• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Deskripsi

Menurut Chaniago et al. (2000), bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau ketidaksemetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan sektor dan wilayah, maka kesenjangan pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ketidaksemetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Dimana kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tersebut sangat tergantung pada perkembangan struktur ekonomi (perkembangan sektor-sektor ekonomi) dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi (darat, laut dan udara), telekominikasi, air besih, penerangan) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan ketrampilan) serta penguatan kelembagaan.

Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga secara sederhana pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Sedangkan Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang terencana (terorganisasikan) kearah tersedianya alternatif-alternatif /pilihan-pilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Siagian (1994) yang diacu Riyadi dan Bratakusumah (2003), Pembangunan sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Definisi ini memberikan suatu pemahaman bahwa pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya

(2)

pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan atau perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Sedangkan Wiranto (1997) mendefinisikan pembangunan dalam konsep pembangunan yang bertumpuh pada masyarakat adalah untuk mengembangkan kehidupan suatu masyarakat dan harus dapat dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Selain itu Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan.

Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak akan bisa lepas dari perencanaan maka perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan akan dilaksanakan, sehingga Riyadi dan Bratakusumah (2003) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah/daerah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik, bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Sedangkan Hadi (2001) mengartikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang

(3)

melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi.

Selanjutnya Istilah “wilayah“ atau “daerah” sering di pertukarkan penggunaannya dalam beberapa Literatur, namun berbeda dalam cakupan ruang, dimana ‘wilayah’ digunakan untuk pengertian ruang secara umum, sedangkan istilah ‘daerah’ digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas administrasi pemerintahan (Tarigan 2004). Tarigan mendefinisikan wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan jurisdiksi administratif.

Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik dan perdesaan.Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, polotik, sosial administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Kemudian menurut Rustiadi et al. (2003), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen di dalamnya (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional). Dari definisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat ”meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monotoring dan evaluasi.

Sedangkan pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas bagian (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang telah dikenal selama ini, dimana dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem, sedangkan dalam kelompok konsep wilayah

(4)

perencanaan, terdapat wilayah administratif - politis dan wilayah perencanaan fungsional (Rustiadi et al. 2003).

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Secara umum terdapat dua penyebab homogenitas wilayah yakni (1) homogenitas alamiah (kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor alam lainnya); dan (2) homogenitas artifisial, penyebab homogenitas yang bukan berasal dari faktor alam (fisik) tetapi faktor sosial, misalnya wilayah kemiskinan karena faktor penciri yang menonjol pada wilayah tersebut adalah kemiskinan. Pemahaman terhadap wilayah homogen ini penting karena bermanfaat dalam proses perencanaan dan kebijakan yang akan dibuat, karena pembangunan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan suatu wilayah terutama keunggulan potensi sumberdaya alam dan iklim yang memiliki ”comparative adventage”.

Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam (1) menentukan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage); (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah. Sehingga wilayah homogen biasanya berhubungan dengan program perwilayahan komoditas karena beberapa alasan mendasar diantaranya: (1) budidaya bermacam-macam komoditas dalam satuan wilayah yang kecil tidak efisien; (2) upaya untuk menurunkan biaya pendistribusian input dan pendistribusian output; dan (3) untuk memudahkan manajemen. Sedangkan wilayah fungsional atau wilayah sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi (Hoover 1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa struktur-komponen-komponen yang membentuk wilayah fungsional dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis).

(5)

Sistem dikotomis adalah sistem yang bertumpuh atas ketergantungan atau keterkaitan antara dua komponen wilayah, dimana bentuk wilayah tersebut mencakup wilayah nodal, wilayah (kawasan) perkotaan dan perdesaan, kawasan budidaya dan non budidaya. Sedangkan sistem kompleks menunjukkan suatu deskripsi wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) didalamnya bersifat kompleks baik jumlah, jenis serta keragaman bentuk hubungan yang banyak. Bentuk wilayah sistem kompleks tersebut mencakup sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial dan sistem ekonomi.

Menurut Hoover (1985) bahwa bentuk wilayah nodal didasarkan pada hirarki suatu hubungan perdagangan. Struktur pusat wilayah diasumsikan menyerupai kehidupan sel atau atom yang dikelilingi oleh plasma (nucleus). Dimana inti (simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut diutarakan bahwa Inti (pusat) wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (permukiman); (2) sebagai pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) sebagai lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) sebagai daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis.

Kemudian Konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi. artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya, misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan.

Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembagunan wilayah/daerah seperti di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang secara spasial di tetapkan atau diarahkan untuk perencanaan pembangunan wilayah

(6)

yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Dimana wilayah pembangunan tersebut bisa mencakup kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, kawasan pengembangan ekonomi, kawasan budidaya, dan lain sebagainya. Lebih spesifik wilayah pembangunan yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini adalah satuan wilayah pengembangan (SWP) dengan Hirarki/pusat aktivitasnya, yang diarahkan dalam Struktur Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan salah satu wujud Perecanaan Tata Ruang yang diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten /kota yang berisikan: (1) tujuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; (2) rencana struktur ruang dan pola pemanfaatan wilayah kabupaten; (3) pengelolaan kawasan lindung dan budidaya; (4) pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan budidaya dan kawasan tertentu; (5) rencana pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan system permukiman pedesaan dan perkotaan; (6) rencana pengembangan system prasarana transportasi, telekominikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan; penata gunaan tanah, penata gunaan air, penata gunaan udara dan penataan sumberdaya alam lainnya serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; (7) pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan (8) penetapan dan pengelolaan kawasan prioritas kabupaten.

Selanjutnya RTRW Kabupaten yang disusun, dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi: (1) perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; (2) program-program pembangunan daerah kabupaten; (3) mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah didalam wilayah kabupaten serta keserasian antar sektor; (4) penetapan lokasi investasi di wilayah kabupaten; (5) penyusunan rencana rinci tata ruang di kabupaten; dan (6) pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan ruang.

(7)

Sehubungan dengan definisi kesenjangan pembangunan di atas, maka perlu kelengkapan kerangka teori yang dapat menginspirasi kerangka pemikiran dasar perlunya penelitian ini antara lain:

2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial.

