• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti. Bahasa yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti. Bahasa yang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Puisi adalah karya sastra berupa sistem tanda yang mempunyai makna dengan menggunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti. Bahasa yang merupakan sistem tanda adalah sistem tanda tingkat pertama, sedangkan karya sastra memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra, dengan demikian timbullah arti baru yaitu arti sastra. Jadi, arti sastra merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk membedakan arti dari bahasa, arti sastra disebut makna (significance) (Pradopo, 2005:122).

Di dalam kesusastraan Arab, puisi disebut dengan asy-syiʻr. Puisi (syiʻr) adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qa>fiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa (Aḥmad Asy-Syāyib via Kamil, 2012:10). Kesusastraan Arab berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Sebagaimana diungkapkan Pradopo (2003:2) bahwa sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan.

Menurut zamannya kesusastraan Arab dibagi lima periode, yaitu kesusastraan zaman jahiliyyah, zaman islam, zaman Abbasiyyah, zaman pemerintahan orang Turki, dan abad modern (Al-Muhdar dkk, 1983:25). Kamil

(2)

2

(2012:2) mengungkapkan bahwa puisi modern atau asy-syi’r al-hurr adalah puisi yang bentuknya tidak lagi memakai kaidah-kaidah pola puisi Arab tradisional atau tidak memakai wazan dan qa>fiyah.

Salah satu penyair Arab modern yang terkenal adalah Aḥmad Syauqī, seorang sastrawan Mesir yang lahir pada tahun 1868. Aḥmad Syauqī merupakan penyair modern, namun puisi-puisinya adalah puisi dengan bentuk multazim (berpola), yakni masih mengikuti kaidah-kaidah pola puisi Arab tradisional dan memakai wazan serta qa>fiyah. Salah satu puisinya adalah puisi yang berjudul “Tokyo” dalam antologi (di>wa>n) Asy-Syauqiyya>t.

Asy-Syauqiyya>t adalah salah satu kumpulan puisi karya Aḥmad Syauqī yang berisi empat bab berdasarkan temanya. Bab pertama yaitu “Fi> As -Siya>sah wa At-Ta>ri>kh wa Al-Ijtima>‘I”‘Politik, Sejarah, dan Masyarakat’ bab kedua yaitu “Fi> Al-Wasfi wa An-Nasīb” ‘Deskripsi dan Persahabatan’, bab ketiga yaitu “Fi> Al-Mara>ṡī” ‘Ratapan’, dan bab keempat yaitu “Mutafarriqa>tu fi As-Siya>sati wa Al-Ijtima>‘i” ‘Perbedaan Politik dan Masyarakat’.

Puisi Tokyo terdapat pada bab kedua, yaitu “Fi Al-Wasfi wa An-Nasi>b”. Secara umum puisi ini bercerita mengenai kondisi kota Tokyo dan Yokohama pasca terjadinya bencana gempa bumi, tsunami, dan kebakaran pada tahun 1923. Di dalamnya terdapat tanda-tanda berupa kata, frase, dan kalimat yang perlu dianalisis untuk menemukan makna yang terdapat di dalam puisi tersebut. Menurut Pradopo (2005:122) menganalisis makna puisi tidak lepas dari analisis semiotik karena secara semiotik, puisi merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna yang ditentukan oleh konvensi. Oleh karena itu, untuk menganalisis makna puisi diperlukan analisis semiotik.

(3)

3

Berdasarkan uraian di atas, puisi “Tokyo" karya Aḥmad Syauqī ini dianalisis menggunakan teori semiotik.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah makna puisi “Tokyo” dalam antologi puisi Asy-Syauqiyya>t karya Aḥmad Syauqī.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan makna puisi “Tokyo” dalam antologi puisi Asy-Syauqiyya>t karya Aḥmad Syauqī.

