dari masing-masing variabel, dilakukan analisis statistik Regresi Linier menggunakan software Minitab 16. Dari persamaan regresi yang diperoleh kemudian dilakukan prosedur stepwise pada statistik regresi agar diperoleh variabel mana yang paling memberikan pengaruh terhadap jumlah sarang peneluran dan jejak induk Carettochelys insculpta.

(13)

Adapun persamaan regresi linier yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y1 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6

Y2 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6

Dimana : Y1 = Jumlah sarang Carettochelys insculpta

Y2 = Jumlah jejak induk Carettochelys insculpta di pasir

a = Nilai konstanta b-g = Nilai setiap variabel V1 = Variabel luasan pasir

V2 = Variabel panjang pasir (Perimeter)

V3 = Variabel bentuk bentang pasir (Fractal Dimension)

V4 = Variabel bentuk permukaan pasir (Shape Index)

V5 = Variabel tekstur pasir

V6 = Variabel luasan tutupan vegetasi

Untuk mengetahui validitas data yang diperoleh maka dilakukan tahapan-tahapan pengecekan menggunakan minitab 16 sebagai berikut :

Analisis regresi linier awalnya dilakukan terhadap data yang diperoleh langsung dari lapangan sehingga belum diketahui apakah data yang diperoleh menyebar normal atau tidak.

Setelah didapat persamaan regresi dari data lapangan kemudian dilakukan pengecekan kenormalan data menggunakan Kolmogorov-Smirnov pada software minitab 16. Jika nilai P-value belum melebihi dari 0.05 (P-value ≤ 0.05) maka data yang diperoleh belum menyebar normal dan apabila P-value sudah melebihi dari 0.05 (P-value ≥ 0.05) maka data yang diperoleh sudah menyebar normal

Apabila diperoleh data lapangan tidak menyebar normal maka dilakukan transformasi data agar mendapatkan sebaran data yang normal. Setelah proses transformasi data selesai dilakukan general regression dengan menggunakan box-cox power transformation pada use optimal lambda dan pengecekan kenormalan sebaran datanya kembali menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika setelah proses transformasi sebaran datanya menyebar normal maka digunakan persamaan hasil regresi setelah transformasi tersebut, namun jika setelah proses transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan persamaan regresi yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum

(14)

transformasi maka digunakan persamaan model regresi dari data awal (sebelum transformasi).

Tahap berikutnya yaitu mencari parameter terbaik yang mempengaruhi jumlah sarang dan jejak induk betina dengan menggunakan metode stepwise. Hasil yang diperoleh kemudian di cek kembali sebaran datanya normal atau tidak. Apabila belum normal digunakan data transformasi dan melakukan general regression menggunakan box-cox power transformation pada use optimal lambda lalu diteruskan pengecekan kenormalan sebaran data transformasi menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika setelah proses transformasi sebaran datanya menyebar normal maka digunakan persamaan hasil regresi dengan metode stepwise setelah transformasi tersebut, namun jika setelah proses transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan persamaan regresi yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum transformasi maka digunakan persamaan model regresi hasil metode stepwise dari data awal (sebelum transformasi).

Pada persamaan regresi ini dapat diketahui kontribusi variabel luasan pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir, sehingga dapat ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap jumlah sarang peneluran dan jarak sarang Labi-labi moncong babi dari air/sungai. Sebaran sarang peneluran Carettochelys insculpta di sungai dan rawa Vriendschap dilakukan berdasarkan titik-titik koordinat sarang yang di dapat. Data titik-titik koordinat sarang peneluran kemudian digabungkan dengan data koordinat kampung, distrik atau kabupaten yang diambil pula. Sebaran sarang peneluran Labi-labi moncong babi dan wilayah administrasi (pemukiman) kemudian diolah menggunakan perangkat lunak (software) ArcView 3.3.

(15)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran

Total jejak C. insculpta berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak terdapat di wilayah Bor (rawa) sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai yang meliputi wilayah Bor, Obokain, Indama dan Sumo (rata-rata = 11.44 ± 34.11; kisaran = 0 – 201). Sedangkan total sarang yang terdata berjumlah 131 sarang dengan rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa (Bor) dan 124 sarang terdapat di sepanjang sungai yang meliputi wilayah Bor (sungai), Obokain, Indama dan Sumo (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Sebaran sarang sarang Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada Gambar I.5 dibawah ini.

Gambar I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap

Total jumlah jejak dan sarang C. insculpta pada keseluruhan pasir peneluran yang berhasil di data pada wilayah Bor (Rawa), Bor (Sungai), Obokain, Indama, dan Sumo disepanjang wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada

(16)

Gambar I.6, sedangkan jumlah sarang dan jejak induk harian dapat dilihat pada Gambar I.7.

Gambar I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di sepanjang Sungai Vriendschap

Gambar I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta pada bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap

Hasil analisis terhadap pola sebaran sarang dan jejak induk C. insculpta menunjukkan bahwa pola sebaran sarang dan jejak C. insculpta di Sungai Vriendschap adalah berkelompok seperti yang terlihat pada Tabel I.1 dan Tabel I.2.

Tabel I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap.

19 6 373 65 80 7 1 109 8 6 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo

Jejak Sarang 3 4 0 0 0 102 1 21 1 1 8 4 7 11 40 271 3 195 56 7 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 Jumlah sarang Jumlah jejak

(17)

Nilai Pola sebaran sarang x 2.75 S² = x acak S² 232.957 S² < x homogen/teratur S² > x berkelompok ID = 1 acak ID < 1 homogen/terarur ID > 1 berkelompok

Clumping 83.712 IC/GI = 0 acak

Green 0.639 IC/GI < 0 homogen/teratur

IC/GI > 0 berkelompok Metode Hipotesis Ratio ragam Indeks Dispersi 84.712 Berkelompok Berkelompok Berkelompok

Tabel I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap.

