• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITERIA IJTIMA DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KRITERIA IJTIMA DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KRITERIA IJTIMA’ DALAM PENENTUAN AWAL

BULAN HIJRIYAH DI INDONESIA

Sakirman

Dosen STAIN Jurai Siwo Metro Email : sakirman87@gmail.com Abstrak

Penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia kerap kali menimbulkan perbedaan, utamanya pada bulan-bulan yang sarat dengan ibdah masa seperti Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijah. Hal tersebut ditengarai adanya berbagai macam kriteria penentuan awal bulan hijriyah, salah satunya adalah kriteria ijtima’. Ijtima’ menjadi acuan penting dalam penentuan awal bulan hijriyah, hal ini dikarenakan berakhirnya bulan dipengaruhi oleh posisi matahari, bulan, dan bumi yang berada pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan berada diantara matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung pada saat fase bulan mati ke bulan mati berikutnya. Dalam kajian ini, penulis akan menyoroti kriteria ijtima’ dalam penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia dalam berbagai pendekatan, baik konsep syar’i maupun astronomi.

Kata Kunci : Ijtima’ Awal Bulan Hijriyah,

Pendahuluan

Pada dasarnya cara atau sistem penetapan awal bulan kamariyah dapat diklasifikasikan ke dalam dua sistem, yaitu sistem rukyat dan sistem hisab. Sistem rukyat maupun hisab mempunyai sasaran yang sama, yaitu hilal. Oleh karena itu, inti tujuan dari dilakukannya penentuan awal bulan baik melalui rukyat ataupun hisab ialah memburu hilal.

Sistem rukyah yaitu melihat hilal dengan ‘mata telanjang’ atau dengan menggunakan alat bantu lain yang dilakukan setiap akhir bulan (tanggal 29 bulan kamariyah) menjelang pada saat matahari mulai tenggelam. Jika hilal berhasil dirukyat, sejak malam itu sudah ditetapkan tanggal satu bulan baru. Tetapi, jika tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan sehingga umur bulan tersebut disempurnakan 30 hari, atau istilah yang

(2)

populer disebut adalah Istikmal.1 Sedangkan yang dimaksud sistem hisab adalah cara menentukan awal bulan kamariah dengan menggunakan perhitungan berdasarkan peredaran benda-benda langit, yaitu bumi dan matahari. Sistem ini dapat memperkirakan awal bulan jauh sebelum terjadi karena tidak tergantung pada munculnya hilal pada saat matahari terbenam menjelang masuk tanggal satu bulan baru.

Rukyat dan hisab pada hakekatnya adalah cara instrumen untuk mengetahui kapan pergantian bulan, dari bulan lama (yang sedang berlangsung) ke bulan baru berikutnya (bulan yang akan datang), itu terjadi. Rukyat maupun hisab semata-mata tidak dapat menjawab pertanyaan “kapan bulan kamariyah itu berganti” sepanjang konsep bulan baru itu belum dijawab, itulah sebabnya, maka termasuk hal yang mendasar, adalah bagaiman kita dapat mengetahui konsp bulan baru kamariyah itu berlangsung. Bulan baru adalah suatu proses atau fenomena dimana pada saat matahari terbenam setelah terjadi Ijtima’ bulan sudah mengejar atau melewati matahari, atau dengan pernyataan lain yang mudah dikenali adalah, fenomena dimana setelah terjadi Ijtima’ matahari lebih dulu terbenam dari pada bulan.

Menegtahui saat terjadinya Ijtima’ sangat penting dalam penentuan awal bulan kamariyah setiap bulannya. Sekalipun hanya sebagian kecil para ahli yang menetapkan tanggal dan bulan kamariyah yang berdasarkan

ijtima’ qabla al-ghurub, namun semua sepakat bahwa peristiwa ijtima’

merupakan batas penentuan secara astronomis antara bulan kamariyah yang sedang berlangsung ke bulan kamariyah berikutnya. Oleh karena itu, para ahli astronomi umumnya menyebut ijtima’ atau konjungsi (Conjuction) atau New Moon sebagai konsep dalam penentuan awal bulan baru kamariyah.