1.4 Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai makna puisi dengan analisis semiotika Riffaterre terhadap puisi-puisi karya sastrawan Arab telah banyak diteliti, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rama (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi Al-Maza>mīru Aṡ-Ṡa>nī dalam Antologi Uh}ibbuki au la> Uh}ibbuki karya Maḥmud Darwisy: Analisis Semiotik”. Skripsi tersebut menyimpulkan bahwa puisi Al-Maza>mīru Aṡ-S|a>ni bercerita mengenai identitas rakyat Palestina di bawah penjajahan Israel yang membuat kehidupan mereka terkekang. Sebagai pemilik sah tanah air Palestina, rakyat Palestina berjuang dengan berbagai cara agar dapat merebut kembali Palestina yang salah satunya dengan memalsukan identitas diri, agar mereka mendapat kebebasan dan taraf hidup yang lebih layak. Akan tetapi, berbagai upaya apapun selalu dihalangi oleh zionis Israel dengan jalan peperangan maupun pembantaian besar-besaran sehingga upaya perebutan tanah Palestina demi mendapatkan hak untuk tinggal

(4)

4 belum tercapai.

Penelitian yang lain telah dilakukan oleh ‘Aaisyah (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Makna puisi Risa>latun min al-Manfa> dalam Antologi Auqa>ru Az-Zaitūn Karya Maḥmud Darwisy: Analisis Semiotik”. ‘Aaisyah menyimpulkan bahwa kehidupan orang-orang Palestina di tempat pembuangan seperti orang yang telah mati yang tidak berharga sama sekali. Mereka tidak mendapatkan hak-hak asasi sebagaimana manusia yang semestinya. Mereka tidak dapat bergerak, berbicara, berkomunikasi dengan keluarga, atau melakukan hal-hal lainnya. Mereka juga diperlakukan layaknya benda mati. Mereka hanya dapat mencurahkan segala derita ke dalam lembaran-lembaran buku tulis layaknya menulis surat. Meskipun demikian, mereka selalu mengatakan bahwa keadaan mereka baik, agar keluarga mereka tidak khawatir.

Adapun penelitian mengenai puisi-puisi Aḥmad Syauqī juga telah banyak dilakukan. Sejauh penelusuran penulis, ada empat penelitian yang membahas puisi-puisi Aḥmad Syauqī. Skripsi berjudul “At-Tanash fī Qasīdah An-Nahji al-Burdah li Ah}mad Syauqī” yang ditulis oleh Syamsudin (2012) mengungkapkan bahwa unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada Qas}i>dah An-Nahji al-Burdah karya Aḥmad Syauqi itu terdiri atas tema, gaya bahasa, dan pesan moral, serta unsur-unsur ekstrinsiknya berupa unsur politik. Qasidah Nahjul Burdah karya Aḥmad Syauqī memiliki hubungan interteks dengan Qasīdah Burdah karya Al-Bushiri pada gaya bahasa, interteks langsung dan interteks tidak langsung serta pesan moral, dan unsur-unsur ekstrinsiknya yang berupa unsur politik.

Penelitian lain mengenai puisi Aḥmad Syauqī telah dilakukan oleh Zarkasyi (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Tasybih dalam syiʻir Aḥmad

(5)

5

Syauqī”. Dan diungkapkan bahwa Aḥmad Syauqī adalah penyair berjiwa patriotisme yang terkenal di masa akhir khilafah Ustmaniyah yang banyak menggunakan tasybih. Pembahasan menemukan delapan tasybih dalam sebagian syiʻr Aḥmad Syauqī, yaitu tasybih mursal, tasybih muʻakkad, tasybih mufas}s}al, dan tasybih mujmal. Dengan adanya tasybi>h dalam ilmu balaghah, terlebih dalam syiʻr Aḥmad Syauqī dapat ditemukan keindahan yang terungkap dalam syiʻr tersebut, sehingga para pembaca atau sastrawan akan lebih semangat untuk terus mendalami makna-makna syiʻr dan keindahannya.

Penelitian juga telah dilakukan oleh Cahyono (2009) dalam tesisnya yang berjudul ”Gagasan Kebangsaan dalam Syiʻr Aḥmad Syauqī” mengungkapkan bahwa perkembangan syiʻr kebangsaan Aḥmad Syauqī mengalami perkembangan di masa modern ini seiring dengan terus berkembangnya sastra Arab.

