• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar adalah orang-orang terdekat anak, bahkan tidak jarang adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar adalah orang-orang terdekat anak, bahkan tidak jarang adalah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kekerasan pada anak belakangan ini semakin marak diberitakan media massa nasional. Para pelaku yang kemudian mendapat tindakan hukum nyaris sebagian besar adalah orang-orang terdekat anak, bahkan tidak jarang adalah orangtuanya sendiri.Pada pertengahan Maret 2015, masyarakat dikejutkan dengan berita terkait kasus kekejaman terhadap anak yang dilakukan seorang ibu tiri terhadap anaknyadi wilayah Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur. Seorang ibu bernama Suhaeni, berusia 35 tahun telah melakukan penganiayaan terhadap anak tirinya. Perempuan tersebut tega menyiksa anak tirinya dengan menempelkan setrika panas yang baru saja ia gunakan ke pipi Denis Apriliyan berusia 9 tahun. Tak puas dengan tindakan itu, Suhaeni alias Enijuga melayangkan tendangan ke kepala korban. Dia juga mencubit serta menginjak tangan kanan anak tirinya hingga terluka. Tindakan kejam itu dilakukan hanya karena Eni kesal terhadap anak tirinya yang tidak mau belajar dan lebih suka bermain di luar rumah. Akibat dari perbuatannya, saat ini Eni kini mendekam dalam jeruji besi di Polres Jakarta

Timur(http://www.tempo.co/read/news/2015/03/24/064652524/Kejam-Ibu-Tiri-Setrika-Pipi-Anak-di-Duren-Sawit, diakses 27 Maret 2015 pukul 15: 21 WIB).

Contoh kasus diatas sesungguhnya merupakan sepenggal kisah dari puluhan, bahkan ratusan dan mungkin ribuan, kasus kekerasan pada anak dalam rumah tangga yang terkuak ke publik. Dunia anak seharusnya menjadi dunia yang diisi dengan keceriaan dan kegembiraan.Pada dasarnya, anak sebagai manusia yang memiliki kemampuan fisik, mental dan sosialnya yang masih terbatas untuk

(2)

15

merespon berbagai resiko dan bahaya yang dihadapinya.Apa yang dialami anak dalam rumah tangga diatas seakan menjelaskan betapa posisi anak sangat lemah.Mereka sudah semestinya diberikan perhatian serta perlindungan akan hak-haknya.

Pada pasal 2 UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, telah diatur beberapa kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak anak yakni setiap anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya. Hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi secara tegas juga tertuang dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak(http://stopkekerasanpadaanak1.blogspot.com/, diakses 29 Maret 2015 pukul 14: 31 WIB).

Tindak kekerasan sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Kekerasan dapat terjadi dalam setiap jenis hubungan yang berbeda, misalnya antara suami dan isteri atau pacar laki-laki dan pacar perempuan; orang dewasa dan anak-anak; antara orang dewasa dan orang tua yang lebih renta; antar anggota keluarga besar seperti bibi, paman, dan kakek-nenek; atau orang-orang yang hidup bersama dalam hubungan non-seksual. Perempuan dan anak menjadi pihak yang lebih mungkin menjadi korban kekerasan, terutama anak-anak.

Isu tentang kekerasan pada anak sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia terutama hak anak. Di Indonesia, tidak semua anak beruntung untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Beberapa anak harus mengalami perlakuan

(3)

16

kekerasan dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak. Berdasarkan data dan laporan Komisi Nasional Anak (Komnas Anak) dalam kurun waktu empat tahun terakhir (dari tahun 2010 hingga 2014) sebanyak 21.689.797 kasus kekerasan telah menimpa anak-anak di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota di

Indonesia(http://www.antaranews.com/berita/460296/21-juta-kasus-kekerasan-menimpa-anak -Indonesia, diakses 19 Januari 2015 pukul 21: 39 WIB).

Pada prinsipnya, tindakan kekerasan pada anak tidak dapat diterima. Karena secara konstitusional, pasal 28 B, ayat (2) UUD 1945 telah menetapkanbahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 13 ayat (1) diamanahkan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa negara memiliki kebijakan untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Siapapun tidak diperbolehkan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak dengan alasan apapun, dan harus berperan dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan hidup manusia, bangsa dan negara Indonesia kedepannya tergantung pada kondisi dan kualitas anak-anak pada masa kini. Mengingat anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan peradaban manusia, sudah seharusnya anak mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya.

