Transisi Seni Tradisi Toraja sebagai Pengabdian
Kepada Leluhur
KARTA
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar, Indonesia E-mail : kartajayadi@gmail.com
Meskipun Aluk To dolo sebagai agama asli orang Toraja secara berangsur-angsur ditinggalkan oleh orang-orang Toraja, namun beberapa ritual yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pengabdian kepada leluhur tetap mereka laksanakan hingga saat ini. Hal ini terlihat dari pelaksanaan upacara tradisional yang selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada nenek moyang. Beberapa seni tradisi yang dilaksanakan tersebut ada yang bersifat sakral, ada pula yang profan. Jenis kesenian tersebut meliputi seni pertunjukan, seni musik dan seni rupa. Secara umum, keberadaan seni tradisi ini menjadi bagian penting dari rasa syukur pada Tuhan, bahkan merupakan bagian dari upacara kematian.
The Transition of Toraja Traditional Art as Devotion to the Ancertors
Although Aluk To dolo as indigenous religion of the Toraja are gradually abandoned by the Toraja people, but some of the rituals associated with other forms of devotion n to their ancestors still carried to this day. This is evident from the implementation of a traditional ceremony that is always associated with devotion to the ancestors. Some performed the traditional art there that are sacred, some profane. Type of art includes performing arts, music and visual arts. In general, the presence of traditional art is an important part of gratitude to God, even a part of the funeral ceremony.
Keywords: Aluk to dolo, traditional art, Torajan culture, magic performance, and ritual
Kesenian dalam kehidupan tradisi budaya Toraja memegang peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena segala ritual dan penyembahan kepada leluhur dilaksanakan dengan suatu tatanan upacara yang melibatkan semua aspek kesenian seperti: gerak, rupa, musik, sastra serta melibatkan semua kalangan strata sosial yang ada dalam masyarakat Toraja. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan berbagai seni tradisi tersebut selalu terkait dengan status dan stratifikasi sosial seseorang / keluarga dalam masyarakat Toraja. Menurut Tangdilintin (1974: 75) mengungkapkan bahwa dalam Aluk To Dolo (kepercayaan asli suku Toraja), ada empat tingkatan kelas manusia dalam masyarakat Toraja yaitu (1) Tana’ Bulaan
(bangsawan tinggi); (2) Tana’ Bassi (bangsawan menengah); (3) Tana’ Karurung (rakyat biasa); dan (4) Tana’ Kua-kua (hamba sahaya).
Keseluruhan pertunjukan seni tradisi Toraja merupakan bentuk pengabdian kepada leluhur, yang terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu Rambu Tuka’ (upacara suka cita) dan Rambu Solo’ (upacara duka cita). Pelaksanaan pertunjukan seni tradisi ini dipusatkan pada Tongkonan (rumah adat Toraja, yang hanya dapat dimiliki oleh kaum bangsawan). Demikian pula dengan pelaksana berbagai upacara tersebut hanya oleh kaum bangsawan. Sedangkan masyarakat yang bukan bangsawan hanya bertindak sebagai pekerja, dan hal tersebut merupakan bagian
dari tugas dan tanggung jawabnya sesuai status sosialnya.
Bentuk dan pertunjukan seni tradisi Toraja tersebut sangat variatif yang dilaksanakan secara besar-besaran dengan melibatkan seluruh kalangan dalam masyarakat Toraja. Karena itu sebagai warisan budaya leluhur bangsa Indonesia, perlu kiranya kalangan internal pemilik budaya tersebut atau pun pihak luar mengetahui bahkan memotret, minimal sebagai bentuk dokumentasi berharga bagi kelangsungan pengetahuan dan keberadaan seni budaya Toraja, agar keberadaannya mampu memberi inspirasi bagi kehidupan masa depan yang lebih baik dan humanis berlandaskan kearifan lokal.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui konsep Aluk To Dolo sebagai dasar pelaksanaan upacara pertunjukan seni tradisi, mendokumentasikan ragam seni budaya Toraja serta mengklasifikasi dan memaparkan seni sakral dan seni tradisi profan beserta ritualnya sebagai pengabdian leluhur.
KAJIAN PUSTAKA Struktur Masyarakat Toraja
Konsep struktur dan fungsi memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial. Struktur dalam hal ini adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagai komponen masyarakat— pola-pola yang secara relatif bertahan lama karena interaksi-interaksi tersebut terjadi dalam cara yang kurang-lebih terorganisasi. Pada tingkatan paling umum adalah masyarakat secara keseluruhan, yang dapat dilihat sebagai struktur tunggal yang menaunginya. Pada tingkatan di bawahnya adalah suatu rangkaian struktur-struktur yang lebih mengkhusus yang saling berkaitan untuk membentuk masyarakat, ibarat pilar-pilar sebuah bangunan atau, mengikuti istilah Durkheim, seperti organ-organ dari organisme yang hidup (Saifuddin, 2005: 156).