Keterkaitan antar sektor dan antar spasial, sebenarnya bertujuan untuk mencapai suatu perubahan struktur ekonomi dan struktur wilayah yang dapat bertumbuh secara berimbang. Ada keseimbangan keterkaitan antar sektor untuk memberikan kontribusi bagi struktur ekonomi wilayah. Perubahan struktur ekonomi wilayah yang diharapkan dari dampak keterkaitan adalah pergeseran surplus produksi dan tenaga kerja subsisten dari sektor primer (pertanian, pertambangan) ke sektor sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan sektor tersier (transportasi dan komunikasi, perdagangan, pemerintah dan jasa lainnya) Fisher (1935) sebagai orang pertama yang memperkenalkan kegiatan usaha primer, sekunder dan tersier menilai bahwa negara perlu diklasifikasikan berdasarkan proporsi tenaga kerja yang ada di tiap sektor. Kemudian Clark (1951) juga mendukung pandangan Fisher dengan kumpulan analisis data untuk mengukur dan membandingkan karakteristik ekonomi sektoral pada tingkat pendapatan per kapita yang berbeda.

Menurut Clark (1951) bahwa pada saat ekonomi negara tinggi, proporsi

tenaga kerja yang terkait dengan sektor primer menurun; proporsi tenaga kerja pada sektor sekunder meningkat mencapai tingkat tertentu; proporsi tenaga kerja pada sektor tersier meningkat setelah sektor primer dan sekunder telah mencapai keseimbangan. Perubahan proporsi tenaga kerja di setiap sektor menunjukkan bahwa pergerakan tenaga kerja akan terjadi dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier karena adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kemajuan teknologi di setiap kegiatan.

Teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Lewis yang diacu Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja di kembangkan. Misalkan perkembangan sektor pertanian yang tanpa diikuti oleh perkembangan sektor industri akan memperburuk tawar-menawar (term of trade) sektor pertanian tersebut akibat kelebihan produksi atau tenaga kerja, akhirnya pendapatan disektor pertanian menjadi anjlok (depresif) dan rangsangan penanaman modal dan pembaharuan menjadi tidak terangsang.

(8)

Demikian juga pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Adanya sektor industri yang mampu menampung surplus produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan sektor pertanian. Demikian juga bila terjadi surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang dapat ditampung di sektor industri akan menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian. Tingkat pendapatan yang tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barang-barang non pertanian. Demikian juga perkembangan sektor pertanian dan industri pengolahan tanpa diikuti sektor ekonomi lain seperti sektor Perbankan, swasta serta sektor infrastruktur dalam menopang kegiatan pertanian dan industri pengolahan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi stagnan. Misalnya pembangunan sektor infrastruktur yang tidak memadai dalam mendukung sektor pertanian dan industri maka pergerakan ekonomi wilayah menjadi tidak efisien.

Laporan Bappenas (2002), mengisyaratkan bahwa Sektor infrastruktur dituntut untuk makin mampu berperan mendukung pergerakan orang, barang dan jasa nasional demi mendukung timbulnya perekonomian nasional dan pengembangan wilayah dan sekaligus mempersempit kesenjangan pembangunan antar daerah. Infrastruktur dituntut untuk memiliki korelasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, kesesuaian tata ruang, dan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur harus menjadi salah satu alternatif bagi pemulihan pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 untuk dapat menyerap banyak tenaga kerja, membangkitkan sektor riil, dan memicu produksi dan konsumsi masyarakat serta dapat mengurangi kesenjangan antar daerah dan mengurangi kemiskinan.

Sehubungan dengan itu Sipayung (2000) menyatakan bahwa sektor pertanian dan non petanian merupakan suatu sistem dalam perekonomian oleh karena itu sektor pertanian dengan sektor non pertanian memiliki keterkaitan ekonomi yang saling mempengaruhi kinerja kedua sektor.

Rangrajan (1982) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) mekanisme keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian dan non petanian sebagai berikut :Pertama, sektor pertanian dan non pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan merupakan input utama dari sektor non petanian seperti industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran. Ke dua, sektor non

(9)

pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor pertanian. Pupuk, pestisida, mesin peralatan pertanian dan berbagai jenis jasa merupakan hasil sektor non pertanian yang menjadi input sektor pertanian. Ke tiga, sektor pertanian (rumahtangga pertanian) merupakan pasar bagi output akhir sektor non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenis jasa-jasa merupakan hasil sektor non pertanian di konsumsi oleh rumahtangga pertanian. Ke empat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan investasi publik. Peningkatan output sektor akan secara langsung meningkatkan penerimaan pajak tak langsung pemerintah yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima, keterkaitan melalui prilaku investasi swasta. Harga komoditas pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang investasi swasta pada sektor non pertanian. Hal ini disebabkan karena naik turunnya harga komoditas pertanian baik melalui kenaikan atau penurunan biaya bahan baku maupun upah tenaga kerja. Dengan keterkaitan demikian, pertumbuhan sektor pertanian dengan pertumbuhan sektor non pertanian secara teoritis akan saling mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat.

Namun demikian berbagai hasil studi emperis menggambakan bahwa keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian menunjukkan keterkaitan yang lemah dimana antara pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian cenderung menurunkan peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB. Namun belum menunjukkan faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan lemahnya keterkaitan tersebut.

Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang bertumbuh disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu penurunan harga relatif komoditas pertanian terhadap harga produk non pertanian, perbedaan laju perubahan teknologi dan perubahan relatif faktor produksi (Martin and Warr, 1993).

Budiharsono (1996) mengemukakan bahwa terjadinya penyimpangan pola normal transformasi struktur produksi antar daerah terutama disebabkan karena relatif kecilnya keterkaitan antar sektor pertanian dan dengan sektor industri. Dari hasil analisis dengan menggunakan model input-output ternyata keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri relatif kecil. Sedangkan salah satu ukuran kemajuan suatu daerah adalah adanya keseimbangan antar sektor pertanian dan industri (Todaro, 1978).

(10)

2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah.

a. Urgensi keberimbangan pembangunan wilayah.

Menurut Rustiadi et al. (2003 ) bahwa setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi kesenjangan karena beberapa alasan, antara lain: (1) Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya; (4) Untuk meningkatkan lapangan kerja;(5) Untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) Untuk mendorong desentralisasi; (7) Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif; (8) Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional.

Menurut Hill (1996) yang diacu Hadi (2001), isu pemerataan pembangunan wilayah sangat penting dengan beberapa alasan pokok: (1) terdapat ketimpangan antar wilayah dalam berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia; (2) alasan politis dalam bentuk permasalahan etnis yang mendiami wilayah yang tersebar, dimana isu ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam daerah yang harus diserahkan seluruhnya kepada pusat dan bukannya kepada daerah penghasil itu sendiri; dan (3) permasalahan dinamika spasial yang terjadi di daerah-daerah, yaitu sebagai suatu warisan historis dengan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa.

b. Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah.