Nilai Pola sebaran Jejak

x 11.438 S² = x acak S² 1163.31 S² < x homogen/teratur S² > x berkelompok ID = 1 acak ID < 1 homogen/terarur ID > 1 berkelompok

Clumping 100.706 IC/GI = 0 acak

Green 0.184 IC/GI < 0 homogen/teratur

IC/GI > 0 berkelompok

Metode Hipotesis

Ratio ragam Berkelompok

Indeks

Dispersi 101.706 Berkelompok

Berkelompok

3.1.2. Biologi Peneluran

Diameter rata-rata sarang yang dibangun adalah 11.91 ± 1.73 cm (n = 62, kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38 ± 1.86 cm (n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34) dengan diameter rata-rata adalah 41.33 ± 1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ± 6.30 gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang yang keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur Labi-labi moncong babi yang tidak normal (abnormal). Telur normal adalah telur yang ukurannya relatif seragam dan mengandung kuning telur sedangkan telur abnormal adalah telur yang tidak mengandung kuning telur dengan ukuran yang lebih kecil dari rata-rata ukuran normal. Rata-rata jarak sarang Labi-labi moncong babi dari tepi sungai atau air di wilayah Sungai Vriendschap adalah 22.13 ± 12.79 m (n = 116, kisaran = 4.10 – 49.70).

Induk betina yang melakukan proses peneluran bervariasi dalam berat dan ukuran. Karakteristik ukuran morfologi dari induk betina C. insculpta meliputi

(18)

rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14, kisaran = 10.43 – 13.38), rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14, kisaran = 35 – 39), rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran = 27 - 31), rata-rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14, kisaran = 46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ± 2.91 cm (n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah 48.16 ± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus kerapas (SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36).

3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension) dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)

Perimeter pasir yang didapat berkisar 0,099 – 2,281 km atau 99 – 2.281 m ( rata-rata = 0.74 ± 0.42 km), fractal dimension berkisar 0.991 – 1.243 (rata-rata = 1.073 ± 0.047) dan shape index berkisar 0.964 – 2.061 (rata-rata = 1.405 ± 0.253) dari 48 pasir peneluran yang berhasil terdata di wilayah Sungai Vriendschap.

B. Tekstur Pasir

Dari 15 pasir di wilayah Bor (Rawa) dan 33 pasir di tepi sungai yang meliputi wilayah Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didapati sebaran tekstur pasir peneluran sarang di wilayah Sungai Vriendschap seperti tersaji pada Gambar I.8.

Gambar I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap

0 0 1 11 3 0 1 2 3 0 0 0 2 4 4 1 0 3 1 2 3 0 0 0 0 0 6 1 0 0 0 2 4 6 8 10 12 I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 -0.25) IV (0.25 -0.1) V (0.1 -0.05) VI (0.05 -0.02) Tekstur pasir (mm) Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo Σ p a s i r

(19)

Mengacu pada penggolongan tekstur pasir menurut Gee dan Bauder (1986) maka fraksi I adalah golongan pasir sangat kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 2 – 1 mm, fraksi II adalah golongan pasir kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 1 – 0.5 mm, fraksi III adalah golongan pasir sedang dengan ukuran butir pasir berkisar 0.5 – 0.25 mm, fraksi IV adalah golongan pasir halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.25 – 0.1 mm, fraksi V adalah golongan pasir sangat halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.1 – 0.05 mm, fraksi VI adalah golongan debu kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.05 – 0.02 mm, fraksi VII adalah golongan debu sedang dengan ukuran butir pasir berkisar 0.02 – 0.005 mm, fraksi VIII adalah golongan debu halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.005 – 0.002 mm, fraksi IX adalah golongan liat kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.002 – 0.0005 mm dan fraksi X adalah golongan liat halus dengan ukuran butir pasir berkisar < 0.0005 mm. Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran yang di data di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar I.8 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran, tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI) sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V) sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor (rawa) terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan sebarannya di dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai) dan Indama tekstur pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan sedang. Sebaran tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit dimana tekstur pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar, sedang, halus dan debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas dua kelompok pasir yaitu pasir sedang dan halus. Sebaran jumlah jejak dan sarang C. insculpta pada 3 wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap yang didasarkan pada tekstur pasir, disajikan pada Tabel I.3.

Tabel I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3 wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap

(20)

Sebaran jejak dan sarang berdasarkan tekstur pasir

Total Wilayah I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 - 0.25) IV (0.25 - 0.1) V (0.1 - 0.05) VI (0.05 - 0.02)

Jejak S a r a n g Jeja k Sarang J e j a k S a r a n g J e j a k S a r a n g Jejak S a r a n g J e j a k S a r a n g Jejak Sarang

Bor 0 0 0 0 4 3 3 0 0 0 0 0 7 3

Obokain 155 1 7 0 3 1 201 106 0 0 6 0 372 108

Sumo 0 0 0 0 80 6 0 0 0 0 0 0 80 6

Tabel I.3 memperlihatkan bahwa potensi pasir dengan jejak induk yang cukup banyak terdapat pada pasir sangat kasar (I) dan halus (IV) pada wilayah Obokain dan pasir sedang (III) pada wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok pasir halus (IV) di wilayah pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo. Potensi jejak induk labi-labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang) menggambarkan bahwa kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus berpotensi dijadikan pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi induk labi-labi untuk melakukan aktifitas bertelur.

