• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG PEREMPUAN MENJADI WALI NIKAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELUANG PEREMPUAN MENJADI WALI NIKAH DI INDONESIA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Abdul Aziz, Umar Fauzi

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nurul Iman

Jl. Nurul Iman No. 01 Desa Waru Jaya RT: 01/01, Kec. Parung, Kab. Bogor Email: muheabdulaziz@gmail.com, umarfauzi@stai-nuruliman.ac.id

Abstract

This article tries to explain the answers to Islamic law related to the system of marriage guardians, especially female marriage guardians in the Muslim world. The majority of the Muslim world who follow the Maliki, Shafi'i and Hambali schools of thought assume that a marriage guardian must be from a man's side so that a marriage is not valid if it is carried out in the absence or without the presence of a male guardian. While there are also scholars who also think that men do not have to be a prerequisite and the legal harmony of a marriage, it means that a woman who is competent as a man can also be the validity of a marriage. This article also explains the meeting point of answers that the Indonesian people already have a reference to the formulation of their own marriage system, namely the Islamic Law Compilation and Presidential Instruction.

Keywords: Marriage Guardian, Marriage, Mazhab, KHI, Presidential Instruction

Abstrak

Artikel ini berusaha menjelaskan jawaban hukum Islam terkait bagaimana sistem wali nikah khususnya wali nikah perempuan di dunia muslim. Mayoritas dunia muslim yang menganut mazhab imam Maliki, Syafi’i dan Hambali beranggapan bahwa wali nikah musti dari pihak laki-laki sehingga tidak sah sebuah perkawinan jika dilaksanakan tidak ada atau tanpa kehadiran seorang wali laki-laki. Sementara ada juga ulama yang juga beranggapan bahwa laki-laki tidak musti menjadi syarat dan rukun sahnya sebuah perkawinan artinya bahwa seorang perempuan yang cakap sebagaimana cakapnya laki-laki juga bisa menjadi sahnya sebuah perkawinan. Artikel ini juga menjelaskan titik temu jawaban bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki acuan rumusan sistem perkawinan tersendiri yaitu dengan adanya Kompilsi Hukum Islam dan Inpres Presiden.

(2)

A. Pendahuluan

Perkawinan dalam Islam adalah sangat penting. Hal ini tampak pada banyaknya ayat-ayat ahkam yang terkait dengan perihal perkawinan pada khususnya dan perihal kehidupan keluarga pada umumnya. Hampir sepertiga ayat ahkam muamalah berisi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan, perceraian dan waris. Dan ketika diperhatikan hadits nabi yang berfungsi sebagai penjelasan lebih detail terhadap ayat-ayat tersebut akan ditemukan lebih banyak lagi hadits dimaksud. Dari ayat-ayat ahkam tentang perkawinan dan keluarga tersebut serta hadits-hadits yang terkait dengannya dapat dipahami bahwa tujuan adanya tata aturan tentang perkawinan adalah untuk mewujudkan hubungan harmonis antara suamiisteri di satu pihak dan antara orang tua dan anak di pihak lain dan selanjutnya menjaga kekekalan hubungan harmonis tersebut.

Kekalnya hubungan harmonis itulah yang akan menjadi modal utama mewujudkan keluarga yang baik dan kuat. Kemudian dari keluarga yang kuat dan baik itulah dapat dibentuk masyarakat yang baik dan kuat pula. Di sinilah jelas pentingnya soal perkawinan dalam Islam. Dalam pembahasan tentang perkawinan dalam Islam diantara hal yang menarik perhatian para fuqaha sejak zaman klasik sampai ulama kontemporer adalah wali nikah. Hal ini dikarenakan adanya beberapa ayat dan hadits yang oleh sebagian ulama diinterpretasikan sebagai mengharuskan adanya wali nikah dan karenanya nikah tidak sah tanpa adanya wali nikah. Sementara itu ulama lain menginterpretasikan ayat dan hadits tersebut sebagai tidak mengharuskan adanya wali nikah sebab keberadaannya hanyalah faktor penyempurna. Selain status wali nikah yang perlu diperhatikan adalah syaratsyarat wali dan siapa yang perlu perwalian.

B. Konstruksi Wali Nikah dalam Fikih

Perwalian dalam literatur fiqih Islam disebut al-wilȃyah kata wali berasal dari bahasa Arab yang dalam bentuk masdarnya adalah al-wali dan jamaknya adalah alawaliya kata al-wali merupakan kata dalam bentuk Isim Fa’il (orang yang melakukan) dan dengan ini, kata wali menurut bahasa dapat dapat diartikan sebagai orang yang menolong.1 Sedangkan Al-wilȃyah menurut terminologi fuqaha dapat difahami sebagai melaksanakan urusan orang lain. Orang yang mengurus atau

1 Abdul Hasan Rauf, Kamus Bahasa Melayu-Bahasa Arab; Bahasa

(3)

mengurusi atau mengunguasai sesuatu (akad/transaksi) inilah yang disebut wali.2 Maka wali dalam konteks pernikahan adalah orang yang mempunyai kuasa melakukakan akad perkawinan terhadap mereka yang ada dibawah kuasanya yang telah ditetapkan oleh syara’.3

Perwalian dalam pernikahan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri. Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuaidengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan ada juga yang khusus. Yang khusus, ialah berkenaan dengan harta benda. Disini yang dibicarakan wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam perkawinan.4 Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga, karena nikah sebagai salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai syariat yakni kemaslahatan dalam kehidupan.

Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dari atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki sesuatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan dia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan atau diwakilkan dengan walinya.5

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan wali ialah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi mengurus kewajiban anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu beranjat dewasa. Wali juga bisa diartikan sebagai orang suci penyebar agama dan wali adalah pelindung serta penolong.6

2 Musthofa al-khin, Kitab Fiqih Mazhab Syafi’i, Penerjemah Aziz Ismail dan M. Asri Hasim (Kualalumpur: Pustaka Salam, 2002), h. 622.

3 Muhammad Fauzi, UUD Keluarga Islam dalam Empat Mazhab: Pembentukan

Keluarga, (Selangor: synergmat, 2003), h. 7.

4 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1981), h. 7.

5 Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikh

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 69.

6 Frista Armanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lintas Media), h. 347.

(4)

Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.

1. Wali Nasab

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.7 Wali nasab urutannya adalah:

a. Ayah kandung b. Kakek

c. Saudara laki-laki seayah dan seibu (saudara kandung) d. Saudara laki-laki seayah

e. Anak laki-laki

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung g. Anak laki-laki dari saudara ayah

h. Saudara laki-laki ayah (paman)

i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu).8

Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas. Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.

2. Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:

a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali. b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.

c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.

d. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km. 7 Wahbah al-Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islȃmi, Juz I, (Damaskus: Dȃr al-Fikr, 1986), h. 163. Lihat Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Juz I, (Bandung: Pustakan Setia, 1999, h. 89.

8 Imam Nawawi al-Majmû’, Syarh al-Muhazddab, Juz 17, h. 312. Lihat, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyȃr fi Hilli Ghayah al-Ikhtisȃr, (Damaskus: Dȃr al-Khair, 1994), maktabah Syamilah.

(5)

e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai. f. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umrah.

g. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya). h. Walinya gila atau fasik.9

Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.

3. Wali Muhakkam

Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki.10 Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.

Mengenai sejauhmana peran aktif perempuan dalam akad nikah, sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan pendapat tersebut secara garis besar berkaitan dengan dua hal, yaitu pertama, apakah perempuan dapat menikahkan dirinya sendiri ataukah harus dengan perantara wali dan kedua, apakah perempuan dapat menjadi wali nikah atau tidak bisa. Perempuan yang dimaksud disini adalah perempuan dewasa, karena untuk anak yang belum dewasa baik laki-laki maupun perempuan, para ulama sepakat bahwa mereka harus melalui perantara wali apabila akan melakukan akad nikah.11

Jumhur ulama berpendapat bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Sehingga adanya wali 9 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al- Bayan, 1994), Cet ke1, l. 62.

10 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), h. 25.

11 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II, (Semarang: Maktabah wa Matba’at Toha Putera, t.t), h. 116.

(6)

perempuan merupakan suatu keniscayaan bagi syarat sahnya akad nikah. Sementara menurut Imam Malik keharusan adanya wali tersebut hanya bagi perempuan yang memilki status sosial yang tinggi (syarifah), sedangkan perempuan biasa dapat menikahkan dirinya sendiri atau meminta kepada seorang laki-laki dewasa (walaupun bukan kerabatnya) untuk menikahkan dirinya. Berbeda dengan mayoritas ulama, Abu Hanifah dan ulama Hanafiyyah secara umum berpendapat bahwa perempuan dewasa dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa campur tangan wali. Sehingga bagi mereka adanya wali dalam akad nikah tidak disyaratkan sama sekali. Sementara dari Dawud al Dzahiri membedakan antara gadis dan janda. Apabila janda maka dapat menikahkan dirinya sendiri sedangkan bila gadis harus dengan wali. MenurutAbu Tsaur sesungguhnya yang dipersyaratkan itu bukan adanya wali yang menikahkan tetapi izin dari wali.12

Sebagaimana perbedaan pendapat dalam hal apakah harus ada wali atau tidak, para ulama juga berpendapat apakah perempuan dapat menjadi wali atau tidak. Sebagaimana tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, menurut mayoritas ulama, perempuan juga tidak dapat menikahkan orang lain. Baik dengan cara dia menjadi wali atau menjadi wakil dari orang lain. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa disamping dapat menikahkan dirinya sendiri, perempuan juga dapat menjadi wali bagi anaknya yang belumdewasa atau menjadi wakil dari orang lain untuk menikahkan.13 Pernikahan yang sah sesungguhnya bukan didasarkan pada kewenangan wali, tetapi didasarkan pada persetujuan dari mempelai perempuan.14

12 Muhammad Ibn Isma’il al-San’ani, Subul al-Salȃm Syarh Bulugh al-Marȃm

min Adillat al-Ahkȃm, Juz II, (Ttp: Dȃr al-Fikr, t.t), h. 11.

13 Mereka antara lain berargumen dengan Hadits riwayat Ibnu Majah dan ad Daruquthni dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi bersabda: ةأرلما ةأرلما جوزت لا اهسفن ةأرلما جوزت لاو. Artinya: “Seorang perempuan tidak dapat menikahkan perempuan (lain) dan juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.”

14 Abu Hanifah mendasarkan pandangannya pada riwayat bahwa seorang perempuan telah menikahkan anak perempuannya dengan persetujuannya. Setelah para wali laki-lakinya mengetahui, mereka menolak pernikahan itu. Kemudian masalah itu dibawa kepada Ali bin Abi Thalib dan ia membolehkan dan menganggap perempuan tidak dapat menikahkan perempuan (lain) dan juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.