Menurut Tamenggung (1997) bahwa Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah muncul terutama sebagai reaksi terhadap konsep kestabilan dan keseimbangan pertumbuhan dari teori Neoklasik. Tesis utama dari teori ini adalah bahwa kekuatan pasar sendiri tidak dapat menghilangkan perbedaan-perbedaan antar wilayah dalam suatu negara; bahkan sebaliknya kekuatan-kekuatan ini cenderung akan menciptakan dan bahkan memperburuk perbedaan-perbedaan itu.

Dalam kritiknya terhadap teori keseimbangan pertumbuhan, Myrdal (1975) berpendapat bahwa perubahan-perubahan dalam suatu sistem sosial tidak diikuti oleh penggantian perubahan-perubahan pada arah yang berlawanan. Beranjak dari pendapat ini, ia mengembangkan teori penyebab kumulatif dan berputarnya proses sosial untuk menjelaskan ketimpangan internasional dan antar wilayah. Menurut Myrdal, terdapat dua kekuatan yang

(11)

bekerja dalam proses pertumbuhan ekonomi, efek balik negatif (backwash effect) dan efek penyebaran (spread effect). Kedua kekuatan itu digunakan untuk menunjukkan konsekuensi spasial dari pertumbuhan ekonomi terpusat baik negatif maupun positif.Kekuatan efek penyebaran mencakup penyebaran pasar hasil produksi bagi wilayah belum berkembang, penyebaran inovasi dan teknologi; sedangkan kekuatan efek balik negatif biasanya melampaui efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari wilayah tidak berkembang ke wilayah berkembang. Jadi, interaksi antar wilayah pada sistem pasar bebas cenderung memperburuk kinerja ekonomi wilayah yang belum berkembang. Menurut Myrdal, kondisi ini memberikan pengesahan terhadap intervensi mekanisme pasar untuk mengatasi efek balik negatif yang akan menimbulkan kesenjangan wilayah.

Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah lebih jauh dikembangkan oleh Kaldor (1970) dan berdasarkan pandangan Kaldor teori ini diperjelas oleh Dixon dan Thirwall (1975). Menurut Kaldor, pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh adanya peningkatan skala pengembalian, terutama dalam kegiatan manufaktur. Hal ini berarti bahwa wilayah dengan kegiatan utama sektor industri pengolahan akan mendapat keuntungan produktivitas yang lebih besar dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer, sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah dengan sektor industri akan tumbuh lebih cepat dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer. Dixon dan Thirwall mengembangkan teori Kaldor dengan menekankan dampak proses penyebab kumulatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output wilayah menentukan tingkat perubahan teknologi dan pertumbuhan rasio modal dan tenaga kerja. Kedua faktor ini lebih l a nj u t akan menentukan pertumbuhan dan tingkat produktivitas wilayah. Pertumbuhan ekspor suatu wilayah bergantung pada daya saing relatif terhadap wilayah lainnya; dengan kata lain, pertumbuhan wilayah bergantung pada produktivitas wilayah itu sendiri, dan hal ini berarti bahwa suatu peningkatan produktivitas akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat ekspor suatu wilayah. Pada masalah ini, proses penyebab kumulatif pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara menyeluruh, karena pertumbuhan ekspor wilayah menentukan pertumbuhan output wilayah. Keterkaitan antara pertumbuhan output wilayah dan pertumbuhan produktivitas juga dikenal sebagai efek Verdoorn.

(12)

Teori pertumbuhan yang tidak seimbang menggambarkan bahwa pada saat suatu wilayah mencapai manfaat pertumbuhan, manfaat itu akan terus dipertahankan melalui efek Verdoorn. Semakin sering suatu wilayah memproduksi barang-barang dengan elastisitas permintaan yang tinggi terhadap pasar-pasar ekspor, semakin cepat tingkat pertumbuhan produktivitas sehingga wilayah lain akan menemukan kesulitan untuk menahan persaingan terhadap wilayah itu.

Hirchman (1958) dan Myrdal (1957) yang diacu Alonso (1979) menemukan mode - model polarisasi spatial ekonomi yang mirip sekali di dalam proses perkembangan. Pada tahap-tahap permulaan perkembangan, keuntungan terletak pada pusat-pusat yang sudah maju, yang menikmati fasilitas yang lebih lengkap, keuntungan-keuntungan ekstern, kekuatan politik, preferensi wilayah dari pada pembuat keputusan, masuknya unsur-unsur yang lebih bersemangat dan terpelajar dari daerah-daerah yang masih terbelakang, mengalirnya dana yang berasal dari tanah yang kaya di daerah pedalaman ke pasar-pasar uang di kota-kota, serta berbagai macam faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan polarisasi, yakni konsentrasi di kota-kota besar dan bertambah besarnya perbedaan pendapatan antara daerah-daerah. Akan tetapi setelah melewati titik tertentu efek-efek penurunan (tricle down effect) tertentu akan kelihatan.

Di lain sisi meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf, peluasan pelaksanaan birokrasi, meningkatnya pengetahuan pada daerah-daerah terbelakang, pembukaan jaringan-jaringan angkutan untuk mencapai daerah-daerah terbelakang, dapat membuka akses pasar bagi pusat-pusat yang sudah maju juga memberikan kemungkinan bagi terbukanya daerah-daerah itu bagi kegiatan-kegiatan yang produktif, pendidikan yang merata dan standardisasi seluruh segi kehidupan akan membawah integrasi pada ekonomi wilayah (space economy) dan dengan mengusahakan berbagai eksternalitas menjadi hampir sama untuk semua daerah, peluang-peluang yang terletak lebih jauh akan semakin berarti dan semakin penting bagi pembangunan.

Demikianlah dalam pandangan ini pada tahap-tahap permulaan perkembangan, terjadi kesenjangan yang makin meningkat antar daerah yang sudah maju dengan daerah yang masih terbelakang, akan tetapi kemudian terdapat kecenderungan kearah pemerataan pendapatan pada waktu perekonomian mulai memasuki tahap pendewasaan. Myrdal lebih pesemis dari

(13)

pada Hischman dalam hal konfergensi akhir (eventual convergence)” ini dan menghentikan analisisnya dengan apa yang disebutnya Lingkaran setan backwash effects yang dapat disamakan dengan polarisasi Hirschman.