Pembahasan Pengertian Ijtima’

Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat kata ijtima’ disebut juga dengan istilah iqtiran yaitu pertemuan atau berkumpulnya (berimpitnya) dua benda

1 Yaitu penyempurnaan bilangan bulan hijriyah menjadi tiga puluh hari (khususnya Sya’ban, Ramadlan, dan Syawwal). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila hilal tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” Lihat Susiknan Azhari,

(3)

yang berjalan secara aktif.2 Dalam redasksi lain, Ilyasyahri Nawawi memberikan definisi ijtima’ yaitu berkumpulnya matahari dan bulan pada satu bujur astronomi جوربلا ةرئاد.3

Muhyiddin Khazin, memeberikan elaborasi tentang ijtima’ dalam bukunya Ilmu Falak; Teori dan Praktek bahwa, kata Ijtima’ disebut juga

Iqtiran yaitu ‘bersama’ atau ‘kumpul’, yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam istilah astronomi kata

Ijtima’ dikenal juga dengan nama Conjunction (konjungsi) atau new moon.4 Dalam buku Almanak Hisab Rukyat Departemen Agama, kata

ijtima’ yang disebut juga dengan istilah iqtiran, yaitu apabila matahari dan bulan berada pada bujur astronomi جوربلا رئاود yang sama. Dalam dunia astronomi, ijtima’ dikenal juga dengan istilah konjungsi (conjuction). Oleh para ahli hisab, Ijtima’ dijadikan pedoman untuk menentukan masuknya bulan baru kamariyah, sehingga dalam ilmu hisab ijtima’ disebut juga dengan نيرينلا عامتجإ.5 Bila dikaitkan dengan bulan baru kamariah, ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan baru dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.

Berdasarkan pengertian di atas, sedikit menggarisbawahi, bahwa

ijtima’ adalah suatu istilah dalam ilmu falak, istilah itu diambil dari bahasa Arab yang mempunyai arti ‘berkumpul’, istilah lain untuk pengertian yang sama adalah iqtiran, dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal pula dengan sebutan ‘konjungsi’ yang diambil dari bahasa Inggris ‘conjunction’.6 Dalam prosesnya, ijtima’ adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat. Fenomena ijtima’ terjadi pada saat matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan berada diantara matahari dan bumi), kejadian ini berlangsung pada saat fase bulan mati. Kita tahu perjalanan matahari lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan bulan setiap harinya. Keduanya setiap saat kita saksikan dari bumi bergerak dari arah timur menuju arah barat dengan kecepatan yang

2Ibid., 93.

3 Ilyasyahri Nawawi, Hisab Falak (Bandungsari, Ngaringan Grobongan Jawa Tengah: PP Al-Ma’ruf), 43

4 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak, Teori dan Praktek cet. ke-II (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005), 139.

5 Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat (Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1998), 219.

6Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama,

Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola (Jakarta:,

(4)

berbeda. Proses ijtima’ bisa kita ibaratkan dengan dua buah jarum jam yang terus-menerus bergerak berputar mengelilingi piringan jam tersebut. Karena kecepatan kedua jarum ini tidak sama maka suatu ketika pasti keduanya akan mengalami peristiwa yaitu bertemunya kedua jarum jam tersebut pada posisi yang sama pada suatu waktu dan tempat tertentu. Peristiwa yang sama juga pasti dialami oleh dua makhluk yang kita sebutkan di atas, yaitu Bulan dan Matahari. Peristiwa terjadinya fenomena yang hanya memerlukan waktu sepersekian detik ini dikenal dengan sebutan ijtima’,

muhaq, iqtiran, konjungsi, bulan mati, atau new moon.

Sebenarnya bila diteliti, ternyata jarak antara kedua benda planet itu berkisar sekitar 50 derajat. Dalam keadaan ijtima’ pada hakikatnya masih ada bagian bulan yang mendapat pantulan sinar dari matahari, yaitu bagian yang menghadap bumi. Namun kadang kala, karena sangat tipis, hal ini tidak dilihat dari bumi, karena bulan yang sedang berijtima’ itu berdekatan letaknya dengan matahari. Kondisi ini dipengaruhi oleh peredaran masing-masing planet pada orbitnya. Bumi dan bulan beredar pada porosnya dari arah barat ke timur.7

Dalil Syar’i a. Qur’an al-Baqarah: 189

ْلا َو ِساَّنلِل ُتيِقا َوَم َيِه ْلُق ِةَّلِهَ ْلْا ِنَع َكَنوُلَأْسَي

اوُتْأَت ْنَأِب ُّرِبْلا َسْيَل َو ِ جَح

اَه ِروُهُظ ْنِم َتوُيُبْلا

اوُقَّتا َو اَهِبا َوْبَأ ْنِم َتوُيُبْلا اوُتْأ َو ىَقَّتا ِنَم َّرِبْلا َّنِكَل َو