Aluk To Dolo merupakan agama / kepercayaan yang membedakan manusia Toraja dalam bentuk strata berdasarkan mitos Aluk To Dolo. Pada suku Toraja, nampaknya stratifikasi sosial merupakan kasta sejati, dimana bentuk keanggotaannya
ditentukan berdasarkan keturunan, dan tetap tidak berubah selama hidup bahkan sampai meninggal dunia kasta tertinggi tetap diperlakukan istimewa oleh masyarakat. Menurut Haviland (1988: 143) masyarakat berstratifikasi adalah struktur kelas dalam masyarakat dimana anggota-anggotanya tidak mendapat bagian yang sama dalam hal: sumber pokok yang mendukung kehidupan atau dari pengaruh / prestise sosial. Masyarakat yang berstratifikasi adalah masyarakat yang penduduknya terbagi dalam dua kelompok atau lebih, dan kedudukan kelompok yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan yang lain.
Aluk To Dolo sebagai Sumber Seni Tradisi
Kesenian dalam tradisi budaya Toraja sangat khas karena terkait dengan kepercayaan asli suku Toraja yaitu Aluk to Dolo yang merupakan sumber dan tempat berpijaknya seluruh kebudayaan Toraja. Aluk to Dolo sebagai agama asli suku Toraja merupakan suatu kepercayaan yang berisi ritual-ritual untuk memuja Tuhan (Puang Matua) melalui upacara ritual dengan mengorbankan babi dan kerbau sebagai persembahan. Aluk to Dolo saat ini, memang tidak lagi dianut secara kuat dan mayoritas oleh suku Toraja, bahkan menjadi kelompok minoritas. Akan tetapi hampir seluruh peninggalannya terutama yang berkaitan dengan upacara besar (rambu tuka’ dan rambu solo’) masih dilaksanakan, namun dengan menganggapnya sebagai adat dan kebudayaan Toraja yang tidak terkait dengan penyembahan kepada leluhur. Pelaksanaan berbagai upacara ritual inilah yang memainkan beberapa bagian dan memiliki peran yang sangat menentukan dalam kehidupan sosial komunitas masyarakat Toraja. Terkait dengan hukum-hukum refresif yang terus-menerus menjadi penting, Doyle Paul Johnson (1994: 185) mengatakan bahwa dalam suatu masyarakat organik, melainkan juga kesadaran kolektif menyumbang pada solidaritas sosial, memperkuat ikatan yang muncul dari saling ketergantungan fungsional yang semakin bertambah.
Dengan demikian, ritual sebagai salah satu bentuk pelaksanaan hukum / seperangkat aturan yang mengikat secara politik me miliki peran integratif dan sebagai bagian dari mekanisme sosial yang memulihkan keseimbangan dan solidaritas kelompok. Nilai-nilai solidaritas kelompok dan kegotong-royongan dalam melaksanakan berbagai
upacara ritual Toraja nampaknya masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Toraja. Hal ini terlihat dalam setiap pelaksanaan upacara pemakaman (rambu solo’) selalu dihadiri oleh segenap anggota keluarga, warga desa, serta orang dari desa sekitarnya, bahkan kerabat lainnya yang berada di luar Tana Toraja menjadi “kewajiban” untuk menghadirinya.