Pandangan Hirschman dan Myrdal diperkuat dengan penemuan Williamson (1965) bahwa: (1) disparitas regional lebih besar di negara-negara berkembang dan lebih kecil di negara-negara maju; (2) disparitas ini makin lama makin meningkat di negara berkembang, sebaliknya akan menurun di negara-negara maju, penemuan ini benar-benar menunjukkan bahwa ketidak merataan regional jika digambarkan dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi akan menghasilkan kurva berbentuk lonceng yang beberapa titik puncaknya dicapai pada saat peralihan dari tahap lepas landas menuju tahap pendewasaan. c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan.

Sebagaimana pada uraian di atas bahwa kesenjangan antar daerah dalam suatu perekonomian nasional maupun regional merupakan fenomena dunia. Hal ini terjadi pada semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan. Pada umumnya kesenjangan antar daerah lebih tajam terjadi pada negara sedang berkembang karena kekakuan sosial ekonomi (social economic rigidities) dan imobilitas faktor (factor immobilities). Dalam mengatasi masalah kesenjangan tersebut, hampir semua negara berusaha menerapkan kebijakan khusus untuk pembangunan daerah terbelakang (Uppal dan Handoko 1986 yang diacu Budiharsono 1996). Namun yang terjadi di Indonesia, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup melebar.

Sehubungan dengan itu, Hanafiah (1988) menyatakan bahwa secara alami tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu daerah atau negara adalah tidak sama. Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin, tradisional, statis, dan terbelakang. Wilayah yang kaya adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam melimpah dan diikuti oleh kegiatan manusia yang tinggi sehingga berkembang menjadi wilayah yang maju. Sedangkan wilayah yang miskin adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang terbatas dan kegiatan penduduk yang masih rendah sehingga wilayah tersebut lambat berkembang atau wilayah tersebut belum berkembang akibat sumberdaya alamnya yang belum dieksploitasi secara optimal

(14)

dan berkelanjutan. Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah tertentu maka terjadi jurang kesejehteraan masyarakat antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada campur tangan pemerintah secara aktif, keadaan tersebut akan bertambah buruk bagi corak pembangunan selanjutnya. Campur tangan pemerintah yang efektif akan mengatasi kekurangan penyediaan modal dan kapasitas teknologi di wilayah pendukung dalam proses pertumbuhan (Gerschenkron 1962).

Hadi (2001), juga menandaskan bahwa pertimbangan pemerataan dan keberlanjutan pembangunan antar wilayah, sering menjadi masalah yang belum dapat di atasi secara baik sampai saat ini. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka daerah terbelakang tetap tertinggal dan yang sudah berkembang melaju lebih berkembang.

Secara umum penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah antara lain faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi , sosial dan ekonomi ( Murty 2000; Rustiadi et al . 2004 ).

Secara geografis, pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan spasial baik jumlah maupun mutu sumberdaya mineral, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan dan sebagainya. Apabila wilayah tersebut memiliki kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan lebih berkembang.

Faktor sejarah memberikan inspirasi bahwa tingkat perkembangan suatu masyarakat dalam suatu wilayah cenderung tergantung pada apa yang telah dilakukan pada masa yang lalu. Bentuk organisasi/kelembagaan dan kehidupan perekonomian pada masa yang lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Sebagai contoh sistem feodalistik atau sistem kolonial cenderung tidak memberikan iklim yang bisa memacu prestasi dan kerja keras; contoh lain adanya budaya-budaya paternalistik dan egalatarian, dilain sisi dapat menguatkan social capital, tetapi dalam kenyataannya cenderung melemahkan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Oleh karenanya perlu sistem yang dapat menciptakan kebebasan atau menekan tekanan psikis untuk bekerja dan berusaha yang dapat mendorong orang untuk berkembang lebih cepat.

Faktor instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan

(15)

ketidakpastian atau keraguan orang atau investor untuk mengembangkan usaha atau menanamkan modal disuatu wilayah, sehingga wilayah tersebut tidak akan mengalami pertumbuhan. Bahkan seringkali terjadi pelarian modal keluar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah lain yang kondisinya relatif lebih stabil (Rustiadi et al, 2004).

Lebih lanjut Rustiadi et al. (2004) menyatakan bahwa kesenjangan yang terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah, diantaranya adalah kebijakan pembangunan nasional masa lalu yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan pembangunan yang luar biasa. Tricle down effect yang diharapkan bisa terjadi, dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect (pengurasan sumberdaya berlebihan) dari wilayah belakang (hinterland). Di katakan pula bahwa dalam era desentralisasi dan otonomi daerah kesenjangan pembangunan bisa terjadi, jika kebijakan pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang besar, kemudian menetapkan retribusi daerah yang tinggi bisa saja berdampak terhadap insentif permintaan yang rendah terhadap produksi rakyat. Melakukan eksplorasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, keterkaitan antar sektor dan wilayah sering menjadi dilema., dan lain sebagainya.

Rustiadi et al. (2004) menyatakan pula bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor administrasi, sering terjadi pada wilayah-wilayah dengan sumberdaya manusia yang menjalankan fungsi administrator tersinyalir kurang jujur, kurang terpelajar, kurang terlatih dengan sistem administrasi yang kurang efisien. Sehingga pelayanan publik dalam bentuk perizinan usaha dll, menjadi rumit dan berbelit. Wilayah yang demikian dipastikan tidak memiliki insentif untuk kegiatan investasi dan pertumbuhan wilayah menjadi stagnan.

Selanjutnya kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor sosial, sering terjadi pada wilayah-wilayah yang masih tertinggal atau terisolasi dan yang masih kental dengan kehidupan atau kepercayaan-kepercayaan primitif, kepercayaan-kepercayaan-kepercayaan-kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang sangat kontra produktif terhadap perkembangan ekonomi. Ciri sosial budaya masyarakat seperti itu umumnya tidak memiliki institusi dan prilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Sebaliknya wilayah dengan masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan prilaku yang

(16)

kondusif untuk berkembang. Mereka percaya pada agama, tradisi, nilai-nilai sosial yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya intelektualisme, profesionalisme, moralitas dan social cohesiveness bagi “kemajuan untuk semua” (Rustiadi et al. 2004)

Rustiadi et al. (2004) juga menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor ekonomi, antara lain mencakup :

(1) Perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal , teknologi, infrastruktur, organisasi dan perusahaan. (2) Proses akumulasi dari berbagai faktor seperti lingkaran setan kemiskinan

(Comulative causation of poverty propensity). Ada dua tipe lingkaran setan kemiskinan di wilayah-wilayah tertinggal. Pertama, sumberdaya terbatas dan ketertinggalan masyarakat menjadi sebab dan akibat dari kemiskinan. Kedua, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidupnya rendah, efisiensi rendah, produktivitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, pengangguran meningkat dan pada akhirnya masyarakat menjadi semakin tertinggal.