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi

Total luasan pasir yang terdata dari 48 pasir peneluran adalah 1.156.823 m2 atau seluas 115,68 Ha dan total panjang perimeter adalah 35.518,37 m atau sepanjang 35,52 Km. 15 pasir peneluran diantaranya didapati adanya tutupan vegetasi dengan luas 416.128 m2 atau 41,6 Ha dan panjang perimeternya 12.778 m atau 12,78 Km. Didasarkan pada luasan pasir dan perimeter terdapat vegetasi dan tanpa vegetasi, maka kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi pada pasir peneluran di Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Tabel I.4 dan I.5. Tabel I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap berdasarkan luasan pasir

Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan

Luas Total Pasir (Ha) 115.68

Luas Tot al Pasir (Ha) 115.68 Luas Total Pasir Ada Veg (Ha) 41.61 Luas Total Pasir Tdk Ada Veg (Ha) 74.07

Sarang

Keseluruhan 132 1.14

Sarang

Keseluruhan 132 1.14

Pasir bervegetasi 115 2.76 Pasir tdk bervegetasi 17 0.23

Jejak

Keseluruhan 549 4.75

Jejak

Keseluruhan 549 4.75

(21)

Tabel I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap berdasarkan perimeter

Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan

Panjang Total Perimeter (Km) 35.52

Panjang Total Perimeter (Km) 35.52 Pjg Total Perim Ada veg (Km) 12.78 Pjg Total Perim Tdk Ada veg (Km) 22.74

Sarang

Keseluruhan 132 3.72

Sarang

Keseluruhan 132 3.72

Pasir bervegetasi 115 9.00 Pasir tdk bervegetasi 17 0.75

Jejak

Keseluruhan 549 15.46

Jejak

Keseluruhan 549 15.46

Pasir bervegetasi 239 18.70 Pasir tdk bervegetasi 310 13.63

Pada habitat pasir peneluran, sebagian terdapat tutupan oleh vegetasi dan sebagian lagi bersih dari tutupan vegetasi. Dari 48 pasir peneluran yang terdata, 15 pasir peneluran (31.25%) diantaranya terdapat tutupan vegetasi sedangkan 33 pasir peneluran lainnya (68.75%) tidak tertutup oleh vegetasi dengan persentase luas tutupan vegetasi pada pasir peneluran berbeda-beda yaitu berkisar 0.2% sampai 49.05%. Sebaran pasir peneluran yang terdapat tutupan vegetasinya dapat dilihat pada Tabel I.6 dan perbandingan luasan pasir peneluran dengan luas tutupan vegetasi di sepanjang Sungai Vriendschap (termasuk rawa) dapat dilihat pada Gambar I.9.

Tabel I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan vegetasi. Uraian Wilayah Bor (rawa) Pasir 1 MB 3 MB 5 LT 6 MB 6 LT 7 LT 8 LT 9 LT Luas Pasir (m2) 89285.88 51871.21 69771.77 14130.35 8267.93 10255.38 19491.86 12548.22 Tutupan Vegetasi (m2) 4687.06 5749.87 5313.32 6930.86 339.66 633.68 521.226 1019.77 % Tutupan Vegetasi 5.25 11.08 7.62 49.05 4.11 6.18 2.67 8.13

Obokain Indama Sumo

Pasir 1 SS 3 SS 8 B 1 MK 5 MK 4 KW 6 KW

Luas Pasir (m2) 7295.95 32180.58 25196.69 17632.66 21333.31 23137.13 13729.40

Tutupan Vegetasi (m2) 1301.11 9781.92 83.79 1907.92 276.45 243.67 27.41

% Tutupan Vegetasi 17.83 30.40 0.33 10.82 1.30 1.05 0.20

Ket : - Kode di bawah wilayah menyatakan nomor urut pasir dan nama responden. Sebagai contoh 1 MB berarti pasir nomor 1 pada wilayah Bor yang merupakan pasir pencarian milik responden MB

(22)

Gambar I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir peneluran di sepanjang Sungai Vriendschap

3.2. Pembahasan

3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys insculpta

Didasarkan pada tingginya jumlah jejak dan sarang pada tiap wilayah peneluran di sungai Vriendschap, Gambar I.6 memperlihatkan pasir peneluran di wilayah Obokain paling dipilih oleh induk Labi-labi moncong babi untuk dijadikan tempat bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan Sumo juga mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh induk Labi-labi moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi. Pada pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) terlihat mempunyai potensi yang kecil untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan rendahnya jumlah jejak maupun sarang yang ditemukan.

Gambar I.7 memperlihatkan aktifitas jejak maupun sarang peneluran induk Labi-labi moncong babi cukup bagus terjadi pada tanggal 17 – 23 November 2011 dengan puncak peneluran terjadi pada tanggal 19 November 2011. Namun dalam rentang waktu 8 – 25 November terdapat hari-hari yang tidak ditemukan adanya aktifitas induk naik ke pasir peneluran. Kegagalan maupun keberhasilan persarangan kura-kura dapat disebabkan oleh kondisi tertentu yang terjadi pada lingkungannya. Kura-kura menggunakan berbagai petunjuk lingkungan untuk memilih tempat bersarang (Miller dan Dinkelacker 2008) dan perilaku bersarang induk betina (Pike 2008). Kura-kura Dermatemys mawii bersarang dalam musim penghujan (Miller dan Dinkelacker 2008), dan penyu Tempayan (Caretta caretta) serta penyu Hijau (Chelonia mydas) mempunyai keberhasilan bersarang lebih baik pada saat hujan (Pike 2008; Godley et al. 2001). Pike (2008) mendapati

30.4 22.8 16.7 8.7 25.0 2.52 0.00 1.12 0.22 0.03 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo

Luas Pasir (ha) Luas Tutupan Vegetasi (ha) L u a s

(23)

penyu tempayan (Caretta caretta) di Pantai Atlantik, Florida mempunyai proporsi induk naik ke pasir dan keberhasilan membuat sarang lebih baik saat ada hujan dibanding malam-malam tanpa hujan. Godley et al. (2001) mendapati pula keberhasilan bersarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Ascension, Selatan Atlantik, lebih baik di saat cuaca hujan, namun keduanya tidak mendapati korelasi yang signifikan antara keberhasilan bersarang dengan curah hujan. Penyebab keberhasilan peneluran Penyu Tempayan dan Penyu Hijau di saat hujan belum dapat dijelaskan oleh Pike (2008) dan Godley et al. (2001), tetapi keduanya mempunyai kesamaan dalam pendugaan proporsi induk naik ke pasir dan melakukan aktifitas bertelur mengacu pada isyarat lingkungan pada malam-malam dimana tekanan atau suhu udara meningkat atau lebih tinggi. Kamel dan Mrosovsky (2005) juga menyadari variasi lingkungan dapat menyebabkan perbedaan dalam pola persarangan pada Eretmochelys imbricata, tetapi mereka tidak menemukan korelasi antara penempatan sarang dengan kondisi cuaca di waktu malam.

