• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gerakan Sosial Baru

The Blackwell Companion to Social Movements (van Klinken, 2007:

11) mendefinisikan dengan komprehensif bahwa gerakan sosial sebagai: “...kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka merupakan salah satu bagiannya.”

Konseptualisasi ini melibatkan lima hal agar bisa dianggap sebagai gerakan sosial. Kelima konsep itu adalah tindakan kolektif atau gabungan, tujuan-tujuan atau klaimklaim yang berorientasi pada perubahan, sesuatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusional atau non-institusional, organisasi sampai tingkat tertentu (relasi), dan keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu.

Studi tentang gerakan sosial adalah salah satu dari bagian terbesar dan paling luas dipahami dalam disiplin ilmu sosiologi. Beberapa peneliti mempelajari bangkitnya organisasi gerakan sosial yang lebih spesifik pada titik-titik tertentu dalam sejarah, sementara peneliti lain melihat pada tren dan peristiwa pada tingkat makro dalam upaya untuk menghubungkan berbagai macam demografis dalam skala besar, transformasi ekonomi dan politik terhadap munculnya secara regional, nasional, dan bahkan global dari sebuah gerakan sosial (de Fay, 1999). Keragaman pendekatan yang digunakan untuk mempelajari berbagai bentuk tindakan kolektif juga sangat bervariasi. Beberapa peneliti memusatkan perhatian mereka pada media dan dampaknya terhadap para aktor gerakan sosial, sementara yang lain melihat dampak dari kemiskinan dan kelas sosial pada munculnya gerakan sosial. Terdapat lagi sarjana lain, dipelopori oleh ilmuan kontemporer yang

(2)

16 mengeksplorasi faktor identitas dan munculnya rangkaian baru dari kepentingan bersama yang menyatukan masyarakat yang berbeda melintasi jarak fisik yang besar dan dari berbagai budaya dan sistem politik (de Fay, 1999).

Sebelum menjelasakan lebih lanjut, terlebih dahulu kami mengemukakan pendekatan yang kami gunakan dalam melihat kerangka kerja Lidah Tani yaitu pendekatan gerakan sosial baru (GSB) yang telah banyak dikemukakan oleh para ilmuan kontemporer. Gerakan sosial baru dipahami berbeda dengan gerakan sosial lama (klasik) yang melibatkan wacana ideologis yang lebih meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas. Karekteristik GSB sifatnya plural, diantaranya seputar isu yang berhubungan dengan anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme, lingkungan hidup, kebebasan sipil sampai pada isu-isu perdamaian (Singh, 2007: 122).

Dalam subtansi utama itulah, studi ini melihat dengan perspektif GSB. Asumsinya bahwa dalam kasus yang terjadi di Randublatung, walaupun ditemukan adanya ketegangan yang sifatnya strukturalis antara pemerintah dan masyarakat, tetapi ide dasar gerakan berdasarkan isu seputar Hak Asasi Manusia dan keadilan hukum. Mobilisasi yang dilakukan oleh organisasi Lidah Tani menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap Perum Perhutani adalah alasan mendasar dari penggunaan konsepsi GSB dalama tulisan ini.

Kembali kepada persoalan teoritis, selanjutnya untuk membedakan dengan konsep klasik, beberapa ciri dari GSB yang dapat dikenali dalam beberapa konsep (Singh, 2007: 124-134). Pertama, GSB menaruh konsepsi ideologis pada asumsi bahwa masyarakat sipil berada pada titik nadir. Ruang sosialnya mengalami penciutan dikarenakan kontrol negara yang berlebihan. Selain negara, pasar juga menerobos masuk kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Kedua, perjuangan seperti anti rasisme, gerakan feminis dan lingkungan hidup bukanlah persoalan perjuangan kelas. Pengelompokan

(3)

17 mereka adalah lintas kelas, sehingga paradigma marxisme menjadi model yang tidak cocok. Karenanya kebanyakan GSB didefinisikan sebagai gerakan nonkelas dan nonmaterialistik.