14 Abu Hanifah mendasarkan pandangannya pada riwayat bahwa seorang perempuan telah menikahkan anak perempuannya dengan persetujuannya. Setelah para wali laki-lakinya mengetahui, mereka menolak pernikahan itu. Kemudian masalah itu dibawa kepada Ali bin Abi Thalib dan ia membolehkan dan menganggap sah

(7)

C. Pendapat Ulama Tentang Wali Nikah

Ulama berbeda pendapat tentang status wali nikah dalam perkawinan. Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menyatakan bahwa wali adalah syarat sah perkawinan dan bahwa seorang wanita tidak boleh menikahkan diri sendiri. Dalam Kitab Subul al Salȃm alAsqalani mengutip pernyataan Ibnul Mundzir yang menyatakan “tak seorangpun dari sahabat nabi yang mempunyai pendapat berbeda (dengan pendapat Jumhur)”. Imam Malik juga mensyaratkan adanya wali khusus dalam perkawinan gadis dari keluarga terhormat, sedang bagi gadis dengan strata sosial rendah boleh menikahkan dirinya sendiri. Dan menurut ulama Dhahiriyah wali diperhitungkan sebagai syarat nikah hanya dalam perkawinan seorang perawan bukan bagi lainnya.15

Dengan demikian Jumhur Ulama mengatakan bahwa wanita itu tidak boleh melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Tetapi harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan seorang wali yang mewakilinya. Jika ada seorang wanita yang melaksanakan akad nikah (tanpa wali), maka akad nikahnya batal.16 Demikian yang dikatakan oleh mayoritas ahli fikih. Namun para ulama penganut madzhab Hanafi mengemukakan “seorang wanita boleh melakukan akad pernikahan sendiri, sebagaimana ia boleh melakukan akad seperti jual beli, ijarah (sewamenyewa), rahn (gadai) dan sebagainya”.17

Mayoritas ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat berhak bertindak melakukan segala bentuk transaksi dan sebagainya, termasuk juga dalam persoalan pernikahan, baik dia masih perawan atau janda, baik punya ayah, kakek dan anggota keluarga lainnya, maupun tidak, direstui ayahnya maupun tidak. Ia tetap mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki. Para penganut mazhab Imamiyah berargumen dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 232.

َّنُهَجَٰ َوۡز

َ

أ َنۡحِكنَي ن

َ

أ َّنُهوُل ُضۡعَت َلََف

pernikahan itu. Lihat Syamsuddin Sharakhsi, Mabsut, Juz V, (Beirût: Dȃr al-Ma’rifah, 1989), h. 10.

15 Al-San’ani, Subul al Salȃm, (Bandung: Dahlan, tt.), Juz 3, h. 118.

16 Tali Tulab, “Tinjauan Status Wali Dalam Perkawinan Berdasar Pendekatan Feminis”, ulul albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Oktober 2017, h. 157.

17 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 48-49.

(8)

Artinya: "Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka

kawin dengan bakal suaminya." (Al-Baqarah: 232).

Selain berpegang pada teks Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 232, para pengikut Imamiyah juga berpegang pada argumen rasional. Rasio menetapkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan penuh dalam bertindak, dan tidak ada seorang pun baik yang memiliki hubungan kekerabatan dekat maupun jauh dengannya yang memiliki kekuasaan atas dirinya dan memaksanya.18

Berbeda dengan mereka, ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Menurut mereka seorang wanita yang dewasa dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri atau anak perempuannya ataupun menjadi wakil dalam perkawinan. Akan tetapi bila lelaki yang dinikahi wanita itu tidak sepadan atau sebanding dengannya (kafaah), maka wali berhak menghalangi pernikahan tersebut. Hal ini karena menurut mereka wali dalam perkawinan hanya bersifat penyempurna dan anjuran bukan salah satu syarat sah perkawinan.

Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy'ari.

:.م.ص للهاا لوسر لاق :لاق امهنع لىاعت للهاا ضير هيبا نع سىوم بىا نع

ليوب لاإ حاكن لا

)نابح نباو ىذمترلا و نىي دلما نبا هحص و ةعبرلأا و دحمأ هاور(

Artinya: “Dari Abi Musa Al- Asy'ari dari Ayahnya ra berkata

Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu

Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hibban).19

Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah. Hadits diatas mengandung beberapa pengertian:

1. Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali, maka hukumnya batal 2. Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya

mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil. 3. Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak

ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim. Selain itu mereka 18 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2010,) h. 346.

19 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al- Bary, (Mesir: Mustafa Al- Baby Al- Halaby, 1959), Juz 11, h. 207.

(9)

berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.

Menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat: jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak bisa menikahkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan sendirinya tanpa restu seorang wali.20 Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik perawan maupun janda. Dengan syarat, orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil. Tetapi jika dia memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya.

Para ulama imam madzhab bersepakat bahwa nikah dikatakan sah apabila dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab kabul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. Dalam suatu pernikahan harus ada dua mempelai, ada wali, ada saksi, dan juga ijab kabul. Seorang wali dan saksi pun harus mempunyai syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat-syaratnya adalah beragama Islam, baligh, berakal, dan seorang laki-laki. Para ulama madzhab bersepakat bahwa pernikahan harus ada akad, yang mencakup ijab dan qabul antara kedua mempelai.