Penelitian yang lain mengenai puisi Aḥmad Syauqī telah dilakukan oleh Asminah (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Syiʻr Khila>fatil Islam li Ah}mad Syauqī: Dirasatun Bina>`iyyatun”. Diungkapkan bahwa puisi ini menggambarkan kesedihan penyair (Aḥmad Syauqī) karena dihapuskannya sistem kekhilafahan di Turki. Di dalam puisi ini dibahas kajian intrinsik yang meliputi beberapa segi, yakni dari segi ʻarudh, qa>fiyah, gaya bahasa, dan tema.

Sejauh penelusuran penulis melalui perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada maupun melalui perpustakaan digital dari beberapa Universitas seperti UIN Sunan Ampel, UIN Syarif Hidayatullah, Universitas Ahmad Dahlan, UIN Sunan Kalijaga, dan Universtas Indonesia, penelitian menggunakan analisis semiotik Riffaterre terhadap puisi Aḥmad Syauqī yang berjudul “Tokyo”dalam antologi puisi Asy-Syauqiyya>t belum pernah dilakukan.

(6)

6

Oleh karena itu, penelitian mengenai makna puisi “Tokyo” dalam antologi puisi Asy-Syauqiyya>t karya Aḥmad Syauqī menggunakan analisis semiotik Riffaterre layak untuk dilakukan.

1.5 Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk mengetahui makna puisi “Tokyo” karya Aḥmad Syauqī adalah teori semiotik. Menurut Kamil (2012:196) semiotik pertama kali diperkenalkan oleh dua tokoh dari dua negara yang berbeda, yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pendiri linguistik modern dan paham strukturalisme berkebangsaan Perancis, serta Charles Sanders Pierce, seorang ahli filsafat beraliran pragmatis berkebangsaan Amerika dan dikenal sebagai bapak semiotik.

Kedua tokoh tersebut merupakan pelopor lahirnya semiotik yang kemudian teori-teorinya dikembangkan oleh banyak tokoh, seperti Louis Hjelmslev (1819-1965), Roland Barthes (1915-1980), Charles Morris, Umberto Eco, Paul Ricoeur, Aart Van Zoest, dan Michael Riffaterre.

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Menurut Pierce (via Kamil, 2012:196), semiotik adalah tindakan, pengaruh, atau kerja sama tiga subjek: tanda, objek, dan interpretan, atau antara penanda, petanda, serta acuannya. Peirce (via Syuropati, 2011:68) mengungkapkan bahwa tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Pierce (via Berger, 2010:16) menyatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan

(7)

7

objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan kausalnya (sebab-akibat), dan simbol untuk asosiasi konvensionalnya. Inilah yang dikenal dengan teori trikotomi Pierce.

Menurut Saussure (dalam Berger, 2010:14) tanda-tanda itu seperti lembaran kertas, satu sisi adalah penanda dan sisi lain menjadi petanda, dan kertas itu sendiri adalah tanda. Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan dari tanda itu sendiri, karena penanda dan petanda membentuk tanda itu sendiri. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan.

Ada banyak teori semiotik yang dikemukakan para ahli, di antaranya adalah teori simbol dari de Saussure, indeks beserta konsep semiosis berlanjut Pierce, teori konotasi dan teori mitos Barthes, teori mitos atau simbol sekunder (cerita yang membeberkan simbol primer) dari Paul Ricoeur, dan teori pembacaan heuristik dan hermeneutik Riffaterre. Menurut Kamil (2012: 216) dari sekian banyak teori semiotik yang ada, teori semiotik yang dikemukakan oleh Riffaterre merupakan teori yang ideal, karena teori ini sangat operasional hingga ke mikro (detail) teks, sehingga studi yang dilakukan menjadi komprehensif.

Riffaterre (1978:2) mengungkapkan bahwa proses pemaknaan karya sastra dapat dilakukan dengan empat pendekatan, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif, matriks atau kata kunci, dan hipogram.

