BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK KEDOKTERAN DI INDONESIA 1.1 Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda
yaitu delik atau starfbaar feit. Kata starfbaar feit kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia.1 Beberapa perkataan yang digunakan untuk menterjemahkan pengertian starfbaar
feit oleh sarjana-sarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara di dalam berbagai perundang-undangan digunakan istilah untuk menunjukkan
pengertiankata starfbaar feit. Beberapa istilah dalam undang-undang tersebut antara lain:
peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang
diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Seperti halnya Utrecht, Moeljatno, dan
Tirtaamidjaja dalam buku Wirjono Prodjodikoro memakai istilah peristiwa pidana sebagai
jalan tengah agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak tepat.2
Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakekatnya tidak menjadi
persoalan sepanjang penggunanya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.
Karena itu berbagai istilah tersebut digunakan bergantian bahkan dalam konteks yang lain
istiloah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.3 Pengertian tindak pidana menurut
Wirjono Prodjodikoro, yaitu tindak pidana adalah pelanggaran-pelanggaran norma-norma
dalam tindak hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha
1 Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.57.
2 Ibid, h.58
3 Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Effendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pusataka Publisher, Jakarta, h.40.
pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.4
Simons memberikan pendapatnya mengenai delict yaitu, delik merupakan suatu tindakan
dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan
yang dapat dihukum. Menurut d.Simons dalam bukunya C.S.T Kansil tindak pidana
merupakan perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh
seseorang yang mampu bertanggungjawab.5
Adapun Van Hamel dalam bukunya Lamintang yang merumuskan starfbaar feit
sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain, kemudian menurut
Pompe dalam buku yang sama menyatakan perkataan starfbaar feit secara terioritis dapat
dirumuskan sebagai suatu larangan norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang
sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
menjamin kepentingan umum.6 Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan
pidana, yaituperbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan.7
Menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan,
harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat dipersalahkan pada
pelakunya. Tambahan terhadap syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan
harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Sesuai dengan
penjelasan di atas, maka pendapat Bambang Poernama sejalan dengan pendapat J.E
4 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h.1.
5 C.S.T Kansil dan Kristine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. Kedua, Pt. Pradnya Paramitha, Jakarta, h..38. (Selanjutnya disingkat C.S.T.Kansil II)
6 P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h.172. 7 Moeljatno, op.cit, h.54.
Jonkersdalam buku Bambang Poernama, yang telah memberikan definisi mengenai starfbaar
feit menjadi 2 pengertian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yaitu: a. Definisi dalam arti sempit yaitu starfbaar feit merupakan suatu kejadian (feit)
yang dapat diancam pidana oleh Undang-undang
b. Definisi dalam arti luas yaitu starfbaar feit merupakan suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan dengan dilakukannya suatu perbuatan dengan sengaja atau alfa oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.8
Menurut definisi dalam arti sempit menyatakan bahwa untuk setiap delik yang dapat
dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan
pendapat umum tidak dapat menentukan lain dari undang-undang. Definisi dalam arti luas
menitik beratkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan
unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik atau unsur yang
tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.9
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh undang-undang
(sanksi pidana) dan dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain merugikan orang lain, tindak pidana juga akan berakibat
pada adanya pertanggungjawaban pidana yaitu berupa hukuman, vonis, atau penjatuhan
sanksi pidana dimuka pengadilan kepada pelaku tindak pidana atau kejahtan tersebut.10
Bachtiar Agus Salim dalam bukunya Djoko Prokoso menyatakan bahwa ada
beberapa syarat agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yang harus dipenuhi,
antara lain:
1. Tentang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum;
8 Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 91. 9 Ibid.
