• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. biodegradable, edible film dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. biodegradable, edible film dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible Film

Edible film merupakan suatu lapis tipis yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis. Selain bersifat biodegradable, edible film dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional dari kemasan itu sendiri (Kusumawati dkk., 2013). Edible film ini bersifat biodegradable dan dapat dimakan sehingga dapat mengurangi penggunaan kemasan yang nondegradable (Bourtoom, 2006). Menurut Kusumawati dkk. (2013), edible film memiliki potensi untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas dari bahan pangan dengan tidak merubah aroma, rasa, tekstur dan penampakan.

Salah satu fungsi utama dari edible film adalah kemampuan mereka dalam peranannya sebagai penghalang, baik gas, minyak atau yang lebih utama air. Kadar air makanan merupakan titik penting untuk menjaga kesegaran, mengontrol pertumbuhan mikroba dan tektur yang baik. Edible film dapat mengontrol Aw (water activity) melalui pelepasan atau penerimaan air (Hui, 2006). Fungsi dan penampilan edible film bergantung pada sifat mekaniknya yang ditentukan oleh komposisi bahan di samping proses pembuatan dan metode aplikasinya (Rodriguez et al., 2006). Salah satu fungsi utama dari edible film adalah peranannya sebagai penghalang, baik gas, minyak, dan air. Edible film dapat digunakan sebagai pengemas bahan makanan seperti kacang-kacangan dan biji-bijian (Krisna, 2011), sosis, buah-buahan dan sayuran segar serta daging.

(2)

6 Umumnya film yang dibuat dari hidrokoloid memiliki sifat mekanis yang baik, namun tidak efisien sebagai penahan uap air karena bersifat hidrofilik. Untuk mengatasi hal tersebut pada pembuatan edible film sering ditambahkan bahan plasticizer. Plastik edible yang dibentuk dari polimer murni bersifat rapuh sehingga digunakan plasticizer untuk meningkatkan fleksibilitasnya. Selama waktu penyimpanan maupun penggunaannya, plastik edible dapat mengalami perubahan sifat, dan tidak diharapkan berlangsung cepat. Sifat mekanik ini dipengaruhi oleh lama penyimpanan plastik edible.

Plasticizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer sekaligus meningkatkan fleksibilitas polimer. Plasticizer yang digunakan dapat diambil dari golongan poliol. Gliserol merupakan salah satu golongan poliol selain sorbitol dan manitol. Gliserol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kelebihan mampu untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler sehingga baik untuk menghambat penguapan air dari produk, dapat larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer, tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah dan bersifat non toksik (Astuti, 2011).

Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida lainnya. Lipida yang biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid (Krochta et al., 1994).

(3)

7 a. Hidrokoloid

Hidrokoloid adalah suatu polimer larut dalam air, yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau mampu membentuk gel dari larutan tersebut. Akhir-akhir ini istilah hidrokolid yang merupakan kependekan dari koloid hidrofilik ini menggantikan istilah gum karena dinilai istilah gum tersebut terlalu luas artinya. Ada beberapa jenis hidrokoloid yang digunakan dalam industri pangan baik yang alami maupun sintetik. Jika ditinjau dari asalnya, hidrokoloid tersebut diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama, yaitu hidrokolid utama, hidrokoloid utama termodifikasi, dan hidrokoloid sintetik.

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum (seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum, dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik, sehingga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur. Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat nontoksik (Krochta et al., 1994).

(4)

8 b. Lipida

Lipida adalah nama suatu golongan senyawa organik yang meliputi sejumlah senyawa yang terdapat di alam yang semuanya dapat larut dalam pelarut-pelarut organik tetapi sukar larut atau tidak larut dalam air. Pelarut organic yang dimaksud adalah pelarut organik nonpolar, seperti benzen, pentana, dietil eter, dan karbon tetraklorida. Dengan pelarut-pelarut tersebut lipid dapat diekstraksi dari sel dan jaringan tumbuhan ataupun hewan. Film yang berasal dari lipida sering digunakan sebagai penghambat uap air, atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula. Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik (Krochta et al., 1994).

Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang, dan polaritas. Lipida yang sering digunakan sebagai edible film antara lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak, monogliserida, dan resin (Hui, 2006). Jenis lilin yang masih digunakan hingga sekarang yaitu carnauba. Alasan mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat hidrofobik (Krochta et al., 1994).

c. Komposit

Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), dimana satu lapisan merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokoloid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen

(5)

9 lipida dan hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran yang telah diolah minimal (Krochta et al., 1994).

2.2 Kacang Hijau

Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan tanaman kacang – kacangan ketiga yang banyak dibudidayakan setelah kedelai dan kacang tanah. Bila dilihat dari kesesuaian iklim dan kondisi lahan yang dimiliki. Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki kesempatan untuk melakukan ekspor kacang hijau (Purwono dan Hartono, 2005: 5). Kacang hijau memiliki ukuran batang yang kecil, berbulu, berwarna hijau kecoklat – coklatan atau kemerah – merahan. Batang tumbuh tegak mencapai 30 – 110 cm dan bercabang menyebar ke semua arah. Daun kacang hijau adalah daun majemuk dengan tiga helai anak daun per tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan ujung lancip dan berwarna hijau. Buah kacang hijau berbentuk polong dengan panjang antara 6 cm – 15 cm. Tiap polong berisi 6 -16 butir biji. Biji kacang hijau berbentuk bulat kecil dengan bobot (berat) tiap butir 0,5 mg – 0,8 mg atau berat per 1000 butir antara 36 g – 78 g (Rukmana, 1997: 16). Biji umumnya berwarna hijau kusam atau hijau mengkilap, namun adapula yang berwarna kuning dan coklat (Fachruddin, 2000: 64).

Adapun taksonomi tanaman kacang hijau adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyldonae

(6)

10

Ordo : Leguminales

Famili : Leguminosae Genus : Vigna

Spesies : Vigna radiata L. (Purwono dan Hartono, 2015: 12)

Gambar 1. Kacang Hijau (Vigna radiata L.)

Kacang hijau merupakan sumber protein nabati, vitamin (A,B1, C, dan E), serta beberapa zat lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti amilum, besi, belerang, kalsium, minyak lemak, mangan, magnesium dan niasin. Selain bijinya, daun kacang hijau muda sering dimanfaatkan sebagai sayuran. Kacang hijau bermanfaat untuk melancarkan buang air besar dan menambah semangat (Purwono dan Hartono, 2005: 5). Bila dilihat dari kandungan proteinnya, kacang hijau termasuk bahan makanan sumber protein kedua setelah susu skim kering. Kandungan protein kacang hijau sekitar 22%. Namun bila dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, kandungan protein kacang hijau menempati peringkat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah.

Dalam 100 g kacang hijau mengandung 22 g protein yang kaya akan asam amino lisin (7,94%). Kacang hijau mengandung mineral kalsium dan fosfor yang relatif tinggi yaitu 125 mg kalsium dan 320 mg fosfor dalam 100 g kacang hijau. Lemak kacang hijau (1,2 g/100g) jauh lebih rendah dari kacang kedelai (15,6 g/100g), karena itu kacang hijau sangat baik bagi orang yang ingin menghindari

(7)

11 konsumsi lemak tinggi. Rendahnya lemak dalam kacang hijau menyebabkan bahan makanan atau minuman yang terbuat dari kacang hijau tidak mudah tengik. Lemak kacang hijau tersusun atas 73% asam lemak tak jenuh dan 27% asam lemak jenuh (Diniyati, 2012).

Kacang hijau merupakan salah satu kacang-kacangan yang kaya akan kandungan protein isoflavon. Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid (1,2- diarilpropan) dan merupakan bagian kelompok yang terbesar dalam golongan tersebut. Isoflavon merupakan sejenis senyawa estrogen yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi. (Rahardjo dan Hermani, 2006).

Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Kacang – Kacangan per 100 gram

Zat Gizi Kacang Hijau Kacang Merah Kedelai Kacang Tanah Energi (kkal) 323 314 381 525 Protein (g) 22,9 22,1 40,4 27,9 Lemak (g) 1,5 1,1 16,7 42,7 Karbohidrat (g) 56,8 56,2 24,9 17,4 Serat (g) 7,5 4 3,2 2,4 Kalsium (mg) 223 502 222 310 Fosfor (mg) 319 429 628 456 Besi (mg) 7,5 10,3 10 5,7

(8)

12 Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dimakan oleh manusia sebagai sumber energi utama. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2005). Molekul amilosa merupakan polimer dari unit-unit glukosa dengan bentuk ikatan α-1,4 glikosidik, berbentuk rantai lurus, tidak bercabang atau mempunyai struktur heliks yang terdiri dari 200 - 2000 satuan anhidroglukosa sedangkan amilopektin merupakan polimer unit-unit glukosa dengan ikatan α-1,4 glikosidik pada rantai lurus dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangan, terdiri dari 10.000 - 100.000 satuan anhidroglukosa (Adebowale and Lewal, 2003).

Gambar 2. Struktur Molekut Amilosa dan Amilopektin (Kusnandar 2010)

Amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekuler yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul

(9)

13 amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa dibanding amilopektin. Namun, pada dasarnya struktur amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek α-1,4-D-glukosa dalam jumlah yang besar (Taggart, 2004).

Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat berpengaruh pada profil gelatinisasi pati. Gelatinisasi merupakan suatu proses ketika granula pati dipanaskan dengan air yang cukup sehingga terjadi pengembangan granula pati dan menghasilkan cairan yang kental untuk memberikan kualitas produk yang diinginkan (Rohaya dkk., 2013). Proses ini terjadi pemecahan ikatan intermolekuler dari pati dengan adanya panas dan air yang diberikan (Daomukda dkk., 2011).

Amilosa dapat mengalami gelatinisasi dan retrogradasi sehingga menghasilkan RS-3 atau Resistant Starch Tipe 3 yang sulit dicerna dan berpengaruh baik bagi kesehatan (Stipanuk, 2000). Terbentuknya RS dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat intrinsic dari pati alami (bentuk kristalin pati, struktur granula pati, rasio amilosa dengan amilopektin, panjang rantai amilosa). Fraksi kristalin pati yang terbentuk dipengaruhi oleh suhu dan waktu gelatinisasi dan retrogradasi (Eerlingen dan Delcour, 1995). Pati disimpan dalam granula-granula yang terpisah, dengan ukuran, bentuk, morfologi, komposisi, dan struktur molekul bervariasi tergantung asal tanamannya (Sajilata dkk., 2006). Diameter granula umumnya berkisar 1 μm - 100 μm, dengan berbagai variasi bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan, serta terdistribusi secara tunggal maupun bergerombol (Bertolini, 2010). Pati tersusun oleh polimer rantai lurus amilosa dan polimer bercabang amilopektin. Umumnya pati mengandung 20-30% amilosa dan 70-80%

(10)

14 amilopektin, tetapi pada varietas tertentu mengandung pati beramilopektin tingi seperti pada waxy corn dengan amilopektin 98% (Stipanuk, 2000).