Ketiga, GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput yang kerap memprakarsai gerakan mikro. Mereka melahirkan secara horizontal asosiasi demokratis terorganisir yang terjalin dalam federasi longgar pada tingkat nasional maupun dalam tingkat global. GSB secara umum merespon isu seputar demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif, dibandingkan membidik domain perekonomian dan negara. Sehingga diharapkan untuk menata kembali relasi negara, masyarakat dan pasar untuk menciptakan ruang publik yang berisi kebebasan individu, kolektivitas dan identitas selalu bisa di diskusikan dan diawasi.

Keempat, lain halnya dengan teori klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi oleh heterogenitas basis sosial mereka. Sesuai dengan esensinya, maka GSB umumnya bersifat global dan tidak tersegmentasi. Wilayah aksi, strategi dan cara mobilisasi mereka transnasional meyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat. Aktor-aktor yang beroperasi dalam GSB bukan karena kepentingan kelas mereka tetapi dengan alasan kemanusiaan. Aktor GSB seperti feminis, ekolog, dan aktivis perdamaian, memiliki pemahaman diri berupa identitas, tujuan, dan cara-cara berasosiasi mereka ditinjau secara historis adalah baru. Secara teoritis mengenai GSB sebagai analisis, maka tulisan ini meminjam konsep framing. Pendekatan framing dalam gerakan sosial paling erat terkait dengan karya David Snow, William Gamson dan Todd Gitlin (McAdam et.al, 2009; de Fay, 1999). Istilah frame dipinjam dari Erving Goffman yang mengacu pada skema penafsiran bahwa individu mengadopsi untuk memahami dunia di sekitar mereka dan menempatkan diri di dalamnya. Menurut Snow, frame memberikan makna pada peristiwa dan

(4)

18 “berfungsi untuk mengatur pengalaman dan panduan tindakan (kolektif dan individual)” (McAdam et.al, 2009: 270-271).

Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame yang sangat mirip dengan frame dari individu-individu yang sedang berusaha untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak” dan tergantung pada seberapa sukses pemimpin gerakan menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri dengan frame tindakan kolektif dari simpatisan. Sehingga mereka akan mampu memobilisasi berbagai individu dan kelompok.

Dalam rangka untuk menjelajahi bagaimana membangun frame tindakan kolektif, Gamson menganalisa kelas pekerja (de Fay, 1999: 23-24). Gamson memeriksa tiga frame tindakan kolektif yang berbeda yang ia sebut, ketidakadilan, lembaga, dan identitas. Sehubungan dengan frame ketidakadilan, Gamson menemukan bahwa orang yang bekerja tidak menyederhanakan penerimaan penggambaran frame ketidakadilan, tanpa terlebih dahulu mereka memproses melalui kerangka interpretif dan pengalaman mereka. Seperti teori framing lainnya, Gitlin juga memulai dengan definisi Irving Goffman tentang frame, tapi dia berfokus pada dampak cara media terhadap frame gerakan sosial, bukannya pembangunan

frame individu. Sementara Gamson menentang gagasan bahwa media

memiliki pengaruh langsung pada individu terhadap frame tindakan kolektif, Gitlin menyatakan bahwa media massa itu sendiri memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik, dan gerakan sosial tertentu. Gitlin menyatakan bahwa media memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap keberhasilan, atau kegagalan gerakan sosial modern (de Fay, 1999: 24-25).

Framing (pembingkaian) memusatkan perhatian pada peranan usaha

menguasai ide-ide dan identitas-identitas baru dalam membentuk gerakan-gerakan sosial. Para organisator gerakan-gerakan melakukan mobilisasi dengan jalan melukiskan isu-isu untuk para calon peserta gerakan dengan cara memberikan makna bagi mereka (van Klinken, 2007: 14). Framing menurut

(5)

19 Todd Gitlin adalah strategi bagaimana realitas dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak. Proses itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Maka, dalam konsep framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan dalam kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Selain itu, konsep kedua yang dipakai dalam tulisan ini adalah mekanisme relasi (relational mechanisms) yang diambil dalam teori

contentious politics (McAdam et.al: 2004). Secara umum mekanisme

didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang mengubah hubungan-hubungan di antara elemen-elemen tertentu dan cara-cara serupa. Sebuah contoh sentral tentang mekanisme relasional adalah brokerage (perantara), dimana dua unit sosial dibawa memasuki suatu hubungan dengan satu sama lain oleh unit ketiga (van Klinken, 2007: 17). Mekanisme relasional mengubah hubungan antara orang-orang, kelompok, dan jaringan interpersonal.