Pada induk betina Labi-labi moncong babi, kepekaaan terhadap isyarat lingkungan dalam proses peneluran ditunjukkan berbeda dengan yang ditemukan pada proses peneluran penyu. Minimnya aktifitas peneluran oleh induk Labi-labi moncong babi disebabkan adanya gangguan cuaca (hujan) baik yang terjadi pada wilayah Vriendschap maupun pada wilayah pegunungan. Hujan yang turun pada wilayah Sungai Vriendschap menyebabkan basahnya pasir peneluran sedangkan hujan yang turun pada wilayah pegunungan menyebabkan permukaan air sungai meningkat sehingga menutup sebagian atau seluruh pasir peneluran. Tingginya curah hujan memberikan dampak negatif terhadap kegagalan proses peneluran, namun Doody et al. (2003a) mendapati adanya dampak positif akibat gangguan cuaca adalah telur yang dihasilkan menjadi lebih besar dalam dua periode berurutan (tahun). Diluar faktor curah hujan, isyarat atmosfir terlihat turut memberikan andil dalam menunjang keberhasilan proses induk labi-labi moncong babi untuk naik ke pasir. Induk Labi-labi moncong babi naik ke pasir saat langit terlihat cerah di malam hari yang ditandai dengan banyaknya bintang yang terlihat. Kilatan-kilatan cahaya maupun bunyi gemuruh dari petir dan guntur akan membuat induk Labi-labi moncong babi mengurungkan niatnya untuk naik ke

(24)

pasir. Pada penyu, Pike (2008) mendapati penyu tempayan betina muncul menggunakan isyarat lingkungan untuk memandu perilaku bersarang, dan dapat menggunakan berbagai proses sensorik untuk menentukan kapan cuaca cocok untuk muncul dari laut dengan kondisi yang kondusif untuk bertelur.

Curah hujan dan hari hujan yang meningkat di wilayah Wamena (pegunungan) meningkatkan debit Sungai Baliem dan Sungai Seng yang berdampak langsung terhadap debit Sungai Vriendschap karena bagian hulu Sungai Vriendschap bertemu dengan kedua sungai tersebut. Peningkatan debit air sungai mengakibatkan pasir peneluran tertutup oleh air dan proses surutnya air sungai yang terjadi berangsur-angsur memungkinkan minimnya aktifitas peneluran. Gambaran tingginya curah hujan dan hari hujan tahun 2011 yang mempengaruhi aktifitas peneluran induk Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap disajikan pada Tabel I.7 dan sebagai pembanding, disajikan pula curah hujan dan hari hujan tahun 2010.

Tabel I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah Wamena (Pegunungan).

No Bulan (2010) Tek.Udr Suhu.Udr Suhu.Max Suhu.Min Klmbabn Crh.Hjn H.Hujan Sifat Hujan Peny. Mthri (%) (MB) ('C) ('C) ('C) (%) (MM) (Hari) 1 Agustus 835.5 19.4 27.3 13.7 75.0 178.4 21 111.5 60 2 September 835.3 19.7 27.4 14.3 75.0 74.4 16 46.5 65 3 Oktober 834.6 19.9 27.5 14.8 75.0 150.4 19 94.0 43 4 November 834.2 20.2 27.9 14.8 74.0 119.4 19 74.6 64 Jumlah 3339.6 79.2 110.1 57.6 299.0 522.6 75.0 626 Rata-Rata 834.9 19.8 27.5 14.4 74.8 130.7 18.8 52

No Bulan (2011) Tek.Udr Suhu.Udr Suhu.Max Suhu.Min Klmbabn Crh.Hjn H.Hujan Sifat Hujan Peny. Mthri (%) (MB) ('C) ('C) ('C) (%) (MM) (Hari) 1 Agustus 835.1 18.6 25.3 14.0 78.0 122.3 24.0 67.3 48 2 September 835.5 19.0 25.3 14.8 79.6 174.6 22.0 96.1 29 3 Oktober 835.4 19.1 26.3 14.3 77.3 137.1 21.0 75.4 43 4 November 834.2 19.7 26.6 14.8 76.0 180.2 22.0 99.1 42 Jumlah 3340.1 76.3 103.6 58.0 310.9 614.2 89.0 448 Rata-Rata 835.0 19.1 25.9 14.5 77.7 153.6 22.3 45 Sumber : BMKG Wamena (2011)

Tabel I.7 memperlihatkan rata-rata volume curah hujan selama 4 bulan pada tahun 2011 sebesar 153.6 mm/bulan meningkat dibanding pada tahun 2010 sebesar 130.7 mm/bulan. Demikian pula dengan hari hujan dimana pada tahun 2011 rata-rata jumlah hari hujan sebanyak 22.3 hari lebih tinggi dari pada rata-rata

(25)

jumlah hari hujan tahun 2010 sebanyak 18.8 hari. Didasarkan kriteria curah hujan bulanan maka rata-rata curah hujan bulanan pada rentang waktu bulan Agustus – November di tahun 2010 dan 2011 masuk dalam kategori sedang. Kriteria curah hujan bulanan terbagi atas empat kriteria yaitu :

1. 0 - 100 mm/bulan : rendah; 2. 101 – 300 mm/bulan : sedang; 3. 301 – 400 mm/bulan : tinggi; 4. > 400 mm/bulan : sangat tinggi.

Sifat hujan pada tahun 2010 di bulan September dan November masuk dalam kategori dibawah normal (46.5% dan 74.6%) sedangkan di bulan Agustus dan Oktober masuk dalam kategori normal (111.5% dan 94.0%). Pada tahun 2011, sifat hujan berbanding terbalik dengan sifat hujan tahun 2010 dimana sifat hujan di bulan September dan November masuk dalam kategori normal (96.1% dan 99.1%) sedangkan di bulan Agustus dan Oktober masuk dalam kategori dibawah normal (67.3% dan 75.4%).

Sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi selama satu bulan dengan nilai rata-rata atau normalnya pada bulan tersebut di suatu tempat. Kategori sifat hujan terbagi atas tiga kategori yaitu :

1. di atas Normal (A), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih besar dari 115%;

2. Normal (N), jika perbandingan terhadap rata-ratanya antara 85%-115%; dan 3. Di bawah Normal (B), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih kecil

dari 85%.

Jumlah sarang yang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada wilayah Obokain dibanding pada 4 (empat) wilayah lainnya menggambarkan kecenderungan bersarang C. insculpta yang mengelompok. Hasil perhitungan sebaran sarang berdasarkan metode ratio ragam (Tabel I.1) diperoleh nilai ragamnya (232.957) lebih tinggi dari nilai tengahnya (2.75). Dengan hipotesis jika didapatkan nilai ragam lebih besar dari nilai tengah, maka didapatkan pola sebaran sarang C. insculpta adalah mengelompok. Pola sebaran yang mengelompok juga didapati dengan menggunakan metode indeks dimana jika

(26)

nilai indeks dispersi (84.712) lebih besar dari 1, nilai indeks clumping (83.712) lebih besar dari 0, dan nilai indeks green (0.639) juga lebih besar dari 0.

Tabel I.2 menunjukkan pola sebaran jejak induk C. insculpta di Sungai Vriendschap juga mengelompok seperti pola sebaran sarang pada Tabel I.1. Pola sebaran sarang dan jejak induk yang mengelompok ini diduga disebabkan oleh sifat eco-ethology (sosio-ekologi) dari kelompok kura-kura atau penyu pada umumnya dimana induk ingin kembali pada tempat dilahirkan dengan pergerakan menuju tempat peneluran secara bersama sambil melakukan interaksi sosial. Sebaran mengelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu individu menarik atau memunculkan individu lainnya mendekat ke lingkungan tersebut (Begon et al. 2006). Di antara gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil yang masih ada adalah migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa (Vitt dan Caldwell 2009). Sifat tersebut juga diperlihatkan oleh Wood Turtles (Glyptemys insculpta) yang menunjukkan keterkaitan erat dengan tempat kelahirannya, dimana 95% betina kembali pada sarang atau tempat yang sama selama dua tahun berturut-turut (Walde et al. 2007). Tingkah laku bersarang yang mengelompok ini di satu sisi menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan, sementara disisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan (Sus sp) dan biawak (Varanus sp).

Rowe et al. (2005) menyebutkan bahwa lokasi penjelajahan dalam air tampaknya dipengaruhi pemilihan dan kesetiaan penempatan sarang oleh beberapa individu meskipun individu lain bersarang relatif jauh dari daerah jelajah air. Individu-individu dari banyak spesies bergerak secara bersama dari satu habitat ke habitat yang lain dan kembali lagi berulang kali selama hidup mereka dengan skala waktu yang terlibat mungkin dalam hitungan jam, hari, bulan atau tahun (Begon et al. 2006). Doody et al. (2003c) mendapati bahwa induk betina C. insculpta bergerak bersama di sepanjang sungai selama musim peneluran dan induk yang telah naik ke pasir dapat mempengaruhi keputusan bersarang induk

(27)

lainnya. Lebih lanjut disampaikan bahwa dengan menggunakan informasi sosial yang terkumpul dari induk betina sebelumnya, dapat mempengaruhi jumlah naiknya induk ke pasir untuk menemukan tempat bersarang yang cocok. Kura-kura dan penyu menggunakan kombinasi sinyal visual dan kimia selama interaksi sosial dengan melibatkan kepala dan menampilkan pola dan warna pada anggota tubuh bagian depan, leher, dan kepala (Vitt dan Caldwell 2009). Informasi yang terkumpul tersebut mendasari induk melakukan pilihan (1) hanya muncul ke pasir yang diketahui induk betina lainnya telah membuat sarang, dan (2) menghindari pasir dimana induk betina lainnya hanya berhasil naik ke pasir namun tidak membuat sarang. Apabila didapati pada awal proses peneluran terdapat induk betina Labi-labi moncong babi yang terganggu dalam usahanya melakukan aktifitas bertelur (naik maupun bertelur) maka kelompok induk betina lainnya yang belum naik ke pasir berpindah mencari tempat (pasir) peneluran lainnya dan bertelur selama beberapa malam ditempat yang baru tersebut (Doody et al. 2003c).

Dua perilaku penting intra spesifik induk kura-kura yang berkumpul di air pada saat hendak naik ke pasir ditunjukkan pula oleh Doody et al. (2009) yaitu perilaku 1) saat 2 individu atau induk bertemu secara berhadapan maka mereka saling menghindar dengan cara saling memutari atau melingkari satu sama lain, dan 2) beberapa kura-kura lebih kecil (kemungkinan betina atau jantan remaja) muncul dan menciumi pasir basah selama 1 – 3 menit kemudian kembali dengan cepat ke air. Didasari tingkah laku induk betina dalam rangkaian proses peneluran, Doody et al. (2003c) menyatakan keberhasilan bersarang Labi-labi moncong babi tidak dapat dianggap sama untuk setiap tahunnya di setiap pasir peneluran, dimana pendataan harus dilakukan setiap tahun untuk menganalisa seberapa jauh pengaruh lokasi, pasir, dan tutupan vegetasi terhadap aktifitas peneluran.

Jarak sarang yang dibangun oleh induk dapat berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbandingan jarak sarang C. insculpta dari air di lokasi Sungai Vriendschap dengan beberapa beberapa sungai lainnya ditampilkan pada Tabel I.8.