(8)

8

of meaning), penyimpangan arti (disorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti (displacing of meaning) disebabkan adanya metafora dan metonimi yang diartikan sebagai kiasan (Riffaterre, 1978:2). Penggantian arti dalam puisi berupa kiasan memiliki arti yang lain (bukan makna sesungguhnya) (Pradopo, 2003:147). Metafora adalah pemakaian kata-kata menggunakan arti yang tidak sebenarnya sebagai gambaran yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, sedangkan metonimi adalah cara menyebutkan sesuatu secara tidak langsung, yaitu menyebutkan hal lain yang mempunyai hubungan dengan sesuatu yang dimaksud (Poerwadarminta, 1976:648-649).

Metafora dan metonimi dalam bahasa Arab terdapat dalam bentuk tasybīh dan istiʻa>rah (Kamil, 2102:206). Menurut Al-Jarim (2013:21) tasybīh adalah penjelasan bahwa suatu hal atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal yang lain. Istiʻa>rah menurut Al-Jarim (2013:102), adalah tasybīh yang dibuang salah satu tharaf-nya. Oleh karena itu, hubungan antara makna hakiki dan makna majazinya berupa musyabbah (tidak langsung). Selain itu, metonimi juga berkaitan dengan majaz. Menurut Al-Jarim (2006:95) majaz adalah lafaz{ yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya.

Penyimpangan arti (displacing of meaning) disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas atau ketaksaan, kontradiksi, dan nonsense (Riffaterre, 1978:2). Menurut Pradopo (2003:149), ambiguitas berupa kata-kata, frase, dan kalimat di dalam puisi yang sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Kontradiksi atau biasa disebut ironi merupakan salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan (Pradopo, 2003:150). Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik (bahasa) tidak

(9)

9

mempunyai arti karena tidak terdapat dalam kosakata (Pradopo, 2003:152). Ambiguitas dalam bahasa Arab identik dengan tauriyyah (Kamil, 2012:206). Tauriyyah adalah penyebutan suatu kata yang mufrad, yang mempunyai dua makna; pertama, makna yang dekat dan jelas yang tidak dimaksudkan; kedua, makna yang jauh dan samar yang dimaksudkan (Al-Jarim, 2013:397). Adapun kontradiksi dalam bahasa Arab identik dengan t}iba>q dan muqa>balah (Kamil, 2012:207). T}iba>q menurut Al-Jarim (2013:402) adalah berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat. Adapun muqa>balah menurut Al-Jarim (2013:409) adalah didatangkannya dua makna atau lebih di bagian awal kalimat, lalu didatangkan makna-makna yang berlawanan dengannya secara tertib pada bagian akhir kalimat tersebut.

Penciptaan arti (creating of meaning) terjadi apabila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal keterbatasan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjambement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Di dalam puisi sering terdapat keseimbangan (simitri) berupa persebaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait (Riffaterre, 1978:2). Menurut Pradopo (2013:153), homologues (persamaan posisi) itu misalnya tampak dalam sajak pantun atau yang semacam pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan.

Adapun dalam bahasa Arab, rima dapat diidentikkan dengan sajʻ (Kamil, 2012:207). Menurut Al-Jarim (2013:391), sajʻ adalah cocoknya huruf akhir dua fas}i>lah atau lebih. Adapun enjabement dapat diidentikkan dengan was}al dan fas}al

(10)

10

(Rama, 2014:10). Menurut Al-Jarim (2013:324) was}al adalah meng-‘at}af-kan satu kalimat kepada kalimat lain dengan wawu. Adapun Fas}al adalah meninggalkan ‘at}af yang demikian.

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama (Riffaterre, 1978:5-6). Menurut Pradopo (2003:136) struktur kalimat dalam pembacaan heuristik disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif).

Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna puisi atau makna sastra. Oleh karena itu, karya sastra (puisi, fiksi) harus dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6). Pradopo (2012:297) berpendapat bahwa pembacaan retroaktif atau hermeneutik adalah pembacaan ulang karya sastra (puisi) dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pembacaan berdasarkan konvensi sastra (puisi). Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya konvensi ketidaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak.