َنوُحِلْفُت ْمُكَّلَعَل َ َّاللَّ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:

"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah

(5)

itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. b. Hadits إ

ةيمأ ةمأ ان

,

بسحن لاو بتكن لا

,

اذكه و اذكه رهشلا

و ةعست ةرم ينعي

نيرشع

,

نيثلاث ةرمو

8

Artinya: “ Kami adalah ummat yang ummi, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung (tidak tahu ilmu hisab). Bulan adalah sekian dan sekian, maksudnya ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari.” c. Pendapat Ulama

ِهْلا َلْبَق ُنِئاَكْلا اَمِهيِذاَحَت َوُه يِذَّلا ِرَمَقْلا َو ِسْمَّشلا َعاَمِتْجا َّنِإَف

ِل َلا

:

ٌّيِفَخ ٌرْمَأ

ٍريِثَك ٍناَم َز ِعيِيْضَت َو ٍبَعَت َعَم ِساَّنلا ُضْعَب ِهِب ُد ِرَفْنَي ٍباَس ِحِب َّلاإ ُف َرْعُي َلا

ُف َلاِتْخ ِلاا َو ُطَلَغْلا ِهيِف َعَق َو اَمَّب ُر َو ُهْنِم ُهَل َّدُب َلا اَم َو َساَّنلا يِنْعَي اَّمَع ٍلاَغِتْشا َو

.

ْوَك َكِلَذَك َو

ُك َرْدُي َلا ٌرْمَأ اَذَه َّيِن َلاُفْلا ْوَأ َّيِن َلاُفْلا َج ْرُبْلا ْتَذاَح ِسْمَّشلا ُن

ِراَصْبَ ْلْاِب

.

ِهيِف ُطَلْغُي ْدَق يِذَّلا ِلِكْشُمْلا ِ صاَخْلا ِ يِفَخْلا ِباَس ِحْلاِب ُك َرْدُي اَمَّنِإ َو

اًبي ِرْقَت ِساَسْحِ ْلْاِب َكِلَذ ُمَلْعُي اَمَّنِإ َو

9

Artinya: “bahwasanya berkumpulnya (konjungsi) matahari dan bulan keduanya terjadi sebelum hilal (tanggal), karena hilal adalah sesuatu yang tipis pada saat munculnya, maka tidak dapat diketahui kecuali dengan hisab, akan tetapi hanya sedikit orang memahami hisab, karena hisab merupakan sesuatu pekerjaan yang menyita waktu dan merepotkan manusia, dan masih memungkinkan terjadinya kesalahan dan perbedaan di dalamnya. Sebagaimana juga adanya matahari yang dekat dengan sesuatu yang tidak diketahui dengan penglihatan, ini hanya dapat diketahui dengan hisab, namun meskipun menggunakan hisab yang lebih kompleks, masih terdapat kesalahan di dalamnya, dan ini hanya diketahui dengan berdasarkan perkiraan saja.

8 HR. Bukhari & Muslim

(6)

Macam- macam Kriteria Ijtima’

Setidaknya ada dua aliran besar dalam menetapkan awal bulan kamariyah dengan menggunakan sistem hisab hakiki.10 Pertama, aliran yang berpegang pada ijtima’ semata. Kedua, aliran yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuk.

a. Aliran Ijtima’ Semata

Aliran ini menetapkan bahwa awal bulan kamariyah itu mulai masuk ketika terjadinya ijtima’. Para pengikut aliran ini mengemukakan adagium yang terkenal نيرهشلا نيب اوتبسإ نيرينلا عامتجإ “bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah di antara dua bulan”. Kriteria awal Bulan (New-Moon) yang ditetapkan oleh aliran ijtima’ semata ini sama sekali tidak memperhatikan rukyah. Artinya tidak mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak. Dengan kata lain, aliran ini semata-mata hanya berpegang pada astronomi murni.

Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak saat matahari dan bulan dalam keadaan ijtima’. Jadi menurut aliran ini ijtima’

merupakan pemisah antara dua bulan kamariyah yang berurutan. Waktu yang berlangsung sebelum terjadinya ijtima’ termasuk bulan sebelumnya. Sedangkan waktu yang berlangsung sesudah Ijtima’ termasuk bulan baru.