Pati kacang hijau dapat diisolasi dengan cara kering maupun cara basah, namun isolasi cara basah lebih banyak dikerjakan (Triwitono, dkk., 2017). Pada isolasi pati cara basah, perlu modifikasi tertentu misalnya dengan penyosohan untuk merusak sebagian kulit biji dan lembaga sehingga tidak terjadi perkecambahan selama perendaman pada suhu kamar. Kajian sifat-sifat pati kacang hijau dari berbagai negara sudah cukup banyak dilakukan, tetapi kajian sifat-sifat pati kacang hijau lokal asal Indonesia masih sangat terbatas. Sifat-sifat pati kacang hijau yang diteliti meliputi sifat fisika-kimia (kadar amilosa, swelling power, solubilitas, turbiditas, affinitas Iod/ blue value, amylose leaching, dan water holding capacity), sifat thermal (sifat gelatinisasi dan sifat retrogradasi), sifat pasta (pasting properties), dan sifat tekstur gel pati, sifat digestibilitas, sifat granula pati (bentuk dan ukuran granula pati). Penelitian ini dimaksudkan untuk menseleksi atau menentukan varietas kacang hijau lokal Indonesia yang memiliki kadar amilosa paling tinggi. Informasi sifat-sifat pati tersebut sangat penting bagi aplikasi pengembangan produk selanjutnya, antara lain pengembangan RS-3 untuk penanganan masalah obesitas.

Kacang hijau mengandung protein dan pati yang cukup tinggi. Akan tetapi, besarnya rendemen pati yang mampu diekstraksi bervariasi. Kacang hijau varietas Sriti mempunyai rendemen tertinggi (36,76%), sedangkan rendemen terendah yaitu varietas Vima-1 (29,49%). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil rendemen tersebut antara lain metode ekstraksi, frekuensi deproteinasi, tingkat kebersihan penghilangan kulit, dan teknik pemisahan residu dari endapan pati.

(11)

15 Selain itu kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan varietas, iklim, unsur hara tanah serta daerah asal tempat tumbuhnya (Asaoka dkk., 1985; Marrison dan Azudin, 1987).

Tabel 2. Komposisi Kacang Hijau Varietas Lokal Indonesia dan Rendemen Patinya Varietas Air % bb Protein % bk Lemak % bk Abu % bk Karbohidrat % bk Pati % bk Rendemen % Murai 11,91 19,34 0,83 3,81 64,11 43,46 34,81 Sriti 11,70 18,83 1,09 3,54 64,84 40,52 36,76 Vima-1 11,47 20,79 0,69 3,58 63,46 40,41 29,49 Walet 11,89 20,06 0,71 3,65 63,69 42,11 35,33 Sumber: Triwitono, dkk., (2017)

Kemurnian pati menggambarkan prosentase kadar pati dalam pati hasil ekstraksi. Cukup tingginya bahan-bahan lain dalam ekstraksi pati seperti abu dan lemak, akan menurunkan kadar RS-3 yang dihasilkan (Sajilata dkk., 2006) sehingga perlu dianalisis kandungannya. Hasil ekstraksi pati kacang hijau mempunyai kemurnian pati sangat tinggi (berkisar 99,22 - 99,80%) dengan kadar abu dan lemak sangat rendah. Kemurnian pati semua varietas tidak berbeda nyata. Amilosa adalah bahan dasar RS- 3, sehingga kadar amilosa yang tinggi akan menghasilkan kadar RS-3 yang tinggi pula. Kadar amilosa tertinggi adalah varietas Walet (55,39% bk). Tabel 3. Kemurnian Pati dan Kadar Amilosa Kacang Hijau Beberapa Varietas Lokal Indonesia Varietas Air % bb Abu % bk Lemak % bk Kemurnian pati % bk Amilosa % bk Murai 13,94 0,18 0,01 99,77 54,22 Sriti 14,53 0,18 0,01 99,22 54,42 Vima-1 12,71 0,11 0,01 99,80 53,70 Walet 14,84 0,17 0,01 99,63 55,39 Sumber: Triwitono, dkk., (2017)

Pati alami mempunyai warna putih dengan intensitas derajat putih atau kecerahan yang berbeda – beda. Derajat putih pati kacang hijau lokal Indonesia berkisar antara 86,09 – 89,41. Kacang hijau Murai mempunyai derajat putih paling

(12)

16 rendah dibandingkan dengan derajat putih ketiga varietas lainnya (Sriti, Vima-1, dan Walet) yang mempunyai derajat putih tidak berbeda nyata. Parameter a dengan nilai negative menunjukkan adanya peningkatan intensitas warna hijau, dan parameter b dengan nilai positif menunjukkan peningkatan intensitas warna kuning. Tabel 4. Warna Pati Alami Kacang Hijau Beberapa Varietas Lokal Indonesia

