• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007)."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Jiwa

1. Definisi

Gangguan jiwa adalah gangguan cara berfikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007). Gangguan jiwa adalah suatu perilaku klinis yang signifikan atau pola sindrom psikologis yang ditemukan pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress (misalnya, gejala sakit) atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai peningkatan resiko kematian, rasa sakit, disabilitas, dan kehilangan kebebasan (American PsychiatriAssosiation,1994). Penyimpangan yang dialami penderita, mencakup penyimpangan pada pikiran, perilaku, dan perasaan tersebut diakibatkan oleh stressor maupun abnormalitas otak, yang menimbulkan penderitaan pada indivu dan hambatan melaksanakan peran sosial.

Gangguan jiwa adalah suatu perubahan fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peranan sosial (Keliat, 2012).

(2)

Gangguan jiwa adalah sekumpulan keadaanyang tidak normal baik yang berhubungan dengan keadaan fisik ataupun mental. Keadaan tersebut bukan disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian anggota badan tertentu meskipun terkadang gejalanya dapat terlihat oleh keadaan fisik (Ardani dkk, 2007).

Jadi dari beberapa definisi gangguan jiwa diatas, dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa adalah suatu kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal baik pada mental maupun fisik sehingga berakibat pada perubahan pada fungsi jiwa pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

2. Penyebab Gangguan Jiwa

Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semenamena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain.

Gangguan jiwa menurut Freud (2002), dalam Latif (2015), terjadi karena individu tidak dapat memaikan tuntutan (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan tuntutan super ego (tuntutan normal sosial). Individu ingin berbuat sesuatu yang dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan memberikan celaan masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan individu dengan tuntutan masyarakat dapat mengantarkan individu pada gangguan jiwa.

(3)

Menurut Yoseph (2014) Penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara terus menerus saling terkait dan saling mempengaruhi, yaitu:

a. Faktor Predisposisi

a. Faktor-faktor somatik atau organobiologis, seperti neroanatomi, nerofisiologi, nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor-faktor pre dan peri-natal.

b. Faktor-faktor psikologis atau psikoedukatif, seperti interaksi ibu dan anak, persaingan yang terjadi antar saudara kandung, hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari, kehilangan yang menyebabkan depresi seperti rasa malu atau rasa bersalah, pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya, dan tingkat perkembangan emosi.

c. Faktor-faktor sosial budaya atau sosiokultural, seperti kestabilan keluarga, tingkat ekonomi, masalah kelompok minoritis yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh rasial dan keagamaan.

b. Faktor Presipitasi

Respon penderita terhadap halusinasi dapat berupa respons curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak

(4)

nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993) dalam Yosep (2007) unsur-unsur biopsiko-sosio-spiritual dari halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:

a. Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

b. Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Penderita tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut penderita berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

c. Dimensi Intelektual

Dalam dimensi ini, menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memeperlihatkan adanya fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian penderita dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku penderita.

(5)

d. Dimensi Sosial

Penderita mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, penderita menganggap bahwa hidup besosialisasi dialam nyata merupakan sangat membahayakan. Penderita asyik dengan halusinasinya, seolah-olah individu merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk melakukannya. e. Dimensi Spiritual

Secara spiritual, penderita halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu, karena ia saring tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2007).

(6)

3. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Gejala yang timbul sangat bervariasi tergantung pada tahapan perjalanan penyakit. Ada gejala yang dapat ditemuan dalam kelainan lain, ada yang paling sering timbul pada skizofrenia yang merupakan tanda utama diagnosis (Ingram dkk,1993) Gejala umum gangguan jiwa berat adalah:

a. Delusi (waham), suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya pasien ataupun pendidikannya. Pasien tidak dapat diyakinkan oleh orang lainbahwa keyakinanya salah, meskipun banyak bukti kuat yang dapat diajukan untuk membantah keyakinan pasien tersebut. b. Halusinasi adalah persepsi yang salah, tidak terdapat stimulus

sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran dan hausinasi penglihatan.

c. Pembicaraan kacau, terdapat asosiasi yang terlalu longgar. Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya dimiliki oleh pasien.

d. Tingkah laku kacau, bertngkah laku yang tidak terarah pada tujuan tertentu,misalnya membuka baju di depan umum.

e. Simtom-simtom negatif, berkurangnya ekspresi emosi, berkurangnya kelancaran dan isi pembicaraan, kehilangan minat untuk melakukan berbagai hal.