10 Andi Hamjah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan System Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, h..40. (Selanjutnya Disingkat Andi Hamjah II)
2. Mampu bertanggungjawab;
3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaannya; 4. Tidak adanya alasan pemaaf.11
1.1.1 Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada dasarnya, setiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh
perbuatan, mengandung perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Sebuah perbuatan tidak bisa
begitu saja dikatan tindak pidana, oleh karena itu harus diketahui apa saja unsur-unsur atau
ciri-ciri dari perbuatan itu sendiri. Adapun 5 unsur yang terkandung dalam tindak pidana,
yaitu:
a. Harus ada suatu kekuatan (gedraging);
b. Kelakuan itu harus sesuai dengan undang-undang;
c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
d. Kelakuan itu dapat diberatkan pada pelaku;
e. Kelakuan itu dapat diancam dengan hukuman.12
Terdapat begitu banyak unsur-unsur tindak pidana. Setiap sarjana memiliki pendapat
yang berbeda serta ada kesamaan pendapat. Seperti halnya Lamintang yang mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri sendiri si
pelaku dan termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun
yang dimaksud dalam tindakan-tindakan dari sipelaku harus dihapuskan.13
Adapun penjelasan mengenai unsur subjetif dan unsur objektif, yaitu:
1. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana
11 Djoko Prokoso, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 40. 12 C.S.T. Kansil II, op.cit, h.11.
13 Leden Marpaung, 1991, Unsur-Unsur Yang Dapat Dihukum (Delik), Ed I, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 11.
menyatakan tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan. Kesalahan yang dimaksud
dalam hal ini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). 2. Unsur Objektif
Unsur objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku yang terdiri atas:
a. Perbuatan manusia, berupa: act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
b. Akibat (result) tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan yang lainnya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances) pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan
antara lain: keadaan pada saatperbuatan dilakukan; keadaan setelah perbuatan
dilakukan.
d. Sifat dapat dihukum atau sifat melawan hukum, sifat dapat dihukum berkenaan
dengan alsan-alasan yang membebaskan pelaku dari hukuman. Adapun sifat
melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni
berkenaan dengan larangan atau perintah.14
1.1.2 Jenis-Jenis Tindak Pidana
Pada kitab undag-undang hukum pidana (KUHP) membagi semua jenis tindak pidana
kedalam dua golongan, baik yang termuat didalam maupun diluar KUHP, yaitu golongan
kejahatan (misdrijven) yang terdapat dalam buku II KUHP dan golongan pelanggaran
14 Laden Marpaung, op.cit, h.9.
(overtredingen) yang terdapat dlam buku III KUHP. Terdapat dua pendapat mengenai jenis
tindak pidana, yaitu penggolongan jenis tindak pidana bersifat kwalitatif dan bersifat
kwantitatif, adapun jenis penggolongan yang bersifat kwalitatif, yaitu:
1. Rechdelicten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas
apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undan-undang atau tidak.
Tindak pidana ini disebut dengan kejahatan (mala perse). Kejahatan jenis ini
tergolong dalam perbuatan pidana berat, misalnya: pembunuhan dan
pencurian.
2. Wetsedelicten perbuatan yang baru disadari oleh masyarakat sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai tindak pidana, karena
adanya undang-undang yang mengancamnya dengan sanksi pidana (mala quia
prohobitia)15
Terdapat perbedaan mengenai kedua jenis pidana tersebut, menurut Mr.J. M. Van Bemmelen, dalam bukunya “Hand-en Leer-boek van het Nederlanse Strafrecht” jilid II halaman 7, menyatakan suatu pendapat bahwa perbedaan antara 2 golongan tindak pidana ini
tidak bersifat kwalitatif, melainkan hanya bersifat kwantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya
diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini nampaknya didasarkan
pada sifat lebih berat daripada kejahatan.16
Penggolongan ini penting, karena dalam Buku I KUHP terdapat beberapa ketentuan
yang hanya berlaku bagi kejahatan, misalnya tentang percobaan dan penyertaan. Maka dari
itu karena perbedaan antara dua golongan ini adalah kwantitatif maka diluar KUHP dan
undang-undang tertentu yang memuat penyebutan tindak pidana harus ditegaskan, apakah
15 Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, h. 392.
tindak pidana tersebut masuk golongan kejahatan atau masuk golongan pelanggaran.
1.2 DEFINISI MALPRAKTEK MEDIK
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untu mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien tau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan
kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukannya dengan wajar.
Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standart pelayanan
medik. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
nyawa orang lain, maka diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan
kriminil.