Varietas L A b

Murai 86,09 -0,90 2,51

Sriti 89,41 -0,71 2,22

Vima-1 88,33 -0,91 2,59

Walet 88,09 -0,69 1,99

L = Derajat Putih ; a = Nilai Merah – hijau ; b = Nilai Kuning - Biru Sumber: Triwitono, dkk., (2017)

Granula pati kacang hijau mempunyai bentuk dan ukuran tidak seragam serta sangat heterogen. Granula pati kacang hijau berbentuk oval sampai bulat, seperti ginjal (kidneyshaped), elips, bulat-kecil, dan berbentuk kubah dengan ukuran granula antara 5 – 40 μm (Wenhao-Li dkk., 2011). Menurut Hoover dkk. (1997) pati kacang hijau mempunyai bentuk granula oval dengan ukuran diameter 7-16 μm.

Bentuk dan ukuran granula pati alami beberapa varietas kacang hijau lokal Indonesia yang diamati dengan SEM (Scanning Electron Microscope) disajikan pada Gambar 3. Bentuk granula pati alami kacang hijau lokal Indonesia adalah elips seperti ginjal dan mempunyai permukaan halus dengan ukuran granula yaitu diameter atau lebar (L) 9,05 – 21,08 μm dan panjang (P) 12,67 – 31,07 μm. Meskipun parameter ukuran granula tidak mampu menjelaskan kandungan amilosa ataupun amilopektin atau rasio keduanya, namun ukuran granula pati secara sepintas bisa menggambarkan kandungan pati secara keseluruhan. Hal ini karena granula merupakan kantung yang berisi butiran-butiran pati.

(13)

17

Varietas Walet Varietas Murai

Varietas Sriti Varietas Vima-1

Gambar 3. Bentuk dan Ukuran Granula Pati Alami Kacang Hijau Beberapa Varietas Lokal Indonesia yang Diamati dengan SEM Perbesaran 3000 X (Triwitono, dkk., 2017)

2.3 Jahe Emprit (Zingiber officinale var. amarum)

Jahe (Zingiber officinale rosc) pada awalnya berasal dari Asia Pasifik yang kemudian tersebar dari India sampai Cina. Jahe merupakan rempah-rempah dan tanaman obat yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bidang kesehatan (Paimin, 2008).

Klasifikasi tanaman jahe (Zingiber officinale rosc) dalam dunia tanaman adalah sebagai berikut:

P=13,99-28,19 µm L=9,38-21,08 µm P=12,67-27,77 µm L=10,59-17,14 µm

(14)

18 Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale rosc

Varietas : Zingiber officinale var. officinale (jahe gajah)

Zingiber officinale var. amarum (jahe emprit) Zingiber officinale var. rubrum (jahe merah)

Gambar 4. Jahe Emprit (Zingiber officinale var. amarum)

Jahe putih kecil atau jahe emprit ini dikenal dengan nama latin “Zingiber

officinale var. amarum” dengan bobot rimpang berkisar antara 0,5-0,7 kg/rumpun.

Struktur rimpang kecil dan berlapis-lapis. Daging rimpang memiliki warna putih kekuningan. Tinggi rimpang mencapai 11 cm dengan panjang antara 6-30 cm dan diameter antara 3,27-4,05 cm. Ruas jahe ini kecil dan agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini dipanen setelah berumur tua (Hapsoh dkk., 2010).

Jahe memiliki beberapa kandungan kimia yang berbeda. Faktor yang dapat mempengaruhi kandungan kimia jahe yaitu jenis jahe, unsur tanah, umur panen,

(15)

19 dan pengolahan rimpang jahe. Komponen yang terkandung dalam jahe yaitu air 80,9%, protein 2,3%, lemak 0,9%, mineral 1-2%, serat 2-4%, dan karbohidrat 12,3%.