Menghadiri upacara pemakaman merupakan suatu “kewajiban” dan kebanggaan tersendiri bagi orang Toraja, khususnya bagi anggota keluarga pelaksana upacara. Karena itu, kini pelaksanaan upacara pemakaman telah dijadwalkan jauh hari sebelumnya untuk mengakomodasi kesempatan masing-masing anggota keluarga, sekaligus mempersiapkan berbagai keperluan yang memadai untuk disumbangkan pada upacara tersebut. Hal ini mencerminkan sebuah bentuk pengabdian pada adat dan tradisi Toraja, yang dahulunya merupakan kegiatan upacara yang sakral. Dengan demikian pelaksanaan upacara ritual tersebut sangat kental dengan nilai solidaritas yang kuat dan tidak lagi memiliki nilai-nilai ritual sebagai bentuk pengabdian pada Puang Matua (Tuhan), Deata-Deata (Dewa-dewa) maupun kepada To Membali Puang (leluhur). Perbedaan mendasar dari unsur-unsur fungsi dan makna pada upacara ritual suku Toraja Aluk to Dolo dengan yang dilaksanakan oleh masyarakat Toraja masa kini, terletak pada sistem keyakinan yang berbeda, sehingga makna yang terkandung dalam setiap unsur upacara mengalami penyesuaian. Kepercayaan sebagai suatu kebudayaan, sebenarnya telah mengalami pengayaan dan enkulturasi dalam kebudayaan tersebut. Interaksi yang sangat penting dalam suatu kepercayaan adalah yang bersifat sakral, dalam hal ini terdapat dua macam interaksi, yaitu (1) interaksi yang mengacu kepada aktivitas yang dipercayai dapat menyertakan, mencakupi, atau sejalan dengan kemauan dan hasrat adikodrati; dan (2) interaksi yang mengacu kepada kepercayaan bahwa perbuatan tersebut dapat mempengaruhi adikodrati untuk memenuhi keinginan pelakunya (Spiro, 1977: 97-98). Dengan demikian, kepercayaan bukan tumbuh bersemi dari akal, tetapi dari ketidakpastian kehidupan alamiah dan ketakutan terhadap masa yang akan datang, kepercayaan berfungsi memberikan rasa percaya diri dan harapan kepada individu “dalam perhatiannya yang amat kuat untuk
memperoleh kebahagiaan”. Religi, merupakan cara penyelesaian “suasana kehidupan manusia yang tidak pasti”. Kekuatan pengaruh kepercayaan / religi telah membuat masyarakat Toraja berada dalam ambivalensi, dimana pengakuan keyakinan yang telah beralih dari kepercayaan asli Aluk To Dolo ke agama wahyu tidak banyak merubah perilaku dan pelaksanaan upacara yang sesungguhnya sakral bagi kepercayaan Aluk To Dolo namun dengan merasionalisasikan aktivitas upacara dan ritual dengan menganggapnya semata-mata sebagai nilai-nilai seni orang Toraja yang patut dilestarikan yang bersifat profan. Secara sosial kemasyarakatan hal ini juga terkait erat dengan upaya mempertahankan citra kebangsawanan dalam masyarakat yang hingga saat ini masih sangat dihormati.
BENTUK DAN RITUAL PERTUNJUKAN SENI TRADISI TORAJA
Klasifikasi Seni Budaya Toraja
Kesenian Toraja hanya dipentaskan pada upacara tradisi. Secara umum dapat dibedakan dalam dua klasifikasi, yaitu rambu tuka (upacara suka cita) dan rambu solo’ (upacara duka cita). Melengkapi peralatan pelaksanaan kedua jenis upacara pertunjukan seni tersebut, dibuatlah berbagai karya seni yang keselurahannya memiliki makna masing-masing seperti untuk upacara rambu tuka antara lain: pertunjukan tari; musik; hiasan pada lokasi upacara, dan lain-lain. Sedangkan untuk upacara rambu solo’perlengkapan yang bernilai seni diantaranya: tau-tau (patung) sebagai simbol orang yang meninggal, Lakkian (panggung utama) pada lokasi pemakaman, Lantang (pondok) yang mengelilingi lokasi upacara lengkap dengan aneka ragam hias yang dipasang sepanjang pondok yang berjajar, dan lain-lainnya.
Kesenian Toraja disebut gau’ pa’tendengan / pa’ maruasan, yang terdiri dari seni tari disebut gellu’-gellu’; seni suara, disebut pa’kayoyoan; seni musik instrumental seruling, disebut passuling-suling; seni dekorasi disebut pa’belo-belo’; seni sastra, disebut kada-kada to minaa’; seni ukir, disebut passura’; seni pahat disebut pa’pa; seni anyam, disebut pa’nganan-anan; seni tempa, disebut pa’tampa; seni tenun, disebut pangnganan. Dan seni patung untuk ritual pemakaman disebut tau-tau. Dari segi jenis dan bentuk kesenian tersebut nampak
bahwa kesenian Toraja cukup lengkap dan spesifik, yang keseluruhannya dipertunjukkan dalam upacara ritual sebagai pengabdian kepada leluhur.
Sedangkan beberapa bentuk seni kerajinan untuk keperluan praktis sehari-hari, misalnya seni ukir, seni pahat, seni anyam, seni tempa, seni tenun dapat dibuat setiap saat, berdasarkan kebutuhan karena tidak ada ketentuan atau aluk (agama / kepercayaan) yang mengaturnya. Sedangkan khusus seni pahat / patung yang menghasilkan tau-tau tidak dapat dibuat secara bebas, dan harus dibuat oleh orang tertentu yang disebut Pande Tau-tau sebagai kelengkapan upacara kematian dari golongan bangsawan tinggi. Ragam Seni Budaya Toraja
Kerajinan untuk keperluan rumah tangga 1.
