• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan masyarakat sangat penting bagi dalam suatu Negara. Salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan masyarakat sangat penting bagi dalam suatu Negara. Salah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kesejahteraan masyarakat sangat penting bagi dalam suatu Negara. Salah satu faktor penentu dalam pembangungan kesejahteraan masyarakat adalah 2 adanya pembangunan ketenagakerjaan yang bertujuan untuk memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap peningkatan perekonomian dan pengurangan angka pengangguran di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan adanya kerja sama dari semua pihak, baik dari pemerintah yang bertindak sebagai pembuat undang-undang, serta pihak pemberi kerja dan pekerja. Hal ini penting guna menciptakan hubungan atau kerjasama industrial yang produktif, professional dan seimbang (balance).

Dalam dunia ketenagakerjaan banyak ditemui berbagai konflik antara pemberi kerja dan penerima pekerja. Salah satunya adalah mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut dengan “PHK”), yang mana hal ini menjadi momok bagi para pekerja. Banyak dari para pekerja mulai mencemaskan akan nasibnya apabila diberhentikan dari pekerjaan yang dijalaninya. Para pengusaha pun juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit apabila pekerjanya di-PHK. Oleh karena itu, bagi para pihak, baik itu pemberi kerja maupun penerima kerja, (PHK) dinilai sebagai sesuatu hal yang dihindari.

Pada prinsipnya, Pasal 151 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut dengan “UU 13/2003) menjelaskan bahwa

(2)

pekerja dan pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin menghindari PHK. Kalaupun PHK tak bisa dihindari, pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. Kalau perundingan itu masih mentok, maka PHK baru bisa dilakukan setelah ada penetapan dari pengadilan.

Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja serta menjamin kesempatan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi:

“ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.1

Dengan terpenuhi hak-hak dan perlindungan dasar bagi semua tenaga kerja pada saat yang bersamaan secara tidak disadari akan mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.

Dukungan untuk terhindar dari segala bentuk kekerasan apapun termasuk kekerasan fisik ataupun hak-hak dasar pekerja agar mendapat rasa aman dan nyaman juga dapat dilihat dari Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, yang berisi:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”2

Manusia mempunyai kebutuhan yang sangat beraneka ragam di dalam kehidupan, untuk dapat memenuhi segala kebutuhannya itu manusia dituntut

1

Pasal 27 ayat (2) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2

(3)

untuk bekerja. Dalam Jurnal Internasional yang berjudul Termination for Incompetence mengatakan :

“ Work is one of the most fundamental aspect in a person’s life, providing he individual with a means of financial support and as importantly a contributory role in society. A person's employment is an essential component of his or hersense of identity, self-worth and emotional well-being. Accordingly, theconditions in which a person works are highly significant in shaping the wholecompendium of psychological, emotional and physical elements of a

person'sdignity and self respect”.3

Maksud dari pernyataan di atas yaitu suatu pekerjaan merupakan hal yang paling fundamental, dimana dengan bekerja seseorang dapat mencari penghasilan dan memberikan kontribusi yang besar kepada masyarakat.

Pekerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, sedangkan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis, pekerja adalah bebas karena seorang pekerja/buruh dalam prinsip di Negara Indonesia tidak boleh diperbudak ataupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja tidak memiliki kebebasan dimana pekerja terkadang dengan terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha sekalipun memberatkan diri para pekerja itu sendiri. Tetapi

3

Reference Re Public Service Employee RelationsAct (Alberta), [1987] 1 S.C.R. 313 at para. 91 the majority of the Supreme Court of Canada

(4)

perubahan-perubahan dalam ketenagakerjaan terus terjadi, ini tidak terlepas dari proses panjang sejarah hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Dalam perkembangan ini pun kemudian, pengaturan hubungan kerja diserahkan seluruhnya pada perjanjian bebas antara pengusaha dan pekerja. Asas kebebasan yang dibawa oleh revolusi industri, telah berperan besar dalam menumbuhkan prinsip kehidupan liberalisme yang sangat bersifat individualistis.4