(7)

B. Kekambuhan

1. Defenisi Kekambuhan

Kekambuhan penderita gangguan jiwa merupakan istilah yang secara relative merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan penderita dan atau lingkunganya. Tingkat kekambuhan sering diukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt dkk, 2006).

Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada penderita gangguan jiwa adalah hal utama yang dilakukan atas indikasi keamanan penderita karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila penderita tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostic san stabilitas pemberian medikasi (Durand& Barlow, 2007)

Kekambuhan gangguan jiwa psikotik adalah munculnya kembali gejala gejala psikotik yang nyata.Angka kekambuhan secara positif berhubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit, lamanya dan perjalanan penyakit (Wirnata, 2009). Kekambuhan adalah keadaan penderita dimana jatuh sakit lagi (biasanya lebih parah dari pada yang terdahulu) dan mengakibatkan penderita harus dirawat kembali.

(8)

2. Faktor-Faktor Penyebab Kekambuhan

Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan penderita gangguan jiwa antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress, (Akbar, 2008 dan Wirnata, 2009).

a. Ketidakpatuhan Meminum Obat

Faktor yang paling penting dengan kekambuhan pada penderita gangguan jiwa adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada penderita skzofrenia adalah pemberian antipsikosis. Obat tersebut bekerja bila dipakai dengan benar tetapi banyak dijumpai penderita skizofrenia tidak menggunakan obat mereka secara rutin.

Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya penderita tentang tujuan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pembelian atau pemberian obat kepada penderita. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila penderita mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaanya.

(9)

Kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini :

1) Pada penderita rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan, menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif

2) Penderita rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

3) Penderita rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan. 4) Penderita rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat

menelan obat-obatan walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut

b. Faktor Sehubungan dengan Pengobatan

Penderita yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek ekstrapiramidal, gangguan seksual dan penambahan berat badan. Namun pada data ternyata tidak ada hubungan antara regimen terapi dan profil efek samping dengan kepatuhan terhadap pengobatan. Kenyataanya

(10)

penderita yang tidak patuh tidak berbeda dari penderita yang patuh dalam melaporkan efek samping neurologic.

c. Faktor Lingkungan

Dukungan dan bantuan merupakan bagian penting dalam kepatuhan pengobatan. Penderita yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Kemungkinan lain, sikap negative dalam lingkungan sosial penderita terhadap pengobatan psikiatri atau terhadap penderita sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan yang biasanya bila penderita tinggal dengan orang lain.

Menurut Agus (2001) penyebab kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah faktor psikososial yaitu pengaruh lingkungan keluarga maupun sosial. Faktor yang mempengaruhi perilaku penderita terhadap kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Penting untuk memberikan dukungan untuk menambah sikap positif terhadap pengobatan pada penderita. Lingkungan terapetik juga harus diperhitungkan. Penderita rawat inap dimana teman sekamar pernah mengalami pengalaman buruk terhadap satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap penderita terhadap obat yang sama.

(11)

C. Konsep Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang dihubungkan oleh keturunan atau perkawinan. Menurut World Health Organisation (WHO), keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan. Keluarga adalah sebuah unit terkecil dalam kehidupan sosisal dalam masyarakat yang terdiri atas orang tua dan anak baik yang berhubungan melalui pertalian darah perkawinan, maupun adopsi (NasirA& Muhith A, 2011).