Tabel 5. Komposisi Kimia Jahe dalam 100 gram

Komponen Jumlah Jahe Segar

Kalori (kal) 51 Protein (g) 1,5 Lemak (g) 1,0 Karbohidrat (g) 10,1 Kalsium (mg) 21 Fosfor (mg) 39 Besi (mg) 4,3 Vitamin A (SI) 30 Thiamin (mg) 0,02 Niasin (mg) 0,8 Vitamin C (mg) 4 Serat Kasar (g) 7,53 Total Abu (g) 3,70 Kalium (mg) 57,0 Air (g) 86,2

Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2000

Jahe memiliki kandungan minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (non volatile oil), dan pati. Minyak yang menguap disebut minyak atsiri. Minyak tersebut banyak dimanfaatkan dibidang pangan. Minyak atsiri berwarna kuning, sedikit kental, dan merupakan senyawa pemberi aroma khas pada jahe. Minyak tidak menguap disebut oleoresin yang merupakan senyawa pemberi rasa pedas dan pahit (Setiawan, 2015).

2.4 Ekstrak Jahe

Komponen bioaktif yang terkandung dalam ekstrak jahe antara lain (6)-gingerol, (6)-shogaol, diarilheptanoid dan curcumin. Senyawa fenol pada jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin yang dapat berpengaruh dalam sifat pedas jahe. Senyawa terpenoid merupakan komponen tumbuhan yang memiliki

(16)

20 bau, dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan biosintesa senyawa terpenoid yang biasa disebut senyawa “essence” dan memiliki bau yang spesifik. Senyawa monotepenoid banyak dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, dan bahan pemberi aroma makanan dan parfum (Kusumaningati, 2009). Senyawa-senyawa metabolit sekunder golongan fenolik, flavonoid, terpenoid, dan minyak atsiri yang terdapat pada ekstrak jahe merupakan golongan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan diantaranya bakteri Escherichia

coli, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, jamur Neurospora sp, Rhizopus sp.

dan Penicillium sp. (Nursal dkk., 2006).

2.5 Gliserol sebagai Plasticizer

Gliserol sebagai plasticizer merupakan yang ditambahkan kedalam bahan pennyusun atau pembentuk edible film. Plasticizer merupakan substansi bersifat non-volatil, memiliki titik didih yang tinggi, tidak memisah, yang ketika ditambahkan ke dalam materi lain mengubah sifat fisik dan mekanik dari material tersebut. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan lapisan terutama jika disimpan pada suhu rendah.

Gliserol (C3H8O3) merupakan senyawa alkohol polihidrat (polyol) dengan 3 gugus hidroksil dalam satu molekul atau disebut alkohol trivalent. Nama lain gliserol adalah gliserin atau 1,2,3-propanetriol atau CH2OHCHOHCH2OH. Gliserol tidak berwarna, tidak berbau, rasa manis, bentuknya liquid sirup, meleleh pada suhu 17,8˚C, mendidih pada suhu 290˚C dan larut dalam air dan etanol. Sifat gliserol higroskopis, seperti menyerap air dari udara. Gliserol termasuk jenis

(17)

21

plasticizer yang bersifat hidrofilik, menambah sifat polar dan mudah larut dalam

air. Secara umum plasticizer dibutuhkan sekitar 10 - 60% dari berat kering, tergantung dari kekakuan polimer (Sothernvit dan Krochta, 2005). Gliserol bersifat humektan, dimana bagian dari aksi plasticizing berasal dari kemampuannya untuk menahan air pada edible film tersebut.