Kaitannya dengan hukum ketenagakerjaan, maka bukan orang yang bekerja atau memiliki usaha sendiri tetapi yang bekerja pada orang atau pihak lain. Bekerja pada pihak atau orang lain menurut hukum ketenagakerjaan didasarkan pada adanya suatu hubungan kerja, sebagaimana Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.1 Tahun 2013 menyebutkan :

“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”

Berdasarkan pengertian hubungan kerja tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.5

Tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan dengan baik. Hal ini dimungkinkan adanya perselisihan, karena manusia sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi sudah pasti dalam kehidupan memiliki perbedaan pandangan, sehingga selama pelaksanaan hubungan kerja antara

4Drs. Mohd. Syaufii Syamsuddin, SH,. MH., “Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial,” Jakarta, Sarana Bhakti Persada, 2004, hal. 3.

5Lalu Husni, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.63.

(5)

pengusaha dan pekerja tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 – Pasal 170 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa :

“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya khususnya bagi pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu akan memberikan dampak psychologis, economis-financial, bagi pekerja/buruh dan keluarganya.6 Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, yaitu pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya dan sebagainya. Oleh karena itu pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

6F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila”, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.85.

(6)

Pemutusan hubungan kerja dapat dihindari dengan terjalinnya hubungan kerja yang harmonis di antara para pihak dengan adanya sikap yang dimiliki masing-masing pihak, baik oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Akan tetapi pada kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak mungkin seluruhnya dapat dicegah. Sesuai dengan Pasal 151 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud dari PHK tersebut wajib dirundingkan antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang bersangkutan. Tetapi apabila jika perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).

Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi atas kemauan dari pengusaha maupun pekerja/buruh. Namun, pada kenyataannya PHK banyak terjadi oleh pihak pengusaha. PHK oleh pengusaha dapat disebabkan oleh banyak alasan, seperti mangkir-nya pekerja, perusahaan tutup, perusahaan pailit, atau pekerja yang cuti lama karena sakit sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf a Undang – Undang No.13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa :

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan “pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.”

Bahkan Kepres RI No. 22 Tahun 1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan kerja mengatur hak pekerja bila menderita penyakit karena hubungan kerja, yakni mendapat jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam

(7)

hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir (paling lama 3 tahun sejak hubungan kerja berakhir).

Adapun pada awalnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 yang secara eksplisit diatur hanyalah prosedur PHK oleh pengusaha, itu pun hanya sebatas PHK karena kesalahan berat. Namun, kemudian dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 berkembang pengaturan prosedur PHK oleh pekerja/buruh di samping juga adanya prosedur PHK secara umum. Berikut beberapa prosedur PHK menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 :

a. Prosedur PHK secara Umum b. Prosedur PHK oleh Pengusaha c. Prosedur PHK oleh Pekerja/Buruh

Prosedur PHK kebanyakan yang dapat di-artikan yaitu secara umum, yaitu bahwa sebelumnya semua pihak (Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/ Serikat Buruh) harus melakukan upaya untuk menghindari terjalinnya PHK ( Pasal 151 ayat (1) ). Kemudian jika tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh mengadakan perundingan ( Pasal 151 ayat (2) ). Jika perundingan dapat diterima kedua pihak maka dibuat persetujuan bersama. Tetapi jika tidak berhasil, pengusaha akan mengajukan permohonan peneteapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial ( Pasal 151 ayat (3) dan 152 ayat (1) ) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jika selama belum ada putusan dari

(8)

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka semua pihak tetap melaksanakan kewajiban masing-masing.7

PHK memang merupakan penyebab yang paling sering muncul dalam perselisihan hubungan industrial. Perselisihan Hubungan Industrial diatur dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dimana Undang – Undang ini merupakan pencabutan atas Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang No 2 Tahun 2004 menyatakan bahwa :

“Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Atas dasar pengertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang – Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, membagi empat (4) jenis, yang meliputi :

1. Perselisihan Hak ( Pasal 1 Angka 2 Undang – Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)

2. Perselisihan Kepentingan ( Pasal 1 Angka 3 Undang – Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)

7Abdul Khakim, S.H., M.Hum., “Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,” PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.186.