(3) Pengaruh pasar bebas yang berpengaruh pada spread effect dan backwash effect. Pengaruh atau kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi (tenaga kerja, modal, perusahaan) dan aktivitas ekonomi (industri, perdagangan, perbankan dan asuransi) yang dalam ekonomi maju memberikan hasil (return) yang lebih besar cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah berkembang (maju). Perkembangan wilayah-wilayah ini ternyata terjadi karena penyerapan sumberdaya dari wilayah-wilayah sekitarnya (backwash effect). Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata lebih lemah dibanding dengan backwash effect . Sebagai akibatnya wilayah-wilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang sedangkan wilayah-wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan semakin tertinggal.

(4) Terjadi distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya

d. Penataan Ruang.

Berbicara menyangkut kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan, tidak akan bisa terlepas dari kebijaksanaan penataan ruang karena penataan ruang merupakan salah satu bagian dari perencaan pembangunan wilayah, dimana kedudukannya adalah sebagai induk dari

(17)

semua proses perencanaan pembangunan wilayah. Penataan ruang merupakan bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Penataan ruang mengisyaratkan, bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan sektor dan wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah.

Undang-Undang No. 24 1992 Tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Akan tetapi Ruang yang merupakan bagian dari alam tersebut dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu perlunya suatu perencanaan “tata ruang” yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap semua kepentingan yang berspektif efisien, adil dan keberlanjutan. Dalam hal ini sejalan dengan apa yang diulas oleh Rustiadi et al. (2003) bahwa di masa sekarang dan akan datang diperlukan suatu pendekatan baru penataan ruang yang berbasis pada hal- hal berikut: (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah; (3) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan); dan (4) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun.

Untuk melakukan suatu perencanaan tata ruang yang berbasis pada paradigma baru sebagaimana yang di ungkapkan diatas, tentunya diperlukan suatu kajian yang mendalam terhadap pola dan struktur tata ruang suatu wilayah yang sudah ada, karena pada umumnya suatu perencanaan wilayah yang di lakukan sebelum era otonomi daerah, dapat diprediksi banyak kekurangannya baik dari sisi proses perencanaan maupun pada implementasi dan pengendaliannya.

Menurut Rustiadi, et al (2003) bahwa setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang

(18)

dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non fisik). Dimana unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai Aturan-aturan main penataan ruang. Sedangkan unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur.

Pada umumnya proses perencanaan tata ruang hanya di lihat sebagai suatu kegiatan pembagian zonasi (pengaturan penggunaan lahan) dan dianggap sebagai perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang, namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan (tata guna tanah) tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya, tidak akan pernah efektif, karena penatagunaan lahan tidak bersifat independent dari perencanaan struktur hirarki pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan dan perencanaan infrastruktur lainnya yang menyeluruh, termasuk unsur-unsur kelembagaan yang berperan (Rustiadi et al. 2003).

Rustiadi et al. (2003) menyatakan pula bahwa penataan struktur hirarki sebenarnya penting sebagai upaya meningkatkan fungsi dan peran wilayah-wilayah pusat pertumbuhan agar lebih berkembang sesuai potensi yang dimilikinya sekaligus dapat memberikan manfaat sosial (social benefit) yang optimal. Tetapi konsentrasi spatial (Aglomerasi) jika tidak diimbangi dengan implementasi perencanaan yang baik maka akan terjadi ketimpangan pertumbuhan wilayah karena perbedaan economic rent antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain. Di lain sisi suatu aktivitas pusat ekonomi tidak akan memberikan economic rent, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan jaringan keterkaitan (linkage) antara pusat-pusat aktivitas yang dapat memfasilitasi ”aliran barang, jasa dan informasi”. Demikian pula pengembangan infrastruktur yang mencirikan suatu aktivitas ekonomi wilayah dapat bertumbuh dan berkembang.

e. Teori Pusat Pertumbuhan

Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu; (2) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di pusat-pusat pertumbuhan ini,

(19)

secara nasional melalui hirarkhi kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing .

Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler (1933) yang kemudian dikenal sebagai teori tempat sentral (Central Theory) yang selanjutnya dikembangkan oleh Losh, Berry dan Garrison (Hanafiah 1985, Pradhan 2003). Menurut teori ini pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan (Richardson, 1969 yang diacu Sitohang, 1991).

Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: (1) pusat pelayanan pada tingkat lokal; (2) titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; (3) pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah; (4) kutub pertumbuhan pada tingkat nasional.

Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang untuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat.

Model teori pusat pertumbuhan yang dinyatakan oleh Christaler ini dapat digunakan jika memenuhi asumsi-asumsi berikut: (1) populasi penduduk tersebar di suatu wilayah secara homogen; (2) pusat menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk hinterland-hinterland-nya, sehingga jika terdapat dua tempat sentral yang mampu menyediakan pelayanan yang sama akan mempunyai hinterland dengan ukuran yang sama pula; (3) pusat mempunyai pola memaksimumkan lokasi spasialnya (misalnya: dalam penggunaan lahan); (4) pusat membentuk suatu hirarkhi.

Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas

(20)

ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang baru bagi kegiatan manusia.

Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland) dalam ruang lingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland). Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah belakangnya.

Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara pusat pertumbuhan dan wilayah pendukung dapat dikategori atas 3 bentuk hubungan, yakni :

(1) Hubugan generatif, yakni hubungan yang saling menguntungkan atau saling menyumbangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. Daerah kota atau wilayah pusat dapat menyerap tenaga kerja atau memasarkan produksi dari daerah pedalaman (wilayah yang lebih terbelakang). Sedangkan wilayah pedalaman berfungsi untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan wilayah belakang. Selain itu wilayah pusat (kota) berperan sebagai tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh daerah pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara wilayah pusat dan wilayah belakang.

(2). Hubungan Parasitif, yakni hubungan yang terjadi dimana wilayah kota (wilayah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong wilayah belakangnya (hinterland). Wilayah kota yang bersifat parasit, umumnya kota yang belum banyak berkembang industrinya dan masih berciri wilayah pertanian, tetapi berciri wilayah perkotaan sekaligus.