Brokerage menghubungkan dua atau lebih situs sosial, yang sebelumnya

tidak terhubung oleh sebuah unit yang menengahi hubungan mereka dengan satu sama lain, dan atau tanpa agen lain. Mekanisme berkaitan dengan kelompok dan individu satu sama lain yang termobilisasi selama periode politik perdebatan (contentious politics) sebagai kelompok baru yang disatukan oleh interaksi yang meningkat dan situasi ketidakpastian, sehingga mereka menemukan kepentingan bersama (McAdam et.al, 2004: 26).

Contentious politics itu sendiri oleh McAdam, Tilly dan Tarrow

didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-tiba daripada sebuah proses reguler. Definisi contentious politics yang dimaksud berdasarkan pada dua alasan yaitu: pertama, banyak contoh ketegangan transgresif tumbuh diluar dari kebiasaan yang ada; kedua, perubahan dalam

(6)

20 jangka waktu singkat. Sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial sering muncul dari transgresif yang memiliki kecenderungan lebih, dan sering memproduksi rezim-rezim yang ada.

Strategi Tahapan Konsolidasi dan Framing

2.2 Konsep Aktor Intermediary

Menurut Noeleen Heyzer, terdapat tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai aktor intermediary yakni mendukung dan LIDAH TANI Konsolidasi Dengan LBH dan LSM_LSM local dan Nasional PENGUATAN WACANA PUBLIK HERING FORUM DISKUSI FRAMING

(7)

21 memberdayakan masyarakat pada tingkat grassroots, yang sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerja sama, baik dalam suatu negara ataupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya. Ketiga, ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan (Afan Gaffar, 2006: 203).

Dalam ranah non-ektoral, biasanya wadah yang digunakan berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan atas dasar tujuan tertentu. Kehadiran LSM dalam sebuah masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemerintah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat, dan atau keterbatasan masyarakat dalam memenuhi tuntutannya kepada negara. Hingga yang terjadi biasanya adalah peran itu kemudian diambil alih oleh kelompok LSM atau aktor aktoraktor intermediary. Disisi lain, fenomena pembentukan norma dan tatanan sosial yang dilakukan oleh negara, menciptakan ketegangan dengan masyarakat, sehingga peran-peran dari aktor intermediary akan sering terlihat.

2.3 Teori Jaringan Aktor

Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori jaringan. pada teori jaringan banyak di bahas tentang hubungan antara satu aktor (individu atau kelompok) dengan aktor lainnya. Salah satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan pemikiran pada tingkat makro, artinya aktor atau pelaku bisa saja individu (Wellman, 1983: 162 dalam Ritzer, 2004: 382), atau mungkin juga kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kaitannya dalam hal ini teori jaringan membahas tentang hubungan yang terjadi pada tingkat struktur sosial skala luas sampai tingkat yang lebih mikroskopik. Analisis jaringan lebih ingin mempelajari keteraturan individu atau kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu pakar analisis jaringan mencoba menghindarkan penjelasan normatif dari perilaku sosial. Mereka menolak

(8)

22 penjelasan non struktural yang memperlakukan proses sosial sama dengan penjumlahan ciri pribadi aktor individual dan norma tertanan. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individual atau kelompok) memiliki akses berbeda terhadap sumber daya yang menilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yag berstruktur cenderung tersratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen lain. Teori jaringan juga memiliki beberapa prinsip logis yang merupakan tempat bersandarnya pemikiran-pemikiran teori jaringan itu sendiri. (Wellman, 1983 dalam Ritzer, 2004: 384) yaitu:

1. Ikatan antar aktor biasanya dalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya.

2. Ikatan antara individu yang harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.

3. Tersturturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non acak.

4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.