D. Konstruksi Wali Nikah dalam Perundang-Undangan Indonesia

Di dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan 20 Syihabuddin Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al Minhaj, Juz

IX, (Beirût: Dȃr al-Kutub al ‘Ilmiyyah, 1996), h. 102-103. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. Penerj. Masykur dkk, (Jakarta: Lentera, 2008), h. 345.

(10)

perkawinan bagi seseorang yang beragama Islam disebutkan bahwa akad nikah dilakukan oleh wali atau diwakilkan kepada PPN atau Pembantu PPN atau orang lain yang menurut PPN atau Pembantu PPN dianggap memenuhi syarat. Dalam pasal 23 disebutkan bahwa waktu akad nikah, calon suami atau wali nikah wajib menghadap PPN atau Pembantu PPN, dan dalam keadaan memaksa kehadirannya dapat diwakilkan oleh orang lain yang dikuatkan dengan surat kuasa yang disahkan PPN atau kepala perwakilan Republik Indonesia bila berada di luar negeri.21

Dengan adanya pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 melalui PMA No.2 Tahun 1990 telah memberikan ketentuan tentang perlunya wali nikah bagi calon mempelai wanita. Hal ini menjadi sangat penting karena dengan secara tegas di dalam bunyi pasal tersebut di atas telah disebutkan bahwa wali sendiri atau wakilnya (dalam keadaan memaksa) yang melaksanakan akad nikah bagi mempelai wanita. Kesemuannya itu menunjukkan suatu persamaan dengan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Islam, yaitu bahwa wali adalah melaksanakan akad nikah bagi seorang wanita.

Persamaan dan peraturan perundangan ini dengan ketentuan yang ada dalam Hukum Islam lebih jauh lagi ditunjukkan dari ketentuan mengenai perwakilan bagi wali nikah, meskipun untuk mengakad nikahkan mempelai wanita pada dasarnya wali nikah sendiri harus hadir, namun apabila dalam keadaan memaksa hal tersebut dapat dimungkinkan untuk diwakili oleh orang lain.22 Maka dengan demikian perwakilan dalam wali nikah juga didapati dalam peraturan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. l Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan masalah wali nikah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 antara lain dalam Pasal 11 disebutkan bahwa setelah perkawinana usai, maka kedua mempelai menandatangani akta nikah yang kemudian juga ditanda tangani oleh PPN dan wali nikahnya atau yang mewakilmya.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim dan Peraturan Menteri Agama No.4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Luar Jawa Madura dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.74.

22 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Cet Ke-II; Bandung: al-Bayan, 1995), h.62.

(11)

Di dalam Pasal 2 PMA No.2 Tahun 1987:

1. Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia temyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.23

2. Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

3. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita. Pasal 4 PMA No.2 Tahun 1987 menyebutkan :

a. Kepala KUA kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya masingmasing untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (l) peraturan ini.

b. Apabila di wilayah kecamatan, Kepala KUA kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama 62 Menteri Agama menunjuk wakil/Pembantu PPN untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya. Dengan demikian menurut Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1987 apabila wali nasab tidak ada, tidak diketahui tempat tinggalnya, sedang menjalankan hukumnannya, gaib, enggan untuk menikahkan, maka yang ditunjuk sebagai wali hakim yaitu semua Kepala KUA Kecamatan masing-masing diwilayahnya. Hal-hal tersebut diatas merupakan beberapa peraturan perundang-undangan dari Undang-Undang Perkawinan yang berkenaan dengan wali yang memberikan ijin untuk melangsungkan suatu perkawinan seka1igus menikahkan mempelai menurut ajaran agama Islam.

Di Indonesia sendiri siapa yang musti menjadi wali dalam perkwinan sudah dibakukan negara melalui Kompilasi Hukum Islam yang menjadi hukum positif Islam Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal-pasal tentang wali nikah secara tegas hanya ditujukan kepada laki-laki. Sebagaimana dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991

23 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 55.

(12)

tentang Kompilasi Hukum Islam, konsep wali nikah disebutkan sebagai berikut:24

Pasal 20

1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil, dan baligh. 2. Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab, b. Wali hakim.

Pasal 21

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara lakilaki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. 2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang

yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

4. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni samasama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 23

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

24 Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi

(13)

2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.25

Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1) menyebutkan secara tegas, bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil, dan baligh. Dengan demikian, meskipun kelompok wali nasab pertama, kedua, ketiga, dan keempat tidak ada, ibu tetap tidak mempunyai otoritas untuk menjadi wali nikah bagi anak perempuannya, dikarenakan wali nikah diberikan kewenangannya kepada wali hakim.

Di dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 6 ayat 2,26 ayat 1327 dan ayat 428 UU perkawinan menganggap bahwa wali adalah izin dari orang tua, itupun bila calon mempelai laki-laki maupun perempuan yang belum dewasa (di bawah 21 tahun), bila dewasa (dua puluh satu tahun ke atas) tidak perlu izin dari orang tua. Pada prinsipnya dalam hal perwalian yang paling urgen ialah kehadiran wali itu sendiri. Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia, wali nikah menjadi salah satu rukun nikah, tanpa wali perkawinan tidak sah.29 Sejalan dengan keharusan adanya wali maka prinsipnya wali nikah dalan

perundang-25 Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia, h. 22.