Tabel I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia

(28)

Sungai Jarak Sarang dari Air (m) Vriendschap 2011 22,13 ± 12,79 (n = 116; 4,10 – 49,70) Kikori 2003* 11,9 ± 0,59 (n = 58; 1,5 – 25,5) Kikori 2006* 11,8 ± 2,87 (n = 5, 1 – 17) Daly* 2,45 ± 0,094 (n = 180; 0,59 – 9,10) Alligator* 2,16 ± 0,28 (n = 8; 1,1 – 3,7) *) Georges et al. (2008b)

Tabel I.8 memperlihatkan rata-rata sarang yang dibuat di Sungai Vriendschap mempunyai jarak yang cukup jauh dari tepi sungai dibandingkan jarak sarang dari air yang dibangun pada lokasi di sungai Kikori, Daly dan Alligator. Sarang yang dibangun jauh dari air dimungkinkan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam sekali proses peneluran. Di lokasi dengan tingkat pemanenan tinggi, lamanya waktu dapat memberikan dampak negatif terhadap keselamatan induk yang naik untuk bertelur karena waktu yang dibutuhkan induk untuk kembali ke air cukup panjang sehingga memberikan kesempatan bagi manusia untuk menangkapnya. Rowe et al. (2005), tidak menemukan korelasi diantara rata-rata jarak sarang dari air dan rata-rata panjang kerapas dari setiap Kura-kura Midland Painted (Chrysemys picta marginata) dimana sarang yang diletakkan mengindikasikan kura-kura dengan ukuran besar tidak melakukan perjalanan dari air lebih jauh dibanding kura-kura dengan ukuran lebih kecil selama masa peneluran.

3.2.2. Biologi Peneluran Carettochelys insculpta

Proses peneluran oleh induk Labi-labi moncong babi dimulai dengan naik ke pasir, berputar-putar dalam mendapatkan tempat yang cocok, menggali sarang, bertelur, menutup lubang sarang, dan kembali ke sungai dengan cara berputar-putar pula. Proses tersebut dilakukan pada saat matahari tenggelam (malam hari) dan saat cuaca cerah (tidak hujan). Doody et al. (2009) mendapati C. insculpta bersarang pada malam hari dengan satu pengecualian satu individu bersarang pada senja hari. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi dalam satu sarang dengan berat dan dimensi yang berbeda antara lokasi satu dengan lokasi lainnya. Sebagai perbandingan diameter dan berat telur C. insculpta di Sungai Vriendschap dengan beberapa sungai lainnya dapat dilihat pada Tabel I.9.

(29)

Tabel I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia

Sungai Diameter Telur (mm) Berat Telur (gr)

Vriendschap 2011 41,33 ± 1,54 (n = 400; 35,25 – 46,49) 37,98 ± 6,30 (n = 400, 30 – 50). Kikori 2003* 43,1 ± 0,59 (n = 20; 40,2 – 53,1) 48,0 ± 1,29 (n = 20; 39,3 – 66,6) Kikori 2006* 40,9 ± 0,52 (n = 14; 38,0 – 45,1) 36,4 ± 0,46 (n = 14; 33,8 – 40,1) Daly* 39,6 ± 0,21 (n = 156) 35,2 ± 0,20 (n = 153) Alligator* 41,8 (n = 1) 40,2 (n = 1) *) Georges et al. (2008b)

Berat telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap terlihat masih lebih tinggi dibandingkan berat telur di Kikori tahun 2006 yang juga telah mengalami penurunan kualitas berat telur dari tahun 2003 dan di Daly (Tabel I.9). Tingginya tingkat pemanfaatan diduga dapat mempengaruhi kualitas telur yang dihasilkan, seperti penurunan berat telur yang terjadi di Kikori, dimana ukuran telur, berat telur dan volume kuning telur dapat berkurang. Wood et al. (2009) mendapati ukuran telur burung Black-Headed Gulls (Larus ridibundus) terbesar berada pada sarang ditengah koloni (sarang kecil kemungkinan dipanen), sedangkan pada sarang yang di panen didapati adanya pengurangan volume telur, kuning telur dan ketebalan cangkang, yang dapat mempengaruhi keberhasilan penetasan dan tingkat keberhasilan hidup anak hasil penetasan. Pada sarang yang dipanen juga ditemui proporsi telur abnormal lebih tinggi dengan kuning telur lebih kecil dan telur tidak berpigmen. Penurunan kualitas telur Larus ridibundus diduga oleh Wood et al. (2009) sebagai pengaruh akibat dari adanya dampak pemanenan.

Ukuran kerapas menunjukkan umur dari C. insculpta, dimana semakin panjang atau besar ukuran kerapasnya menunjukkan individu induk semakin dewasa. Sebagai pembanding, Georges et al. (2008b) mendapatkan panjang kerapas rata-rata induk betina C. insculpta di aliran Kikori (PNG) adalah 47.7 ± 0.88 cm (n = 12, 40.4 – 52.0) dengan berat 11.2 ± 0.56 Kg (n = 12, 6.9 – 14.3 Kg), mencapai 52,3 cm di Billabong (Australia) dan berkisar 52,4 – 58,6 cm di Taman Nasional Kakadu (Australia) (Georges dan Kennett 1989), dan 45.6 cm di South Alligator River (Australia) (Schodde et al. 1972). Dari perbandingan diatas

(30)

terlihat panjang kerapas induk betina C. insculpta di Sungai Vriendschap lebih rendah dibanding panjang kerapas induk dari Billabong dan Taman Nasional Kakadu, namun masih lebih panjang dibanding induk dari Kikori dan South Alligator River.

3.2.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension) dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)

Fractal dimension bernilai 1 menunjukkan dimensi bentuk atau bentuk bentang pasirnya lebih sederhana seperti berbentuk lingkaran atau persegi dan bentuknya semakin kompleks apabila nilainya semakin mendekati nilai 2, sedangkan shape index bernilai 1 menunjukkan patch berbentuk melingkar atau persegi (teratur) dan bentuknya semakin tidak beraturan apabila semakin besar dari nilai 1. Rata-rata nilai fractal dimension dengan nilai 1.073 menunjukkan pasir peneluran Labi-labi moncong babi mempunyai bentuk bentang pasir yang sederhana. Shape index (Si) bernilai 1 didapati pada 1 pasir peneluran di wilayah Obokain dan patch paling tidak teratur didapati pada 1 pasir di wilayah Bor (rawa) dan 1 pasir di wilayah Sumo. Patch pasir peneluran di wilayah Sungai Vriendschap lebih condong kearah yang teratur didasarkan pada persentase nilai Si < 1.5 sebanyak 62.5% (30 site pasir) dan persentase nilai Si ≥ 1.5 sebanyak 37.5% (18 site pasir). Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap yang terdapat pada masing-masing wilayah adat pemanfaatan disajikan pada Tabel I.10.