Tolak ukur culpa lata adalah:
- Bertentangan dengan hukum
- Akibatnya dapat dibayangkan
- Akibatnya dapat dihindarkan
- Perbuatannya dapat dipersalahkan
Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di
bawah standar. Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak
dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya
dokter yang sengaja melakukan pembedaha pada pasiennya tanpa indikasi medik.
kelalaian menunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang
sangat sembarangan atau sikap dangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko
yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati sehingga harus bertanggungjawab
terhadap tuntutan kriminal. Di Indonesia berbagai pihak ada yang menggunakan istilah
malpraktek, malpraktek, malapraktek, malpraktek, marapraktek, perkara tindak pidana, dan
sebagainya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua terbitan Balai Pustaka,
dirumuskan bahwa malpraktek adalah praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak
tepat, menyalahi Undang-Undang atau kode etik. Istilah malpraktek juga terdapat pada
Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia Oleh J. S. Badudu yang
diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, dimana didalamnya dirumuskan bahwa malpraktek,
ialah praktek dokter yang salah dan menyalahi undang-undang serta kode etik kedokteran17. Walau belum ada kesamaan atau keseragaman mengenai penggunaan istilah “malpractice” namun didalam penulisan skripsi ini, penulis lebih cenderung untuk menggunakan istilah
malpraktek.
Malpraktek medis adalah isu medico-legal, tentang kerugian atau cidera yang dialami
pasien dan disebabkan oleh atau terkait dengan sistem pelayanan kesehatan ditempat ia
mendapat asuhan klinis. Malpraktek juga dapat dikatakan suatu tindakan dokter yang tidak
sesuai dengan standard perawatan, kurang mampu atau kurang terampil, kelalaian, sehingga
secara langsung menimbulkan kerugian. Black’s Law Dictionary, memberikan perumusan
sebagai berikut:
“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the community by the
average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practise, or illegal or immoral conduct.”
Malpraktek adalah setiap sikap-tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam
ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap-tindak
dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan
profesional dan melakukan pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar
didalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan
luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh
kepercayaan kepada mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak profesional yang
salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban
hukum, praktek buruk, atau illegal atau sikap immoral.
Malpraktek adalah sikap-tindak profesional yang salah dari seorang yang berprofesi,
seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan
karena sikap-tindak yang bersifat tak pedulian, kelalaian. Atau kekurangan ketrampilan atau
kehati-hatian didalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya; tindakan yang salah yang
sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis.
The Oxford Illustrated Dictionary, 2nd edition, 1975: “Malpractice = wrongdoing; (law) improper treatment of patient by medical attendant; illegal action for one’s own benefit while in position of trust.” Malpraktek adalah sikap-tindak yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang ilegal untuk memperoleh
keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.18
18 J. Guwandi, S.H., 2004, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, h.24.
Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH,. Definisi malpraktek mempunyai arti yang
luas, diuraikan sebagai berikut:
a. Arti umum, malpraktek merupakan suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah dilakukan oleh profesi.
b. Arti khusus, dilihat dari pasien malpraktek dapat terjadi dalam:
1. Menentukan diagnosisnya sakit maag, tapi ternyata pasien sakit lever. 2. Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah
kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri. 3. Selama menjalankan perawatan.
4. Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.19
Malpraktek menurut Dr. Kartono Mohammad merupakan “kelalaian tindakan dokter yang berakibat kerusakan fifik, mental, atau finansial pada pasien”20
. Selain
definisi-definisi dari para pakar diatas, DR. Veronica Komalawati,SH.MH juga memberikan
pengertian mengenai malpraktek yang berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya
adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Beliau juga memberikan pengertian bahwa
malpraktek dapat juga disebut dengan kesalahan profesional dokter adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam
menjalankan profesinya.21 Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice
diartikan sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis berdasarkan standar profesi
medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang terjadi, barangkali menandakan bahwa
aparat kesehatan masih kurang profesional. Atau merupakan bukti bahwa pelayanan
19 Ninik Mariyanti, SH, 1998, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina Aksara, Jakarta, h.38.
20 Dr. Kartono Mohammad, 1983, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran, Jakarta, Makalah dari Simposium Kedokteran, diselenggarakan oleh BPHN Departeman Kehakiman kerjasama dengan IDI, h.3 21
Dr. Hj. Anny Isfandyarie Sp. An. SH, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Op.cit., h.20 & 22.