Menurut ahli keluarga yaitu Friedman (2010) menjelaskan bahwa keluarga dalam memenuhi kebutuhannya memiliki fungsi dasar keluarga. Fungsi dasar tersebut terbagi menjadi lima fungsi yang salah satu nya adalah fungsi afektif, yaitu fungsi keluarga untuk pembentukan dan pemeliharaan kepribadian anak, pemantapan kepribadian anak, pemantapan kepribadian orang dewasa, serta pemenuhan kebutuhan psikologis para anggotanya. Apabila fungsi efektif ini tidak dapat berjalan semestinya maka akan terjadi gangguan psikologis yang berdampak pada kejiwaa dari keseluruhan unit keluarga tersebut. Banyak kejadian dalam keluarga yang terkait fungsi efektif ini yang bisa memicu terjadinya ganggua kejiwaan baik pada anggota maupun pada pola keseluruhan unit keluarganya, contoh kejadian kejadian tersebut seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kultural dan lain lain. Kejadian tersebut tidak semata mata muncul, tetapi selalu ada pemicunya.

(12)

Konsep keluarga yang biasanya menjadi pemicu adalah struktur nilai, struktur peran, pola komunikasi, pola interaksi, dan iklim keluarga yang mendukung untuk mencetuskan terjadinya kekambuhan pada keluarga tersebut.

2. Peran Keluarga

Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seseorang dalam situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan. Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing masing antara lain adalah : a. Ayah

Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung/ pengayom, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga setiap anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.

b. Ibu

Ibu sebagai pengatur rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.

(13)

c. Anak

Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai denga perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual (Setiadi,2008). Jadi peran keluarga adalah memberikan dukungan, membantu memenuhi kebutuhan anggota dan melatih untuk melakukan interaksi satu dengan yang lainya.

3. Fungsi Keluarga

Fungsi dasar keluarga adalah memenuhi anggota keluarga. Lima fungsi keluarga menurut Friedman (2010) adalah :

a. Fungsi Afektif

Fungsi afektif merupakan suatu basis sentral bagi pembentukan dan keberlangsungan unit keluarga dengan demikian funsi afektif merupakan fungsi paling viral. Tujuan dari fungsi afektif untuk stabilitas kepribadian kaum dewasa, memuhi kebutuhan kebutuhan para anggota keluarga. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang dari anggotanya karena respon afektif dari seorang anggota keluarga merupakan penghargaan terhadap kehidupan keluarga. Pada keluarga dengan gangguan jiwa harus memberikan reinforcement positif terhadap segala kemampuan yang sudah dilakukan penderita dengan tujuan untuk meningkatkan harga diri positif.

(14)

b. Fungsi Sosialisasi

Fungsi ini bertujuan untuk mengajarkan bagaimana berfungsi dan menerima peran peran sosial dewasa. Keluarga memiliki tanggungjawab untuk mentransformasikan seorang anak menjadi menjadi seorang individu yang dapat bersosialisasi dalam masyarakat. Keluarga diharapkan dapat membantu penderita gangguan jiwa mampu melakukan hubungan sosial baik didalam lingkungan keluarga itu sendiri maupun diluar lingkungan seperti berinteraksi dengan tetangga sekitarnya, berbelanja, memanfaatkan transportasi umum maupun melakukan iteraksi dalam kelompok yang ada di wilayah tempat tinggalnya.

c. Fungsi Reproduksi

Salah satu fungsi dasar keluarga adalah menjamin kontinuitas keluarga antar generasi dan masyarakat, fungsi reproduksi ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan generasi dan juga keberlangsungan hidup masyarakat. Keluarga dengan gangguan jiwa harus mempertahankan kualitas hidup setiap anggota keluarganya agar keberlangsungan generasi tetap terjaga.

d. Fungsi Ekonomis

Fungsi ekonomis meliputi ketersediaan sumber sumber dari keluarga secara finansial, dan pengalokasian sumber tersebut yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan. Kemampuan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan perawatan kesehatan yang

(15)

memadai merupakan suatu persfektif tentang sistem nilai keluarga itu sendiri. Kemampuan keluarga juga harus mendukung anggota keluarga dengan gangguan jiwa untuk memanfaatkan sumber sumber finansial yang tersedia baik dari keluarga itu sendiri maupun pemerintah seperti askeskin agar pengobatan penderita tetap berkelanjutan. Keluarga juga mengaarkan penderita untuk mengelola keuangan sesuai kebutuhan penderita.

e. Fungsi Perawatan Kesehatan

Perawatan kesehatan keluarga adalah tingkat perawatan kesehatan masyarakat yang ditujukan atau dipusatkan pada keluarga pada unit atau kesatuan yag dirawat, denngan sehat sebagai tujuan melalui pegobatan sebagai saran atau penyalur, Bailon dan Maglaya (1978) dalam Puspitasari (2015).