Seni ukir, seni pahat, dan seni tenun merupakan hasil kerajinan rakyat yang tidak terkait langsung pada pelaksanaan upacara, sehingga dapat dibuat kapan saja sepanjang bentuk dan motifnya sesuai dengan tradisi Aluk to Dolo. Karena itu, kepandaian mengukir, memahat dan menenun tumbuh diberbagai pelosok daerah. Kepandaian ini diperoleh secara turun temurun dari generasi ke generasi. Desa-desa yang terkenal dengan orang pandai ukirnya terdapat di Ba’tan, Tonga, dan Randan Batu. Pada umumnya orang pandai ukir dan pahat merupakan orang biasa, sehingga rumah / tongkonan dan lumbungnya tidak boleh dihiasi dengan ukiran.
Menurut Tangdilintin, pada mulanya masyarakat Toraja hanya mengenal empat macam motif ukiran yang merupakan ukiran pokok disebut garonto’ passura’. Keempat motif ukiran tersebut yaitu Pa’barre Allo; Pa’tedong; Pa’manuk Londong dan Pa’sussuk. Motif ini mengandung makna yang erat kaitannya dengan falsafah kehidupan orang Toraja yaitu: kehidupan; kesejahteraan; kepemimpinan dan gotong royong.
Dari empat motif dasar Toraja tersebut, kemudian menghasilkan ratusan motif-motif hias lainnya, yang memiliki makna masing-masing. Motif-motif tersebut pada umumnya dipajang pada dinding tongkonan dan alang sesuai dengan status pemilik tongkonan tersebut. Adapun motif garonto passura’ tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:
Warna-warna yang dipakai pada ukiran Toraja hanya terdiri dari empat macam yaitu warna merah, kuning, hitam dan putih. Dalam Majalah Indonesia, Toraja South Sulawesi disebutkan bahwa warna merah secara kualitas diasosiasikan sebagai kehidupan, warna kuning sebagai karunia Tuhan, warna hitam sebagai kematian, dan warna putih sebagai kesucian. Warna-warna tersebut diperoleh dengan ramuan tradisional yang disebut litak. Litak adalah tanah liat khusus yang keras, dicampur dengan air seperlunya sampai dapat menghasilkan warna merah, kuning, dan putih. Sedangkan warna hitam diperoleh dari batang pisang muda yang dibakar sampai terbentuk arang. Arang inilah yang kemudian digoreskan sehingga warna hitam dapat diperoleh.
Bentuk seni kerajinan lainnya yang dapat dibuat tanpa harus berdasarkan aturan-aturan tertentu adalah tenun. Hasil tenunan Toraja dibuat oleh kaum wanita, yang pada umumnya dapat dijumpai di daerah Sa’dan dan sekitarnya. Motif-motif tenunannya pada umumnya menggambarkan obyek-obyek yang dikenal dalam masyarakat seperti tongkonan (rumah adat), alang (lumbung), tedong (kerbau), bai (babi), manuk (ayam). Selain itu digambarkan pula motif-motif geometris seperti pa’sulan (anyaman), pa’ salabbi, swastika, sulur-sulur, dan lain-lain. Hasil tenunan ini dibuat untuk berbagai keperluan antara lain untuk kain sarung, Gambar 1. Motif Garonto Passura’ dan Maknanya (Sumber: Repro, Garuda Magazine, Vol. 8 No. 4-1988).
Pa’barre allo
(kehidupan) (kesejahteraan)Pa’ Tedong
Pa’ Manuk Londong
pakaian, taplak meja, selendang, dan lain-lain yang ditenun dalam warna-warna merah, kuning, biru muda, hitam dan putih.
bentuk perahu dimana nenek moyang orang Toraja pertama kali datang ke Toraja dari Indo Cina dengan perahu.
Gambar 2. Wanita Toraja sedang menenun
(Sumber: Repro, Garuda Magazine, Vol. 8 No.4-1988). Selain itu, seni sastra juga banyak terdapat di Tana Toraja, yang disebut kada-kada. Seni sastra Toraja, pada dasarnya merupakan bentuk persembahan dan pemujaan yang didasarkan pada kepercayaan Aluk Tallu Oto’na (tiga dasar kepercayaan) yaitu Puang Matua, Deata-deata dan To Membali Puang. Persembahan tersebut berupa do’a-do’a yang berhubungan dengan harapan dan kegembiraan serta do’a-do’a yang berisi kesedihan dan kematian. Kada-kada tersebut lebih banyak dilakukan oleh To minaa’ sehingga kadang-kadang disebut kada-kada to minaa’, dimana ada yang diperuntukkan untuk upacara rambu solo’, dan ada juga buat upacara rambu tuka’.