26 Untuk melangsungkan perkawinan seseorang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin orang tua.

27 Dalam hal seseorang dari orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidupatau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

28 Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknyamaka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

29 Kedudukan wali dalam nikah menurut hukum positif seperti dijelaskan dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa, yang untuk melaksanakan perkawinan harus ada; (1) Calon Suami, (2) Calon Isteri, (3) Wali nikah, (4) Dua orang saksi dan (5) Ijab dan Kabul. Pasal ini menjelaskan bahwa, apabila perkawinan tidak menghadirkan wali maka perkawinan itu dianggap tidak sah. Encep Ahmad Yani, “Peranan Wali Nikah Siri Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif di Indonesia”, Syntax Literate, Vol. 2, No.11 November 2017, h. 43.

(14)

undangan perkawinan Indonesia adalah wali nasab. Namun dalam kondisi tertentu posisi wali nikah dapat digantikan wali hakim.30

Masalah wali nikah merupakan salah satu hal yang mendapatkan respon cukup beragam di kalangan umat Islam, Perundang-undangan di berbagai negara muslim juga menunjukkan bahwa umat Islam cukup dinamis dalam memahami soal perwalian ini. Dalam perundang-undangan kontemporer dapat dibuat tipologi seperti berikut:31 (1) UU Tunisia menjelaskan bahwa wali nikah tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah. (2) UU Cyprus, izin wali diperlukan, akan tetapi tidak menjadi rukun atau syarat. (3) Membedakan antara gadis dengan janda, untuk Yordania dan gadis yang belum dewasa dengan gadis dewasa untuk Syiria dan Somalia, di mana untuk janda atau dewasa tidak perlu izin/persetujuan wali. (4) Meskipun wali harus ada namun begitu longgar untuk diganti wali hakim kalau sudah dewasa, seperti Lebanon dan Druze Lebanon; (5) Wali menjadi rukun nikah, yakni Brunei, Philipines, Maroko, Aljazair, Libya, Yaman dan Sudan; (6) Harus ada persetujuan mempelai, yaitu Brunei, Philipines, Druze Lebanon, Maroko, Aljazair, Libya, Cyprus dan Sudan; (7) Masih mengakui hak ijbar wali, yakni Maroko; dan (8) Dihukum bagi orang yang memaksa akad nikah, seperti Irak.

Dengan menggunakan tipologi ini Indonesia dan Malaysia berada di kelompok kelima, yang menjadikan wali sebagai rukun akad nikah, dan di kelompok keenam, yang mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai. Di samping itu, Malaysia juga berada di kelompok kedelapan, sama dengan Irak, yang menghukum orang yang memaksa. Sebagai tambahan, syarat sekufu masih mendominasi Negara-negara Timur Tengah untuk bolehnya seorang wanita dewasa menikah tanpa persetujuan wali nasab.

Masalah wali nikah di Indonesia yang terdapat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan dan PP No.9/1975 tentang pelaksanaan UU tersebut, ternyata belum didefinisikan secara eksplisit sebagai syarat dan rukun nikah. Akan tetapi hanya mengisyaratkan bahwa pernikahan yang tidak dihadiri wali atau tidak disetujui oleh wali, maka sebuah akad

30 Yakni: kalau tidak ada wali nasab; tidak mungkin menghadirkan wali nasab; tidak diketahui tempat tinggal wali nasab; wali nasab ghaib; wali nasab engan menikahkan. Lihat KHI pasal 23 ayat 1.

31 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap

Perundang-undangan Perkawinan Muslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 198.

(15)

nikah akan menjadi gugur.32 Pernikahan bisa dicegah oleh wali nasab atau wali pernikahan atau orang yang memberikan pengasuhan baik kepada perempuan ataupun laki-laki. Jika salah satu pasangan berada di bawah perwalian umum dan perkawinan bisa menyebabkan akibat negatif baginya, maka wali bisa mencegah terjadinya perkawinan.33

Dalam kedua peraturan tersebut juga disinggung batas minimal usia nikah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, dan harus ada ijin dari orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun.34 Istilah perwalian dalam UU ini bukan terkait dengan pernikahan, melainkan lebih pada hubungan antara orang tua atau wali dengan anak ampuannya dalam urusan harta benda.35 Adapun KHI dengan tegas memasukkan wali nikah sebagai salah satu rukun nikah yang dijelaskan dalam pasal 14: “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 4) Dua orang saksi 5) Ijab dan qabul. Selanjutnya, dalam pasal 19 disebutkan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.36 Dalam masalah penentuan rukun nikah ini KHI masih terlihat sangat Syafi’iyyah oriented. Karenanya bentuk eklektisme mazhab yang menjadi salah satu tujuan KHI belum nampak dalam pasal tersebut.

E. Peluang Perempuan Menjadi Wali Nikah di Indonesia

Nampaknya ayat yang menarik untuk dikaji dalam melihat geneologi keberadaan wali nikah khususnya dalam budaya Islam awal adalah sebuah ayat Q.S an-Nur [24]: 32

ْاوُنوُكَي نِإ ۡۚۡمُكِئ

ٓاَموَإِ ۡمُكِداَبِع ۡنِم َينِحِلََّٰصلٱَو ۡمُكنِم َٰ َمَََٰيَ ۡلۡٱ ْاوُحِكنَأَو

ٞميِلَع ٌعِسَٰ َو ُ َّللَّٱَو ۗۦِهِل ۡضَف نِم ُ َّللَّٱ ُمِهِنۡغُي َء

ٓاَرَقُف

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara

kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

(Q.S an-Nur [24]:32)

32 Lihat pasal 26 ayat 1 UU No.1/1974. 33 Lihat pasal 14 UU No.1/1974 48.

34 Lihat pasal 6 ayat 2-6 dan pasal 7 UU No.1/1974. 35 Lihat Bab X dan XI, Pasal 45-54 UU No.1/1974.

36 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 116-119.