Fungsi perawatan kesehatan yaitu fungsi untuk mempertahankan kesehatan anggota keluarga agar memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan. Perawatan kesehatan dan praktik praktik sehat yang mempengaruhi status kesehatan anggota keluarga secara individual. Perawatan yang berkesinambungan mengurangi angka kekambuhan bagi penderita gangguan jiwa. Pentingnya keluarga memotivasi dan membantu penderita untuk melakukan kontrol secara rutin ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat seperti puskesmas.

(16)

Kategori respon keluarga terhadap anggota keluarga dengan gangguan jiwa menurut Susana (2007):

1) Berduka (grief)

Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan dengan adanya proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal sebelum sakit, untuk kemudian hilangnya harapan pada pasien, hanya masalahnya, seberapa dalam dan lamanya respon berduka ini dialami oleh keluarga, seawal mungkin perawat mampu mengidentifikasinya, sehingga keluarga maupun pasien sendiri dapat pulih dengan segera. 2) Marah

Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut merupakan hal yang wajar namun jangan sampai perilaku tersebut membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru semakin parah. 3) Merasa tidak berdaya dan takut

Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati atau menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada kenyataanya patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita justru semakin sulit kesembuhannya, inilah yang menyebabkan keluarga merasa tidak berdaya dan takut. Perasaan keluarga demikian, di negara kita juga didukung oleh rata rata keadaan ekonomi yang paspasan bahkan kekurangan, sehingga sangat wajar, apabila tidak

(17)

sedikit mereka yang terganggu jiwanya menjadi gelandangan atau keluyuran dimana mana atau tersangkut oleh razia dinas sosial (Susana,2007).

4) Penerimaan keluarga terhadap penderita gangguan jiwa

Ditandai dengan adanya perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu berperan serta dalam kegiatan sehari-hari, tidak mengharapkan terlalu banyak pada penderita. Penerimaan keluarga terhadap penderita gangguan jiwa yang sebenarnya sesuai dengan pemahaman yang dimiliki keluarga akan menerima kondisi penderita baik secara mental maupun fisik serta memberikan kasih sayang, perhatian yang banyak dan mampu untuk memahami perkembangan sejak dini. Menerima seseorang dengan ikhlas, tepat serta apa adanya orang tersebut, adalah faktor kritis dalam membantu mengembangkan perubahan konstruktif orang tersebut, dalam memberi kemudahan pemecahan problemnya, dan mendorong usaha menuju kesehatan jiwa yang lebih besar atau belajar produktif (Gordon 1996 dalam Susana 2007).

Banyaknya penderita gangguan jiwa yang tinggal bersama keluarga menjadikan keluarga sebagai kunci dalam memberikan perawatan bagi penderita gangguan jiwa, kebutuhan terhadap pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat penderita akan mempengaruhi kualitas hidup penderita itu sendiri.

(18)

D. Penerimaan Masyarakat

1. Pengertian Penerimaan

Penerimaan adalah hubungan yang terjalin antara dua belah pihak atau lebih dimana pihak pihak tersebut saling menerima satu sama lain dengan baik sehingga tercipta suasana yang hangat, nyaman, dan tentram serta pemenuhan kebutuhan saling menghargai terpenuhi (Surya, 1998 dalam Soleh 2011).

2. Unsur unsur Penerimaan

Soleh (2010) menyebutkan beberapa hal yang merupakan unsur dari penerimaan, antara lain :

a. Perhatian

b. Perlakuan yang baik dan positif c. Pemberian kesempatan

3. Prinsip prinsip Penerimaan

Prinsip prinsip penerimaan dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam mengungkapkan kebutuhan dalam kepercayaan dirinya, memberikan pujian positif, dan keramahan yang tidak berlebihan yang ditunjukan melalui ekspresi dan rasa saling memahami dan menghargai antar individu dengan segala karakteristik baik secara positif maupun negatif.Selain ekspresi, penerimaan juga dapat ditunjukan melalui sikap seperti perhatian yang terpusat, mendengarkan dengan penuh konsentrasi, memberikan dukungan dan semangat, menerima kondisi individu dengan

(19)

kelebihan dan kekurangannya, dan mau memberi pertolonga saat dibutuhkan (Siporin, 1975 dalam Soleh 2011).