Pendekatan ketiga dalam pemaknaan karya sastra adalah penentuan matrix atau kata kunci, yaitu abstrak dari keseluruhan teks dan tidak bersifat tekstual. Abstraksi tersebut dapat berupa kata atau frase. Kata atau frase tersebut tidak muncul dalam teks, tetapi diaktualisasikan dengan model. Model yang dimaksud dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Pada prakteknya, matrix sering dikonkretkan dalam bentuk varian-varian yang berurutan (Riffaterre, 1978:19).

Pendekatan keempat dalam pemaknaan karya sastra yang ditawarkan oleh Riffaterre adalah intertekstualitas atau hipogram. Intertekstualitas adalah prinsip

(11)

11

hubungan antarteks puisi. Satu puisi merupakan tanggapan terhadap puisi-puisi sebelumnya. Tanggapan ini berupa penyimpangan atau meneruskan tradisinya. Penyair meresepsi, menyerap, dan kemudian mentransformasikannya terhadap puisi-puisinya. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud yang lain, yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2012:300).

1.6 Metode Penelitian

Berdasarkan landasan teori di atas, metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis puisi “Tokyo” karya Aḥmad Syauqī adalah metode yang berdasarkan teori semiotik yang digagas oleh Michael Riffaterre (1978).

Ada empat metode yang digunakan dalam menganalisis puisi, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik, penentuankata kunci, dan intertekstualitas atau hipogram (Riffaterre, 1978:2). Dari keempat pendekatan yang ditawarkan, dimanfaatkan dua pendekatan untuk menganalisis puisi “Tokyo”, yaitu ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif.

Untuk menganalisis puisi “Tokyo” dilakukan beberapa langkah penelitian sebagai berikut.

Pada pembacaan heuristik, puisi dibaca lalu diterjemahkan sesuai arti leksikal. Penerjemahan dilakukan per kata. Karena berbahasa Arab, puisi “Tokyo” diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamil (2012:210) untuk memperjelas arti, jika perlu diberi sisipan kata atau sinonimnya yang diletakkan dalam tanda kurung. Begitu pula struktur kalimatnya, harus disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), mengingat susunan (tarkīb) puisi dalam sastra Arab khususnya seringkali dibalik demi

(12)

12

kepentingan qa>fiyah atau bahr, bisa dikembalikan pada susunan kalimat yang normal untuk memperjelas arti.

Pada pembacaan hermeneutik dicari unsur-unsur ketidaklangsungan ekspresi, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Pada pembacaan hermeneutik ini akan ditentukan kata, frase, dan kalimat yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi, serta menentukan makna dari setiap kata, frase, dan kalimat dalam puisi tersebut yang disesuaikan dengan konvensi sastra puisi Tokyo. Pembacaan ini dimulai dari judul dan dilanjutkan dengan bait-bait yang merupakan isi puisi tersebut.

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini digunakan sistematika penulisan yang dibagi menjadi empat bab. Bab I berupa pendahuluan yang berisi beberapa subbab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan serta pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi biografi Aḥmad Syauqi serta puisi “Tokyo”. Bab III berisi analisis semiotik puisi “Tokyo”. Bab IV berupa kesimpulan.

1.8 Pedoman Transliterasi Arab – Latin

Pada penelitian ini digunakan pedoman transliterasi Arab Latin yang terbit berdasarkan keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 Th 1987 dan no. 0543b/U/1987.

a. Konsonan

(13)

13

dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus.

Huruf Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

ا Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب Ba>` B Be

ت Ta>` T Te

ث S|a Ṡ es (dengan titik di atas)

ج Jim J Je

ح H}a>` H{ ha (dengan titik di bawah)

خ Kha>` Kh ka dan ha

د Dal D De

ذ Żāl Z| zet (dengan titik di atas)

ر Ra>` R Er

ز Zai Z Zet

س Si>n S Es

ش Syi>n Sy es dan ye

ص S}a>d S{ es (dengan titik di bawah)

ض D}a>d} Ḍ de (dengan titik di bawah)

ط T}a> Ṭ te (dengan titik di bawah)

ظ Z}a> Ẓ zet (dengan titik di bawah)

ع ʻAin ʻ_ koma terbalik (di atas)