(16)

Ayat diatas bisa diuraikan mengandung maksud sebagai berikut:

pertama, dari teks redaksi al-Quran ayat 32 dari Q.S al-Nur jika dikaji

berdasarkan pada kajian pembacaan bebas maka sebetulnya ayat tersebut berlaku universal baik laki-laki maupun perempuan. Ungkapan

ْاوُحِكن

َ

أَو

tidak mempunyai batas kekhususan perintah bagi laki-laki saja melainkan juga untuk wanita. Perintah mengawinkan itu tidak ada qarinah khusus bagi lakilaki yang pada gilirannya akan menjadikan seseorang laki-laki menjadi wali nikah. Perintah mengawinkan ini mempunyai kemungkinan diperintahkan juga bagi kaum perempuan yang nantinya bisa menjadi wali nikah juga.

Kedua, redaksi

ۡمُكِداَبِع ۡنِم َينِحِل ََّٰصلٱَو ۡمُكنِم َٰ َمََٰ َي

َ ۡ

لۡٱ

ditujukan untuk perempuan dan laki-laki. Tidak ada qarinah yang mewajibkan perempuan saja yang harus dinikahkan. Artinya bisa berarti kaum perempuan dan kaum laki-laki yang belum punya pasangan dinikahkan. Prioritas yang ada dalam ayat tersebut adalah

َٰ َمََٰ َي

َ ۡ

لۡٱ

.37 Al-Quran telah memberikan keterangan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal wali. Diberi walipun bagi mereka adalah khusus bagi mereka yang belum baligh atau belum bisa mengurus pribadinya. Meskipun tanpa wali, pernikahan sah tapi khusus mereka yang sudah bisa mengurus pribadinya.

Seseorang bisa memilih suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik ia perempuan perawan maupun janda. Tidak seorangpun mempunyai otoritas atas diri wanita yang sudah dewasa dan mampu mengurus urusan pribadi Mayoritas ulama terdahulu berpandangan bahwa (sesuai dengan konteks zamannya) perempuan dianggap sebagai orang yang kurang mampu dalam memlih pasangan yang tepat. Karena mereka akan mudah tertipu yang pada gilirannya hak-hak mereka akan terabaikan dan banyak mengalami kerugian. Untuk menghindari hal itu perlu ada wali yang dapat memilihkan pasangan yang sesuai atau setidaknya dapat dimintai persetujuan atau pertimbangannya.38 Demikian, maka penempatan perempuan dewasa 37 Yaitu orang yang masih sendiri, sehingga wajib diberi wali nikah tidak terbatas pada kaum wanita saja, melainkan juga untuk keduanya, yaitu kaum laki-laki dan perempuan yang belum bisa mengurusi urusan pribadi dan hartanya sebagaimana diperlakukannya seorang wali dalam Islam untuk mereka.

38 Dengan alasan yang sama, Abu Hanifah sendiri walaupun tidak mewajibkan, ia menganjurkan adanya wali (kerabat dekat) yang memberi pertimbangan kepada

(17)

sebagai orang yang berada di bawah perwalian dalam akad nikah sesungguhnya merupakan pandangan ulama yang kontekstual.

Dengan kata lain, pandangan ulama terdahulu telah menempatkan perempuan sebagai orang yang tidak sempurna kecakapan bertindaknya sehingga perlu berada di bawah perwalian. Lalu apakah kemudian menempatkan perempuan di bawah perwalian tersebut untuk masa sekarang merupakan kemashlahatan bagi mereka ataukah sebaliknya justru yang timbul adalah kemahdlaratan. Pada prinsipnya kemampuan bertindak seseorang itu diukur dengan kemampuan akalnya, dan kemampuan akal seseorang diukur dengan kedewasaannya.39 Hubungannya wali dengan kemampuan bertindak ini sangat erat. Apabila perempuan diposisikan sebagai orang yang kurang sempurna kecakapan bertindaknya maka perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, apalagi untuk menikahkan orang lain. Artinya perempuan tidak mungkin bisa menjadi wali, karena dalam pernikahannya sendiri dia harus menggunakan wali. Namun apabila dilihat bahwa kriteria orang yang memiliki kemampuan bertindak secara sempurna sebgaimana dikemukakan adalah manusia dewasa dan sehat akalnya, maka seseungguhnya perempuan dewasa juga dapat dipandang sebagai orang yang memilki kemampuan bertindak secara sempurna.

Kemudian apabila perempuan itu dianggap sempurna tindakannya maka ia tidak memerlukan wali dalam melakukan akad nikah, bahkan dia dapat menjadi wali bagi orang-orang yang memang patut berada di bawah perwaliannya seperti anak yang belum dewasa, orang gila dan orang yang kurang akalnya.40 Jadi, perempuan dewasa sebagaimana laki-laki dewasa dapat menjadi wali nikah. Hal ini tentu saja tergantung pada konteks masyarakatnya, sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa hukum dalam Islam dapat berubah dengan mempertimbangkan kemashlahatan sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Dengan demikian apabila adanya wali nikah bagi perempuan dalam suatu masyarakat itu masih mashlahah maka perlu dipertahankan, dan begitu

perempuan dewasa yang akan menikah. Lihat az-Zuhail, al-Fiqh al-Islȃmi, Juz VII, h. 192, 195, dan 188- 189.

