• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Transportasi dan Pematangan Spermatozoa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Transportasi dan Pematangan Spermatozoa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Transportasi dan Pematangan Spermatozoa

Produksi spermatozoa terjadi pada saluran reproduksi jantan yang dinamakan testis. Setiap testis tersusun atas tubuli seminiferi yang mengandung spermatogonium dan bertanggung jawab dalam proses spermatogenesis untuk produksi dan diferensiasi spermatosit menjadi spermatid yang pada akhirnya menjadi spermatozoa. Setelah pembentukan, spermatozoa diangkut ke dalam tubulus yang lebih besar berupa rete testis untuk selanjutnya di transportasikan ke epididimis melalui vasa efferentia. Setelah mencapai epididimis, sel epithel menyerap cairan rete testis dan mengeluarkan cairan epididimis, lalu berkonsentrasi dengan menyiapkan tempat bagi spermatozoa sebelum di ejakulasikan. Pada saat ejakulasi, spermatozoa akan meninggalkan epididimis melalui vas deferens atau ductus deferens menuju urethra dan akhirnya keluar melalui penis (Setchell 1998).

Spermatozoa yang meninggalkan testis belum memiliki kemampuan untuk membuahi oosit (Moore & Akhondi 1996). Untuk memperoleh kemampuan tersebut, spermatozoa harus mengalami banyak perubahan selama berada di epididimis meliputi perubahan morfologi (berpindahnya cytoplasmic droplet dari pangkal kepala ke ujung bawah bagian tengah spermatozoa), stabilisasi kromatin oleh ikatan disulfida, perubahan komposisi membran, peningkatan kerentanan terhadap kerusakan kejutan dingin, perkembangan pergerakan dan akuisisi kemampuan fertilisasi (Bedford & Hoskins 1990). Amann et al. (1993) melaporkan bahwa perubahan yang terkait dengan pematangan spermatozoa yaitu (1) modifikasi protein DNA kompleks pada inti untuk meminimalkan kemungkinan kerusakan akibat lingkungan atau degradasi prematur dan (2) modifikasi membran plasma, mitokondria dan komponen mikrotubular yang berperan dalam mengaktifkan transduksi energi untuk koordinasi kontraksi ekor dan motilitas serta stabilisasi plasma dan membran akrosom dalam mengikat protein dalam rangka penetrasinya terhadap oosit.

Salah satu perubahan yang paling menonjol pada spermatozoa epididimis selama pematangan adalah berkembangnya kemampuan spermatozoa untuk

(2)

bergerak. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan biokimia dan fisik dari membran plasma spermatozoa kaitannya dengan peningkatan konsentrasi cAMP, penurunan pH intraselular, perubahan ion bebas Ca2+ dan kecepatan transportasi glukosa dalam spermatozoa (Amann et al. 1993).

Spermatozoa secara fungsional matang dalam kauda epididimis akan tetapi kehadiran plasma semen pada saat ejakulasi dapat memodifikasi fungsi spermatozoa sehingga mengubah sifat dan respon dari membran spermatozoa (White 1993). Komponen plasma semen berupa enzim, hormon, protein, maupun metabolit berkontribusi terhadap kompetisi spermatozoa melewati barrier, menyediakan nutrisi bagi spermatozoa, merangsang kapasitasi dengan memfasilitasi kolesterol efflux dari membran plasma, membantu pengaturan reaksi akrosom, mendukung fertilisasi dengan mempertahankan pH, serta memainkan peranan dalam motilitas spermatozoa dan kontraksi saluran reproduksi betina (Poiani 2006; Green et al. 1996). Berbeda halnya dengan yang dilaporkan Bergeron et al. (2005) bahwa plasma semen mengandung faktor dekapasitasi (spermadhesins) yang terdiri dari struktur biokimia diantaranya peptida dengan berat molekul yang rendah, glikoprotein, steroid dan kolesterol yang reversibel dalam mengikat spermatozoa dan menghambat kapasitasi. Spermadhesins merupakan molekul pada lapisan spermatozoa yang berfungsi menstabilkan membran plasma akrosom yang dilepaskan selama kapasitasi. Spermadhesins disekresikan oleh kelenjar aksesori seksual, namun ada juga yang berasal dari epididimis. Spermadhesins merupakan protein utama dalam plasma semen domba yang bersama-sama dengan protein lain yang mengandung fibronektin type II memberikan dampak negatif pada spermatozoa dimana interaksinya dengan spermatozoa mengarah pada penurunan fosfolipid kolin dan kolesterol dari membran plasma spermatozoa yang berperan dalam proses kapasitasi.