(4)

17

Kasih sayang, perhatian, dan perlindungan merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar anak dapat tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, sosial maupun spiritualnya secara wajar. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan sehingga kelak mereka dapat menjadi orang dewasa yang mampu bertanggungjawab dan mandiri.

Salah satu instrumen Internasional yang juga mengatur tentang hak-hak maupun kepentingan anak yakni Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Children). KHA sebagai gambaran perjanjian internasional mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara yuridis memberikan perlindungan atas hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial dan budaya seorang anak (Joni & Zulchaina, 1999:29).

Pemerintah Indoensia telah meratifikasi KHA sebagai bentuk keseriusannya dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Negara ini berkewajiban untuk mengembangkan sistem nasional kesejahteraan dan perlindungan anak dalam bentuk kebijakan, peraturan perundang-undangan, strategi dan program yang selaras dengan kewajiban negara dalam konvensi tersebut. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu perwujudan kewajiban negara dalam melaksanakan keterikatan secara yuridis sebagai konsekuensi dari ratifikasi hukum internasional. Terlebih, dalam memperkuat komitmen negara terhadap perlindungan anak, pemerintah Indonesia telah melakukan revisi terkait isi Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah kini telah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan kebijakan ini semakin mempertegas perlindungan akan hak anak diantaranya dengan menjaminkebutuhan-kebutuhan fundamental anak seperti hak

(5)

18

hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta hak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Walaupun di Indonesia sudah ada aturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur persoalan anak.Kenyataannya peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari segala tindakan kekerasan. Maraknya kasus kekerasan anak yang diberitakan di media cetak serta elektronik sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap anak cenderung terus bertambah. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari bulan Januari sampai Agustus tahun 2014, telah terjadi sebanyak 621 kasus kejahatan seksual, sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 590 kasus. Adapun kekerasan secara umum pada tahun 2013 tidak kurang dari 4.500 kasus, tahun 2012 sebanyak 4.358 kasus, tahun 2011 sebanyak 2275 kasus.

Komisioner KPAI, Maria Ulfah Anshor menyatakan tindak kekerasan dapat dialami siapa saja dan dapat terjadi setiap waktu. Mereka yang menjadi korban juga dapat ditemukan dalam berbagai bentuk dengan usia korban yang beragam, dari usia balita hingga di bawah usia 18 tahun dan pada berbagai lapisan sosial. Begitu juga ruang lingkup dan waktu kejadiannya, tidak mengenal ruang dan waktu, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik di ruang-ruang umum yang terbuka seperti di jalanan, taman bermain, sekolah bahkan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman bagi seluruh anggota keluarga. Pelakunya juga beragam dari orang yang tidak dikenal, teman, saudara, guru, pacar, serta

(6)

19

Keluarga atau orang tua yang oleh Undang-undang Perlindungan Anak merupakan salah satu pilar penanggungjawab perlindungan anakternyata kini telah gagal bahkan menjadi pihak yang menakutkan bagi anak.Lebih tragis lagi jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogiyanya mengasuh dan melindungi anak, terutama orangtua/keluarga. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sekretaris jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda menyatakan jumlah kekerasan domestik terhadap anak terus bertambah dari sekitar 500 kasus pada tahun 2013 meningkat dua kali lipat pada tahun 2014 silam. Di tahun 2014, ada sekitar 1286 kasus dimana telah meningkat dua kali lipat lebih dari 100 % kasus kekerasan yang dialami anak.

Fenomena nyata sering terjadinya kekerasan biasanya terjadi pada keluarga miskin akibat faktor ekonomi pada sebuah keluarga. Pada keluarga yang memiliki ekonomi rendah, anak dianggap menjadi beban keluarga, karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan berbagai persoalan lain, pendapatan ekonomi orang tua tidak mencukupi. Ketidakmampuan orangtua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari anak mengakibatkan anak-anak tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya dengan maksimal bahkan hak-hak anak cenderung terabaikan (Ismail, dalam Suyanto, 2010: 35).