39 Abd Wahab Khallaf, ‘Ilm Usul Fiqh, (Ttp: Dȃr Tawzi’ wa Nashr al-Islȃmiyyah, 1993), h. 95-96.

40 Orang yang patut berada di bawah perwalian dalam hukum perdata disebut dengan handelings onbekwm. Mereka antara lain adalah orang yang berada di bawah umur atau belum dewasa (belum 21 tahun), gila, pemabuk dan pemboros. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983), h. 117.

(18)

sebaliknya. Hanya saja fungsi wali tersebut pada dasarnya adalah sebagai pembimbing dan penasehat.

Melihat kontroversi fuqahȃ’ tentang kedudukan wali nikah, dapat ditarik benang merah tentang hakikat dibutuhkannya wali bagi perempuan. Wali dibutuhkan karena perempuan dianggap tidak mampu mengetahui kemashlahatan nikah dan akibat-akibatnya. Ketidakmampuan perempuan ini menurut pemikiran Hanafiyyah ada pada diri perempuan yang belum dewasa, sehingga mereka menjadikan ‘illat sighar (belum dewasa) sebagai alasan masih diperlukannya wali. Sementara fuqaha lain memandang ketidakmampuan perempuan itu berada pada diri perempuan yang masih perawan, meskipun sudah dewasa. Karenanya, mereka menjadikan bakarah sebagai ‘illat perempuan butuh wali untuk menentukan masa depannya.

Oleh karena dalil-dalil yang dipakai masih muhtamil (mengandung banyak kemungkinan), maka Ibnu Rusyd menawarkan pemikiran middle

road dengan memberi salah satu dari dua alternatif. Pertama, perwalian

bukan syarat sah nikah, tetapi para wali mempunyai hak hisbah (semacam pengawasan). Kedua, jika wali dijadikan syarat nikah, maka tidak tepat bila ditentukan sifat, jenis dan tingkatannya.41 Keberadaan wali nikah yang semua jenis dan tingkatannya dari jenis laki-laki perlu ditinjau kembali. Jika ‘illat perlunya wali bagi perempuan didasarkan atas ketidakmampuan dan kelemahan akalnya sehingga ia tidak mengetahui seluk-beluk dan akibat pernikahan, maka sifat-sifat tersebut tidak dapat diberlakukan kepada perempuan secara universal dan permanen.

Jadi, wali disini dipahami sebagai anggota keluarga baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang berkepentingan dengan pernikahan tersebut. Kedudukan wali disini pun tidak sebagai syarat dan atau rukun nikah, melainkan hanya sebagai kelompok yang selayaknya dimintai pertimbangan tentang terjadinya suatu pernikahan. Pemikiran semacam ini berdasarkan pemikiran tentang hakikat pernikahan, yang intinya adalah terjadinya kesepakatan dua pihak antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dengan melibatkan pihak lain untuk mengetahui terjadinya; bisa anggota keluarga dan bisa masyarakat lain. Keterlibatan pihak lain dalam pernikahan tidaklah berkaitan dengan urusan intern kesepakatan dua pihak, melainkan sebatas sebagai pengawas atau kontrol sosial saja. Meskipun pernikahan merupakan urusan pribadi dua

41 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Maqashid, Juz II, (Ttp: Syirkat al-Nur Asia, t.t.), h. 7-9.

(19)

pihak, namun bagaimanapun juga sebuah keluarga yang tercipta melalui pernikahan itu merupakan bagian intergral dari masyarakat luas.

Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, ketika sudah terdapat pengakuan akan kedudukan perempuan yang sama dengan laki-laki di masyarakat, selain juga perempuan sudah tidak mendapatkan pembatasan untuk mendapatkan pendidikan maupun berperan di wilayah publik, masyarakat yang hendak dibangun dan diperbarui Islam adalah masyarkat bilateral; masyarakat yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi egaliter, bukan masyarakat yang mengutamkan patrelineal dan bukan pula masyarakat yang mengutamkan matrelineal. Maka adalah bertentangan dengan zaman prinsip egalitarianisme saat ini jika masih tetap menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum dalam melakukan akad pernikahan

F. Penutup

Dari ulasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa madzhab dominan yang dianut umat Islam, terutama di Indonesia adalah bahwa pernikahan tidak sah apabila tidak ada atau tanpa persetujuan wali dari pihak perempuan. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa perempuan dianggap tidak mampu atau tidak cakap menjaga keselamatan dirinya, baik karena ia belum dewasa maupun karena tidak memiliki pengalaman. Pendapat lain, meski tidak dominan dan banyak dianut di kawasan Muslim lainnya, bahwa wali tidak menjadi syarat sahnya pernikahan. Wali hanya menjadi sempurna tidaknya sebuah pernikahan. Pendapat terakhir ini diperkuat dengan tidak adanya nash yang eksplisit dari al-Quran mengenai perwalian dalam pernikahan. Perwalian dalam al-Quran hanya meliputi anak yatim dan dalam pengurusan harta mereka. Dengan demikian, wali nikah bagi perempuan bukan saja tidak perlu dan lebih dari itu, perempuan dapat menikahkan dirinya sendiri.

