BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kemenkes-RI, 2014).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Setiap Peserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan (Henry, 2014).
2.2. E-Katalog Obat
Sistem e-katalog Obat Generik adalah sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil, dan pabrik penyedia. Harga yang tercantum dalam e-katalog adalah harga satuan terkecil, dimana sudah termasuk pajak dan biaya distribusi. Pengadaan obat generik yang sudah termuat dalam katalog dilaksanakan melalui mekasisme e-purchasing, serta bersifat penunjukkan langsung oleh satuan kerja. Dengan adanya sistem e-katalog Obat Generik, selain dapat meminimalisasi penyimpangan, juga dapat memudahkan pihak pemerintah untuk lebih leluasa dalam memilih produk obat generik yang dibutuhkan. Selanjutnya, bagi Dinas atau Rumah Sakit yang ingin melaksanakan pengadaan obat generik juga tinggal memilih saja, karena harga dan spesifikasinya sudah jelas (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2.3. Diabetes Melitus Tipe 2 2.3.1 Definisi Diabetes Melitus 2
American Diabetes Association (ADA) 2006, mendefinisikan DM sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Corwin, 2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom hiperglikemia kronis karena kekurangan insulin relatif, resistensi, atau keduanya. Hal ini mempengaruhi lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia, diperkirakan akan mempengaruhi 370 juta pada tahun 2030 (Kumar & Clark, 2009).
Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) ini membentuk 90 - 95% dari semua kasus diabetes, dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin untuk bertahan hidup (American Diabetes Association (ADA) 2006).
DM tipe 2 dikarakteristik dengan adanya resistensi insulin dan kurangnya sekresi insulin, sekresi insulin secara progresif berkurang setiap waktu (Triplit et al., 2008). Risiko DM tipe 2 semakin bertambah seiring meningkatnya usia, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (ADA, 2012).
2.3.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Pada diabetes melitus Tipe 2 jumlah insulin normal atau mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor Insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan ini, jumlah insulin banyak tetapi reseptornya kurang maka glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit sehingga sel akan kekurangan glukosa dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat (Subekti, 2002).
Patogenesis diabetes mellitus tipe II dimulai dari resistensi insulin dimana penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia (Powers, 2005).Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor (Clare-Salzler, et al., 2007). Sedangkan pada gangguan sekresi insulin sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Penyebab defisiensi insulin pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa (Clare – Salzler, et al., 2007).
2.3.3 Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang diseluruh dunia menderita Diabetes melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini
menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat diseluruh dunia dimana 90% adalah jenis diabetes melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika , hal ini diakibatkan oleh tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24.417 responden berusia > 15 tahun, 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glukosa sebanyak 75 gram). DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah. Daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11,1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007).
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 202-30 (PERKENI,2011)
2.3.4 Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi Insulin pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi Insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes melitus tipe II. Menururt Smeltzer (2008) faktor resiko diabetes melitus antara lain :
a Usia
Umur manusia mengalami perubahan fisiologi yang menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes melitus sering muncul setelah usia lanjut terutama setelah berusia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
b.Obesitas
Lebih dari 8 diantara 10 penderita diabetes melitus tipe II adalah mereka yang mengalami kegemukan. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan makin resisten terhadap kerja Insulin, terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul didaerah sentral atau perut. Lemak ini akan memblokir kerja Insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.
c.Riwayat Keluarga (memegang peran besar)
Diabetes melitus diturunkan dari keluarga sebelumnya yang juga menderita Diabetes melitus, karena kelainan gen mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Tetapi resiko terkena diabetes melitus juga
tergantung pada faktor kelebihan berat badan, kurang gerak tubuh dan stres. Sekitar 50 % pasien diabetes melitus Tipe II mempunyai orang tua yang menderita diabetes, dan lebih sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang mengidap diabetes.
d. Kelompok Etnik
Beberapa ras tertentu, seperti suku Indian di Amerika, Hispanik dan orang Amerika di Afrika, memiliki resiko lebih besar terkena Diabetes Melitus tipe II. 2.3.5 Gejala Klinik Diabetes Melitus Tipe 2
Menurut Depkes RI (2005), diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes.
Adapun gejala-gejala khas Diabetes Mellitus secara umum adalah sebagai berikut (PERKENI, 2006) :
• Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Pasien dengan DM tipe II sering tidak bergejala. Namun, adanya komplikasi mungkin menunjukkan bahwa mereka memiliki DM selama beberapa tahun (Dipiro, 2008). Pada diabates melitus tipe II gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. Diabetes melitus tipe II seringkali muncul tanpa diketahui dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita diabetes melitus tipe II
umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).