(7)

20

Sementara, anak yang hidup dalam keluarga menengah jarang merasakan kekerasan dibanding anak yang hidup dalam keluarga miskin atau ekonomi rendah, karena dari segi penghasilan mereka yang hidup dalam ekonomi menengah mampu memenuhi kebutuhan diri si anak. Tetapi tidak menghilangkan kemungkinan bahwa kekerasan bisa terjadi pada keluarga menengah atas dengan berbagai faktor penyebab karena kekerasan pada anak terjadi pada semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

Keluarga yang berkecukupan dengan kedua orang tua semuanya bekerja, anak bisa jadi sesuatu yang merepotkan. Orang tua harus berbagi perhatian antara karier kerja dan tumbuh kembang anak. Banyak dari keluarga yang seperti ini mengandalkan pihak lain untuk menangani anak-anak mereka, dengan cara menggunakan jasa pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Akibatnya frekuensi dan kualitas hubungan emosional dengan anak menjadi terbatas atau rendah. Rendahnya frekuensi dan kualitas hubungan akan berdampak pada psikis anak. Anak akhirnya mencari perhatian di tempat lain dengan melakukan berbagai aksi kenakalannya, karena keluarga tidak cukup memberi ruang bagi tumbuh kembangnya (Kusmanto, 2013: 226). Karakter anak yang nakal ini sering menjadi penyebab kemarahan orangtua, sehingga anak menerima hukuman dan bila di sertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan pada anak.Namun, faktor ekonomi diatas bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak.

Kekerasan terhadap anak. juga terkait erat dengankondisi keluarga yang tidak harmonis. Misalnya, anak yang tumbuh dengan seorang sosok ibu atau ayah saja, atau bahkan dengan anak yang tumbuh tanpa orangtua. Masalah kekerasan pada anak kini terjadi tidak hanya di desa, tetapi juga dapat terjadi di kota

(8)

21

(http://www.KabarIndonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20070911212313, diakses 17 Februari 2015 pukul 23:12).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006, pelaku kekerasan terhadap anak dimana orang tua menjadi pelaku, telah terjadi sebanyak sekitar 61,4 persen (Perkotaan 56,5 persen; Perdesaan 64,4 persen). Kekerasan ini terjadi karena pelaku merasa korban tidak patuh sekitar 51,9 persen (Perkotaan 47,4 persen; Perdesaan 54,9 persen). Lainnya adalah perilaku buruk sekitar 15,7 persen, kesulitan ekonomi sekitar 9,9 persen serta cemburu sekitar 4,8 persen (http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=655:rumah-tempat-tidak-aman-buat-anak&catid=89:artikel&Itemid=121, diakses 23 Januari 2015 pukul 20:12).

Kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak, kian marak terjadi di berbagai wilayah di seluruh Indonesia disertai dengan beragam faktor penyebabnya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Gokrulina Sitompul (2012) di Kota Medan, tepatnya di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli, menemukan bahwa faktor pendidikan, faktor perlakuan anak di rumah serta di sekolah maupun di lingkungan sekitar sangat mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Tri Ariany (2013) di Kota Pontianak, mendapatkan bahwa faktor status orang tua tidak kandung berperan dalam hal bagaimana orang tua memperlakukan anaknya, ditambah lagi faktor ekonomi lemah serta faktor kelakuan anak itu sendiri yang dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Satu hal yang dapat digarisbawahi bahwa terjadinya kekerasan dalam keluarga dikarenakan orangtua tidak sedikit berangapan bahwa kekerasan pada anak sebagai sesuatu yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari

(9)

22

mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya adalah orang tua.

Orangtua sering tidak mengetahui bahwa terdapat batas yang jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan anak. Sikap dan perilaku orangtua yang tanpa sadar dalam menggunakan kekuasaannya untuk berbuat apa saja, termasuk melakukan kekerasan pada anak. Orangtua biasanya menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan perilaku anak supaya anak tidak menjadi pembangkang. Sedangkan, anak sebagai pribadi yang kecil dan lemah yang sepenuhnya berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa tidak berdaya menghadapi perlakuan tersebut. Tanpa disadari, ternyata anak sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat pada orangtua dengan cara kekerasan (Seto Mulyadi dalam Huraerah, 2007:69).