Arsitektur tradisional 2.
Arsitektur tradisional Toraja yang sangat menonjol adalah rumah adat yang terdiri dari banua sura’ (tongkonan) dan alang sura’ (lumbung). Keduanya merupakan satu kesatuan, dan hanya boleh dimiliki oleh kaum bangsawan Toraja. Dalam penataannya, posisi tongkonan dan lumbung saling berhadapan, tongkonan menghadap ke utara, Alang menghadap ke selatan.
Bentuk tongkonan dan alang sangat unik dan khas, menyerupai bentuk dasar perahu pada bagian atap yang terbuat dari bahan kayu dan bambu. Berdasarkan mitos dan legenda yang beredar dalam masyarakat Toraja, bentuk tersebut terilhami oleh
Dalam melaksanakan berbagai upacara adat, tongkonan dan alang dijadikan sebagai pusat pelaksanaan dan pengendalian berbagai ritual. Tongkonan dan alang dianggap sebagai mikrokosmos alam raya yang memiliki nilai sakral yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena posisinya yang dianggap sebagai pusat lintang timur dan barat, serta bujur utara dan selatan. Dengan kata lain tongkonan adalah merupakan pusat kosmos bagi keberadaan manusia, tempat bertumpunya persilangan empat penjuru angin dan wadah bagi azas-azas kehidupan manusia. Selain itu, tongkonan adalah simbol dari mikrokosmos, dimana merupakan tempat upacara dipusatkan, yang disesuaikan dengan sifat dan jenis upacara yang dilaksanakan. Bila mengadakan upacara rambu tuka, maka penyelenggaraannya di pusatkan di sebelah timur tongkonan. Sebaliknya bilamana upacara rambu solo’ yang diadakan, maka diselenggarakan di sebelah barat tongkonan. Sedangkan untuk penyembahan kepada Puang Matua, yang bersemayam di utara sebagai ulunna lino, maka upacaranya dipusatkan di sebelah utara tongkonan. Sedangkan di dalam kale banua (badan tongkonan), bila ada sesajian yang dihidangkan, maka upacaranya mengikuti arah timur atau barat. Misalnya untuk upacara rambu tuka’ sesajiannya dihidangkan di bagian timur dalam tongkonan, sedangkan untuk upacara rambu solo’, sesajiannya Gambar 3. Tongkonan dan Alang (Sumber: http://nino- ninerante.blogspot.com/2012/04/kesenian-kesenian-toraja.html).
3. Seni pertunjukan tradisional a) Tarian
Tarian Toraja pada dasarnya terbagi ke dalam dua jenis yaitu tarian untuk upacara rambu tuka’ dan tarian untuk rambu solo’. Pentas seni untuk upacara rambu tuka’, juga dibedakan atas dua jenis yaitu tarian yang bersifat sukacita, misalnya dalam menghadapi perkawinan, keberhasilan panen atau syukuran lainnya seperti: tari pa’gellu, tari pa’ bonebala, tari pa’ lambuk pare, dan lain-lain. Tarian ini hanya dibawakan oleh kaum wanita. Sedangkan tarian untuk upacara rambu tuka’ lainnya, bersifatnya sakral yaitu sebagai tarian persembahan dan pemujaan kepada leluhur. Yang termasuk dalam jenis tarian ini antara lain: tari pangnganda’, tari bondesan. Kedua tarian ini hanya dibawakan oleh kaum pria, sedangkan tari pa’ burake yang juga termasuk dalam tari sakral rambu tuka’ dibawakan oleh kaum wanita. Sedangkan tarian untuk upacara rambu solo’ diantaranya tari pa’ randing dan ma’ badong.
pria. Tarian dan musik Toraja, selain diperuntukkan sebagai wadah menjalin hubungan kekerabatan dan harmoni kehidupan sosial dalam masyarakat, juga merupakan bentuk persembahan kepada leluhur melalui berbagai ritual yang dilaksanakan.
4. Tau-tau (patung arwah)
Dalam kamus Bahasa Toraja-Indonesia dijelaskan bahwa tau-tau, berasal dari kata tau yang berarti orang atau manusia. Jadi tau-tau dapat diartikan orang-orangan; atau semacam patung yang dibuat untuk orang mati (Tammu, 1972: 625). Dengan demikian, kata tau-tau dalam istilah Toraja menunjukkan suatu jenis ciptaan yang merupakan sejenis “patung”, dibuat khusus untuk orang mati sebagai bagian penting dari perlengkapan upacara pemakaman yang dirapa’i. Orang dari status tana’ bulaan (bangsawan tinggi) yang mempunyai kemampuan ekonomi yang kuat, diupacarakan dengan upacara pemakaman tertinggi dipappitung bongi yaitu dirapa’i dengan upacara rapasan yaitu jenazah disimpan sampai kering hingga tersisa tulang-belulang kemudian dimakamkan di tempat makam keluarga.