kesehatanmasih belum memadai dan masih banyak kekurangan untuk mencapai hasil yang
maksimal sehingga membuat pasien menjadi puas atas pelayanan tersebut.22
1.2.1 Jenis-Jenis Malpraktek Medik
Dari berbagai definisi malpraktek diatas, kegagalan medis dapat menimbulkan akibat
negatif. Di Indonesia, tindakan malpraktek dokter sering terjadi, yang sebagian besarnya
tidak sampai diketahui masyarakat karena umumnya tindakan malpraktek tersebut tidak
sampai ke permukaan. Sehingga di Indonesia sangat jarang adanya kasus malpraktek dokter
yang sampai ke pengadilan. Berbeda halnya di negara-negara yang sudah maju, seperti
Amerika Serikat. Disana, sungguhpun kemampuan, profesionalisme, dan peralatan
kedokteran relatif cukup canggih, tetapi sangat banyak pula pasien yang tidak puas yang
pada akhirnya menggugat dokter ke pengadilan dengan tuduhan malpraktek tersebut.
Malpraktek dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika dan malpraktek
yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum:23
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang
dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek ini merupakan dampak negatif
dari kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan
22 Antonius P.S. Wibowo,S.H., 1998, Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma jaya, Jakarta,h.21.
bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa
dengan cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Contoh konkritnya adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana
dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Dan di
bidang terapi, seperti kita ketahui berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika
kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau
mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan
dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu digunakan
sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan indikasi medisnya,
mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati, mempertimbangkan
dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan pasien. Yang
terakhir adalah, mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi
kondisi pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya di
dalam kehidupan bermasyarakat.24
b. Malpraktek Yuridik
Dalam malpraktek yuridik ini Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga
24 Ibid, h.32-33.
bentuk, yaitu:25
1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian didalam transaksi perbuatan melanggar hukum
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Perbuatan atau tindakan yang
melawan hukum haruslah memenuhi beberapa syarat, seperti harus adanya
suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut
melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian
yang diderita. Sedangkan untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena
kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya 4 (empat)
unsur, yaitu:
a. Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien
b. Dokter telah melanggar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
c. Penggugat (pasien) telah menderiya kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya
d. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standard.26
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian dokter (tergugat). Kaidah hukum ada yang mengatur “Res ipsa loquitor” yang
artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang
25 Ibid, h.33-35
26
tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut,
timbul komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal
demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada kelalaian pada dirinya.
2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati- hati. Atau
kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang
meninggal dunia atau cacat tersebut.
a Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya, pada kasus-
kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan
pada kasus gawat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak
benar.
b Malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi serta mlakukan
tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c Malpraktek pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat
atau kematian terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi
didalam rongga tubuh pasien.
Malpraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah
kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
1.3 Definisi Hukum Kesehatan Dan Hukum Kedokteran
Sejak berdirinya republik ini, pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan dan
ketentuan hukum dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan pemeliharaan kesehatan dapat
berjalan dengan baik. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama
dalam mencapai masyarakat adil dan makmur. Peraturan dan ketentuan hukum ini tidak saja di
bidang kedokteran, tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan seperti farmasi, obat-obatan,
rumah sakit, kesehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan.
Sampai sekarang sudah ada puluhan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan yang
diterbitkan pemerintah. Kumpulan peraturan-peraturan dan ketentuan hukum inilah yang
dimaksud dengan Hukum Kesehatan. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kesehatan.
Undang-Undang ini merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mencapai derajat kesehatan
yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Seperti disebutkan dalam Pasal 1
Undang-Undang Kesehatan, bahwa Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Dilihat dari kacamata hukum, hubungan antara dokter-pasien termasuk dalam ruang
lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian karena adanya kesanggupan dari dokter
benang merah antara hukum kesehatan dengan hukum Pidana adalah adanya kesalahan.