Segala bentuk pendisplinan yang bermuatan kekerasan dengan alasan apapun seperti alasan pendisiplinan anak, mendidik anak, serta kedewasaan anak tidaklah dibenarkan untuk dilakukan. Disamping itu, adanya anggapan dalam masyarakat yang masih meyakini serta menerapkan hukuman fisik seperti memukul, memarahi, mencubit, menjewer hingga menyiksa sebagai metode ampuh dalam menciptakan karakter baik pada anak. Memberi hukuman dengan menggunakan kekerasan bukanlah tindakan yang benar untuk membuat anak menjadi jera, tindakan tersebut malah akan memperburuk tingkah laku seorang anak.

Bentuk kekerasan yang mengancam anak juga sangat bervariasi seperti kekerasan fisik, psikis, sosial, seksual dan penelantaran. Baik kekerasan secara fisik, verbal, hingga penelantaran, dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan mental anak (Suyanto, 2010: 99). Secara mental, seorang anak akan mengingat semua tindak kekerasan yang berlangsung dalam satu periode secara konsisten.

(10)

23

Anak yang memiliki pengalaman buruk dengan perlakuan kasar dari orangtuanya, kemungkinan perkembangan kepribadian anak akan terganggu.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Kristin Sibuea (2012), kekerasan dalam rumah tangga berdampak pada diri korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga seperti adanya rasa minder dan malu dalam berhubungan dengan lingkungan sosial (perilaku menarik diri) karena takut diejek, dicemoh ataupun ditanya-tanya mengenai kekerasandalam rumah tangga yang menimpanya.

Kekerasan juga akan menyebabkan anak cenderung memiliki harga diri yang rendah, mengalami trauma dan menderita depresi pada masa dewasanya. Bahkan hal terburuk dari kekerasan yang dilakukan orang tua pada anaknya adalah memperpanjang lingkungan kekerasan. Anak-anak tersebut berpotensi dapat mengulang pola kekerasan yang sama terhadap keturunannya kelak. Hal tersebut dikarenakan, pada dasarnya anak merupakan refleksi dari orangtuanya. Jika orangtua yang terbiasa mengenalkan nilai-nilai kekerasan pada anak seperti sering memukul, mencemooh, mengejek, merendahkan anak dan sebagainya maka secara tidak langsung orangtua berperan dalam menciptakan pelaku-pelaku kekerasan selanjutnya.

Wilayah Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki catatan kasus kekerasan terhadap anak. Pokja Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut melansir data kasus kekerasan terhadap anak di Sumut pada 2013 yang mencapai 12.679 kasus yang terjadi di 23 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.335 kasus atau 52 persen adalah praktik kejahatan seksual terhadap anak, sedangkan sisanya berupa kekerasan pisik, penelantaran, eksploitasi, dan perdagangan anak (child

(11)

24

trafficking)(http://2010.kemenkopmk.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasan-seksual-capai-100persen, diakses 5 April 2015 pukul 22: 02 WIB).

Merujuk pada data layanan pengaduan masyarakat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID Sumut), pada tahun 2011 ada 163 kasus pelanggaran hak anak yang telah tercatat. Pada tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 192 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau meningkat menjadi 199 kasus. Sementara itu, di tahun 2014 kasus pelanggaran akan hak anak terus mengalami peningkatan. Data KPAID Sumut menunjukkan, selama periode Januari hingga Desember tahun 2014 telah diterima sebanyak 285 kasus pengaduan pelanggaran hak anak. Sebanyak 52 persen dari jumlah kasus pelanggaran hak anak tersebut merupakan kasus kekerasan seperti kejahatan seksual, kekerasan fisik, penelantaran, pembunuhan, perdagangan anak dan selebihnya merupakan penculikan, masalah hak kuasa asuh, hak pendidikan, hak kesehatan serta hak identitas anak. Dalam laporan pengaduan tersebut, pelanggaran terhadap hak anak tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja yang meningkat, namun terlihat semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran hak anak.