4. Faktor faktor yang Mempengaruhi Penerimaan

Penerimaan masyarakat terhadap gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain pengetahuan masyarakat, persepsi masyarakat, dan sikap masyarakat (Scars,1999 dalam Adilamarta, 2011). a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil pengguanaan panca indranya, yang berbeda dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan lain yang keliru (Soekanto, 2006). Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang yang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Dalam memahami sesuatu perlu adanya pengetahuan yang mana pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa egati. Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Puspitasari (2015) egati egati tersebut, yaitu :

1) Tingkat pendidikan 2) Sosial Ekonomi 3) Sumber Informasi 4) Pengalaman hidup 5) Umur

(20)

b. Persepsi

Persepsi dapat diartikan sebagai kemampuan dalam mengenal sesuatu yang hadir berupa hal yang bersifat konkrit jasmaniah, bukan yang bersifat batin, seperti benda, barang, kualitas atau perbedaan antar dua hal atau lebih yang diperoleh melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah pancaindra medapatkan rangsangan (Baihaqidkk,2007). Persepsi memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi secara kognitif sebagai alat ukur untuk kontak utama antara manusia dan dunia, dan fungsi secara emosional untuk membangkitkan perasaan danmerangsang tindakan tindakan tertentu. Menurut Maramis (2004) dalam Puspitasari (2015) persepsi seseorang dipengaruhi oleh berbagai egati, antara lain :

1) Kepercayaan 2) Sikap

3) Pendidikan 4) Lingkungan 5) Budaya

Proses terjadinya persepsi pertama kali dimulai dari objek yang menimbulkan stimulus yang ditangkap oleh alat indra atau reseptor, dimana proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indra kemudian dilanjutkan oleh saraf sensorik meuju otak sehingga proses ini dinamakan proses fisiologis. Kemudian rangsangan yang telah diterima tersebut diproses didalam

(21)

otak sehingga individu dapat menyadari sesuatu yang diterima dengan reseptor itu, sebagai akibat dari stimulus yang diterima. Proses yang terjadi di otak atau pusat kesadaran itulah yang dinamakan proses psikologis. Dengan demikian taraf terakhir dari persepsi adalah individu menyadari tentang sesuatu yang diterima melalui alat indera atau reseptor (Sunaryo, 2004).

c. Sikap

Sikap adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap objek (masalah kesehatan, termasuk penyakit) atau stimulus yang ada. Sikap yang terdapat pada seseorangakan memberikan dampak pada tingkah laku ataupun perbuatan dari seseorang tersebut. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap objek atau stimulus tertentu. Notoatmojo, (2003) dalam Puspitasari (2015). Sedangkan definisi lain menyebutkan bahwa sikap adalah sebuah penentu dari perilaku dimana sikap dan perilaku memiliki keterkaitan dengan persepsi, kepribadian, perasaan, dan motivasi. Sikap merupakan keadaan mental yang dapat dipelajari dan diorganisasikan melalui pengalaman yang menghasilkan pengaruh secara spesifik terhadap respon seseorang terhadap orang lain, objek atau situasi yang berhubungan.

Sikap disebut sebagai respon egative e dimana respon hanya akan timbul bila seseorang diharapkan dengan suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi dari orang tersebut. Reaksi

(22)

egative e merupakan bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai munculnya sikap didasari oleh proses evaluasi yang terjasi dalam diri individu sehingga akan menghasilkan kesimpulan tersebut stimulus dalam bentuk dan nilai baik – buruk, positif – egative, atau menyenangkan – tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar,2005).