(3) Hubungan enclave (tertutup), yakni hubungan dimana wilayah pusat (kota yang lebih maju), seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang. Buruknya sarana dan prasarana, perbedaan taraf hidup dan pendidikan yang mencolok dan faktor-faktor lainnya dapat menyebabkan kurang hubungan antar wilayah pusat dan hinterland. Untuk menghindari hal ini, wilayah-wilayah terbelakang perlu didorong

(21)

pertumbuhannya, sedangkan wilayah yang lebih maju dapat berkembang atas kemampuannya sendiri.

Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yakni : (1) Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi.

Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara sektor dan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lainnya yang tidak terkena imbas sama sekali. Berbeda halnya dengan sebuah kota, yang fungsinya sebagai perantara (transit). Dimana kota tersebut hanya berfungsi mengumpulkan berbagai macam komoditi dari wilayah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang lebih besar dan selanjutnya dapat membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat dari kota lain untuk didistribusikan ke wilayah yang ada di belakangnya. Kota dengan ciri perantara, tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang dapat menciptakan nilai tambah (value edded) atau tidak ada proses industri yang menghasilkan value edded.

(2) Adanya efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek ganda. Apabila ada suatu sektor disuatu wailayah mengalami kenaikan permintaan yang berasal dari luar wilayah, maka produksi sektor tersebut akan meningkat, karena ada keterkaitan dengan sektor-sektor lain, maka produksi sektor-sektor lain juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan, sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek pengganda tersebut sangat berperan untuk membuat sebuah kota dapat memacu pertumbuhan wilayah di belakangnya, karena terjadi peningkatan produksi pada sektor di wilayah yang lebih maju, akan memacu dan meningkatkan permintaan bahan baku dari wilayah-wilayah yang berada di belakangnya.

(3) Adanya konsentarasi geografis. Konsentarasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractivennes) dari wilayah yang lebih maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut, dapat memperoleh berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan demikian dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Hal tersebut menjadi daya tarik untuk dikunjungi orang, karena volume

(22)

interaksi yang semakin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga terjadi efisiensi lanjutan.

(4) Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara wilayah yang lebih maju dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Wilayah yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya untuk mengembangkan diri, apabila wilayah yang lebih maju memiliki hubungan yang harmonis dengan daerah belakangnya dan juga memiliki ketiga ciri di atas, maka wilayah tersebut akan berfungsi mendorong wilayah belakangnya.

f. Teori Interaksi spasial.

Interaksi antar wilayah (interaksi spasial) merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan mencakup diantaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar dan aktivitas-aktivitas konferensi, seminar, lokakarya atau kegiatan sejenisnya, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum bahkan tukar menukar pengetahuan (Kingsley E. Hayes, 1984 yang diacu Saefulhakim, 2003).

Analisis interaksi spasial mempelajari hubungan berupa pergerakan komoditi, barang-barang, orang, informasi dan lainnya antara titik-titik dalam ruang. Analisis ini menekankan pada saling ketergantungan dari tempat dan area. Interaksi spasial semakin menurun karena jarak. Salah satu persamaan kurva yang menggambarkan hubungan aliran dan jarak adalah F = aD-ß , dimana F adalah aliran , D adalah jarak dan ß adalah nilai konstanta. Para analis

spasial lebih tertarik pada nilai konstanta ß. Nilai ß yang rendah mengindikasikan slope yang rendah dengan aliran-aliran dalam area yang lebih luas. Nilai ß yang tinggi mengindikasikan penurunan yang tajam dari aliran-aliran yang disebabkan oleh jarak, sehingga aliran-aliran hanya akan terjadi di area yang terbatas.

Salah satu metode yang banyak digunakan untuk meduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi. Persamaan model gravitasi tersebuit dapat digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Model gravitasi tersebut pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Gravitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu sosial. Secara klasik, konsep gravitasi interaksi manusia mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi diantara dua wilayah dari aktivitas manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah, dan jarak kedua wilayah. Yaitu bahwa interaksi antara dua (2) pusat pemusatan populasi bervariasi, berbanding lurus dengan fungsi ukuran populasi dari dua pusat dan bebanding terbalik fungsi jarak di antara keduanya (Carrothers,1956 yang diacu Saefulhakim 2003). Hipotesis tersebut didasarkan

(23)

pada alasan bahwa : (a) Untuk memproduksi interaksi , individu-individu harus berkominikasi, secara langsung atau tidak langsung dengan yang lainnya; (b) individu sebagai unit dari group yang besar, mungkin dipertimbangkan untuk membentuk pengaruh interaksi yang sama dengan individu lainnya dan (c) Frekwensi interaksi yang dibentuk oleh individu dalam lokasi tertentu berbanding terbalik secara proporsional dengan kesulitan pencapaian, atau kominikasi dalam lokasi tersebut.

Konsep model gravitasi yang dikembangkan dari persamaan gravitasi Newton tersebut berkaitan dengan 2 hal pokok ; (a) dampak skala, yaitu sejauhmana dampak yang telah ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu di suatu lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya. Sebagai contoh suatu lokasi dengan jumlah populasi lebih besar cenderung akan membangkitkan dan menarik aktivitas lebih banyak dibandingkan dengan kota lain yang mempunyai populasi lebih sedikit. Dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas berkaitan dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut; (b) dampak jarak, yaitu seberapa jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas di suatu lokasi terhadap lokasi disekitarnya. Sebagai contoh, makin jauh jarak antara 2 lokasi, maka kecil interaksi yang terjadi antara 2 lokasi tersebut. Pengertian jarak yang dimaksudkan tidak selalu berarti jarak fisik, tetapi juga yang mencakup pengertian jarak tempuh (waktu), biaya transportasi, hingga jarak psikologis (Saefulhakim, 2003).

Selain itu salah satu penurunan dari model gravitasi adalah model potensial, yang dapat digunakan untuk menghitung indeks derajat aksesibilitas setiap sub-sub wilayah terhadap total wilayah. Wilayah dengan indeks potensial tertinggi merupakan wilayah-wilayah dengan potensi/hirarki sebagai pusat pelayanan yang tinggi.