Sedangkan Nooy-Palm (1979: 261) mengemukakan pengertian tau-tau yaitu “The word tau-tau means ‘little person’, or, also, ‘like a person’. Spoken rapidly the words sound like tatau. The tau-tau is the image of the deceased, dressed in clothing, complete with accessories and jewellery. The effigy is more than a memorial statue as we know it, for it is thought to have a soul, the soul of the deceased”. Kedua pengertian tau-tau yang dipaparkan di atas, semakin memperjelas makna dan pengertian tau-tau sebagai orang-orangan atau-tau seperti sosok orang, sebagai “bayangan” dari orang yang meninggal dunia yang diberi pakaian, lengkap dengan asesoris atau sekedar gambaran sosok dari orang yang meninggal yang dianggap masih mempunyai jiwa. Bagi orang Toraja, patung hanya dibuat dalam bentuk yang menyerupai sosok manusia. Sosok manusia tersebut dibuat sebagai perlambangan bagi seseorang yang telah meninggal dunia dari kaum bangsawan yang disebut tau-tau. Tau-tau merupakan salah satu bentuk “patung arwah” yang ada di Indonesia, sebagaimana juga ditemui pada suku Dayak, Batak, Irian, Sumba, dan Nias.
Gambar 4. Salah satu Tarian Toraja (Sumber: http://nino-ninerante.blogspot.com/2012/04/ kesenian-kesenian-toraja.html)
b) Musik
Pentas seni lainnya sebagai kelengkapan upacara rambu tuka’ atau untuk upacara rambu solo’ adalah seni musik. Seni musik untuk upacara rambu tuka’ diantaranya: ma’ geso’-geso’, semacam musik biola yang dibawakan oleh pria, ma’ oni-oni terbuat dari batang padi, dibawakan oleh pria, ma’ gandang yaitu memukul gendang dibawakan oleh pria, ma’ tulali dan ma’ suling alat musik tiup dibawakan oleh pria, ma’ karombi alat musik tiup yang dapat dibawakan oleh pria atau wanita. Sedangkan seni musik untuk upacara rambu solo’ diantaranya: ma’ suling dan marakka, dibawakan oleh pria dan wanita, ma’ dondi dibawakan oleh wanita, memanna dibawakan oleh
Menurut But Muchtar (1983: 16) patung sebagai ungkapan seni berbentuk tiga dimensi mula-mula diciptakan oleh masyarakat primitif ribuan tahun yang silam di berbagai penjuru dunia. Bagi masyarakat tersebut, patung mempunyai fungsi sosial, yaitu diperuntukkan dalam upacara yang amat bermakna bagi seluruh kehidupan masyarakat lingkungannya. Patung merupakan visualisasi dari kepercayaan terhadap roh nenek moyang, sebagai simbol tata nilai serta inspirasi kehidupan, seperti dalam menghadapi malapetaka yang disebabkan oleh alam, mereka berpaling pada nenek moyang yang telah dipatungkan. Mereka juga percaya pada kekuatan gaib yang dipersonifikasi dalam bentuk patung binatang seperti kepala kerbau, biawak atau burung guna menghalau gangguan. Dalam sejarah, patung tidak saja dikenal sebagai media sakral, tetapi fungsinya dapat juga dipergunakan sebagai media peringatan, untuk mengenang seseorang atau sesuatu peristiwa. Selama berabad-abad, fungsi patung tersebut masih tetap dipertahankan, seperti patung ngugu pada suku Dayak, patung penji reti pada suku Sumba, patung kowar pada suku Irian, patung adu zatua dan adu nuwu pada suku Nias dan patung tau-tau pada suku Toraja, dan masih banyak lagi suku-suku lain di berbagai tempat yang memiliki patung arwah atau patung nenek moyang yang sangat mereka dihormati.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Yudoseputro (1986: 5) bahwa peninggalan-peninggalan patung pra-sejarah di Indonesia terdapat di beberapa daerah sejak zaman Neolithikum. Karya patung ini berupa patung-patung nenek moyang dan patung penolak bala yang dibuat dari batu, kayu dan bahan lainnya. Gaya patung disesuaikan dengan bahan yang dipakai dan pengaruh dari perkembangan seni ornamen. Patung-patung batu dengan ukuran besar dari zaman megalitik dari daerah Jawa Barat tampak statis, frontal dan monumental, sebaliknya patung dari Sumatera Selatan (Pasemah) lebih dinamis dan piktural. Patung-patung megalitik masih dapat dikenal kembali di daerah Nias, sebagai karya seni tradisional, juga terdapat di Toraja, Dayak, dan sebagainya.