غ Gain G Ge ف Fa> F Ef ق Qa>f Q Ki ك Ka>f K Ka ل La>m L El م Mim M Em ن Nu>n N En و Wa>wu W We ه Ha> H Ha ء hamzah '_ Apostrof ي Ya> Y Ya b. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

(14)

14

Vokal Tunggal Vokal Rangkap Vokal Panjang

Tanda Huruf Latin Tanda dan Huruf Gabungan Huruf Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda ﹷ a ي ai ا ﹷﹷ ā ﹻ i و au ي i< ﹹ u و u<

Contoh : ﻞﻛا akala ٌﺖ baitun ﯿﺑ لﺎﻗ qa>la

c. Ta`marbu>tah

Transliterasi untuk ta`marbu>tah ada dua, transliterasi untuk ta`marbu>tah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan dammah transliterasinya adalah /t/. Kemudian jika pada kata yang terakhir dengan ta`marbu>tah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta`marbu>tah itu ditransliterasikan dengan /h/.

Contoh : ةرﻮﻨﻤﻟا ﺔﻨﯾﺪﻤﻟا

al-Madi>nah al-Munawwarah/ al-Madīnatul-Munawwarah

d. Syaddah (tasydi>d)

Syaddah atau tasydīd dalam dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.

Contoh : ﺎﻨﺑر rabbana> لﺰﻧ nazzala

e. Kata Sandang

Kata sandang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu “لا“. Akan tetapi dalam transliterasi ini kata sandang dibedakan atas kata

(15)

15

sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah.

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ digantikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut.

Contoh : ﻞﺟﺮﻟا ar-Rajulu.

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan huruf aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sempang.

Contoh : ﻠﻘﻟاﻢ al-qalamu ﺐﺗﺎﻜﻟا al-ka>tibu

f. Hamzah

Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah atau di akhir kata. Apabila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan dalam tulisan Arab berupa alif.

Contoh : ﺬﺧْﺄﯾ ya`khużu أﺮﻗ qara`a

g. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun harf ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lan karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.

(16)

16 Contoh : ﻦﯿﻗزاﺮﻟا ﺮﯿﺧ ﻮﮭﻟ ﷲ نإو

Wa innalla>ha lahuwa khairu ar-ra>ziqi>na/ wa innalla>ha lahuwa khairur-ra>ziqīna.

h. Huruf Kapital

Meskipun di dalam tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), diantaranya adalah huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh : ﻮﺳر ﻻإ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻣول Wama> Muhammadun illa> Rasu>l

Penggunaan huruf awal kapital untuk lafaz} Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.

Referensi

Dokumen terkait

Praktek jual beli sayuran sistem golang yang dilakukan di Pasar Pratin merupakan salah satu proses jual beli sayuran yang sudah dikemas di dalam karung dengan ukuran 60

Model penelitian nilai R-Square yang dihasilkan adalah sebesar 0,496 artinya besarnya pengaruh spiritualitas islami di tempat kerja dan karakteristik individu terhadap

Dibuatmya perjanjian perkawinan setelah perkawinan baik bagi pihak suam istri maupun pihak lain yang terkait dengan harta perkawinan yang telah tercampur, hutang piutang yang

Negara hukum dalam formal (sempit/klasik) adalah negara yang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum, seperti

Al-Qur’an Hadits adalah salah satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang menekankan pada kemampuan membaca dan menulis Al-Qur’an dan Hadits dengan benar, serta

2) Diantara para pihak yang sangat dituntut peran aktif nya adalah PTN dan PTS khususnya untuk gencar menampilkan kinerja yang membuahkan banyak invensi (HAKI &amp; Paten) di

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat pemberian temulawak memberikan pengaruh yang sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap pertambahan berat badan baik pada pemeriksaan 15

mnjnghy ghk;ig gw;wp mwpt[ bgha;ahFk; nghJ, fapw;iwg; gw;wpa mwpt[ cz;ikahfpwJ.. cyifg; gw;wpa fUj;J flt[isg; gw;wpa fUj;ij kiwf;Fk; xU