Kriopreservasi Spermatozoa

Kriopreservasi spermatozoa merupakan suatu teknik penyimpanan spermatozoa dalam keadaan beku (suhu -196 °C) yang melibatkan banyak faktor seperti bahan pengencer yang tepat, proses pengenceran semen, laju pendinginan (cooling), pembekuan (freezing) dan pencairan kembali (thawing) disamping

(3)

pengetahuan mengenai fisiologi spermatozoa dari suatu spesies ternak (Purdy 2006). Prinsip yang terpenting dari kriopreservasi spermatozoa adalah pengeluaran air dari dalam spermatozoa (dehidrasi) sebelum membeku intraseluler. Bila tidak terjadi dehidrasi akan terbentuk kristal es yang dapat merusak spermatozoa dan bila terjadi dehidrasi yang sangat hebat maka spermatozoa akan mengalami kekeringan sehingga spermatozoa mati (Supriatna & Pasaribu 1992). Spermatozoa yang di kriopreservasi sangat sensitif terhadap penurunan suhu yang cepat karena dapat mengakibatkan kejutan dingin dan fase transisi membran. Kejutan dingin menyebabkan hilangnya permeabilitas yang selektif dan integritas membran plasma, pelepasan enzim intraseluler dan lipid, redistribusi ion, perubahan membran akrosom dan mitokondria, penurunan motilitas dan metabolisme (Watson 1995). Proses freezing dan thawing dapat mengakibatkan tingginya persentase kerusakan membran akrosom yang dapat mengganggu kemampuan spermatozoa pada saat proses fertilisasi. Selain itu, struktur dan integritas sel spermatozoa yang normal merupakan faktor penting untuk memprediksi kelangsungan hidup spermatozoa setelah kriopreservasi (Watson 2000).

Komposisi Bahan Pengencer Spermatozoa

Komposisi bahan pengencer baik krioprotektan, gula, buffer dan bahan aditif lainnya akan berinteraksi selama proses kriopreservasi dengan cara yang spesifik untuk melindungi spermatozoa, menyediakan substrat energi serta mencegah efek negatif dari perubahan pH dan osmolalitas (Salamon & Maxwell 2000; Yoshida et al. 2000). Upaya untuk meningkatkan preservasi spermatozoa domba telah difokuskan pada modifikasi bahan pengencer (Marti et al. 2003) serta pada penambahan berbagai komponen untuk mempertahankan motilitas, integritas membran dan kemampuan fertilisasi dari spermatozoa (Riha et al. 2006).

Kuning telur

Kuning telur merupakan komponen yang paling umum digunakan pada bahan pengencer sebagai pelindung membran plasma dan akrosom spermatozoa terhadap kejutan dingin karena kandungan fosfolipid, low-density lipoproteins dan

(4)

kolesterolnya (Watson 2000). Di dalam kuning telur terdapat lesitin yang dapat mempertahankan motilitas spermatozoa dari kejutan dingin karena kandungan phosphatidylcholine (Kikuchi et al. 1998).

Kuning telur terdiri dari 33% lipid dan antioksidan yang penting untuk perkembangan embrio. Kandungan phovitin, ceruloplasmin, ovalbumin dan ovotransferrin yang terdapat pada kuning telur dapat menghilangkan ion logam bebas yang dapat mengkatalisis produksi reactive oxygen species (ROS). Selain itu, protein yang mirip dengan ekstraselular superoksida dismutase dan plasma glutathione peroksidase pada kuning telur dapat berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas antioksidan (Mann & Mann 2008).

Penggunaan kuning telur dengan konsentrasi yang berbeda berkisar antara 0-20% telah dilaporkan oleh England (1993), dimana motilitas setelah pencairan kembali dan persentase spermatozoa hidup terbaik dihasilkan dari semen beku dengan konsentrasi kuning telur sebesar 10%. Namun, sebagian besar melaporkan kesuksesan aplikasi teknologi inseminasi buatan menggunakan semen beku dengan konsentrasi kuning telur sebesar 20% pada komposisi bahan pengencer (Fontbonne & Badinand 1993).