5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur didalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tak merata.

6. Distribusi yang tampang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerjasama maupun kompetisi.

Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana “ikatan” yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person”). Jaringan sosial tidak hanya beranggotakan pada satu individu, namun dapat juga berupa sekumpulan orang yang mewakili titik –titik

(9)

23 seperti yang dikemukakan sebelumnya, jika tidak harus satu titik mewakili satu orang, misalnya organisasi, instansi, pemerintah atau negara.

Sementara hubungan sosial atau saling keterhubungan merupakan interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau permanen) yang terakhirnya diantara mereka terikat satu sama lain dengan atau oleh seperangkat harapan yang relatif stabil (Zanden, 1990 dalam Agusyanto, 2007:14).

Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang(titik) dengan orang-orang lain dimana melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu, misalnya barang, jasa, dan informasi. Hubungan sosial antara dua orang mencerminkan adanya pengharapan peran dari masing-masing lawan interaksinya. Tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu sistematik, meskipun para pelakunya belum tentu menyadarinya. Dari terwujudnya hubungan sosial yang baik maka akan memudahkan jaringan sosial berkembang. Jaringan sosial menjadi sangat penting di dalam masyarakat karena di dunia ini bisa dikatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dari jaringan-jaringan hubungan sosial dari manusia lainnya. Walaupun begitu manusia tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau konteks sosialnya (Agusyanto, 2007:30). Dari analisis beberapa pakar jaringan mengatakan bahwa sesungguhnya jaringan sosial memiliki keteraturan-keteraturan sehingga terbentuknya jaringan bukan secara acak melainkan secara teratur. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan pada paragraf diatas, manusia dapat membuat jaringan atau terlibat dalam sebuah jaringan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ruang dan waktu. Ada tiga pembagian tipe keteraturan jaringan sosial menurut Epstein (1992 dalam Agusyanto, 2007 : 30-31), yaitu:

(10)

24 1. Ketentuan Struktural, dimana perilaku orang-orang teinterpretasikan dalam term tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi-posisi yang mereka duduki dalam suatu perangkat tatanan posisi-posisi-posisi-posisi.

2. Keteraturan Katagorikal, dimana perilaku seseorang di dalam situasi-situasi yang tidak terstruktur bisa terinterpretasi ke dalam term steriotipe-steriotipe.

3. Keteraturan Personal, dimana perilaku orang-orang, baik di dalam situasi yang terstruktur maupun tidak, bisa diinterpretasikan ke dalam pengertian-pengertian ikatan-ikatan personal yang dimiliki seseorang individu dengan orang-orang lain.

Bicara mengenai jaringan sosial tidak akan habis dalam sekali pembahasan, karena begitu kompleksnya jaringan yang terbentuk dalam masyarakat bahkan saling tumpah tidih dan memotong satu sama lain sehingga Barnes merasa perlu untuk membedakan jaringan untuk kepentingan penelitiannya, menurut Barnes (1969 dalamAgusyanto, 2007) jaringan dibedakan atas jaringan total digunakan untuk menyebut jaringan sosial yang kompleks, dan jaringan partial untuk menyebut jaringan yang hanya berisi satu jenis hubungan sosial. Lain hal lagi bila jaringan sosial ditinjau dari tujuan hubungan sosialyang membentuk jaringan-jaringan. Beberapa pakar antropologi maupun sosiologi dari beberapa literatur mengatakan, dari sisi ini jaringan sosial dapat di bedakan dalam tiga jenis yaitu :

1. Jaringan interest (kepentingan), terbentuk dari hubungan-hubungan sosial yanng bermuatan kepentingan. Hubungan sosial yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus yang ingin dicapai oleh para pelaku, sehingga

tindakan dan interaksi juga dievaluasi berdasarkan tujuan rasionalnya tadi. Pertukaran yang terjadi dalam jaringan juga diatur oleh

(11)

25 kepentingan –kepentingan pelaku didalamnya. Kecenderungan pelaku untuk memanifulasi hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya demi pencapaian tujuan sangat besar.