Melihat kompleksitas masalah kekerasan terhadap anak, sudah seharusnya persoalan tersebut mendapat perhatian dari seluruh pihak. Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan diterbitkannya Undang-undang Perlindungan Anak. Kebijakan tersebut sebagai upaya dalam melindungi hak-hak anak. Akan tetapi, kebijakan tersebut harus didukung dengan implementasi yang baik di masyarakat. Diantaranya, dengan memahami penyebab yang mendasari terjadinya kekerasan pada anak sebagai langkah pencegahan dalam melindungi anak.

(12)

25

Sejatinya, perlindungan anak bukan hanya menjadi bagian tanggung jawab orangtua terhadap anak mereka. Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya juga berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik,psikis ataupun kejahatan seksual. Peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam penciptaan lingkungan yang kondusif bagi anak. Bentuk perlindungan dalam upaya mensejahterahkan anak juga semakin bervariasi dan beragam bentuk dan tempatnya, mulai dari lingkungan rumah tangga, yayasan atau panti asuhan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan pemerintah dan sebagainya.

Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara telah membuat kebijakan penyelenggaraan perlindungan anak untuk mengatasi berbagai permasalahan anak yang terjadi di daerah Sumatera Utara melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID Sumut). KPAID Sumatera Utara merupakan refleksi dari kedudukan dan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. KPAID Sumut sebagai lembaga yang memberikan sarana dan informasi yang mudah diakses bagi masyarakat untuk melakukan pengaduan atas kasus yang dialami oleh anak. Salah satu masalah yang berkaitan dengan hilangnya hak-hak anak yang ditangani oleh lembaga ini yaitu masalah kekerasan yang dialami oleh anak baik secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran anak.

Semakin maraknya kasus kekerasan yang menimpa anak di dalam lingkungan keluarga, maka perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong kekerasan tersebut terjadi. Tidaklah mudah untuk menemukan suatu penyebab yang paling dominan untuk mendorong terjadinya kekerasan oleh orangtua terhadap anak. Beberapa teori menjelaskan bahwa faktor utama anak menjadi korban kekerasan

(13)

26

dipengaruhi kondisi perekonomian keluarga. Namun, setiap anak berpotensi menjadi korban kekerasan termasuk juga anak yang berasal dari kalangan keluarga sejahtera hingga prasejahtera. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk dapat mengetahui apa yang menyebabkan anak menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan orangtua dalam keluarga, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor penyebab tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga, yang hasilnya akan dituangkan dalam penelitian berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga (Studi kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut “Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak dalam keluarga?”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka:

(14)

27

a. Pengembangan teori-teori yang berkenaan dengan pemberdayaan anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga dalam memberikan perlindungan terbaik terhadap anak untuk meningkatkan kesejahteraan anak.

b. Pengembangan teori-teori tentang keluarga untuk mencegah agar tidak terjadi kekerasan terhadap anak di dalam keluarga.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan dalam penelitian ini secara garis besar dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang teori, uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran serta definisi konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

(15)

28 BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian serta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang pokok-pokok kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan angket motivasi belajar yang diisi siswa, didapatkan hasil siklus I hanya terdapat satu indikator yang sudah memenuhi indikator keberhasilan, yaitu tekun dan ulet

Bab ini berisikan mengenai uraian teoritis yang digunakan sebagai landasan teori yang mendukung penelitian ini yaitu mengenai ritel dan industri ritel Indonesia, toko

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diterangkan, bahwa industri susu karamel Cisondari yang merupakan industri rumah tangga memiliki ciri khas yang berbeda

Contoh Proposal Untuk

Using ELISA, Bcl-2 protein was measured in postmortem temporal cortex (Brodmann area 21) from the Stanley Foundation Neuropathology Consortium in control, schizophrenic, bipolar,

Penelitian ini didasarkan pada sebuah fenomena yang dituangkan dalam sebuah lirik lagu “Krisis Air” tentang kondisi air yang saat ini berubah karena adanya pencemaran air,

menggambarkan suasana tegang ketika Prabu Nala bermain dadu dengan Puskara, sedangkan dalam pertunjukan suasana yang digambarkan adalah ketakutan Dewi Damayanti