• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Sifilis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Sifilis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita asimtomatik. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B. Dalam semua masyarakat, Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang paling sering dari semua infeksi.

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki- laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di negara berkembang. Dewasa dan remaja (15- 24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari semua kasus IMS baru yang didapat. Kasus- kasus IMS yang terdeteksi hanya menggambarkan 50%- 80% dari semua kasus IMS yang ada di Amerika. Ini mencerminkan keterbatasan “screening” dan rendahnya pemberitaan akan IMS.

Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari IMS yang dapat disembuhkan (sifilis, gonore, infeksi klamidia, dan infeksi trikomonas) terjadi setiap tahunnya pada laki- laki dan perempuan usia 15- 49 tahun. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin, dan Karibean.

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Menular Seksual

2.1.1 Definisi Penyakit Menular Seksual

Infeksi Menular Seksual (IMS) didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan karena adanya invasi organisme virus, bakteri, parasit dan kutu kelamin yang sebagian besar menular melalui hubungan seksual, baik yang berlainan jenis ataupun sesama jenis.

Terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba(bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea, chlamydia, syphilis,trichomoniasis, chancroid, herpes genital, infeksi human immunodeficiensy virus (HIV) dan hepatitis B. HIV dan syphilis juga dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan juga melalui darah serta jaringan tubuh. 2.1.2 Etiologi Penyakit Menular Seksual

Menurut Handsfield (2001) dalam Chiuman (2009), Penyakit menular seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, yakni:

a. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, Salmonella sp, Shigella sp, Campylobacter sp, Streptococcus group B, Mobiluncus sp.

b. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia

c. Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus(tipe 1 dan 2), Herpes Simplex Virus (tipe 1 dan 2), Human papiloma Virus, Cytomegalovirus, Epstein-barr virus, Molluscum contagiosum virus,

d. Dari golongan ektoparasit, yakni Phthirus pubis dan Sarcoptes scabei 2.1.3. Penularan Penyakit Menular Seksual

Menurut cara penularan, Penyakit Menular Seksual ini terutama melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi, baik pervaginal, anal, maupun oral. Cara penularan

(3)

lainnya secara perinatal, yaitu dari ibu ke bayinya, baik selama kehamilan, saat kelahiran ataupun setelah lahir. Bisa melalui transfuse darah atau kontak langsung dengan cairan darah atau produk darah. Dan juga bisa melalui penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai penderita Penyakit Menular Seksual(PMS). Perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS adalah :

1. Berhubungan seks yang tidak aman (tanpa menggunakan kondom). 2. Gonta-ganti pasangan seks.

3. Prostitusi.

4. Melakukan hubungan seks anal (dubur), perilaku ini akan menimbulkan luka atau radang karena epitel mukosa anus relative tipis dan lebih mudah terluka disbanding epitel dinding vagina.

5. Penggunaan pakaian dalam atau handunk yang telah dipakai penderita 6. PMS (Hutagalung, 2002).

2.1.4. Jenis-Jenis Penyakit Menular Seksual

Secara garis besar Penyakit Menular Seksual dapat dibedakan menjadi empat kelompok, antara lain:

a. PMS yang menunjukkan gejala klinis berupa keluarnya cairan yang keluar dari alat kelamin, yaitu penyakit Gonore dan Uretritis Non Spesifik.

b. PMS yang menunjukkan adanya luka pada alat kelamin misalnya penyakit Chanroid(Ulkus mole), Sifilis, LGV, dan Herpes simpleks.

c. PMS yang menunjukkan adanya benjolan atau tumor, terdapat pada penyakit Kondiloma akuminata.

(4)

2.2 SIFILIS

2.2.1 Definisi

Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.

2.2.2 Epidemiologi

Asal penyakit ini tidak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah Colombus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidermi diNapoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh senggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama.

Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04 -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. WHO memperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999, dimana lebih dari 90% terdapat di negara berkembang. Data dari Departemen Kesehatan menunjukkan penderita sifilis mencapai 5.000 – 10.000 kasus per tahun.

2.2.3 Etiologi

Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.

Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.

(5)

Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesiesTreponema tidak dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu Treponema pallidum sub species pallidum yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum subspecies pertenue yang menyebaban frambusia, Treponema pallidum sub speciesendemicum yang menyebabkan bejel, Treponema carateum menyebabkan pinta.