2. Jaringan power, hubungan-hubungan sosial yang membentuk jaringan bermuatan power. Power disini merupakan suatu kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambil keputusan orang atu unit sosial lainnya mellalui pengendalian (Adams: 1977 dalam Agusanto, 2007). Konfigurasi-konfigurasi saling keterhubungan antar pelaku di dalamnya sengaja atau diatur. Ketika pencapaian tujuan yang telah ditargetka dengan bantuan tindakan kolektif, dan konfigurasi saling keterhubungan permanen antar pelakunya, maka jaringan power juga telah terbentuk. Unit-unit sosialnya merupakan bentukan yang direncanakan atau distrukturkan secara sengaja oleh power. Pusat power pada jaringan iniselalu mengevaluasi kinerja unit-unit sosialnya dan memola kembali strukturnya untuk meningkatkan efisiensinya. Setiap anggota yang terhubung di jaringan ini tidak terjadi secara sukarela dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban masing-masing tanpa mengharap insentif. Sangat diperlukan adanya penghargaan bahkan ganjaran (reward and punish) yang terstruktur secara formal guna mendorong timbulnya kerelaan dengan peraturan-peraturan dan perintah-perintah oleh pusat-pusat power mereka.

3. Jaringan sentiment (emosi), seperti judulnya jaringan ini terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi. Hubungan sosial itu sendiri sebenarnya menjadi tujuan tindakan sosial misalnya percintaan, pertemanan atau hubungan kerabat, dan sejenisnya. Struktur sosial yang terbentuk dari hubungan-hubungan emosi pada umumnya lebih mantap atau permanen. Mengacu pada kata emosi yang didalamnya juga mengandung unsur menyukai atau tidak menyukai, sehingga dalam jaringan ini terdapat saling suka atau tidak suka antar pelaku. Kemudian muncullah norma-norma dan nilai-nilai akibat dari adanya kewajiban saling kontrol

(12)

26 yang relatif kuat diantara para pelaku, lantas dapat menjaga stabilitas dan menjaga keberlangsungan hubungan-hubungan sosial emosional yang terdapat dalam jaringan ini. Tipe jaringan ini dengan segala kecenderungan-kecenderungan hubungan emosional didamnya dapat menghasilkan rasa solidaritas.

Ketiga tipe jaringan sosial ini dalam kehidupan nyata sering kali berpotongan. Pertemuan-pertemuan tersebut membangkitkan suatu ketegangan bagi pelaku yang bersangkuatan karena logika situasional atau struktur sosial dari masing-masing tipejaringan berbeda atau belum sesuai satu sama lain. oleh karena itu, sering kali terlihat kontradiksi antara tindakan-tindakan dengan sikap yang pelaku wujudkan.

Mekanisme Network, Relasi yang Dibangun oleh Lidah Tani

Lidah Tani

Masyarakat Petani Randublatung

Aliansi Rakyat Peduli Keadilan dan Anti

Kekerasan LSM-LSM di Jateng: KPA, LBH Semarang dan ARuPA Kontras di tingkat Nasional

(13)

27

2.4 Kerangka Pikir Penelitian

Organisasi Lidah Tani Negara (kebijakan) Perhutani (KPH Randublatung) Masyarakat (Petani Randublatung) Teori Jaringan Teori Gerakan Sosial Baru

Referensi

Dokumen terkait

bahwadalam rangka menindaklanjuti Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan

Hasil dari pembuatan storytelling map yang berjudul “ Tracing Europe through Heritage Buildings in Kotabaru, Yogyakarta ” ini diharapkan dapat berkontribusi pada

Karekteristik kebijakan sendiri telah jelas, isi dari kebijakan tersebut sangat te - gas mewajibkan seluruh penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian analitik yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan Metode Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) terhadap

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan juga sejati, atau, dengan perkataan lain, yang memberikan realitas kepada semua kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas sama

Malah, ilmu dalam Islam mempunyai hubungan langsung dengan keperibadian seperti yang dinyatakan oleh al-Attas (1981) bahawa tujuan ilmu adalah melahirkan manusia yang baik