2.3.6 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2
Diagnosis klinik DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM (Gustaviani, 2006). Beberapa peneliti menyarankan HbA1C (Hemoglobin A1C) sebagai salah satu uji diagnosa pada diabetes melitus (Powers, 2005).
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik untuk DM (ADA, 2010)
Kadar Glukosa Sewaktu Konsentrasi plasma glukosa ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Kadar Glukosa Puasa Konsentrasi plasma glukosa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Kadar Glukosa 2 Jam Post Prandial ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama TTGO
HbA1C ≥6,3 %
Adanya kadar glukosa darah meningkat secara abnormal merupakan kriteria yang melandasi penegakan diagnosis diabetes. Kadar gula darah plasma pada waktu puasa yang besarnya diatas 140mg/dL (7,8 mmol/L) atau kadar glukosa darah sewaktu yang diatas 200 mg/dL (11,1 mmol/l). Pada satu kali pemeriksaan atau lebih merupakan kriteria diagnostik penyakit diabetes (Smeltzer, 2001). Skrining untuk DM tipe II sebaiknya dilakukan setiap 3 tahun bagi orang yang
usianya ≥ 45, dan lebih sering bagi orang yang riwayat keluarga DM, obesitas, tanda-tanda resistensi Insulin dan jarang olah raga (Dipiro, 2008).
Gambar 2.1 Langkah-Langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi Glukosa (Suyono, 2011)
Keluhan klinis diabetes
Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)
GDP Atau GDS ≥126 ≥200 110-125 110-199 <110 ≥126 ≥200 ≥126 ≥200 GDP Atau GDS Ulang GDS atau GSP ≥126 ≥200 ≥126 ≥200 GDP Atau GDS TTGO 2 Jam ≥200 <140-199 <140 TGT GDPT Normal DIABETES MELITUS
- Evaluasi Status Gizi - Evaluasi Penyulit DM
- Evaluasi dan Perencanaan Makan sesuai Kebutuhan
-Nasihat umum -Perencanaan Makanan -Latihan Jasmani -Berat Idaman
- Belum perlu obat penurun glukosa GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
2.3.7 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2
Tujuan jangka pendek penatalaksanaan DM yaitu untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa. Sedangkan tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan menghambat progesivitas penyulit seperti mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Sementara tujuan akhir adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM (PERKENI,2011). American Diabetes Association merekomendasikan target kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes seperti yang terlihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Target Kontrol Glikemik (Powers,2005)
No Kriteria Target
1 HbA1C < 7,0 %
2 Glukosa Darah Puasa 5,0 – 7,2 mmol/L (90-130 mg/dl)
3 Glukosa Darah Post Prandial < 10 mmol/L (< 180 mg/dl)
Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005). Berikut ini Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 :
Gambar 2.2 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II ( Wells et al, 2006 ) Target A1C ≤ 6,5% Fasting SMBG < 110 mg/dL 2 jam PP SMBG < 140 – 180 mg/dL Intervensi awal Edukasi diabetes, nutrisi medis dan latihan jasmani
Target terpenuhi A1C setiap 6 bulan
Target Fasting SMBG PP tidak terpenuhi setelah 1 bulan Mulai monoterapi
(sulfonilurea atau metformin) atau dual terapi
Target terpenuhi Lanjutkan terapi A1C setiap 6 bulan
Target tidak terpenuhi setelah 3 bulan
Mulai dual terapi
Tambahkan agen oral ketiga atau exenatide jika A1C <8,5% atau beralih untuk terapi insulin ; pertimbangkan rujukan ke endokrinologi
Target tidak terpenuhi setelah 3 bulan monoterapi
Pilihan monoterapi awal : Metformin
Thiazolidindion Sulfonilurea Insulin
Pilihan monterapi lainnya : Nateglinide
Repaglinide Acarbose / Migitol
Pilihan dual terapi : Sulfonilurea + Metformin Metformin + Thiazolidindione Sulfonilurea / Metformin + Exenatide
Pilihan Kombinasi : Insulin Nateglinide / Repaglinide Acarbose / Migitol Target terpenuhi Lanjutkan terapi A1C setiap 6 bulan
A. Terapi nonfarmakologi 1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah: a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal. c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan pada DM tipe 2 telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa (Depkes RI, 2005).
2. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,
dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).
B. Terapi Farmakologi 1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel (Tjay dan Rahardja, 2007).
Macam-macam sediaan insulin: a. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular. b. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
c. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2007).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Berikut ini penggolongan obat antidiabetik oral :
Tabel 2.3. Penggolongan Obat Antidiabetik Oral (Depkes RI, 2005)
Golongan Contoh Sediaan Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Tolbutamid Klorpropamid Tolazomida Glibenklamid Glipizid Glikazid Glimepirid
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik.