2.6 Senyawa Antimikroba

Antimikrobia merupakan daya hambat untuk perkembangan bakteri dan toksisitas selektif, dimana bahan tersebut hanya melemahkan patogen tetapi tidak berpengaruh terhadap inangnya (Jawetz et al., 2010). Jenis bakteri merugikan seperti Stapylococus aureus, Eschericia coli, Klebsiella, dan Pasturella Salmonlla dapat dihambat oleh minyak atsiri. Antimikrobia merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan. Menurut (Jawetz dkk., 2010), mekanisme kerja dari senyawa antibakteri diantaranya yaitu:

a. Penghambatan sintesis dinding sel b. Penghambatan fungsi selaput sel

c. Penghambatan sintesis protein yaitu hambatan tran slasi dan transkripsi\ bahan genetik

d. Penghambatan sintesis asam nukleat

Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri. Antimikroba meliputi golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Nilsson dkk., 2000).

(18)

22 Adapun menurut Pelczar dan Chan (2007), aktivitas antimikroba dipengaruhi oleh faktor antara lain:

a. Konsentrasi zat antimikroba dan jumlah mikroorganisme b. Keasaman atau kebasaan (pH)

c. Potensi suatu zat anti mikroba dalam larutan yang diuji d. Kepekaan suatu mikroba terhadap konsentrasi anti jamur

2.7 Escherichia coli

Berdasarkan taksonominya Escherichia coli diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Escherichia coli diisolasi pertama kali oleh Theodore Escherich pada tahun

1885 dari tinja seorang bayi. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang pendek dan memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm dan bersifat anaerob fakultatif. Escherichia coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata. Escherichia coli merupakan golongan bakteri mesofilik yaitu bakteri yang suhu pertumbuhannya optimum pada 15-45°C dan dapat hidup pada pH 5,5-8 (Jawetz dkk., 2010).

Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan tidak

(19)

23 tersusun tunggal berpasangan. Escherichia coli tumbuh pada suhu 10-40°C dengan suhu optimum 37°C, bakteri ini mempunyai pH optimum untuk pertumbuhannya yaitu berkisar antara 7,0-7,5 serta sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi. Bakteri ini termasuk ke dalam bakteri anaerobik fakultatif, yang artinya bakteri ini secara terbatas dapat hidup dalam keadaan aerobik ataupun anaerobik serta dapat tumbuh di medium nutrient sederhana dan mampu memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan asam dan gas (Pelczar dan Chan, 2007).

Gambar

Gambar 1. Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Tabel 1. Komposisi  Zat Gizi Kacang – Kacangan per 100 gram
Gambar 2. Struktur Molekut Amilosa  dan Amilopektin (Kusnandar 2010)
Tabel 2. Komposisi Kacang Hijau Varietas Lokal Indonesia dan Rendemen Patinya  Varietas  Air  % bb  Protein % bk  Lemak % bk  Abu  % bk  Karbohidrat % bk  Pati  % bk  Rendemen %  Murai  11,91  19,34  0,83  3,81  64,11  43,46  34,81  Sriti  11,70  18,83  1,
+5

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT, karena telah melimpahkan rahmat, hidayah, berkah, dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis

Penggunaan inokulan penambat nitrogen dan pelarut fosfat baik sebagai inokulan tunggal maupun campuran, umumnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen

Ronick thought for a moment and then said, „I take it these two,‟ he jerked a thumb between Leela and Keefer, „will be fighting this duel?‟. „It‟s what our guests

Tugas sehari-hari seorang Public Relations officer (PRO) adalah mengadakan kontak social dengan kelompok masyarakat tertentu, serta menjaga hubungan baik (community

Gambaran Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Pada Pasien Baru Yang Melakukan Pemeriksaan Toraks Foto Di Bagian/Smf Radiologi Blu Rsup Prof.. Rd Kandou Manado Periode Juni-

2) Button Deteksi Tepi digunakan untuk manjalankan program Deteksi tepi dan Menampilkan halaman Deteksi Tepi. 3) Button Deteksi Kanker digunakan untuk manjalankan program

Program SIPL dengan hasil ditambahkannya modul SIAKIP [sistem Informasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah] sebagai pelengkap kebutuhan evaluasi dan monitoring,

Hasil penelitian distribusi rumah walet di sepuluh Kecamatan di Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa Kecamatan Purwodadi tercatat memiliki jumlah rumah walet tertinggi yaitu