Laktosa

Laktosa sebagai salah satu karbohidrat golongan disakarida terdiri atas dua unit monosakarida yaitu satu unit glukosa dan satu unit galaktosa yang keduanya dapat dimetabolisir oleh spermatozoa melalui glikolisis dan siklus Krebs untuk menghasilkan energi berupa adenosin trifosfat (ATP) (Lehninger 1994). Adenosin trifosfat dimanfaatkan oleh spermatozoa sebagai sumber energi dalam proses pergerakan sehingga dapat tetap motil dan sekaligus untuk mempertahankan daya hidupnya. Laktosa dengan berat molekul yang tinggi berperan sebagai senyawa krioprotektan ekstrasellular untuk menjaga tekanan osmotik dari pengencer dan melindungi integritas membran spermatozoa akibat pengaruh kejutan dingin selama penyimpanan pada suhu rendah (3–5 °C) (Salomon & Maxwell 2000; Rizal 2009).

Lehninger (1994) menyatakan laktosa merupakan salah satu senyawa pereduksi dan memiliki struktur yang stabil. Sebagai senyawa pereduksi, laktosa

(5)

memiliki fungsi yang mirip dengan senyawa antioksidan karena mampu meredam senyawa-senyawa pengoksidasi, sehingga juga berperan dalam meminimumkan terjadinya reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi bersifat merugikan karena menghasilkan produk yang dapat merusak integritas membran plasma spermatozoa. Sebagai senyawa yang stabil, laktosa tidak mudah mengalami perubahan struktur menjadi bentuk ion yang dapat mengubah tekanan osmotik larutan pengencer semen.

Penambahan laktosa sebagai krioprotektan yang non-permeabel dapat menciptakan tekanan osmotik yang menginduksi dehidrasi sel sebelum pembekuan dan interaksinya dengan fosfolipid membran plasma dapat mereorganisasi dan meningkatkan fluiditas membran spermatozoa sehingga menurunkan kerusakan sel akibat pembentukan kristal es intraseluler pada fase transisi dari perubahan temperatur (Molinia et al. 1994; Eiman & Terada 2003).

Laktosa sebagai senyawa krioprotektan golongan karbohidrat memiliki kemampuan menggantikan posisi air pada permukaan membran plasma spermatozoa selama masa transisi melewati zona suhu yang kritis, serta mengubah sifat mekanik pengencer melalui peningkatan viskositas sehingga membantu menstabilkan membran plasma spermatozoa (Viswanath & Shannon 2000; Aisen et al. 2002). Efek yang menguntungkan dari laktosa dalam bahan pengencer terhadap viabilitas spermatozoa setelah pencairan kembali telah dilaporkan dalam beberapa penelitian (Molinia et al. 1994; Garde et al. 2008).

Gliserol

Gliserol telah banyak digunakan sebagai krioprotektan dalam pembekuan sel termasuk spermatozoa pada beberapa spesies terutama hewan domestik. Gliserol merupakan krioprotektan yang mudah menyerap dan mampu melintasi membran sel serta merangsang ekspresi protein aquaporin 7 (AQP7) sebagai fasilitator transportasi gliserol pada tahap spermatid akhir (Ishibashi et al. 1997). Penambahan gliserol ke dalam pengencer secara ekstraselular memberikan efek langsung terhadap membran plasma sehingga dapat mengurangi tingkat kerusakan akibat pembekuan (Parks & Graham 1992). Gliserol mengubah sifat koligatif air untuk menurunkan titik beku, sehingga memberikan waktu yang lebih lama bagi

(6)

air untuk keluar dari sel sebelum pembekuan dan pembentukan kristal es yang dapat merusak organel intraseluler (Watson 1995).

Selama proses pembekuan berlangsung, spermatozoa mudah mengalami peroksidasi lipid yang akan merusak sel spermatozoa. Akrosom merupakan bagian sel spermatozoa yang paling peka terhadap kerusakan peroksidasi. Dengan adanya gliserol yang berfungsi sebagai agen protektif akan menjaga keseimbangan konsentrasi fisiologik intra dan ekstraseluler sehingga tudung akrosom tetap utuh. Gliserol akan berinteraksi dengan membran plasma sehingga akan mengurangi kerusakan dari membran plasma dan tudung akrosom pada saat terjadi perubahan struktur selama proses pembekuan dan thawing (Feradis 1999). Namun gliserol memiliki efek toksisitas yaitu memodifikasi struktur membran plasma dan pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat metabolisme energi (Mclaughlin et al. 1992) serta mengubah osmolaritas pengencer (Farstad 1996).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa kriopreservasi spermatozoa dari kauda epididimis maupun ejakulat telah berhasil dilakukan dengan konsentrasi gliserol berkisar antara 4-10% (Asher et al. 1999; Soler et al. 2003). Cheng et al. (2004) melaporkan penelitiannya mengenai kriopreservasi spermatozoa dari kauda epididimis dan ejakulat rusa dengan konsentrasi gliserol pada pengencer berkisar antara 5-8% serta menyimpulkan bahwa peranan masing-masing pengencer lebih dikarenakan adanya interaksi gliserol dengan komponen pengencer lain dibanding efek dari konsentrasi gliserol itu sendiri.