Biguanida Metformin
Bekerja langsung pada hati (hepar),menghambat glukoneogenesis di hati dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
Meglitinid Repaglinid Merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas
Nateglinid Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas
Tiazolidindion Rosiglitazone Pioglitazone
Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin pada otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin Penghambat
enzim
alfaglukosidase
Akarbosa Miglitol
Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan yang mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Depkes RI, 2005).
-Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995). Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
- Sulfonilurea generasi kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2007). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif (Katzung, 2002).
Tabel 2.4 Golongan Sulfonilurea (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat Farmakologi
Farmakokinetik Farmakodinamik
Generasi Ke 2 Glikazid Dimetabolisme dihati dan
diskresi melalui ginjal. Lama kerja labih dari 12 jam dengan waktu paruh 10 jam (Dipiro,
2008).
Waktu Paruh : 10 jam
Dosis: oral 1-3 kali sehari 80-320 mg /hr, dosis maksimum: 320mg/ hari diminum setelah makan (DIH, 2009)
Mekanisme :
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik (Dipiro, 2008) Efek samping :
Gejala saluran cerna berupa mual,muntah dan diare (Edmond,2011).
Menyebabkan hipoglikemik (Schrenthaner et al, 2004) Glimepirid Durasi kerja sampai 24 jam,
dimetabolisme di hati menjadi metabolit inaktif (Dipiro, 2008).
Dosis: 1 kali sehari 1-4 mg, maks 6 mg sehari, sebelum makan. (DIH, 2009)
Mekanisme :
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik (Dipiro, 2008). Efek samping :
Gejala saluran cerna dan sakit kepala. Dibandingkan dengan Glibenklamid, Glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 2002). Glibenklamid Potensinya 200x lebih kuat
dari Tolbutamid. Durasi kerja sampai 24 jam, dimetabolisme di hati, dieliminasi ½ di ginjal dan ½ di feses (Dipiro, 2008). Waktu Paruh :
4 jam Dosis:
Permulaan 1 kali sehari 2,5-5 mg, bila perlu dinaikkan setiap minggu sampai maksimal 2 kali sehari 10 mg. Dosis tunggal harian sebesar 1 mg terbukti efektif dan dosis maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg (Katzung, 2010).
Mekanisme :
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik (Dipiro, 2008) Efek samping :
Gejala saluran cerna dan sakit kepala. Memiliki efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat (Soegondo, 2002). Kombinasi Obat :
Metformin digunakan sekali sehari sebagai mono terapi atau dalam bentuk kombinasi dengan insulin
Glipizid Durasi kerja sampai 20 jam, dalam darah 98% terikat protein plasma, potensinya 100x lebih kuat dari
Mekanisme :
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β
Tolbutamid. Dimetabolisme dihati menjadi inaktif, sekitar 10% diekresikan melalui ginjal dlam keadaan utuh (Dipiro,
2008).
Waktu Paruh : 2-4 jam
Dosis: 1 kali sehari 2,5-5 mg ½ jam sebelum makan., maksimal 3 kali sehari 15 mg
(DIH, 2009)
pankreasnya masih berfungsi dengan baik
Efek samping :
Edema, flu, hypertensi, aritmia, , migren, depresi. Jarang
menimbulkan Hipoglikemia dibandingkan gliburid, juga pada gangguan fungsi hati/ginjal pada orang usia lanjut (Taketomo, 2003). Kombinasi Obat : Metformin
Glikuidon Diabsorsi dari usus (95%) dan mencapai kadar maksimum dalam plasma setelah 2-3 jam.
Dosis : 1 kali sehari 15 mg pada waktu makan pagi (DIH, 2009)
Mekanisme :
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik (Dipiro, 2008) Efek Samping :
Hipoglikemia
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Depkes RI, 2005).
Tabel 2.5 Golongan Biguanid (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat Farmakologi
Farmakokinetik Farmakodinamik
Metformin Durasi kerja sampai 24 jam, tidak berikatan dengan protein plasma, tidak terjadi metabolism dan diekresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif (Sukandar dan Andrajati, 2009). Waktu Paruh :
3-6 jam.
Dosis : 3 kali sehari 500 mg atau 2 kali sehari 850 mg, bila perlu setelah 1-2 minggu perlahan-lahan dinaikan sampai maksimal 3 kali sehari 1 g. (DIH, 2009)
Mekanisme : Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas.
Efek Samping :
flu, palpitasi, sakit kepala, asodosis laktat, anoreksia, diare, dan gangguan penyerapan vitamin B12 (Taketomo, 2003).