Sejarah keberadaan tau-tau di Tana Toraja diungkapkan oleh F.K Sarungallo (dalam Abdoellah, 1992: 41) bahwa leluhur orang Toraja turun dari kayangan dan membawa peraturan atau Aluk 7777
(aluk pitung sa’bu pitu ratu’ pitu pulo pitu). Dalam aluk tersebut, salah salah satu peraturan yang diturunkan adalah upacara pemakaman atau upacara rambu solo’. Salah satu unsur dalam upacara pemakaman ini adalah kewajiban pembuatan tau-tau bagi kaum bangsawan yang upacara pemakamannya dirapa’i. Peraturan yang dibawa oleh leluhur inilah yang menjadi landasan utama kewajiban membuat tau-tau. Menurut Tato’ Dena bahwa tau-tau sudah ada sejak adanya Alukta (Aluk to Dolo) di Tana Toraja. Rambu Langi dan Arring adalah dua orang penguasa adat Toraja yang pertama kali dibuatkan tau-tau pada waktu meninggal dunia (wawancara dengan Tato’ Dena di di Mendetek Makale pada 2 Oktober 2005).
Gambar 5. Tau-tau di makam Rante (Sumber: Foto Karta, 2005).
Kisah-kisah ini diperolehnya secara turun temurun dari generasi ke generasi. Karena itu, salah satu kelebihan seorang to minaa’ yaitu memiliki ingatan yang sangat kuat karena tidak ada budaya tulis yang ditinggalkan oleh nenek moyang Toraja (wawancara dengan Tato’ Dena di di Mendetek Makale pada 2 Oktober 2005).
Sebagai salah satu bentuk pengabdian pada nenek moyang, keberadaan tau-tau diyakini pada awalnya memiliki bentuk yang sangat sederhana karena menekankan pada bentuk perlambangan semata. Menjelang abad XVI, pande tau (pembuat tau-tau) mulai membuat tau-tau yang telah menyerupai figur manusia dalam bentuk yang tidak realis dan tidak proporsional. Orang yang dibuatkan tau-tau pada waktu meninggalnya hanya dari kalangan bangsawan, karena hanya dari kalangan merekalah
yang dianggap berjasa dan pemberani dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kedua pengertian tau-tau yang dipaparkan di atas, semakin memperjelas makna dan pengertian tau-tau sebagai orang-orangan atau-tau seperti sosok orang, sebagai “bayangan” dari orang yang meninggal dunia yang diberi pakaian, lengkap dengan asesoris atau sekedar gambaran sosok dari orang yang meninggal yang dianggap masih mempunyai jiwa. Sedangkan sejarah keberadaan tau-tau sebagai salah satu bentuk “patung arwah” yang ada di Indonesia, sebagaimana juga ditemui pada suku Dayak, Batak, Irian, Sumba, dan Nias, bukan merupakan perkara yang mudah. Hal ini disebabkan karena suku Toraja tidak meninggalkan budaya tulis sebagaimana suku Bugis, Makassar atau Mandar yang juga mendiami daratan Sulawesi Selatan, yang memiliki aksara tersendiri yang disebut lontara. Dalam lontara ini berbagai informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan masa lalu dapat diperoleh. Sedangkan pada suku Toraja, sejarah kebudayaan masa lalu hanya dapat diperoleh melalui cerita dari mulut ke mulut secara turun temurun. Menurut Durkheim dalam Morris (2003: 140) mengemukakan bahwa seluruh keyakinan keagamaan yang dikenal, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memiliki suatu karakteristik umum, ia mengandaikan suatu klasifikasi segala sesuatu, baik real atau ideal, dimana orang menjadikannya dua kelas yang pada umumnya ditunjukkan oleh dua term yang berbeda yang diterjemahkan dengan cukup baik dengan istilah profan dan sakral. Aspek profan inilah yang berkembang dan mendominasi berbagai bentuk dan makna upacara ritual, khususnya dalam pelaksanaan upacara pemakaman hingga saat ini di Tana Toraja.
KESIMPULAN
Toraja adalah salah satu suku yang mendiami daerah Sulawesi Selatan selain suku Bugis, suku Makassar dan sebagian kecil suku Mandar. Dari semua suku yang ada di Sulawesi Selatan, hanya suku Toraja yang memiliki agama / kepercayaan asli yaitu Aluk To Dolo. Aluk To Dolo inilah yang merupakan landasan utama dari segala aktivitas sosial kemasyarakatan dan ritual penyembahan kepada leluhur orang Toraja. Ritual penyembahan
tersebut pada umumnya merupakan suatu bentuk pertunjukan kesenian yang khas.