(9)

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja ( Pasal 1 Angka 4 Undang – Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)

4. Perselisihan serikat pekerja/ serikat buruh dalam suatu perusahaan ( Pasal 1 Angka 5 Undang – Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)8

Dalam perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia sekarang, diketahui bahwa banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan tanpa sebab yang pasti. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja akibat pekerja/buruh melanggar ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Setiap pengusaha yang memperkerjakan pekerja sekurang-kurang nya 10 orang dan belum memiliki PKB wajib membuat PP yaitu peraturan yang dibuat oleh pengusaha namun harus melibatkan pekerja dalam proses pembuatannya. Dan isi dari PP tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, dan jika melanggar maka ketentuan yang berlaku adalah Undang-Undang. Hal – hal yang diatur dalam Peraturan Perusahaan yaitu 9:

1. Hak dan Kewajiban Pengusaha 2. Hak dan Kewajiban Pekerja 3. Syarat-syarat kerja

4. Tata tertib perusahaan

5. Jangka waktu berlakunya PP yaitu paling lama dua tahun

8Lalu Husni, “ Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di luar Pengadilan,”, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal.43.

(10)

Hal pemutusan secara sepihak karena pekera sakit dalam Putusan Nomor: 125/G/2008/PHI.Smg dan Putusan No. 311 K/Pdt.Sus/2009 tentang diputuskan perselisihan pemutusan hubungan kerja antara PT. Abadi Jaya Manunggal dan Suprayitno. Pada kasus ini Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan gugatan Penggugat dan memutuskan bahwa Penggugat berhak atas uang pesangon dan uang peghargaan masa kerja. Majelis Hakim beralasan bahwa Penggugat telah mengajukan bukti dan saksi untuk memperkuat dalilnya, sedangkan Tergugat hanya menyertakan bukti tanpa saksi dan juga tindakan Tergugat yang mencoret absensi Penggugat merupakan tindakan sepihak dan mencerminkan bahwa pihak Tergugat sudah tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja lagi. Adapun duduk perkara dalam kasus ini yaitu Penggugat Suprayitno telah bekerja ± 3 (tiga) tahun sebagai karyawan PT Abadi Jaya Manunggal Kaliwungu dengan jabatan Operator dengan upah sebesar Rp 662.500,-/bulan. Kemudian Penggugat pada tanggal 5 Mei 2008 sedang jatuh sakit di perusahaan (PT Abadi Jaya Manunggal Kaliwungu) dan kemudian diantar ke rumah (Suprayitno) oleh pihak perusahaan. Tetapi setelah sembuh dari sakit (operasi hernia) Penggugat masuk kerja pada tanggal 20 Juni 2008 ternyata nama penggugat sudah dicoret/dihapus dari daftar karyawan pekerja PT Abadi Jaya Manunggal Kaliwungu (tidak masuk kerja sampai sekarang). Bahwa Penggugat selama bekerja di PT Abadi Jaya Manunggal Kaliwungu belum pernah mendapatkan surat peringatan baik lisan/tertulis (berkondite baik).

Menurut Penggugat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat adalah sepihak karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat tanpa ada skorsing. Bahwa dengan pemutusan hubungan kerja yang

(11)

dilakukan oleh Tergugat, kehidupan rumah tangga Penggugat saat ini berada kondisi memprihatinkan. Oleh karena tidak memiliki sumber pendapatan (masih menganggur), padahal Penggugat saat ini mempunyai angsuran sepeda motor setiap bulan sebesar Rp 750.000,- dan angsuran rumah sebesar Rp 450.000,-/bulan dan apabila tidak mengangsur semua akan disita. Dalam kasus ini Penggugat sudah melakukan berbagai upaya penyelesaian yaitu melalui perundingan bipartit, perundingan mediasi di mana pihak Tergugat tidak pernah hadir. Dalam hal mediasi dapat dilihat ketika Majelis Hakim telah mencoba mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara akan tetapi tidak bisa berhasil kemudian persidangan dilanjutkan dengan acara membacakan surat gugatan Penggugat pada tanggal 23 Desember 2008.