Dalam wilayah empirik, jarang sekali ditemukan yang secara murni memegang kriteria ini. Ketika menentukan awal bulan kamariyah, aliran ini biasanya memadukan saat ijtima’ tersebut dengan fenomena alam lain, sehingga kriteria tersebut di atas menjadi berkembang dan akomodatif. Fenomena alam yang dihubungkan denagan saat ijtima’ itu tidak hanya satu, sehingga aliran ijtima’ semata ini terbagi lagi dalam sub-sub aliran yang lebih kecil lagi.

b. Ijtima’ Qabla al-Ghurub

Aliran ini mengaitkan saat ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Mereka membuat kriteria “jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru (new moon), sedangkan jika ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.”

10 Sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal Bulan. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-berturut umurnya 29 hari atau 30 hari. Lihat Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin

(7)

Aliran ini menetapkan bahwa pergantian hari atau tanggal terjadi pada saat ghurub (terbenam) matahari. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat Yaasin ayat: 40

َنوُحَبْسَي ٍكَلَف يِف ٌّلُك َو ِراَهَّنلا ُقِباَس ُلْيَّللا َلا َو َرَمَقْلا َك ِرْدُت ْنَأ اَهَل يِغَبْنَي ُسْمَّشلا َلا Artinya; “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan

malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya”

Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan راهلا قباس ليلالاو menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam mahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahli hisab ini diperaktekkan juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw. Mereka melakukan rukyah pada saat terbenam matahari. Ini menunjukkan bahwa pergantian hari dan tanggal adalah pada saat terbenam matahari.11

Aliran ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asalkan sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtima’ meskipun hilal masih di bawah ufuk maka malam hari itu berarti sudah masuk Bulan baru.

Dengan demikian, menurut aliran ini, ijtima’ adalah pemisah di antara dua bulan kamariyah. Namun karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru, dan jika ijtima’

terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung.

c. Ijtima’ Qabla al-Fajr

Beberapa orang ahli hisab mensinyalir adanya pendapat yang menetapkan bahwa permulaan bulan kamariyah ditentukan pada saat

ijtima’ dan terbit fajar.

Pendapat ini didasarkan atas pemahaman terhadap firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187

َّنُه ْمُكِئاَسِن ىَلِإ ُثَف َّرلا ِماَي ِ صلا َةَلْيَل ْمُكَل َّل ِحُأ

ْمُكَّنَأ ُ َّاللَّ َمِلَع َّنُهَل ٌساَبِل ْمُتْنَأ َو ْمُكَل ٌساَبِل

َُّاللَّ َبَتَك اَم اوُغَتْبا َو َّنُهو ُرِشاَب َنَ ْلْاَف ْمُكْنَع اَفَع َو ْمُكْيَلَع َباَتَف ْمُكَسُفْنَأ َنوُناَتْخَت ْمُتْنُك

ُطْيَخْلا ُمُكَل َنَّيَبَتَي ىَّتَح اوُب َرْشا َو اوُلُك َو ْمُكَل

َّمُث ِرْجَفْلا َنِم ِد َوْسَ ْلْا ِطْيَخْلا َنِم ُضَيْبَ ْلْا

ِ َّاللَّ ُدوُدُح َكْلِت ِد ِجاَسَمْلا يِف َنوُفِكاَع ْمُتْنَأ َو َّنُهو ُرِشاَبُت َلا َو ِلْيَّللا ىَلِإ َماَي ِ صلا اوُّمِتَأ

ُهَّلَعَل ِساَّنلِل ِهِتاَيَآ ُ َّاللَّ ُنِ يَبُي َكِلَذَك اَهوُب َرْقَت َلاَف

َنوُقَّتَي ْم

11 Ibid., 43.

(8)

Artinya; Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Mereka menetapkan kriteria bahwa “apabila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru dan apabila ijtima’ terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudah terbit fajar itu masih termasuk hari yang terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Mereka juga berpendapat bahwa saat Ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan terbenam matahari.12

d. Ijtima’ dan Terbit Matahri

Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila Ijtima’ terjadi di siang hari maka siang itu, yakni sejak terbit Matahari tersebut maka malamnya sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi sebaliknya jika ijtima’ terjadi di malam hari maka awal bulan dimulai pada siang hari berikutnya.13

e. Ijtima’ dan Tengah Hari

Kriteria awal bulan menurut kriteria ini adalah “apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah hari (zawal) maka hari itu sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi jika ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka hari itu masih masuk bulan yang sedang berlangsung.14

f. Ijtima’ dan Tengah Malam

Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka sejak tengah malam itu sudah masuk awal Bulan. Akan tetapi bila ijtima’ terjadi sesudah tengah malam maka malam itu masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new

12Ibid., 28. 13Ibid. 14Ibid., 29.

(9)

moon) ditetapkan mulai tengah malam berikutnya.15 g. Ijtima’dan Posisi Hilal di atas Ufuk

Para penganut aliran ini mengatakan bahwa awal bulan kamariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk. Dengan demikian, secara umum kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan kamariyah oleh para penganut aliran ini adalah: Pertama, awal bulan kamariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’. Kedua, hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.16

Menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai sejak terbenam matahari sama persis dengan aliran ijtima’ qabla al-ghurub. Akan tetapi ada perbedaan yang cukup menonjol dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Pada ijtima’ qabla al-ghurub sama sekali tidak memperhatikan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari (sunset). Sedangkan ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk selalu memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk. Tegasnya, walaupun ijtima’

terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariyah sebelum diketahui posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari itu.

Apabila pada saat terbenam matahari itu hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak saat itu masuk bulan baru kamariyah, sebaliknya jika pada saat itu hilal masih berada di bawah ufuk maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan kamariyah yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, yang menjadi standar adalah ijtima’qabla al-ghurub dan posisi hilal di atas ufuk.

Aliran ini kemudian terbagi lagi menjadi tiga cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap kriteria posisi hilal di atas ufuk.

h. Ijtima’ dan Ufuk Hakiki

Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hakiki (true horizon). Adapun dari ufuk hakiki adalah lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Sedangkan posisi atau kedudukan hilal pada ufuk adalah posisi atau kedudukan titik pusat bulan pada ufuk hakiki. Jelasnya, menurut aliran ini awal bulan kamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu titik pusat bulan sudah

15Ibid. 16Ibid., 30.

(10)

berada di atas ufuk hakiki.17 i. Ijtima’ dan Ufuk Hissi

Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi Ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon). Adapun pengertian dari ufuk hissi adalah lingkaran pada bola yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertikal dari si pengamat tersebut.

Ufuk hissi dikenal juga dengan istilah horison semu atau

astronomical horizon. Bidang ufuk hissi ini sejajar dengan bidang ufuk hakiki, perbedaannya dengan ufuk hakiki terletak pada beda lihat (parallax).18

Jelasnya, menurut aliran ini, awal bulan kamariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu titik pusat Bulan berada pada ufuk hissi.

j. Ijtima’ dan Imkan al-Rukyat

Awal bulan kamariyah menurut aliran ini dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah diperhitungkan untuk dapat dirukyat, sehingga diharapkan awal bulan kamariyah yang dihitung sesuai dengan penampakkan hilal sebenarnya (actual sighting). Jadi yang menjadi acuan adalah penentuan kriteria visibilitas hilal untuk dapat dirukyat.19

Para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria visibilitas hilal untuk dirukyat. Di kalangan mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang menambah kriteria lain, yakni angular distance (sudut pandang/jarak busur) antara Bulan dan Matahari. Kedua kriteria tersebut digunakan secara

17Ibid., 32.

18Parallaks adalah perbedaan arah sebuah benda langit dipandang dari titik

pusat bumi dan dari tempat pengamatan di permukaan bumi. Nama lengkapnya adalah Geocentric Equatorial Parallax. Lihat Abdur Rachim. Ilmu Falak, Cet. Ke- I (Yogyakarta: Liberty, 1983), 35. Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, Parallax (Ikhtilaf

al-Mandar) adalah beda lihat, sudut yang terjadi antara dua garis yang ditarik dari

benda langit ketitik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda langit ke mata si peninjau. Beda lihat itu berubah-ubah setiap saat. Harga yang terbesar terjadi ketika benda langit berada di kaki langit dan harga terkecil ketika benda langit berada di zenit. Besarnya parallax tergantung juga kepada jarak antara benda langit dan bumi. Makin besar jaraknya makin kecil harga parallaxnya. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi

Hisab Rukyat, 97-98.