PERHUKI organisasi yang menghimpun mereka yang mempunyai kaitan dengan hubungan
kesehatan, semula pada waktu berdirinya bernama PERHIMPUNAN untuk HUKUM
KEDOKTERAN INDONESIA. Dengan berbagai pertimbangan, nama yang sekarang adalah
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia Anggaran Dasar PERHUKI menyebutkan:
“Yang dimaksud dengan Hukum Kesehatan adalah semua yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban sebagai penerima pelayanan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis nasional/internasional,hukum di bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kesehatan-kedokteran”.27
Rumusan Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN Depkeh RI menyebutkan:
“ Hukum Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu atau masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspeknya yaitu aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan diperhatikan pula aspek organisasi dan sarana.Pedoman-pedoman medis international, hukum kebiasaan dan hukum otonom di bidang kesehatan, ilmu pengetahuan dan literature medis merupakan pula sumber hukum kesehatan”.28
Hukum Kedokteran, sebagai bagian dari hukum kesehatan yang terpenting, meliputi
ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan medis. Hukum Kedokteran disebut
juga hukum kesehatan dalam arti sempit. Apabila objek hukum Kesehatan adalah pelayanan
kesehatan maka objek hukum kedokteran adalah pelayanan medis. Hukum Kedokteran
dianggap bagian terpenting dari hukum kesehatan karena hampir selalu terdapat
persinggungan atau daerah-daerah kelabu antara hukum kedokteran dengan bidang-bidang
hukum lainnya. Hukum Kedokteran sendiri, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
27 Dr. Danny Wiradharma, S.H., M.S. Jm., 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, h.33.
1. Hukum Kedokteran dalam arti luas yaitu medical law yaitu ketentuan ketentuan hukum yang menyangkut bidang medis baik profesi medis dokter maupun
tenaga medis dan para medis lainnya.
2. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu artzrecht yaitu ketentuan- ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan perofesi dokter saja, dan biasa disebut
dengan Hukum Profesi Dokter.
Hukum kedokteran sebagai suatu bentuk spesialisasi dari ilmu hukum yang mempunyai
ruang lingkup yang sebenarnya belum mempunyai bentuk yang baku.29
1.3.1 Pengertian Dokter dan Pasien
Di dalam masyarakat seorang yang menyandang profesi dokter seringkali dianggap
mempunyai status sosial dan status ekonomi yang cukup tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Tapi saat ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang sangat diperlukan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Walaupun pada kenyataannya dokter tidaklah berdiri
sendiri. Pada prakteknya dokter menggunakan tekhnologi kedokteran guna menunjang
tujuannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat pada umumnya memberikan sebutan dokter kepada setiap orang yang
memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau di puskesmas, meskipun kenyataannya
yang memberikan pelayanan kesehatan itu hanya seorang mantri atau perawat saja. Di dalam
Undang-Undang Kesehatan, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabadikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
29
Menurut Undang-Undang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dokter sesuai dengan
Pasal 1 (satu), Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi,dan dokter
gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan dokter spesialis adalah seseorang yang telah memenuhi
seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan
spesialisasi tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang spesialisasinya
itu. Setiap dokter harus menyadari sepenuhnya bahwa dirinya tidak akan pernah mengetahui
semua permasalahan di bidang kedokteran karena bidang ini sangat luas. Sehingga konsultasi
dengan sesama dokter maupun spesialis bagi dokter umum sangatlah diperlukan, tidak saja
bagi kebaikan pasien tapi juga kebaikan dokter yang bersangkutan. Namun yang dimaksud
dengan dokter oleh penulis disini, bahwa dokter adalah seorang yang mempunyai keahlian
dan ketrampilan khusus yang diperolehnya secara akademik dari lulusan pendidikan ilmu
kedokteran yang mempunyai izin praktek dari pihak-pihak yang berwenang. Oleh Soerjono
Soekanto dikatakan pula bahwa dokter disini tidak termasuk dokter yang tidak memiliki izin
praktek sesuai standard kode etik kedokteran, dan tenaga paramedis yang bekerja di bidang
pelayanan kesehatan individual, seperti bidan, dukun, dan lainnya.30
Seperti halnya dengan pengertian dokter, seorang pasien juga memiliki pengertian
tersendiri. Pasien adalah seorang yang berdasarkan pemeriksaan dokter dinyatakan mengidap
penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam jiwanya. Di dalam perkembangannya maka
pasien juga diartikan secara luas yaitu termasuk orang yang datang kepada dokter hanya
untuk check-up, untuk konsultasi tentang suatu masalah kesehatan, dan lain-lain. Jadi tidak
30 Prof.Dr.Soerdjono Soekanto,SH, 1989, Aspek Hukum Kesehatan,Cet.1,NUD HILL.CO, Jakarta, h.89.
terbatas pada orang yang sakit atau dianggap sakit oleh dokter. Menurut Undang-Undang
Nomor tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan Pasien sesuai dengan Pasal 1
(satu) adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperolah pelayanan kesehatan yang diperlukan secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter. Jika dilihat dari cara perawatan maka pasien dapat dibedakan atas 31.