Pada dasarnya seni tradisi Toraja, terdiri dari dua klasifikasi yaitu Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Rambu Tuka’ merupakan upacara suka cita sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan hasil bumi dan berbagai hajatan. Pada upacara tersebut dipentaskan berbagai jenis kesenian Toraja diantaranya tarian, musik, syair-syair dan seni pertunjukan lainnya, yang pada umumnya bersifat profan. Sedangkan Rambu Solo’ merupakan upacara duka cita yang dilaksanakan sebagai penghormatan kepada seseorang dari kaum bangsawan Toraja yang meninggal dunia melalui prosesi pemakamannya. Keseluruhan prosesi pelaksana-an dan peralatan pada upacara ini bersifat sakral.
Keberadaan seni tradisi Toraja yang berlandaskan pada Aluk To Dolo tidak hanya sebagai bentuk ekspresi seni orang Toraja, tetapi juga merupakan media ritual persembahan dan pengabdian kepada leluhur. Itulah sebabnya semua pentas dan pelaksanaan seni tradisi Toraja selalu dilaksanakan dan dihadiri oleh orang Toraja secara besar-besaran.
Seiring dengan semakin ditinggalkannya kepercayaan Aluk To Dolo oleh orang Toraja secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu, tidak berarti bahwa seni tradisi yang bersumber dari kepercayaan tersebut serta merta juga ditinggalkan. Bahkan hingga kini orang Toraja masih melaksanakan seluruh upacara tradisi yang diamanatkan oleh Aluk To Dolo meski dalam kondisi sudah tidak lagi memeluk ajaran tersebut. Strategi yang mereka lakukan adalah dengan menganggap bahwa seluruh ritual sakral tersebut tidak lagi sebagai bentuk penyembahan kepada leluhur, tetapi semata-mata hanya sebagai nilai seni yang bersifat profan. Pada sisi inilah potensi dan prospek seni tradisi Toraja memiliki kemampuan bertahan dengan segala perubahannya. Hal lain yang turut memberi kontribusi terhadap keberadaan seni tradisi Toraja adalah upaya dari kaum bangsawan Toraja yang gigih mempertahankan status sosialnya melalui kepemilikan dan pelaksanaan seni tradisi tersebut.
Persantunan:
Terima kasih kepada Prof. Dr. H. Amri Marzali dan Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin (Antropolog Universitas Indonesia), Prof. Dr. Paulus Tandilinting (Sosiolog Universitas Indonesia dan Cendekiawan Toraja) sebagai reader, bapak Tato’ Dena (pemeluk Aluk To Dolo) yang telah memberikan data, informasi dan petunjuk dan bimbingan yang terkait dengan tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Abdoellah MS. (1992), Proses Pembuatan Tau-tau di Tana Toraja, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Ujung Pandang.
Haviland, A. William. (1988), Antropologi, Edisi keempat Jilid 2, Jakarta, Erlangga.
Mochtar, But. (1983), Seni Rupa Pra-Sejarah, Bahan Kuliah PPs Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung. Morris, Brian. (2003), Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, AK Group, Yogyakarta.
Nooy-Palm, Hetty. (1979), The Sa’dan Toraja, a Study of Their Social life and Religion, Organization, Symbols and Beliefs, The Hague-Martinus Nijhoff. Paul Johnson, Doyle. (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2005), Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Edisi pertama, Kencana, Jakarta. Spiro, Melford E. (1977), Religion: Problems of Definition and Axplanation dalam Michael Bunton (penyunting), Antropological Approaches to the Study of Religion, Tavistock Publications, London. Tammu-veen. (1972), Kamus Toraja-Indonesia, Yayasan Perguruan Kristen Toraja, Toraja.
Tangdilintin, L.T. (1974), Toraja dan Kebudayaannya, Lembaga Sejarah & Antropologi Ujung Pandang, Ujung Pandang.
Yudoseputro, Wiyoso. (1986), Sejarah Seni Rupa Indonesia, Bahan Kuliah PPs Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung.
Nara Sumber:
Tato’ Dena (71 th.), Pemeluk Aluk To Dolo, wawancara tanggal 2 Oktober 2005 di rumahnya Desa Mendetek, Makale.
Chattam, Ar. (70 th.), Penari Wayang Topeng, Pelatih Tari, Koreografer dan Ketua Sanggar Swastika, wawancara tanggal 5 Mei 2012 di rumahnya Jl. Gading 14 a Malang.