Tabel I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

SI Bor (rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo

Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % < 1.5 10 20.83 6 12.50 10 20.83 3 6.25 1 2.08 > 1.5 5 10.42 0 0 4 8.33 3 6.25 6 12.50 Total 15 31.25 6 12.50 14 29.17 6 12.50 7 14.58 Jejak 19 6 379 65 80 Sarang 7 1 110 8 6

(31)

Tabel I.10 memperlihatkan bahwa nilai shape index tidak menunjukkan hubungan antara bentuk patch dengan keberadaan jejak induk dan jumlah sarang. Nilai Si < 1.5 dengan persentase tinggi terdapat pada wilayah Bor (rawa) dan Obokain, namun terdapat perbedaan dari total jejak induk maupun sarang. Demikian pula di wilayah Obokain persentase nilai Si < 1.5 tinggi diikuti total jumlah jejak induk dan sarang yang juga tinggi, namun di wilayah Sumo persentase nilai Si > 1.5 rendah namun total jejak induk tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Labi-labi Moncong Babi dalam proses penelurannya tidak memperhitungkan keteraturan bentuk dari pasir peneluran.

B. Tekstur Pasir

Doody et al. (2003b) mendapatkan tempat peneluran C. insculpta umumnya didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada berbagai substrat mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, dimana dalam memilih pasir potensial sebagai tempat menaruh telurnya C. insculpta menggunakan isyarat-isyarat bawah air, sedangkan Triantoro dan Rumawak (2010) secara visual mendapati sarang-sarang terdapat pada substrat pasir halus sampai bercampur kerikil. Dalam wilayah jelajah C. insculpta, penggunaan pasir persarangan tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi Carettochelys insculpta betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002). Sarang-sarang Labi-labi moncong babi umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al. 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, pada pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al. 2003b), pada pasir di sungai, pasir ditikungan alur sungai, atau di anak sungai kecil yang memasuki aliran utama (Georges et al. 2008b), pasir pada tepi sungai atau rawa. Di Australia, sarang-sarang berada pada sekumpulan pasir yang terdapat dekat sungai dan rawa (Georges dan Kennett 1989; Doody et al. 2003b) sementara di New Guinea, sarang-sarang juga terdapat dekat air di pertengahan sampai muara sungai, pada sekumpulan pasir di delta sungai dan pada pasir pantai

(32)

di pesisir laut (Georges et al. 2008b). Sebagai gambaran pasir peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar I.10 di bawah ini.

Gambar I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di (a) tepi sungai dan (b) rawa Vrienschap

Tingginya jumlah jejak namun tidak diikuti oleh keberhasilan dalam proses peneluran atau membuat sarang dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti 1) adanya gangguan suara motor perahu saat induk naik ke pasir untuk bertelur, 2) perburuan induk di saat hendak naik ke pasir, 3) kondisi pasir yang masih basah oleh luapan air sungai, 4) turunnya hujan di sore hari sebelum hari gelap, dan 5) gangguan alam (atmosfir) berupa kilatan-kilatan cahaya dilangit yang biasa menandakan hujan akan turun.

Umumnya, kura-kura air tawar dalam membuat sarang lebih memilih tempat berpasir, tinggi dan terbuka, namun dapat mencari habitat alternatif seperti tanggul jika habitat bersarang dalam waktu lama tidak tersedia (Bodie 2001). Di daerah tropika, kura-kura air tawar bertelur di musim kemarau pada pasir yang terkumpul (bank sand) atau timbul (Alvarenga 2010) yang tidak tersedia selama musim penghujan (Miller dan Dinkelacker 2008). Pada kura-kura punggung lunak (softshell turtles) seperti Charadrius melodus dan Sterna antillarum secara khusus menempati gundukan pasir yang tinggi, Trachemys scripta dan softshell turtles (Apalone mutica dan A. spinifera) menggunakan habitat bersarang pasir yang terbuka, dan Podocnemis unifilis yang menggunakan pasir terbuka dan tinggi sebagai habitat persarangannya (Bodie 2001).

Di wilayah Obokain, tekstur pasir halus hanya didapati pada 1 pasir peneluran saja namun pada pasir tersebut didapati jumlah jejak (201) dan sarang (106) terbanyak (Tabel I.3). Jumlah jejak dan sarang yang tinggi pada pasir halus

(33)

di wilayah Obokain ternyata tidak diikuti tingginya jumlah jejak dan sarang di wilayah Bor (Rawa) yang didominasi tekstur pasir halus (11 site). Sedikitnya jumlah jejak maupun sarang di wilayah Bor (rawa) diduga akibat faktor alam (eksternal) yang meliputi pasir peneluran di wilayah ini belum mencapai kondisi pasir yang cukup ideal untuk adanya aktifitas persarangan akibat endapan lumpur dan basahnya pasir peneluran akibat luapan sungai (banjir), dan akibat faktor individu (internal) yaitu akibat dari tingkah laku bersarang dari labi-labi moncong babi itu sendiri.