Wali nikah dalam konteks keindonesiaan secara tegas melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) terlebih dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 mengatakan bahwa sahnya sebuah perkawinan hanya dan hannya jika yang menjadi wali nikahnya adalah laki-laki yang kemudian hingga saat ini menjadi rujukan dan pegangan dalam perkawinan di Indonesia. Adapun pandangan Imam Hanafi dan pengikut-pengikutnya yang menyatakan bahwa sah-sah saja jika seorang perempuan baik masih perawan ataupun sudah janda menikahkan dirinya atau menjadi wali nikah perempuan lain belum bisa diterima alias tidak bisa dipraktikkan di Indonesia.

(20)

Daftar Pustaka

Buku

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.

al-Haytami, Syihabuddin Ibn Hajar. Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al

Minhaj, Juz IX, (Beirût: Dȃr al-Kutub al ‘Ilmiyyah, 1996.

al-Husaini, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayat al-Akhyȃr

fi Hilli Ghayah al-Ikhtisȃr. Damaskus: Dȃr al-Khair, 1994.

al-khin, Musthofa. Kitab Fiqih Mazhab Syafi’i, Penerjemah Aziz Ismail dan M. Asri Hasim. Kualalumpur: Pustaka Salam, 2002.

San’ani, Muhammad Ibn Isma’il. Subul Salȃm Syarh Bulugh

al-Marȃm min Adillat al-Ahkȃm, Juz II. Ttp: Dȃr al-Fikr, t.t.

al-Sharakhsi, Syamsuddin. al-Mabsut, Juz V. Beirût: Dȃr al-Ma’rifah, 1989.

Zuhaili, Wahbah. Usûl Fiqh Islȃmi, Juz I. Damaskus: Dȃr al-Fikr, 1986.

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, Juz I. Bandung: Pustakan Setia, 1999.

Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Fauzi, Muhammad. UUD Keluarga Islam dalam Empat Mazhab:

Pembentukan Keluarga. Selangor: synergmat, 2003.

Ibnu Hajar, Al-Asqalani. Fath Al- Bary. Mesir: Mustafa Al- Baby Al- Halaby, 1959.

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983.

Khallaf, Abd Wahab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Ttp: Dȃr al-Tawzi’ wa al-Nashr al-Islȃmiyyah, 1993.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera, 2010.

Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan. Bandung: Al- Bayan, 1994.

Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap

Perundang-undangan Perkawinan Muslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.

Pasal 26 ayat 1 UU No.1/1974. Pasal 14 UU No.1/1974 48.

(21)

Bab X dan XI, Pasal 45-54 UU No.1/1974.

Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara,1999.

Rauf, Abdul Hasan. Kamus Bahasa Melayu-Bahasa Arab; Bahasa

Arab-Bahasa Melayu. Selangor: Penerbit Fajar Bakti, 2006.

Rusyd, Ibnu. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Maqashid, Juz II. Ttp: Syirkat al-Nur Asia, t.t.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Juz II. Semarang: Maktabah wa Matba’at Toha Putera, t.t.

..., Fiqh As-Sunnah. Bandung: PT Alma’arif, 1981.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana,

2007.

..., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikh Munakahat

dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.

W, Frista Armanda. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Lintas Media.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Jurnal

Tali Tulab, “Tinjauan Status Wali Dalam Perkawinan Berdasar Pendekatan Feminis”, ulul albab: Jurnal Studi dan Penelitian

Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Oktober 2017.

Encep Ahmad Yani, “Peranan Wali Nikah Siri Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif di Indonesia”, Syntax Literate, Vol. 2, No.11 November 2017.

Fakhrurrazi M. Yunus Dewi Arlina, “Pembatalan Nikah karena Nikah tanpa Izin Wali (Studi terhadap Putusan Mahkamah Syar’iyah Sigli Nomor 246/Pdt.G/2012/MS-Sgi)”, Jurnal Hukum Keluarga

dan Hukum Islam, Volume 1 No. 1. Januari-Juni 2017.

Nur Faizah, “Perundang-Undangan (Menelusuri Nilai-Nilai Filosofis dari Peran Wali Nikah)”, Proceedings Ancoms 2017, h. 167.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Volume air yang harus disediakan penduduk agar tidak mengalami kekurangan air adalah sebesar 27,13 m³/orang/tahun. Nilai ini berlaku untuk periode kering dengan periode ulang 23

kemampuan organisasi mencapai tujuan yang memiliki manfaat bagi organisasi yakni, meningkatnya kualitas sumber daya pengawasan, meningkatkan pengawasan terhadap

Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 200 meter persegi atau lebih, yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan

Pada sampel 16 juga memiliki nilai kelas kesesuaian lahan aktual adalah tidak sesuai dengan pembatas yakni pada keadaan perakaran yaitu tekstur tanah/ Nrc. Untuk

imunomodulator dengan menggunakan fraksi polar (etanol 70%) dari ekstrak etanol 70% kulit buah manggis, serta menggunakan berbagai konsentrasi yang mempunyai potensi

Indonesia merupakan negara yang menduduki peringkat ke-7 di dunia dengan populasi penderita DM terbanyak di bawah China, India, USA, Brazil, Rusia dan Mexico

Selain itu, manusia akan diminta pertanggungjawaban- nya kelak di hari kiamat baik bagi yang menyia-nyiakan ketiga potensi tersebut maupun bagi yang tidak memberikan keseimbangan

Target Audience dalam kampanye Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu Sungai Citarum lebih ditekankan kepada ibu-ibu berusia 30 sampai dengan 50 tahun yang dimana umur