Orvus ES Paste

Penggunaan Orvus ES Paste sebagai bahan pengencer sangat bermanfaat dalam kriopreservasi spermatozoa. Komponen aktif Orvus ES Paste adalah sodium dodecyl sulphate (SDS) yang merupakan cairan deterjen anionik terlarut. Sodium dodecyl sulphate dapat mempertahankan dan melarutkan membran protein pada konsentrasi tinggi (Helenius et al. 1979). Penggunaan SDS dalam bentuk Orvus ES paste dapat meningkatkan kemampuan bertahan spermatozoa setelah kriopreservasi secara tidak langsung meskipun mekanismenya secara spesifik belum diketahui. Orvus ES Paste meningkatkan daya hidup spermatozoa setelah pencairan kembali dengan bertindak sebagai surfaktan untuk menstabilkan

(7)

membran sel terutama membran akrosom dan untuk melindungi spermatozoa dari efek toksik dari gliserol selama proses pembekuan (Ponglowhapan & Chatdarong 2008). Penggunaan SDS bersamaan dengan kuning telur berfungsi mengubah struktur tersier lipoprotein kuning telur dalam media ekstraseluler (Pena & Linde 2000).

Penggunaan Orvus ES Paste untuk kriopreservasi spermatozoa kambing dapat meningkatkan motilitas spermatozoa setelah pencairan kembali, meskipun tidak berpengaruh terhadap integritas akrosom (Morton et al. 2010). Sedangkan pada anjing, penambahan Orvus ES Paste pada pengencer Tris dapat meningkatkan viabilitas, motilitas dan integritas akrosom spermatozoa setelah pencairan kembali (Pena & Linde 2000). Pena et al. (2003) melaporkan bahwa Orvus ES Paste kemungkinan berperan dalam mencegah atau mengurangi perubahan pada proses kapasitasi serta menyebabkan pemasukan kalsium dengan konsentrasi tinggi selama kapasitasi pada spermatozoa anjing setelah pencairan kembali.

Antibiotik

Pengendalian pertumbuhan mikroba merupakan langkah penting dalam mencegah penyebaran penyakit reproduksi melalui penggunaan spermatozoa dan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak. Antibiotik perlu ditambahkan sebagai komponen bahan pengencer untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif seperti Escherichia Coli dan Salmonella yang dapat mengakibatkan penurunan motilitas spermatozoa, aglutinasi, peningkatan perubahan akrosom dan penurunan pH ke level asam (5,7-6,4) (Althouse et al. 2004). Selain itu, komponen bahan pengencer seperti kuning telur dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba, sehingga penambahan antibiotik pada komposisi bahan pengencer efektif untuk mengontrol pertumbuhan mikrobiologis (Mitchell & Doak 2004).

Antibiotik yang digunakan pada komposisi bahan pengencer diantaranya kombinasi penicillin dan streptomycin. Penicillin merupakan antibotik semisintetik spektrum luas baik terhadap aktivitas bakterisida Gram positif dan negatif yang aerob maupun anaerob, sedangkan Streptomycin merupakan

(8)

antibiotik kelompok aminoglycoside yang bekerja dengan cara mematikan bakteri sensitif, dengan menghentikan pemroduksian protein esensial yang dibutuhkan bakteri untuk bertahan hidup. Kedua jenis antibiotik ini sangat efektif dalam mengendalikan pertumbuhan berlebih dari bakteri pada spermatozoa (Althouse 1997). Selain itu, penggunaan Ampicillin sebagai antibiotik dalam komposisi bahan pengencer juga telah banyak digunakan. Ampicillin merupakan salah satu antibiotik semi sintetik golongan penicillin yang cukup murah. Ampicillin termasuk dalam agen bakterisidal yang mempunyai spektrum aktivitas luas pada bakteri Gram positif dan negatif yang bekerja menghambat sintesis dinding sel (Brander et al. 1991).

Kriopreservasi Spermatozoa dari Kauda Epididimis

Penyelamatan dan pemanfaatan materi genetik baik dari hewan yang mempunyai nilai ekonomis, terancam punah atau populasinya yang semakin sedikit maupun satwa liar dikarenakan kematian hewan secara tak terduga telah banyak mendapat perhatian (Kaabi et al. 2003; Ehling et al. 2006). Salah satu kemungkinan untuk melestarikan plasma nutfah dari hewan jantan yang sudah mati adalah kriopreservasi spermatozoa dari kauda epididimis agar bisa disimpan untuk jangka waktu yang tidak terbatas di bank spermatozoa sebagai cadangan keragaman materi genetik hewan (Roldan & Gomendio 2009).

Spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis memiliki motilitas, integritas membran plasma dan morfologi yang tidak berbeda dengan spermatozoa dari ejakulat baik sebelum atau setelah kriopreservasi (Tebet et al. 2006; Hermansson & Axner 2007). Spermatozoa yang berasal dari bagian kauda epididimis memiliki kemampuan membuahi oosit yang sama baiknya dengan spermatozoa dari ejakulat (Hafez & Hafez 2000). Hal ini karena spermatozoa yang terdapat di bagian kauda telah melewati proses pematangan di bagian kaput dan korpus epididimis, serta sudah memiliki kemampuan bergerak (motil) yang sama dengan spermatozoa dari ejakulat (Axner et al. 1998).

Keberhasilan proses kriopreservasi dari kauda epididimis telah dilaporkan pada berbagai spesies ternak oleh beberapa peneliti. Alvarez et al. (2009) membandingkan kualitas spermatozoa domba dari kauda epididimis dan ejakulat

(9)

yang di kriopreservasi menggunakan bahan pengencer Biladyl (Minitube, Germany) yang ditambah 20% kuning telur. Sampel diencerkan dengan Biladyl fraksi A pada temperatur 30 °C dan di ekuilibrasi pada temperatur 5 °C selama 2 jam, lalu diencerkan kembali dengan Biladyl fraksi B dan di ekuilibrasi kembali pada temperatur 5 °C selama 2 jam, kemudian dikemas pada straw. Proses pembekuan menggunakan Biofreezer yang di program pada 20 °C/menit untuk -100 °C dan 10 °C/menit untuk --100 °C sampai dengan -140 °C, kemudian dimasukkan ke dalam container N2 cair. Thawing dilakukan dengan cara

mencelupkan straw semen beku ke dalam water bath pada temperatur 37 °C selama 20 detik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas spermatozoa dari kauda epididimis setelah pembekuan lebih tinggi dibandingkan spermatozoa dari ejakulat.

Tebet et al. (2006) membandingkan pengaruh freezing dan thawing terhadap kualitas spermatozoa kucing dari kauda epididimis dan ejakulat. Metode kriopreservasi yang digunakan adalah sampel yang diperoleh di sentrifugasi (300 x g selama 10 menit), lalu supernatan dibuang dan pelet spermatozoa yang diperoleh diencerkan dengan bahan pengencer EYT (Ext2A) yang ditambah 7% gliserol, lalu dikemas pada straw dan diekuilibrasi pada temperatur 5 °C selama 60 menit, kemudian diletakkan pada uap nitrogen cair selama 20 menit (kurang lebih 6 cm dari permukaan nitrogen cair) dan kemudian segera dimasukkan dalam kontainer nitrogen cair. Thawing dilakukan dengan cara mencelupkan straw semen beku ke dalam water bath pada temperatur 42 °C selama 15 detik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada persentase motilitas, integritas membran plasma dan morfologi antara spermatozoa dari kauda epididimis dan ejakulat baik dalam keadaan segar maupun setelah pembekuan.

Monteiro et al. (2011) mempelajari kriopreservasi dan kemampuan fertilisasi spermatozoa kuda yang berasal dari kauda epididimis dan ejakulat. Prosedur kriopreservasi yang dilakukan adalah sampel yang diperoleh diencerkan dengan pengencer berbahan dasar skim milk (Botu-Semen TM, Botupharma, Brazil) dan disentrifugasi pada 600 x g selama 10 menit, lalu supernatan dibuang dan Pelet spermatozoa yang diperoleh diencerkan dengan pengencer berbahan

(10)

dasar kuning telur (Botu-Crio TM, Botupharma, Brazil), kemudian dikemas dalam 0,5 ml straw. Untuk selanjutnya straw disimpan dalam refrigerator temperatur 5 °C selama 20 menit, kemudian diletakkan pada uap nitrogen cair selama 20 menit (kurang lebih 6 cm dari permukaan nitrogen cair) dan kemudian segera dimasukkan dalam kontainer nitrogen cair. Thawing dilakukan dengan cara mencelupkan straw semen beku ke dalam water bath pada temperatur 46 °C selama 20 detik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa viabilitas dan fertilisasi spermatozoa dari kauda epididimis sama dengan spermatozoa dari ejakulat.

Fertilisasi In Vitro

Fertilisasi in vitro (FIV) dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan hidup spermatozoa, memudahkan pengamatan proses kapasitasi, penetrasi oosit dan perkembangan embrio awal, sekaligus meningkatkan pemahaman tentang fisiologi spermatozoa dari spesies tertentu. Selain itu, FIV dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan fertilisasi dari spermatozoa pada kondisi in vitro karena dapat mengevaluasi interaksi spermatozoa dengan oosit yang terjadi seperti halnya pada fertilisasi in vivo (Papadopoulos et al. 2005).

Pematangan Oosit secara In Vitro

Proses pematangan oosit merupakan transformasi oosit primer menjadi oosit sekunder matang yang ditandai dengan perubahan inti dari profase pada pembelahan meiosis pertama ke metaphase II (MII) dan disertai dengan perubahan yang kompleks dalam proses fosforilasi protein. Pematangan oosit meliputi pematangan sitoplasma dan inti yang merupakan proses yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan fertilisasi dan kompetensinya dalam mendukung perkembangan embrio selanjutnya (Dai et al. 1998).

Pembelahan meiosis pertama ditandai dengan pelepasan membran inti (Germinal Vesicle Break Down / GVBD), selanjutnya ekstrusi polar body I (PBI) dan pembentukan spindle meiosis kedua menunjukkan oosit matang yang diantaranya ditandai dengan sel-sel kumulus mengalami ekspansi. Selama proses pematangan oosit secara in vitro, ekspansi sel-sel kumulus dipengaruhi oleh

(11)

hormon gonadotrophin yang berguna dalam memfasilitasi pelepasan Cumulus Oocyte Complex (COC) dari dinding folikel, mempercepat terjadinya reaksi akrosom spermatozoa, meningkatkan kemampuan fertilisasi dan perkembangan embrio selanjutnya sehingga dijadikan sebagai kriteria pemilihan oosit yang akan digunakan untuk FIV (Gordon 2003).

Selama pematangan oosit secara in vitro, GVBD terjadi selama 3-12 jam dalam medium kultur. Meskipun terdapat adanya beberapa perbedaan dalam pembentukan PBI, proses pematangan oosit secara in vitro biasanya dilakukan selama 18-24 jam (Gordon 2003). Ward et al. (2002) melaporkan pada sapi bahwa setelah fertilisasi tahapan pematangan inti mempengaruhi perkembangan embrio selanjutnya dan persentase yang tinggi dari pembentukan pronukleus masih dapat diperoleh dengan lamanya waktu pematangan oosit 28 jam sebelum fertilisasi.

Medium dengan komposisi Tissue Culture Medium 199 (TCM-199), serum, yang ditambah dengan hormon gonadotrophin dan steroid (estradiol-17β) serta antibotik telah banyak digunakan dalam rangka memaksimalkan pematangan oosit (Goto & Iritani 1992). Penambahan serum ke dalam medium maturasi dapat meningkatkan pematangan inti dan pembentukan pronukleus. Medium maturasi tanpa penambahan serum hanya mampu mendukung terjadinya pematangan inti sedangkan pematangan sitoplasma tidak sepenuhnya teraktivasi (Setiadi 1999). Kombinasi penambahan hormon gonadotrophin dan steroid dalam medium maturasi dapat menyebabkan peningkatan persentase pematangan oosit (Accardo et al. 2004). Sedangkan antibiotik yang ideal untuk kultur oosit harus memiliki aktivitas antibakteri spektrum luas, terbebas dari toksisitas serta berfungsi mencegah pertumbuhan dan proliferasi mikroorganisme selama periode kultur (Gordon 2003).

Fertilisasi In Vitro

Secara biologis, fertilisasi melibatkan empat langkah penting yaitu: 1) spermatozoa yang akan membuahi, 2) penetrasi spermatozoa untuk menembus zona pelusida dari oosit, 3) fusi antara spermatozoa dan membran plasma oosit, dan 4) syngamy dimana genom kedua gamet bergabung membentuk genom embrio baru (Gardner 2007). Fertilisasi merupakan proses kompleks yang

(12)

menghasilkan penggabungan dua gamet, restorasi jumlah kromosom kromatik dan mulainya perkembangan suatu individu baru (Gordon 2003).