Model lain dari penurunan model gravitasi adalah model entropy interaksi spasial (Hukum entropy) yang dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu Saefulhakim (2003) menyatakan bahwa apabila terdapat N buah indi’vidu yang melakukan mobilitas spasial (misalnya: commuting, transportasi, perdagangan, dsb.) antara satu dan i buah alternatif tempat asal (origins) dengan satu dan j buah alternatif tempat tujuan (destinations). Yang dimaksud dengan individu bisa berupa orang, kendaraan, barang, informasi dsb. Yang dimaksud dengan tempat (lokasi) bisa berupa desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dsb. Model entropi interaksi spasial secara matematis dapat dirumuskan sebagai memaksimumkan fungsi entropi:

Max S(Eij) = ! ! ,j

E

ij i N

Π

... (1) Eij

(24)

dengan fungsi-fungsi kendala: (a). i j ij j ij

F

O

E

=

=

... (2) (b). i i ij i ij

D

F

E

=

=

... (3) (c).

d

E

d

F

ij

T

i j ij ij i j ij

=

∑∑

=

∑∑

... (4) Keterangan :

Fij : banyak individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat

asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j.

Eij: nilai harapan (expected value) banyaknya individu yang

melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j

dij : jarak tempuh (rataan biaya mobilitas spasial per individu) antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j

Oi: banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial berasal dan tempat asal ke-i.

Di : banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial menuju ke

tempat tujuan ke-j

T : total jarak tempuh yang dilakukan (total biaya mobilitas spasial yang dikeluarkan) oleh keseluruhan N buah individu.

N : keseluruhan individu yang melakukan mobilitas spasial

S(Eij) : nilai entropi dan mobilitas spasial yang diharapkan dilakukan oleh keseluruhan N buah individu antar berbagai altematif tempat asal i (1=1,2, ..., i) dengan berbagai alternative tempat tujuan j (j=1,2, ., j)

Untuk memudahkan perhitungan maka pemaksimuman fungsi entropi pada Persamaan (1) adalah ekivalen dengan pemaksimuman nilai Ioganitma dari fungsi entropi tersebut. Dan dengan menggunakan aproksimasi Stirling maka dapat ditulis:

(

)

[

]

( ) ∑ ∑

(

)

⎥ = − − ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = i j ij ij ij j , i ij ij ln N ! E ln E E E ! N ln E S ln ... (5)

Dengan demikian yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial adalah pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada Persarnaan (5) dengan memperhatikan kendala-kendala pada Persamaan (2) sampai dengan Persamaan (4). Secara umum Model Entropi Interaksi Spasial dikategorikan kedalam 4 jenis, yaitu:

(25)

1) Model Entropi Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).

2) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Produksi (Production-Constrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan (2) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).

3) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Tarikan (Attraction-Constrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).

4) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda (Doubly Constrained Entropy Model). yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan (2), fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4).

Berpijak pada model-model interaksi spasial tersebut di atas, Edward Ullman (1995) yang diacu Rustiadi et al. (2004), menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang mendasari adanya interaksi , yaitu (1) Hubungan komplemeter antara dua tempat (hubungan supply-demand) yang saling melengkapi antara dua tempat; (2) adanya penghalang kesempatan (intervieving opporttunities), yang menyebabkan adanya interaksi antara dua tempat yang komplementer sehingga diperlukan sumber alternatif supply dari tempat lain; dan (3) Adanya biaya pergerakan (transferability cost) yang berlebihan dapat mengurangi interaksi meskipun hubungan antara dua tempat bersifat komplementer dan tidak ada penghalang, hal ini menyiratkan lebih dari sekedar jarak. Transferability merujuk kepada biaya transportase yang karakteristik setiap produknya berbeda.

g. Teori Resource Endowment

Teori resource endowment dari suatu wilayah menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu (Perloff and Wingo 1961). Dalam jangka pendek, sumberdaya yang dimiliki

(26)

suatu wilayah merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Nilai dari suatu sumberdaya merupakan nilai turunan dan permintaan terhadapnya merupakan permintaan turunan. Suatu sumberdaya menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi. Tingkat dan distribusi pendapatan, pola perdagangan, dan struktur produksi merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat permintaan (permintaan menengah dan permintaan akhir) terhadap sumberdaya wilayah. Variabel-variabel itu dapat mengubah keuntungan relatif wilayah dalam memberikan masukan yang dibutuhkan perekonomian regional dan nasional. Teori resource endowment secara implisit mengasumsikan bahwa dalam perkembangannya, sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang berbeda bila terjadi perubahan permintaan (Tamenggung 1997). Selain itu Ghalib (2005) juga menyatakan bahwa Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung kepada usaha-usaha di wilayah tersebut, dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, serta usaha-usaha pembangunan yang diperlukan.

h.Teori Export Base

Teori export base atau teori economic base, pertama k ali dikembangkan oleh North (1955). Menurut North, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada kegiatan industri ekspornya. Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dengan kata lain, permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan).

Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena sektor itu menghasilkan keuntungan dalam memproduksi barang dan jasa, mempunyai sumberdaya yang unik untuk memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran yang unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Dalam perkembangannya, perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan pendukung yang dapat menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sektor ekspor di wilayah itu. Penekanan teori ini ialah pentingnya keterbukaan wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk kelanjutan pembangunan wilayah.

(27)

Teori export base mengandung daya tarik intuitif dan kesederhanaan, seperti halnya dianggap sebagai dasar teori, berdasarkan konsep beberapa sektor ekonomi lokal mengantarkan kekuatan ekonomi eksternal ke dalam wilayah untuk menstimulasikan perubahan secara cepat. Perubahan pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan ekspor. Ekspor meningkat jika permintaan bergeser ke kanan atau terjadi peningkatan posisi menguntungkan dalam wilayah, sedangkan ekspor menurun pada saat permintaan bergeser ke kiri atau kehilangan posisi menguntungkan. Sasaran pertama teori export base sebagai teori umum pembangunan ekonomi wilayah adalah sebagai teori economic base yang lebih tepat diperuntukkan bagi wilayah-wilayah yang kecil dengan ekonomi sederhana dan untuk penelitian jangka pendek tentang pengembangan ekonomi wilayah. Dalam kasus yang lebih besar, semakin kompleks perekonomian dan semakin panjang analisis pertumbuhan wilayahnya, variabel-variabel lain dapat berperan penting seperti ekspor. Sasaran kedua, teori economic base gagal menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah dapat terjadi walaupun terjadi penurunan ekspor, sedangkan di lain pihak sektor nonekspor lainnya dapat tumbuh untuk mengimbangi penurunan itu (Tibout, 1956; Richardson, 1973 yang diacu Tamenggung 1997).