Sikap mempunyai 4 tingkatan, menurut Notoatmodjo (2003) dalam Puspitasari (2015) meliputi :

1) Menerima yang berarti mau memperhatikan dan memahami stimulus yang ada secara otomatis

2) Merespon stimulus saat diberikan rangsangan seperti menjawab bila ditanya atau mengerjakan sesuatu saat diperintah.

3) Menghargai dengan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan stimulus yang diberikan.

4) Bertanggungjawab dan menerima resiko atas segala sesuatu yang telah dipilih oleh orang yang bersangkutan.

(23)

E. Keragka Teori

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut dibawah ini:

Gambar 2.1

Kerangka teori modifikasi Friedman (2010), Yosep (2007), Rawlins dan Heacock 1993 dalam Yosep (2009), Scars 1999 dalam Adilamarta (2011),

Akbar 2008 dalam Wirmata (2009).

Faktor Presipitasi : 1. Dimensi fisik 2. Dimensi emosional 3. Dimensi intelektual 4. Dimensi sosial 5. Dimensi spiritual Sumber : Rawlins dan Heacock 1993 dalam Yosep 2009) Faktor Predisposisi : 1. Faktor somatik 2. Faktor psikologis atau psikoedukatif 3. Faktor sosial budaya atau sosiokultural Sumber : Yoseph (2014) Konsep Keluarga : 1. struktur nilai 2. struktur peran 3. pola komunikasi 4. pola interaksidan 5. iklim keluarga Gangguan jiwa Faktor penerimaan masyarakat : 1. Pengetahuan masyarakat 2. Persepsi masyarakat 3. Sikap masyarakat Sumber : Scars, 1999 dalam Adilamarta 2011.

Faktor yang mempengaruhi kekambuhan : 1. Ketidakpatuhan minum obat 2. Faktor sehubungan dengan penderita 3. Faktor sehubungan dengan pengobatan 4. Faktor interaksi dengan

profesional kesehatan 5. Faktor lingkungan Sumber : Akbar, 2008 dalam Wirnata 2009. Kambuh Sembuh

(24)

F. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

a. Ha : Ada hubungan yang bermakna antara hubungan konsep keluarga dengan kekambuhan penderita gangguan jiwa di Desa Karangsari Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.

b. Ho : Tidak ada hubungan yang bermakna antara hubungan konsep keluarga dengan kekambuhan penderita gangguan jiwa di Desa Karangsari Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.

c. Ha : Ada hubungan yang bermakna antara penerimaan masyarakat dengan kekambuhan penderita gangguan jiwa di Desa Karangsari Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.

d. Ho : Tidak ada hubungan yang bermakna antara penerimaan masyarakat dengan kekambuhan penderita gangguan jiwa di Desa Karangsari Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.

Konsep Keluarga

Kekambuhan penderita gangguan jiwa Penerimaan Masyarakat

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Larutan kalium Iodida dengan menambahkan suatu larutan nitrit kepada larutan kalium iodida,yang diteruskan dengan mengasamkannya dengan asam asetat atau dengan asam sulfat

Labuhanbatu Laporan Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daops 02 Labuhanbatu Senin, 23 Januari 2017. KEGIATAN HARIAN  Apel Pagi,  Kebersihan Lingkungan 

Citra Landsat 8 OLI/TIRS dapat digunakan untuk pendugaan cadangan karbon pada tegakan hutan tanaman jati (Tectona grandis LINN), hal ini dapat dilihat dari hasil uji Regresi dan

Persiapan mahasiswa dalam kegiatan praktikum , Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan, Kepuasan mahasiswa selama mengikuti perkuliahan, dukungan dosen, asisten

Tujuan kegiatan pengabdian pada masyarakat ini adalah untuk membimbing guru matematika SMA/SMK Muhammadiyah dalam melakukan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

Uji statistik dengan menggunakan Mann Whitney menunjukkan nilai p=0,00 yang berarti bahwa ada perbedaan beban kerja yang signifikan antara sikap kerja berdiri dan duduk

Hal ini sejalan dengan pendapat Borg and Gall (Nursyaidah, t.t) bahwa ciri kedua dari penelitian dan pengembangan adalah “Mengembangkan produk berdasarkan temuan

Puji syukur kepada tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul “IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP