• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ars. b. Budaya (Buton)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ars. b. Budaya (Buton)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK RUMAH TRADISIONAL BUTON BERDASARKAN STRATA SOSIAL SOSIAL

OLEH :

MUHAMMAD JAYADIN NIM : E1B1 15 034

JURUSAN S-1 TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Buton adalah sebuah pulau yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Di pulau ini terdapat 4 kabupaten yaitu Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kota Bau-Bau dan Kabupaten Buton. Kabupaten Buton merupakan wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Buton yang wilayahnya mencakup sebagian wilayah pulau Muna dan seluruh Pulau Kabaena. Kerajaan Buton berdiri sejak tahun 1332 Masehi, pemimpin pertamanya adalah seorang ratu bergelar Ratu Wa Kaa Kaa, kemudian Ratu Bolawombana dan Raja Batara Guru. Kerajaan buton sendiri didirikan atas kesepakatan golongan yang datang bergelombang, gelombang petama yang datang adalah golongan dari Kerajaan Sriwijaya, gelombang kedua adalah golongan kekaisaran China dan gelombang tiga adalah golongan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Buton berubah mejadi kerajaan Islam pada abad ke 16. Pasca itu perkembangan agama Islam berkembang pesat di wilayah buton dan sekitarnya. Masyarakat Buton sendiri terdiri berbagai suku bangsa.

Ke Khas-an Budaya Buton bahwa Pemerintahan Raja dan Sultan di Buton tidak bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau kerajaan melayu lain, namun melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh Dewan/Sara yang menerapkan prinsip musyawarah.

Wujud akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu adanya pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta/golongan.

Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh

(3)

masyarakat Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Buton tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja.

2. Rumusan masalah

1) Apa saja golongan kasta sosial yang ada di Kesultan Buton

2) Apa Pengaruh kasta terhadap bentuk rumah adat di Kesultan Buton

3. Tujuan

1) Untuk mengetahui golongan kasta di Kesultanan Buton

2) Untuk mengetahui pengaruh kasta terhadap rumah tinggal atau rumah adat di Kesultanan Buton

(4)

BAB II PEMBAHASAN 1. Rumah Adat Buton

Banua tada merupakan rumah tempat tinggal suku Wolio[1] atau orang Buton di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat diartikan sebagai rumah siku. Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau yang lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya. Banua tada tare pata pale yang berarti rumah siku bertiang empat adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana. Sementara itu, banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku bertiang tiga adalah rumah tempat tinggal orang biasa (Berthyn Lakebo, 1986:65).

Bentuk rumah adat tradisional orang Buton diibaratkan tubuh manusia yang memiliki kepala, badan, kaki, dan hati. Bagian kepala dianalogikan dengan atap rumah, badan dianalogikan dengan badan rumah, kaki dianalogikan dengan bagian bawah atau kolong rumah, dan hati dianalogikan dengan pusat rumah. Menurut keyakinan orang Buton, hati merupakan titik sentral tubuh manusia. Dengan demikian, sebuah rumah juga harus memiliki hati. Itulah sebabnya dalam masyarakat Buton terdapat sebuah tradisi memberi lubang rahasia pada salah satu kayu terbaiknya yang kemudian digunakan sebagai tempat untuk menyimpan emas. Lubang rahasia tersebut dianggap sebagai simbol pusar yang merupakan titik sentral tubuh manusia sementara emas adalah simbol hati rumah tersebut

(http://orangbuton.wordpress.com).

2. Sistem Kasta Di Buton

Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh masyarakat Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Buton tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Adapun penggolongan tersebut yaitu:

(5)

1. · Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan dipilih dari golongan ini.

2. · Walaka, (elit penguasa) iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan seperti mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan menjadi Raja/Sultan berikutnya.

3. · Papara atau disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat. 4. · Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki

utang. meraka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah

5. · Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.

3. Perbedaan Karakteristik Rumah Adat Buton Menurut Kasta

Berdasarkan peruntukannya, rumah adat Banua Tada terbagi dalam 3 jenis, yaitu Kamali atau malige, yang merupakan rumah atau istana tempat tinggal raja berserta keluarganya; Banua tada tare pata pale, merupakan rumah siku bertiang empat tenpat tinggal pejabat dan

(6)

pegawai istana; dan Banua tada tare talu pale, merupakan rumah siku bertiang tiga tempat tinggal orang biasa.

Sebagai peninggalan kesultanan Buton, rumah adat Kamali atau Malige inilah yang lebih dikenal sebagai Rumah Adat Sulawesi Tenggara. Di Malige sendiri terdapat simbol-simbol dan hiasan yang banyak dipengaruhi oleh konsep dan ajaran tasawuf. Simbol dan hiasan tersebut melambangkan nilai-nilai budaya, kearifan lokal dan cerita dari peradaban kesultanan Buton di masa silam.

Material Rumah

Material utama yang digunakan dalam pembangunan Rumah Adat Sulawesi Tenggara ini adalah kayu pohon nangka, jati, dan bayem, baik itu untuk tiang, dinding, pasak, tangga dan rangka atap. Selain itu digunakan pula bambu yang telah direndam dalam air laut untuk lantai, serta daun rumbia atau nipa untuk atap rumah.

Konstruksi Rumah

Terdapat beberapa perbedaan pada ketiga jenis Banua Tada. Perbedaan mencolok terlihat pada bangunan Kamali/Malige. Hal ini bertujuan sebagai penanda kebesaran dan keagungan sultan/raja sebagai pemimpin, pengayom dan pelindung rakyat. Tabel 1. Perbedaan Konstruksi Rumah pada 3 Jenis Banua Tada

Konstruksi Rumah

Kamali/Malige Banua tada

tare pata pale

Banua tada tare talu pale

Jumlah tiang 8 tiang samping 6 tiang samping 4 tiang samping Susunan

bangunan

4 tingkat 1 tingkat 1 tingkat Lantai rumah Dibuat dari kayu yang

disusun secara bertingkat-tingkat

Tidak bertingkat

Dibuat dari bambu yang sudah tua dan tidak bertingkat

Secara umum, konstruksi ketiga jenis Rumah Adat Sulawesi Tenggara ini memiliki karakteristik yang dapat mencirikannya. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sendi (pondasi) tersusun dari batu-batu sungai atau gunung yang berbentuk pipih tanpa bahan perekat lain.

2. Tiang. Untuk malige, kayu-kayu yang telah diperoleh dibentuk segi empat, sedangkan untuk rumah orang biasa, kayu tiang berbentuk bulat. Setiap tiang dilubangi sebagai temapt menyatukan dengan tiang yang lain. Pertama kali dipasang tiang utama/tiang pusat kemudian disusul dengan tiang-tiang lainnya.

(7)

3. Dinding. Dinding Rumah Adat Sulawesi Tenggara terbuat dari papan kayu yang disusun di sepanjang rangka dinding.

4. Lantai. Lantai untuk malige terbuat dari kayu jati. Hal ini melambangkan status sosial sang sultan juga melambangkan bahwa sultan merupakan seorang yang memiliki kepribadian tenang dalam menghadapi berbagai persoalan.

5. Atap. Atap rumah terbuat dari rangka kayu atau bambu denagn rumbia atau nioah sebagai penutupnya.

Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:

1. Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua

berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebagai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebagai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan dipergunakan sebagai makar anak perempuan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.

2. Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.

3. Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi.

4. Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Di samping kamar bangunan Malige terdapat sebuah bangunan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini dipergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.

(8)
(9)

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Keberadaan rumah adat Banua Tada ini merupakan salah satu bukti bahwa orang Buton telah menunjukkan eksistensi mereka sebagai salah satu suku yang memiliki sistem pengetahuan, keyakinan, dan adat-istiadat atau yang disebut dengan kebudayaan. Terlepas dari apa dan bagaimana bentuk kebudayaan tersebut, hasil kreasi masyarakat Buton ini sangat patut untuk dihargai dan dilestarikan. Dalam hal ini, tentu saja peran pemerintah dan masyarakat Buton serta seluruh masyarakat pada umumnya sangat diperlukan untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur tradisional orang Buton agar tidak lekang dimakan zaman.

2. Saran

Marilah kita secara bersama-sama menjaga kelestarian adat budaya terutam rumah adat yang sudah ada dari zaman dahulu. Budaya merupakan cerminan dari kita sendiri. Jika kita dapat menjaga adat dan kebudayaan tersebut maka kita dapat menunjukan ciri khas dari kebudayaan tersebut.

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Konstruksi Rumah pada 3 Jenis Banua Tada Konstruksi

Referensi

Dokumen terkait

emission tomography (3F% 84"! sedang semakin sering digunakan untuk sering digunakan untuk screening metastasis pada pasien dengan kanker tiroid yang pada studi screening

[r]

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Karena makna perintah dalam hadis diatas adalah amru lil wujub (wajib) artinya iktidal dan thuma’ninah adalah rukun shalat. Perdebatan inilah yang melatar

[r]

Tambahkan indikator PP 1% sebanyak 2 tetes, lalu titrasi dengan larutan baku NaOH 0,1N sampai terjadi perubahan warna larutan menjadi merah muda yang

Hasil pelaksanaan kegiatan Usila dicatat dalam form laporan yang sudah disediakan. Laporan program dibuat setelah pelaksanaan kegiatan dan dilaporkan ke Dinas

3.4 Calon jenis 1, 7, dan 8 dibenarkan untuk mengambil mata pelajaran yang tidak ditawarkan di sekolah/institusi (luar pakej sekolah) dengan syarat mata