(11)

kumulatif. Konferensi Internasional tentang penentuan awal bulan kamariyah yang diselenggarakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal (cresent visibility) ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05 derajat dan angular distance antara hilal dan matahari 07 derajat sampai 08 derajat.20

k. Ijtima’ dalam Penentuan Awal Bulan di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa perjalanan waktu-waktu di bumi ini ditandai dengan peredaran benda-benda langit, terutama matahari dan bulan. Hal ini secara teologis telah dinyatakan oleh Allah swt dalam al-Qur’an surat Yunus: 4.

َنيِنِ سلا َدَدَع اوُمَلْعَتِل َل ِزاَنَم ُه َرَّدَق َو ا ًروُن َرَمَقْلا َو ًءاَي ِض َسْمَّشلا َلَعَج يِذَّلا َوُه

ٍم ْوَقِل ِتاَيَ ْلْا ُل ِ صَفُي ِ قَحْلاِب َّلاِإ َكِلَذ ُ َّاللَّ َقَلَخ اَم َباَس ِحْلا َو

َنوُمَلْعَي

Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Oleh karena itu, di antara benda-benda langit yang dianggap paling penting menurut ahli falak (astronomi) adalah matahari, bumi dan bulan. Peredaran ketiga benda langit tersebut penting untuk pedoman menentukan awal bulan, bilangan tahun, waktu shalat, dan lain sebagainya. Peredaran bulan mengelilingi bumi menjadi kaedah penyusunan bulan kamariyah sedangkan peredaran bumi mengelilingi matahari menjadi dasar penentuan bulan Syamsiyah dan waktu-waktu shalat.

Pada dasarnya, bulan mempunyai dua gerakan yang penting, yaitu rotasi dan revolusi bulan. Rotasi bulan adalah peredaran bulan pada porosnya dari arah barat ke timur. Satu kali berotasi bulan memerlukan waktu sama dengan satu kali berevolusi mengelilingi bumi. Oleh karena waktu berotasi dan berevolusi sama maka permukaan bulan yang menghadap bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan pada permukaan

(12)

bulan karena adanya gerak angguk bulan pada porosnya.21

Dalam lintasan bulan terdapat rasi-rasi (gugusan bintang) atau

manzilah-manzilah. Bulan melintasi manzilah-manzilah tersebut pada suatu saat berada persis antara bumi dan matahari yaitu saat ijtma’. Maka seluruh bagian bulan tidak menerima sinar matahari dan sedang menghadap ke bumi. Akibatnya, saat itu bulan tidak tampak dari bumi yang diistilahkan dengan muhaq atau bulan mati. Begitu bulan bergerak, maka ada bagian bulan yang kelihatan sangat kecil menerima sinar matahari terlihat dari bumi berbentuk sabit (hilal).22

Periode ijtima’ ke ijtima’ berikutnya disebut sebagai periode bulan sinodis (syahr iqtirani), masa antar dua ijtima’ inilah yang sering disebut sebagai usia bulan yang hakiki. Dalam al-Qur’an, Allah swt menegaskan bahwa jumlah bulan dalam satu tahun terdapat 12 bulan, sebagai berikut:

إ

ِ َّاللَّ ِباَتِك يِف ا ًرْهَش َرَشَع اَنْثا ِ َّاللَّ َدْنِع ِروُهُّشلا َةَّدِع َّن ِِ

ِتا َواَمَّسلا َقَلَخ َم ْوَي

اوُلِتاَق َو ْمُكَسُفْنَأ َّنِهيِف اوُمِلْظَت َلاَف ُمِ يَقْلا ُنيِ دلا َكِلَذ ٌم ُرُح ٌةَعَب ْرَأ اَهْنِم َض ْرَ ْلْا َو

َنيِقَّتُمْلا َعَم َ َّاللَّ َّنَأ اوُمَلْعا َو ًةَّفاَك ْمُكَنوُلِتاَقُي اَمَك ًةَّفاَك َنيِك ِرْشُمْلا

Artinya; “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)

21 Gerak revolusi bulan adalah peredaran bulan mengelilingi bumi dari arah barat ke timur. 1 kali putaran peneuh revolusi bulan memerlukan waktu rata-rata 27 hari 7 jam 43,2 menit. Periode waktu tersebut dikenal dengan waktu bulan sideris

(sideris month) yang disebut juga syahr nujumi. Akan tetapi waktu yang digunakan

untuk dasar dan pedoman penentuan bulan dan tahun kamariyah bukan waktu bulan sideris, melainkan waktu bulan Sinodis (synodic month) disebut juga syahr iqtirani, yaitu waktu yang ditempuh bulan dari posisi sejajar (iqtiran) antara matahari, bulan dan bumi ke posisi sejajar berikutnya. Waktu iqtiran ini ditempuh berkisar antara lama rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik sama dengan 29,53058796 hari atau 29,531 hari. Lihat Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008), 218.