Prosedur fertilisasi in vitro (FIV) dilakukan pada medium yang diformulasikan menyerupai kondisi yang sebenarnya dari uterus untuk proses kapasitasi spermatozoa dan oviduk untuk pematangan oosit dan akuisisi kompetensi perkembangannya untuk fertilisasi (Elder & Dale 2003). Fertilisasi in vitro hanya dapat terjadi setelah didahului oleh proses kapasitasi spermatozoa. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit kembali mengalami pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina, sedangkan kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dan kemudian membentuk pronukleus jantan (Cleine 1996). Fertilisasi yang normal ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus, dua badan kutub, bentuk sel telur yang teratur dengan zona pelusida utuh dan sitoplasma jelas terlihat (Elder & Dale 2003).

Selama proses fertilisasi, spermatozoa mengalami perubahan fisiologis dan struktural termasuk perubahan motilitas, kapasitasi, reaksi akrosom, penetrasi serta kemampuan mengikat dan fusi dengan oosit (Elder & Dale 2003). Kapasitasi dan fusi dengan oosit melibatkan banyak perubahan morfologi, metabolisme dan fungsi spermatozoa kaitannya dengan kemampuan spermatozoa baik motilitas dan integritas membran untuk menembus zona bebas dari oosit sebagai faktor penentu dalam fertilisasi (Martinez et al. 1993).

Selama proses kapasitasi, protein yang melapisi spermatozoa sewaktu di epididimis dan plasma semen dihilangkan bersamaan dengan perubahan glikoprotein membran plasma spermatozoa agar dapat merespon sinyal dari oosit, pola motilitas, reactive oxygen species (ROS), penyerapan kalsium dan reaksi akrosom sehingga mampu mengikat dan menembus zona pelusida yang mengelilingi oosit melalui reseptor yang spesifik pada membran plasma (Fazeli et al. 1998). Sebelum menembus zona pelusida, spermatozoa harus menjalani reaksi akrosom. Reaksi akrosom merupakan peristiwa yang melibatkan beberapa fusi antara membran plasma dan membran akrosom bagian luar spermatozoa. Setelah penetrasi zona pelusida, kepala spermatozoa melintasi ruang perivitelline dan

(13)

melakukan fusi dengan membran oosit sehingga mendorong aktivasi oosit. Kegagalan fertilisasi terjadi karena rendahnya penetrasi spermatozoa untuk menembus zona pelusida (Plachot 2000).

Meskipun metode FIV memerlukan pengembangan kondisi medium kultur untuk mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa serta dukungan interaksi antar gamet, tetapi penggunaan metode ini sangatlah penting dengan keterbatasan jumlah straw yang dihasilkan dalam setiap koleksi spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis. Dengan metode FIV, di dalam satu straw semen beku memiliki kemampuan untuk membuahi ratusan oosit sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran materi genetik (Blash et al. 2000). Konsentrasi spermatozoa yang digunakan dalam metode FIV berkisar antara 0,5-5 x 106 spermatozoa/ml (Gordon 2003).

Aplikasi Spermatozoa dari Kauda Epididimis untuk FIV

Pemanfaatan spermatozoa dari kauda epididimis dalam aplikasi teknologi FIV telah banyak dilaporkan dan menghasilkan keturunan pada beberapa spesies. Graff et al. (1996) melaporkan kebuntingan diperoleh melalui FIV menggunakan spermatozoa dari kauda epididimis sapi tanpa proses kapasitasi. Herrick et al. (2004) melaporkan adanya penetrasi zona pelusida pada oosit setelah FIV menggunakan spermatozoa dari kauda epididimis kerbau yang diekstraksi setelah 4 jam kematian hewan dan dibekukan. Shaw et al. (1995) melaporkan tingkat pembelahan pada oosit kerbau setelah FIV menggunakan spermatozoa dari kauda epididimis yang disimpan pada suhu 4 °C selama 24 jam.