Pada peneluran penyu di pantai, kepadatan pasir dapat memberikan kontribusi bagi berkurangnya kehadiran jumlah sarang. Pasir yang padat umumnya menghasilkan jumlah sarang lebih sedikit dibanding jumlah sarang yang terdapat pada pasir tidak padat. Pasir yang padat umumnya masih terkena dampak hempasan air laut ataupun air sungai saat banjir. Penyu akan menghindari pasir yang basah dan padat dan bergerak mencari pasir yang permukaannya gembur. Triantoro dan Kuswandi (2005) mendapati jumlah sarang penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) di Suaka Margasatwa (SM) Jamursba Medi didapati lebih sedikit pada bagian pantai yang padat akibat sering mengalami limpasan atau abrasi air sungai, sementara Karavas et al. (2005) mendapati berkurangnya jumlah sarang jenis penyu tempayan (Caretta caretta) di bagian barat pantai dibandingkan jumlah sarang di bagian timur Pantai Sekania akibat semakin meningkatnya konsentrasi pasir halus dari timur pantai ke barat pantai. Peningkatan konsentrasi pasir halus tersebut mengakibatkan struktur pasir menjadi lebih padat yang dihindari oleh penyu Tempayan.

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi

Habitat pasir peneluran di Sungai Vriendschap menyebar disepanjang sungai mulai dari hulu sampai dengan hilir termasuk kumpulan pasir yang terdapat di wilayah rawa. Pasir yang terkumpul (sandbank) tersebut terlihat atau muncul saat debit sungai turun, tetapi tertutup atau tenggelam saat debit air sungai meningkat. Peningkatan debit air terutama disebabkan oleh hujan di wilayah pegunungan yang terkumpul pada aliran Sungai Baliem dan Sungai Seng

(34)

kemudian bersatu pada satu aliran di Sungai Vriendschap. Sebaran pasir peneluran yang berhasil terdata selama penelitian dapat dilihat pada Gambar I.11.

Gambar I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap

Tabel I.6 memperlihatkan sebaran pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) mempunyai tutupan vegetasi yang lebih luas dibandingkan pasir peneluran yang berada di wilayah tepi sungai (Obokain, Indama dan Sumo). Jenis vegetasi yang dominan menutupi pasir peneluran di wilayah rawa terdiri atas beberapa jenis rumput seperti Ludwigia scandens, Scirpus glosus, Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka. Diluar jenis-jenis rumput tersebut, jenis Pandanus lauterbachii terlihat bersama-sama mendominasi wilayah rawa.

Sifat rumput yang ringan memudahkannya terbawa air dan mengendap pada wilayah dengan perairan yang lebih tenang, seperti rawa. Rumput-rumput tersebut kemudian tertahan pada kumpulan pasir yang ada dan tumbuh menyebar cukup cepat saat sungai surut yang dapat mengakibatkan pasir tertutup oleh rumput. Keterikatan antar rumput dalam penyebarannya di pasir peneluran juga menyebabkan mengumpulnya berbagai serasah dan lumpur yang terbawa aliran air saat meluap sehingga ikut mendukung pertumbuhan dan penyebaran terutama jenis Pandanus sp. Pada proses peneluran labi-labi, lumpur yang terkumpul

(35)

menyebabkan permukaan pasir menjadi lebih padat (kompak) saat kering sehingga mempengaruhi keberadaan sarang atau pemilihan bersarang labi-labi. Díaz-Zorita dan Grosso (2000), kekompakan tanah menurun sejalan dengan turunnya kandungan lumpur namun turunnya kekompakan tanah menaikkan total kandungan karbon organik. Roth (1997) juga mendapati pada tekstur tanah lempung berpasir dan dengan sebagian besar berlumpur, kepadatan menurun bertahap kearah kedalaman sampai pada batas kepadatan permukaan tanah.

Tutupan vegetasi pada wilayah tepi sungai lebih banyak di dominasi jenis Casuarina rumphiana (Gymnostoma rumphianum), Sacharum spontaneum dan Cyperus rotundus. Jenis Casuarina rumphiana dapat tumbuh dan menyebar pada pasir peneluran di tepi sungai disebabkan buahnya terbawa air sungai saat meluap. Jenis ini sudah terdapat di wilayah Bor (rawa) namun masih jarang sebarannya. Sementara jenis rumput Sacharum spontaneum tumbuh secara mengelompok pada pasir peneluran dan menyebar mulai dari wilayah Bor (sungai) sampai Sumo namun masih dalam jumlah sedikit di wilayah Bor (rawa). Jenis Cyperus rotundus baru ditemui pada wilayah Obokain dengan konsentrasi cukup banyak pada pasir dimana terdapat banyak sarang peneluran (pasir nomor 3 pada wilayah pemanfaatan Obokain). Beberapa jenis vegetasi yang mendominasi pasir peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar I.12.

Gambar

Gambar I.1  Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai  Vriendschap
Gambar I.5  Sebaran  sarang  Carettochelys  insculpta  di  wilayah  Sungai  Vriendschap
Gambar  I.6,  sedangkan  jumlah  sarang  dan  jejak  induk  harian  dapat  dilihat  pada  Gambar I.7
Tabel I.2  Pola  sebaran  jejak  induk  Carettochelys  insculpta  di  Sungai  Vriendschap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Muridnya antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak,

Reseptor protein akan menerima sinyal tersebut dan bereaksi baik dengan mempengaruhi ekspresi genetik sel atau mengubah aktivitas protein selular, termasuk di

Data Flow Diagram adalah suatu gambaran secara logika tanpa mempertimbangkan lingkungan fisik dimana data tersebut akan disimpan, data flow diagram biasa digunakan

Walaupun golongan belia mementingkan maklumat berkaitan dengan pelbagai aspek lain seperti hiburan, ekonomi dan sebagainya, namun informasi kenegaraan juga perlu menjadi

Dalam perancangan ini tujuan dari analisis kuesioner adalah untuk memperoleh asumsi dari responden seperti permasalahan apa yang mengkhawatirkan, fakta mengenai

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner yang dilakukan oleh 18 pelanggan, aspek layanan dari variabel kehandalan dan variabel jaminan dinilai sangat penting oleh

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah lama penyimpanan telur itik setelah perendaman dalam larutan teh hitam (Camellia sinensis) selama

Adaptasi dalam suatu lingkungan masyarakat mutlak diperlukan, karena dengan adanya adaptasi yang baik, maka akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.