2.2.4 Klasifikasi

Sifilis dibagi menjadi sifilif congenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis congenital dibagi menjadi: dini (sebelum dua tahun), lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan epidemiologic.Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (S I), stadium II (S II), dan stadium III (S III).

Secara epidemiologic menurut WHO dibagi menjadi:

1. Stadium dini menular (salam satu tahun sejak infeksi), terdiriatas S I, S II, stadium rekuren dan stadium laten dini.

2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan S II.

Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang memamsukannya ke dalam S III dan S IV.

2.2.5 Patogenesis Stadium dini

Pada Sifilis yang dididapat, T.pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrate yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh T.pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak diantara endothelium kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endothelium yang menimbulkan oblitrasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan perdarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I.

Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan

(6)

menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan meinggu sesudah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblast-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.

Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenita.

Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun.

Stadium Lanjut

Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibody tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sewaktu-waktu berubah, sebanya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu factor presipitasi. Pada saat itu muncullah S II berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain.

Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapatgangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaiknya. Kira-kira duapertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.

2.2.6 Gejala Klinis Sifilis Akuisita A. Sifilis dini

(7)

Masa tunasnya biasanya dua sampai empat minggu, T.pallidum masuk ke dalam selaput lendir atau kulilt yang telah mengallami lesi/mikrolesi secara langsung, biasanya melalui senggama. Treponema tersebut akan berkembang biak, kemudian terjadi penyebaran secara limfogen dan hematogen.

Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya segera menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, solitary, dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dann bersih, di atasnya hanya tampak serum. Dindingnya tidak bergaung, kulit disekitarnya tidak menunjukan tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum.

Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya berlokasi pada genetelia eksterna. Pada pria tempat yang sering dikenal ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga, dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguninalis medialis. Keseluruhan nya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitary, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukan tanda-tanda radang akut.

Istilah syphilis s’emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfusi darah atau suntikan.

Makin lama lesi terjadi, makin banyak kemungkinan tes serologis menjadi reaktif. Bila lesi telah terjadi sekitar 4 minggu atau lebih, kemungkinan tes serologis sudah reaktif.

II. Sifilis sekunder (S II)

Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat,berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidaktinggi, dan artralgia.

Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul,

(8)

folikulitis,papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapatditemukan pada sifilis kongenital.

Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,demam dan anemia.

Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada S II sangat menular, kelainan yang kering kurang menular. Kondiloma lata dan plaque muqueuses ialah bentuk yang sangat menular.

Gejala yang penting untuk membedakannya dengan berbagai penyakit kulit lain ialah: kelainan kulit pada S II umumnya tidak gatal, sering disertai limfadenitis generalisata, pada S II dini kelainan kulit juga terjadi pada telapak tangan dan kaki.

S II pada mukosa, biasanya timbul bersama-sama dengan eksentema setempat pada kulit, kelainan pada mukosa ini disebut enantem, terutama terdapat pada mulut dan tenggorok. Umumnya berupa makula eritematous yang cepat berkonfluensi sehingga membentuk eritema yang difus, berbatas tegas dan disebut angina sifilitika eritematosa. Keluhan nyeri pada tenggorok, terutama pada waktu menelan. Sering faring juga diserang, sehingga member keluhan suara parau. Pada eritema tersebut kadang-kadang terbentuk bercak keabu-abuan, dapat erosive dan nyeri.

Kelainan lain adalah plaque muqueuses (mucous patch), berupa papul eritematosa, permukaannya datar, biasanya miliar atau lentikular, timbulnya bersama-sama dengan S II bentuk papul pada kulit. plaque muqueuses dapat juga terletak di selaput lendir alat genital dan biasanya erosive. Umumnya kelainan pada selaput lendir tidak nyeri, lamanya beberapa minggu.