a. Pasien opname adalah pasien yang memerlukan perawatan khusus dan terus
menerus serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan dari luar yang
dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya, bahkan dapat
menghambat kesembuhan pasien. Biasanya pasien yang diopname adalah
pasien yang telah mendapat diagnosa dokter bahwa pasien ini harus dirawat
secara khusus karena penyakitnya membutuhkan perawatan dan pengobatan
secara intensif dan khusus. Dengan demikian perawatan itu akan mengikuti
cara-cara pengobatan secara teratur dan terus menerus, sehingga diharapkan
dalam waktu yang singkat pasien akan sembuh.
b. Pasien berobat jalan, adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan secara
khusus di rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang
berobat jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak
membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya cukup
datang pada waktu-waktu tertentu saja.
1.3.2 Hak dan Kewajiban Pasien
Pandangan hukum mengatakan pasien adalah subyek hukum mandiri yang dianggap
dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya sendiri setiap hubungan hukum
yang bersifat timbal balik akan selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak adalah
hak dan di pihak lain adalah kewajiban. Demikian juga dengan hubungan hukum antara
dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban. Sesuai dengan Undang-Undang
Praktek Kedokteran Pasal 52, pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3
b. Meminta pendapat dokter
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. Menolak tindakan medis
e. Mendapatkan isi rekam medis
Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 53 pasien dalam menerima
pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di dalam sarana pelayanan kesehatan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut:32
a. Hak pasien atas perawatan
b. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu
c. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat
pasien
d. Hak atas informasi
e. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin
f. Hak atas rasa aman
32 Ibid, h.33-34
g. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
h. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan
i. Hak atas twenty for a day visitor rights
j. Hak pasien mengenai bantuan hukum
k. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan
atau ahlinya.
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
dikatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Bersamaan dengan hak tersebut juga pasien juga mempunyai
kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien
berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai
dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya
dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban memberikan informasi
b. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
c. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya
dengan dokter atau tenaga kesehatan
d. Kewajiban memberikan imbalan jasa
e. Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau
tenaga kesehatan33
Selain kewajiban yang disebutkan diatas, pasien juga memiliki kewajiban dalam
33 Dr.Anny Isfandyarie Sp. An. SH, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum
membantu kesembuhan dirinya menurut Jusuf Hanafiah dalam bukunya Anny Isfandyarie,
adalah sebagi berikut:34
a. Pasien wajib memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter. Memang ada tuntutan bahwa dokter harus siap melayani pasien setiap waktu, namun alangkah baiknya bila pasien dapat berobat pada jam kerja karena dokter adalah manusia biasa yang juga memerlukan istirahat yang cukup. Ini diperkecualikan untuk kasus gawat darurat.
b. Memberikan informasi yang benar dengan lengkap tentang penyakitnya. Informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarganya merupakan hal yang penting bagi dokter dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit. c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
d. Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter yang berkaitan dengan penyakitnya baik tentang yang berkaitan dengan makan dan minum, maupun istirahat cukup, dan sebagainya
e. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.Dalam mengusahakan kesembuhannya, pasien harus yakin kalau dokter akan berupaya semaksimal mungkin di dalam mengobat dirinya.
f. harus bisa bekerja sama dan kooperatif pada saat dokter akan melakukan pemeriksaan.
g. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan, dan pengobatan serta honorarium dokter.
1.3.3 Hak dan Kewajiban Dokter
Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat melawan hukum
dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkrit, dan dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang
berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran.Sesuai dengan Undang-Undang-Undang Praktek
Kedokteran Pasal 50, hak dokter:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional.
b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
c. Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standard profesi ialah batasan
kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dan yang dimaksud dengan standard prosedur
operasional ialah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Hak – hak dokter sebagai pengemban profesi
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-
jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis
maupun terapeutik.
b. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanannya yang
diberikan kepada pasien.
c. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya.
d. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan
kesehatan yang diberikannya.
e. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien ataupun
keluarganya.35
Selain Hak-hak dokter diatas, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ia
laksanakan sesuai dengan tanggung jawab profesionalis. Jika diperhatikan Kode Etik
Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 1983, di dalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi:
a. Kewajiban umum
35 Ibid.
b. Kewajiban terhadap penderita
c. Kewajiban terhadap teman sejawatnya
d. Kewajiban terhadap diri sendiri. 36
Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Harmien Hadiati
Koeswaji dalam bukunya Dr Bahder Johan mengatakan bahwa secara pokok kewajiban
dokter dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki
secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan
menghasilkan satu hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu
merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang
dimilikinya. Ini berarti bahwa dokter wajib berusaha dengan hati-hati dan
kesungguhan menjalankan tugasnya.
b. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan
bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan,
kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang
mewakilinya.
c. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter ini
dalam hal perjanjian perawatan menyangkut dua hal yang ada kaitannya
dengan kewajiban pasien.37
Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter
36 Dr Bahder Johan Nasution, 2008, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban dokter, Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta, h. 35.
dalam melaksanakan praktek kedokteran :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi
Sepanjang diketahui di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, penulis hanya dapat menemui dua buah pasal yang berkaitan dengan kewajiban
dokter, yakni Pasal 50 dan Pasal 53 ayat (2). Pasal 50 menyatakan bahwa tenaga kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang
keahlian atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Dari perumusan pasal
tersebut dapat diketahui adanya kewajiban dokter sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan
untuk bekerja atau melakukan kegiatan kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya saja. Pasal 53 ayat (2) menyebutkan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan mematuhi hak pasien. Artinya
bahwa standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
melaksanakan profesi secara baik. Tenaga Kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti
dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien.
Kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar Dokter menjalankan profesinya
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Malahan tugas dokter tidak terbatas pada
pekerjaan kuratif dan preventif saja, karena dokter harus ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial dan kemanusiaan. Atas hal tersebut jika motivasi seseorang dokter dalam bekerja
dokter cenderung untuk bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter tersebut akan tergelincir
untuk melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan pada
keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari tugas itu sendiri,
akan mudah baginya untuk menghayati dan mengamalkan kode etik dan sumpahnya.
Disamping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi,
serta meningkatkan ketrampilannya sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugasnya
tidak perlu disangsikan lagi.
1.3.4 Hubungan Dokter dan Pasien
Hubungan dokter dan pasien selain hubungan antara sesama manusia, lebih
dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia. Dalam hubungan
seseorang dengan dokter maka faktor kepercayaan menjadi salah satu dasarnya artinya
pasien berhubungan dengan dokter itu, yakin bahwa dokter tersebut dapat dan mampu
membantu menyembuhkan penyakitnya. Kepercayaan dari pesien inilah yang mengakibatkan
kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien, di samping faktor keawaman
pasien terhadap profesi dokter dan faktor adanya sikap solider antar teman sejawat, serta
adanya sikap isolatif terhadap profesi lain. Hubungan antara dokter dan pasien yang terjadi
karena adanya hubungan hukum merupakan salah satu ciri transaksi terapeutik yang
membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Hubungan
antara pasien dengan dokter yang diikat dengan transaksi terapeutik, maupun yang
didasarkan pada zaakwaarneming, sering menimbulkan terjadinya kesalahan atau kelalaian,
dalam hal ini jalur penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum dengan melanjutkan
berdasarkan keadaan sosial budaya dan pasien dapat dibedakan menjadi 3 pola, yaitu :
a. Activity – passivity
Pola hubungan orang tua anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi
kedokteran mulai mengenal kode etik. Disini Dokter seolah-olah dapat sepenuhnya
melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien dengan suatu motivasi altruistis.
Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau
sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
b. Mutual Participation
Hubungan ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti
medical check up atau pada pasien penyakit kronis.Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.
c. Guidance-Cooperation
Hubungan membimbing kerjasama, seperti halnya orang tua dengan remaja. Pola
ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru
atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan
serta kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia
bekerja sama. Apabila hubungan dokter dan pasien dilihat dari sudut pandang hukum,
hubungan tersebut merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal yang
umumnya terjadi melalu suatu perjanjian atau kontrak. Dokter tidak menjanjikan
kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh. Apabila
hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang saling pengertian, umumnya
tidak akan ada permasalahan yang menyangkut dan diproses melalui jalur hukum