22 Ada beberapa sistem atau metode dalam melakukan perhitungan waktu terjadinya Ijtima’. Di antaranya adalah metode yang dipedomani oleh Departemen Agama RI yang dikenal dengan Hisab sistem Kontemporer, dimana perhitungannya menggunakan data dari buku “Ephemeris Hisab Rukyat” yang diterbitkan setiap tahun. Di beberapa tempat atau Pondok Pesantren sudah akrab dengan Hisab yang datanya diambil dari kitab klasik seperti Sullam a-lNayyirain, Badi’ah al-Mitsal, Fath

al-Rauf al-Mannan, Khulashah al-Wafiyah, Risalah al-Qamarain, Nurul Anwar atau

(13)

agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria ijtima’ dalam penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia sarat dengan konsepsi astronomi. Kemudian muncul paradigma awal bulan kamariyah berdasarkan persepsi yang berbeda-beda. Awal bulan hijriyah menurut ahli hisab adalah adanya hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam, sedangkan ahli rukyat memberi ketentuan adanya hilal di atas ufuk pada waktu matahari terbenam dan dapat dirukyat. Adapun pakar astronomi menyatakan bahwa awal bulan hijriyah terjadi sejak terjadinya konjungsi (ijtima’ al-hilal) segaris antara matahari dan bulan.

Dengan demikian, awal bulan hijriyah itu terjadi dengan beberapa indikator yang meliputi sudah terjadi ijtima’, hilal berada di atas ufuk saat matahari terbenam dan hilal tersebut dapat dilihat bagi yang menggunakan sistem rukyat.

Daftar Pustaka

Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

---, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1998.

Fathurrohman, Oman, Hisab Awal Bulan Qamariyah, Modul Pelatihan Hisab Rukyat (Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2007).

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak; Teori dan Praktek, cet. ke-II (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005).

Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008). Nawawi, Ilyasyahri, Hisab Falak, (Grobogan: PP Al-Ma’ruf, t.t.).

Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama; Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah dengan Ilmu Ukur Bola

(14)

(Jakarta, 1983).

Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Cet. Ke-I (Yogyakarta: Liberty, 1983). Lampiran:

Contoh Ijtim’ Akhir Bulan yang bernilai positif

Keterangan:

Ternamnya matahari lebiha dahulu dari pada bulan, hal tersebut yang menjadilkan penanggalan awal bulan Hijriyah positif, tidak ada perbedaan, karena lebih dari 2 derajat (Imkanurrukyah empat mazhab)

Contoh Ijtima’ yang menimbulkan perselisihan antar Umat karena Imkanurukyah belum mencapai 2 derajat

Referensi

Dokumen terkait

1. Kuesioner yang diberikan secara langsung. Ketika survei terbatas pada area lokal, cara yang baik untuk mengumpulkan data adalah mengelola kuesioner secara

Gambar 6 menunjukkan bahwa secara umum, tidak bergantung pada suhu pengukuran viskositas, pada kadar PNA yang sama, modifikasi pelumas bio-based dengan PNA memberikan peningkatan

Minat yang dapat timbul dari adanya pengaruh atau identifikasi terhadap oarang lain, termasuk diantarannya pengaruh dari teman sebaya karena merupakan lingkungan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur pembuatan media pembelajaran video inovatif berbasis e-learning dengan memanfaatkan aplikasi Prezi

Berdasarkan perhitungan uji kelayakan yang dilakukan terhadap Ahli media I dan II, Ahli materi I dan II, kelompok perorangan, kelompok kecil dan kelompok besar

Pada Usaha ekonomi Desa Simpan Pinjam yang selanjutnya disebut UED-SP yang dilakukan oleh pemerintah Desa Nipah Sendanu bertujuan untuk membantu dan melayani anggota

Di masa-masa mendatang, program pe- muliaan untuk menghasilkan varietas unggul kedelai perlu mempertimbangkan keragaman genetik plasma nutfah dari tetua yang akan digunakan

Penelitian dilakukan dengan tujuan mempelajari keefektifan metode perlakuan air panas pada umbi bibit bawang merah terhadap infeksi virus di lapangan.. Penelitian disusun