S II pada rambut, pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Pada S II lanjut, dapat terjadi alopesia areolaris yaitu kerontokan setempat-setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, seolah-olah digigit ngengat. Bercak-bercak tersebut disebabkan oleh roseola/papul, akar rambut dirusak oleh treponema. Kerusakan tersebut dapat juga terjadi pada alis mata bagian lateral dan janggut

S II pada kuku, warna kuku berubah menjadi putih, kabur. Selain itu juga menjadi rapuh, terdapat pula alur transversal dan longitudinal. Bagian distal lempeng kuku menjadi hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Kelainan tersebut dinamakan

(9)

onikia sifilitika. Pada paronikia sifilitika timbul radang kronik, kuku menjadi rusak, kadang-kadang kuku terlepas.

Pada kelenjar getah bening, umumnya seluruh KGB superficial membesar, sifatnya seperti S I. Pada mata, pada S II lanjut terjadi uveitis anterior, tetapi lebih sering terjadi pada stadium rekuren. Koroido-retinitis dapat terjadi tetapi jarang.

Pada hepar, kadang-kadang terjadi hepatitis,hepar membesar dan menyebabkan ikterus ringan. Pada tulang, terjadi periostitis atau kerusakan korteksdan menyebabkan nyeri.

Pada saraf, pada pemeriksaan LCS, tampak kelainan berupa peninggian sel danprotein. Gejala klinis pada stadium ini jarang, tetapi dapat disebabkan oleh meningitis akut/subakut. Tekanan intracranial dapat meninggi dan memberi gejala nyeri kepala, muntah, dan edema papil. Pemeriksaan serebrospinal pada S II ini tidak perlu dikerjakan secara rutin.

Antara S II dini dan S II lanjut terdapat perbedaan. Pada S II dini kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat hilang (beberapa hari hingga beberapa minggu). Pada S II lanjut, tidak generalisata lagi, melainkan setempat-setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa minggu hingga beberapa bulan).

Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan gelap positif. T.pallidum banyak ditemukan pada lesi selaput lendir atau lesi basah seperti kondiloma lata. Pada umumnya diagnosis ditegakkan tanpa pemeriksaan lapangan gelap, akan tetapi hanya berdasarkan kelainan kahs lesi kulit sifilis sekunder, ditunjang dengan pemeriksaan serologis.

III. Sifilis Laten Dini

Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologic darah positif, sedangkan tes likour serebrospinalis negative. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.

IV. Stadium Rekuren

Relaps dapat terjadi baik secara kilns berupa kelainan kulit mirip S II, maupun serologic yang telah negative menjadi positif. Hal ini terjadi terutama pada sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah S II, kadang-kadang S I. Kadang-kadang relaps dapat terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive. Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang, alat dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi dengan sifilis kongenita.

B. Sifilis lanjut

(10)

1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali kemungkinan pada wanita hamil.

2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan T.pallidum, pada sifilis lanjut tidak ditemukan.

3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.

4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pada sifilis lanjut destruktif

5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah,sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.

I. Sifilis laten lanjut

Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada aorititis.

Perlu diperiksa pula, apakah ada sikatriks bekas S I pada alat genital atau leukoderma pada leher yang menunjukan bekas S II (collar of Venus). Kadang-kadang terdapat pula banyak kulit hipotrofi lentikular pada badan bekas papul-papul S II.

II. Sifilis tersier (S III)

Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak,dan destruktif.

Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan.setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.

Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus,maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar.Tanpa pengobatan

(11)

guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat,dapat disertai demam.

Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus.Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan.

Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.

2.2.7 Pemeriksaan penunjang Sebagai pembantu diagnosis ialah: - Pemeriksaaan T.pallidum - Tes serologic sifilis (T.S.S) - Pemeriksaan yang lain I. Pemeriksaan T.pallidum

Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut jika hasil I pada hari I dan II negative.

Ruam sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi. T.paliduml berbentuk ramping, pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pandangan. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap. Bila negative bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kuman nya terlalu sedikit.

Harus hati-hati membedakannya dengan Treponema lain yang ada di daerah genitalia. Karena didalam mulut banyak dijumpai Treponema komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat digunakan.

(12)

Pemeriksaan lain dengan pewarnaan menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi di kompres dengan larutan NaCl setiap hari.

Pemeriksaan yang tidak rutin ialah dengan teknik fluoresen. Caranya yaitu bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan lapangan gelap. II. T.S.S

T.S.S. merupakan pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan spesifitas. Sensivitas ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis. Sedangkan spesifitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan sifilis. Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut dipakai untuk tes screening. Tes dengan spesifitas yang tinggi sangat baik untuk diagnosis. Makin spesifik suatu tes, makin sedikit member hasil semu positif.