Terhadap Putusan Tingkat I Nomor 125/G/2008/PHI.Smg, Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disebut MA). MA berpendapat, bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan karena judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum mengenai menghukum Tergugat membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (2),(3) dan (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang pertimbangan hakim dalam putusan PHI Tk. I dan Kasasi dalam judul “Studi

Kasus Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara

Sepihak Karena Pekerja Sakit Dalam Putusan PHI Tingkat 1

Nomor 125/G/2008/PHI.Smg Dan Putusan Kasasi Nomor

311K/PDT.SUS/2009

(12)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan yaitu:

Apakah pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan perkara Nomor: 125/G/2008/PHI.Smg dan No. 311 K/Pdt.Sus/2009 tentang PHK karena Pekerja sakit telah sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari kegiatan penelitian ini diharapkan mencapai tujuan yaitu : Untuk menganalisis apakah pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara PHI Tingkat I Nomor : 125/G/2008/PHI.Smg dan Kasasi No. 311 K/Pdt.Sus/2009 tentang PHK karena pekerja sakit telah sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun kegunaannya sebagai berikut:

1. Kegunaan Akademis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan Hukum Ketenagakerjaan tentang implementasi hukum mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK)

(13)

karena Pekerja/Buruh sakit dan pengaturan hak-hak pekerja/buruh sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Ketenagakerjaan.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya bidang hukum ketenagakerjaan, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam mempelajari mengenai implementasi hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang sakit sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Hukum Ketenagakerjaan dengan melihat contoh kasus.

b. Bagi Praktisi, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat lebih memperjelas mengenai implementasi hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang sakit sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Hukum Ketenagakerjaan dengan melihat contoh kasus.

c. Bagi Peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum khususnya hukum ketenagakerjaan.

E. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan yang digunakan

Dalam rangka melengkapi dan meyempurnakan penulisan ini, penulis melaksanakan penelitian guna mendapatkan data yang konkrit untuk dijadikan

(14)

sebagai bahan penulisan agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk mendukung penelitian tersebut diperlukan suatu metode penelitian, dalam permasalahan ini metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bentuk-bentuk dokumen resmi atau disebut juga dengan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas, disini dikelompokkan atas :

a. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua tulisan dan hasil penelitian baik berupa karya ilmiah sarjana, jurnal hukum, buku-buku, artikel, makalah serta putusan Nomor: 125/G/2008/PHI.Smgdan Putusan No. 311 K/Pdt.Sus/2009yangberhubungan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini penulis mempergunakan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka atau kepustakaan yaitu dengan mempelajari literatur-literatur yang ada berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Disamping itu untuk melengkapi data juga dilakukan penelurusan data melalui internet.

(15)

3. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing yaitu mengolah kembali data yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir secara umum yang nantinya akan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada.

4. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan analisis data kualitatif, dengan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta Putusan Nomor: 125/G/2008/PHI.Smg dan Putusan No. 311 K/Pdt.Sus/2009

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan harus sesuai dengan undang- undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mennyatakan

Dari beberapa jenis pajak yang berlaku di Indonesia, penelitian ini membahas Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Penjelasan pasal 18 ayat 2 Undang- Undang no. 17 tahun

Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) juncto Pasal 13 ayat (1) Undang- undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu dimana

Sebagai negara hukum, penyelenggaraan negara dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka asas pelaksanaan pemilihan a merujuk pada pasal 22E ayat (1) UUD

“ Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan Kepada Pekerja Yang Mengalami Disabilitas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Kasus Putusan

mendasari diaturnya perlindungan hak pekerja perempuan dan terutama tentang hak reproduksi bagi pekerja perempuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Menimbang, bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perhitungan uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja adalah

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang no 2 Tahun 1992 yang dimana ketentuan ini telah diperbaharui menjadi Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 dan tetap mengatur Tentang Usaha