Jiang et al. (1991) melaporkan kelahiran anak babi melalui aplikasi teknologi transfer embrio menggunakan embrio yang diproduksi secara in vitro dengan oosit yang difertilisasi menggunakan spermatozoa dari kauda epididimis yang dibekukan. Rath & Niemann (1997) membandingkan penggunaan spermatozoa dari ejakulat dan kauda epididimis babi yang dikriopreservasi dengan bahan dasar pengencer kuning telur dan laktosa yang ditambah dengan gliserol 2%, diperoleh tingkat fertilisasi in vitro dan tingkat pembelahan sel dari spermatozoa kauda epididimis lebih tinggi dari ejakulat. Freistedt et al. (2001) menggunakan spermatozoa dari kauda epididimis kucing dan FIV untuk menguji

(14)

pengaruh musim dan efisiensi dari status ovarium untuk menghasilkan embrio. Blash et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi tingkat pembelahan dan perkembangan blastosis menggunakan spermatozoa dari epididimis dan ejakulat kambing yang dibekukan.

Kikuchi et al. (1998) mempelajari kriopreservasi dan kemampuan fertilisasi in vitro spermatozoa dari kauda epididimis babi yang disimpan pada temperatur 4 °C, diperoleh bahwa kriopreservasi spermatozoa dari kauda epididimis yang disimpan pada temperatur 4 °C selama 1-2 hari dapat digunakan untuk konservasi gamet jantan ketika spermatozoa dari kauda epididimis tidak dapat segera di kriopreservasi. Selanjutnya Kikuchi et al. (1999) mempelajari kemampuan kriopreservasi spermatozoa dari kauda epididimis babi yang disimpan pada temperatur 4 °C selama 1 hari melalui aplikasi teknologi inseminasi buatan dan fertilisasi in vitro, diperoleh bahwa dari 6 ekor induk yang di inseminasi, 3 ekor induk menunjukkan kebuntingan dan salah satu diantaranya melahirkan 2 ekor anak babi dalam kondisi normal. Sedangkan dari oosit matang yang sudah di fertilisasi in vitro kemudian di transferkan kepada 3 ekor induk resipien (200 oosit per resipien) menunjukkan 1 ekor induk terdeteksi bunting dan melahirkan 5 ekor anak babi dalam kondisi normal.

Kelahiran anak tikus melalui FIV juga telah dilaporkan menggunakan spermatozoa dari kauda epididimis dalam bentuk segar maupun yang dibekukan (Songsasen et al. 1997). Lacham & Trounson (1994) menunjukkan bahwa kemampuan fertilisasi in vitro spermatozoa dari epididimis tikus menurun secara signifikan dari caput, corpus dan kauda epididimis. Dilaporkan pula bahwa spermatozoa dari kauda epididimis tikus yang disimpan pada suhu kamar selama 15 dan 24 jam setelah kematian hewan dapat membuahi oosit secara in vitro (Songsasen et al. 1998). Selanjutnya, Kishikawa et al. (1999) melakukan koleksi spermatozoa dari kauda epididimis tikus post mortem yang disimpan selama 15 hari pada suhu 4 °C dan diperoleh hasil bahwa motilitas spermatozoa menurun dan memiliki kemampuan terbatas untuk membuahi oosit.

Referensi

Dokumen terkait

Kaitan ayat diatas dengan kinerja karyawan adalah ketika seorang karyawan melakukan suatu pekerjaan, mereka harus berkomitmen untuk bersungguh-sungguh dan ikhlas

Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang berbagai cara yang dilakukan guru dalam membudayakan agama siswa di sekolah sehingga para pengambil kebijakan

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sikap tentang diskon produk fashion terhadap pembelian impulsif pada pada Mahasiswi

Formulir Ijin Kerja yang kemudian diserahkan kepada Sub Bidang K2LH untuk diperiksa apakah lokasi pekerjaan sudah bersih dan sesuai dengan laporan pekerjaan!. Jika sudah sesuai,

jilid II, ketiga buku yang berjudul Balungan Gending-Gending Gaya Yogyakarta kumpulan Sogi Sikiddjo dan Dibyomardowo tahun 1976, keempat buku yang berjudul

Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui bahwa terdapat hubungan antara kelelahan kerja dengan produktivitas kerja pada tenaga kerja bongkar muat di Pelabuhan Bitung

Hasil penelitian disajikan mulai dari perencanaan laboratorium IPA, pengaturan penggunaan laboratorium IPA, evaluasi dan pengawasan penggunaan laboratorium IPA SMP Negeri

Penelitian dilaksanakan di gugus sekolah 1 dan 3 Kecamatan Sentolo dengan jumlah kepala sekolah 11 orang yang memiliki latar belakang heterogen jika dibandingkan dengan sekolah