S I pada mulanya member hasil T.S.S. negative (seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dini reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. Pada S III reaksi menurun lagi menjadi positif lemah atau negative.

T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai: 1. Nontreponemal (tes reagin)

2. Treponemal Nontreponemal

Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu (RBS) , Biologic Fase Positive (BFP).

Antibodinya disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal membentuk massa yang dapat dilihat pada tes flokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen. Contoh tes nontreponemal:

(13)

- Tes flokulasi: VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen Test).

Di antara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitive daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk menilai terapi. 2

Tes RPR dilakukan dengan VDRL, kelebihan RPR ialah flokulasi dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana, serta dapat dibaca setelah sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk screening.

Bila terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun, dalam enam minggu titer akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara rutin, termasuk untuk tes screening. Jika titer seperempat atau lebih tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah dua sampai empat minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64 atau 1/128) kemudian berangsur-angsur menurun dan menjadi negative. 2

Pada tes flokulasi dapat terjadi reaksi negative semu karena terlalu banyak regain sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi demikian disebut reaksi prozon. Jika serum diencerkan dan dites lagi, hasilnya menjadi positif.

Tes treponemal

Tes ini bersifat spesifik karena antigennya ialah treponema atau ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok:

a. Tes imobilisasi: TPI (Treponema pallidum Imobilization Test).

b. Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test)

c. Tes imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test), ada dua: IgM, IgG; FTA-Abs Ds (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Double Straining).

d. Tes hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19S IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum).

TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan: biayanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya

(14)

lambat, baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negative pada sifilis dini dan sangat lanjut.

RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu.

sitive (90%), terdapat dua macam yaitu untuk IgM dan IgG sudah positif pada waktu timbul kelainan S I. IgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer IgM cepat turun, sedangkan IgG lambat. IgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital.

TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitive, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia. Sebaiknya dilakukan secara kuantitatif yakni dengan pengenceran antara 1/80-1/1024. IgS IgM SPHA merupakan tes yang relative baru. Sebagai antiserum ialah cincin spesifik dan regain TPHA. Secara teknis lebih mudah daripada FTA-Abs IgM. Maksud tes ini ialah untuk mendeteksi secara cepat IgM yang spesifik terhadap T.Pallidum dan memegang peranan penting untuk membantu diagnosis neurosifilis. Jika titernya melebihi 2560, artinya menyokong diagnosis aktif.

Pada sifilis laten dan S III, tes nontreponemal bervariasi; positif lemah atau negative, sedangkan tes treponemal positif lemah.

Tes rutin yang dianjurkan ialah RPR/VDRL dan TPHA, dipakai sebagai pemeriksaan pembantu dan screening. Jika perlu baru FTA-Abs; sayang tes ini umumnya belum dapat dilakukan di Indonesia.

2.2.7 Pemeriksaan lain

Sinar Rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat terjadi pada S II, S Ill, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis kardiovaskular, misalnya untuk melihat aneurisms aorta.

Pada neurosifilis, tes koloidal emas sudah tidak dipakai lagi karena tidak khas.Pemeriksaan jumlah set dan protein total pada likuor serebrospinalis hanya menunjukkan adanya tanda inflamasi pada susunan saraf pusat dan tidak selalu berarti terdapat neurosifilis.Harga normal ialah 0-3 sel/mm3, jika limfosit melebihi 5/mm3 berarti ada peradangan. Harga normal protein total ialah /20-40 mg/100 mm3, jika melebihi 40 mg/mm3 berarti terdapat peradangan.

(15)

2.2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik.

Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasilpemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah.

Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi.

2.2.9 Penatalaksanaan

Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, danselama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksudmencegah proses lebih lanjut.

Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain. 1. PENISILIN

Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta sehingga mencegah infeksi. Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.

Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut harus bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.

Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:

a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja singkat.

b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.

(16)

c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.

Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu.

Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan.

Cara & dosis pemberian penisilin dlm kepustakaan masih berbeda. Dosis total yang untuk peniisilin G benzatin :

 S I : 4,8 juta unit IM  S II : 4,8 juta unit  Sifilis Laten : 7,2 juta unit  S III : 9,6 juta unit

Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.

Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000- 150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari.

(17)

Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T.pallidum yang mati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama.

Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksibiasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikanpenderita pada S I.

Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glottis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi rupture aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.

Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.

2. ANTIBIOTIK LAIN

Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.2 Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau eritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.

Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.

(18)

Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mgsehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari.

Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan SII, dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan verdon dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%.

Menurut penelitian Gabriele Riedner dkk, menyatakan bahwa azitromisin oral dengan dosis 2 gram mempunyai efek terhadap pengobatan sifilis dini pada negara berkembang.

2.2.10 Prognosis

Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur hidup, tidak menular ke orang lain, T.S.S. pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negative.

Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan meninggal.

Pada sifils dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.

Kegagalan terapi sebanyak 5% pada SI dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok dan region perianal. Di samping itu, dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S. yang negative menjadi positif atau yang telah positif menjadi semakin positif. Rupanya kambuh serologik ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis congenital.

Pada sifilis laten lanjut prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenal dan banyaknya kerusakan. Dengan melihat hasil T.S.S. pada sifils lanjut sukar ditentukan prognosisnya. T.S.S. yang tetap positif lebih

(19)

daripada 80%, meskipun telah mendapat terapi yang adekuat. Umumnya titer akan menurun, jika meningkat menunjukan kambuh dan memerlukan terapi ulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daili SF. Gonore. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. p. 367-78. 2. Malik SR, Amin S, Anwar AI. Gonore. In: Amiruddin MD, editor. Penyakit Menular

Seksual. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. p. 65-85. 3. Hartanto H, ed. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2002. p. 302-9. 4. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, eds. Farmakologi

dan Terapi. Jakarta: FKUI; 2004. p. 639-41, 676, 682-3.

5. Peeling, R.W et al. Syphilis available at http//www.nature.com/reviews/micro. Accessed

on May 14, 2010

6. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413.

7. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.

8. Sifilis available at http//www.medicastore.com.

(20)

10.CDC National Prevention Information Network. Syphilis available at http//www.cdc.com. 11. Aprianti S, Pakashi RDN, Hardjoeno. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam: Hardjoeno dkk.

Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Penerbit LETHAS, Makasar.2003. h:353-61.

12. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at http//www.medlineplus.com. 13. Wong T et al. Serological Treatment Response to Doxycycline/Tetracycline versus

Benzathine Penicillin. Am J Med 2008 Oct; 121:903.

14. Riedner G, Rusizoka M, Todd J, Maboko L, Hoelscher M, Mmbando D et al. Single-Dose Azithromycin versus Penicillin G Benzathine for the Treatment of Early Syphilis. NEJM 2005 Volume 353:1236-1244.

15. Djuanda, Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta. FKUI. 16. Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams. EGC: Jakarta

17. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPS

18. Wolff, Klaus et all.2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicin Seventh Edition. USA. The McGraw-Hill Companies.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan Ulang Tata Letak Fasilitas Di Lantai Produksi Produk Teh Hijau Dengan Metode From To Chart Untuk Meminimumkan Material Han- dling Di PT. Rumpun Sari

untuk membuat nasabah menjadi loyal terhadap perusahaan, customer service yang kurang tanggap akan permasalahan yang sedang dialami oleh nasabah, sarana dan prasarana

[161] dapat melakukan satu perbuatan motorik yang kompleks dengan lancar disertai ketepatan (keterampilan) dibutuhkan kondisi fisik yang memadai. 21) menambahkan,

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang

mulai dari tahap requirements planning, yaitu dengan melakukan pengumpulan data, analisis kebutuhan baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang dibutuhkan

Metoda-metoda untuk menkaj i/ studi anatomi dan morfologi hewan. Sayat an art hropoda

1) Petugas hubungan langganan datang ditempat kerja sebelum jam kerja yang telah ditetapkan, kemudian mengisi daftar hadir yang disiapkan dimeja Kantor UPT. Apabila tidak

Contoh dan persebaran golongan elemen native.. elas mineral sulfida atau dikenal juga dengan nama sulfosalt ini ter%entuk  dari kom%inasi antara unsur tertentu dengan