Menurut Bendavid (1991), bahwa fondasi analisis ekonomi dasar adalah teori ekonomi dasar. Jantung atau Inti dari teori ekonomi dasar merupakan masalah pertumbuhan ekonomi wilayah yang pada akhirnya tergantung pada permintaan keluar tehadap produknya, Dan berbicara tentang economi dasar berarti berbicara tentang ”industri export yang menjadi ekonomi dasar atau sektor basis wilayah”. Apakah suatu daerah tumbuh atau merosot dan apa nilainya ditentukan oleh bagaimana memainkan wilayahnya sebagai suatu eksportir kepada dunia lainnya, dalam wujud barang-barang dan jasa-jasa, termasuk tenaga kerja, yang mengalir keluar daerah ke para pembeli, atau dalam wujud pembelian di dalam daerah oleh para pembeli yang biasanya berada atau bertempat tinggal di tempat lain. Jika permintaan terhadap ekspor wilayah meningkat, maka ada ekspansi sektor basis, yang pada gilirannya, menghasilkan suatu aktivitas pendukung bagi ekspansi sektor non basis.

Merujuk pada pendapat Bendavid diatas, Ghalib (2005) menyatakan bahwa ditinjau dari segi akademis aktivitas ekonomi wilayah dapat dibedakan atas dua jenis sektor aktivitas, yakni sektor aktivitas basis (basic sector) dan sektor

(28)

aktivitas bukan basis (non-basic sector). Aktivitas basis merupakan kegiatan yang mengeksport barang-barang dan pelayanan ke luar wilayah ekonominya atau memasarkan barang-barang dan pelayanan untuk keperluan penduduk yang tinggal di wilayah ekonomi sendiri. Sedangkan aktivitas bukan basis tidak mengeksport barang atau pelayanan ke luar wilayah.

Ghalib (2005) menegaskan pula bahwa meningkatnya jumlah aktivitas ekonomi basis disuatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut akan meningkat pula permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa di wilayah tersebut yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya menurunya aktivitas sektor basis di suatu wilayah akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke wilayah tersebut, dan akan mengurangi permintaan akan sektor bukan basis. Oleh karena itu aktivitas sektor basis sewajarnya berperan sebagai penggerak utama bagi setiap perubahan dan berpengaruh ganda (multiplier) terhadap wilayah tersebut. Sektor basis akan memperluas kesempatan kerja, baik di sektor basis sendiri maupun sektor bukan basis sebagai pengaruh aktivitasnya. Seberapa besar perluasan kesempatan kerja yang diciptakan dapat dihitung sebagai angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja seperti formula berikut : Total tenaga kerja

Pengganda basis =--- (1) Tenaga kerja sektor basis

Total tenaga kerja = Tenaga kerja sektor basis x Pengganda basis

Apabila memiliki data sektor basis dan prospeknya dimasa yang akan datang, serta angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja perekonomian di wilayah tersebut dapat diperkirakan jumlah tenaga kerja yang akan diserap di masa yang akan datang maka perlu dilakukan modifikasi formula (1) sebagai berikut :

Perubahan pada total tenaga kerja

Pengganda basis =--- (2) Perubahan pada tenaga kerja sektor basis

Menurut Glasson (1990), yang diacu Ghalib (2005) bahwa teori basis tersebut memiliki kelemahan terutama adanya kesulitan dalam menilai sektor basis dan bukan basis di lapangan, misalnya kasus sebuah produk industri (tambang) yang dijual terlebih dahulu kepada perusahaan dalam wilayah, kemudian sebagian menyalurkannya ke pabrik-pabrik didalam wilayah dan sebagian lain mengekspor ke luar wilayah. Hasil perhitungan angka pengganda

(29)

industri pertambangan jelas menjadi bukan sektor basis, yang basis adalah sektor perdagangan. Kelemahan ini kemudian dapat di atasi dengan analisis Location Quotient (LQ).

i. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif.

Teori keunggulan komparatif dan kompetitif tidak dapat terlepas dari teori resouces endowment dan exsport base atau economic base yang telah diuraikan di atas, karena teori keunggulan komparatif dan kompettif, menyatakan konsentrasi sektor atau komoditi pada suatu wilayah (memiliki keunggulan komparatif), dimana nilai strategis dari sektor atau komoditi tersebut menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan wilayah, dalam arti bahwa sektor tersebut memberikan keuntungan ganda dalam menciptakan barang dan jasa sebagai sektor basis yang memiliki daya saing dengan pergeseran pertumbuhan yang cepat (memiliki keunggulan kompetitif).

Sehubungan dengan itu menurut Samuelson (1955) yang diacu Setiawan (2006), bahwa setiap wilayah perlu mengetahui sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar (comparative advantage) dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki keunggulan kompetitif (Competitif advantage) untuk dikembangkan, artinya dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah (value added) yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian wilayah menjadi cukup besar. Produk tersebut bisa menjamin pasar untuk dieksport keluar daerah atau keluar negeri dan selanjutnya bisa mendorong sektor lain untuk turut berkembang sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat bertumbuh karena ada saling keterkaitan antar sektor yang memberikan multiplier effect.

Menurut Rustiadi at al. (2004) bahwa untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis atau bukan basis dan atau sektor/komoditi mana yang terkonsentrasi atau tersebar dapat digunakan metode Location Quotient (LQ). Hal tersebut sejalan dengan Bendavid (1991) bahwa Location Quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif disini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan latihan penyelesaian masalah dan membuat keputusan dalam permainan aplikasi mudah alih adalah satu pendekatan terbaik mengatasi isu-isu berkaitan

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan

[r]

Pasca Panen Tembakau Belanja Hibah Barang 800,000,000 - - 1 paket Jawa Timur APBD Januari Februari Februari Maret 21 25.102 Disbun Pengadaan pupuk ZK. Percontohan Intensifikasi

Sedangkan, untuk uji anova diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat pengaruh hasil ukuran huruf bila digunakan ke-4 warna huruf (biru, hitam, merah, hijau), sedangkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai kinerja dan harapan pasien terhadap kualitas pelayanan jasa di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang, maka

Adapun yang dimaksud dengan skenario adalah naskah televisi yang digunakan sebagai acuan utama.Suatu skenario sudah bisa disebut baik, jika memenuhi

Upaya penghematan konsumsi energy pada bangunan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa hal diantaranya adalah melakukan pergantian jenis lampu TL ke lampu LED,