Menyebabkan mual dan muntah, jarang menyebabkan hipoglikemia (Drug Facts & Comparison, 2005).
Kombinasi Obat :
Gliburid,Glipizid,Glibenklamid dan Rosiglitazon
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon (Depkes RI, 2005).
Tabel 2.6 Golongan Thiazolidinedion (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat Farmakologi
Farmakokinetik Farmakodinamik
Rosiglitazon Durasi kerja sampai 24 jam, di metabolisme di CYP2C8 dan 2C9 menjadi metabolit inaktif yang diekresikan di renal (Dipiro, 2008).
Waktu Paru : 3-4 jam
Dosis :
Bersama Metformin atau Sulfonilurea, 1-2 kali sehari 4 mg sebelum makan atau setelah makan (DIH, 2009)
Mekanisme :
Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin pada otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin Efek samping :
Nyeri punggung, sakit kepala, hiperglikemia, luka, sinusitis, anemia ketika digunakan bersamaan dengan metformin, udem ketika digunakan bersamaan dengan insulin (Dipiro, 2008).
Pioglitazon Durasi kerja sampai 24 jam, dimetabolisme di CYP2C8 dan 3A4, diekresikan melalui urin dan tinja (Dipiro, 2008).
Waktu Paruh : 16-24 jam Dosis :
1 kali sehari 15-30 mg sebelum makan atau setelah makan. Dosis awal yang direkomendasi
Mekanisme : Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin pada otot, jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin Efek Samping :
Udem, sakit kepala, hipoglikemia, sinusitis, gangguan gigi , ISP.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2007).
Tabel 2.7 Golongan Penghambat α-Glukosidase (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat Farmakologi
Farmakokinetik Farmakodinamik
Akarbose Durasi kerja sampai 1-3 jam, Di Absorpsi <2% dimetabolisme disaluran cerna oleh bakteri intestinal dan enzim pencernaan, dieliminasi di empedu (Dipiro, 2008).
Dosis : permulaan 3 kali sehari 50 mg, bila perlu dinaikkan setelah 1-2 minggu sampai maksimal 3 kali sehari 100 mg. Dianjurkan untuk diberikan bersama suap pertama setiap kali makan. (DIH, 2009)
Mekanisme :
Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan yang mencerna karbohidrat,
sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah
Efeksamping :
sakit kepala, vertigo, Urticaria, Erytema, diare, perut kembung, nyeri, dan hepatitis (Taketomo, 2003)
Obat Kombinasi : Acarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan Sulfonilurea, Metformin,atau Insulin(Soegondo, 2002) Miglitol Durasi kerja sampai 1-3 jam,
dieliminasi di renal (ISO
Mekanisme :
enzim-Farmakoterapi, 2009).
Dosis : Permulaan 3 kali sehari 50 mg sebelum makan, berangsur-angsur dinaikan dalam waktu 4-12 minggu menjadi dosis pemeliharaan 3 dd 100 mg (DIH, 2009).
enzim pencenaan yang mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah
Efek samping :
Sama dengan Akarbose, tetapi resorpsinya dari saluran cerna jauh lebih baik. Karena itu efek sampingnya mengenai gangguan lambung usus lebih sedikit (Jansman FGA 1997).
e. Golongan Meglitinid
Obat-obat antidiabetik oral golongan glinida ini merupakan obat antidiabetik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa antidiabetik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat antidiabetik golongan meglitinid dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya (Depkes RI, 2005)..
Tabel 2.8 Golongan Meglitinid (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat Farmakologi
Farmakokinetik Farmakodinamik
Repaglinid Durasi kerja sampai 4 jam, dimetabolisme di CYP 3A4 menjadi metabolit inaktif, diekresikan disaluran empedu
Mekanisme:
Merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas
(Sukandar dan Andrajati 2009). Waktu Paruh :
1 jam.
Dosis : 3-4 kali sehari 1-2 mg ½ jam sebelum makan (DIH, 2009).
Hipoglikemia dan gangguan saluran pencernaan
(Soegondo, 2002).
Nateglinid Durasi kerja sampai 4 jam, diabsorbsi dalam waktu 20 menit setelah pemberian oral, dimetabolisme disitokrom P450 2C9 dan 3A4 menjadi metabolit aktif lemah, dieliminasi di ginjal (Dipiro, 2008).
Waktu Paruh : 1 jam
Dosis : 3 kali sehari 60 mg sebelum makan, maksimal 3 kali sehari 180 mg (DIH, 2009).
Mekanisme:
Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas Efek samping :
Hipoglikemia dan gangguan saluran pencernaan (ISPA) (soegondo,2002).
2.3.8 Kejadian Efek Samping Obat Antidiabetik Oral A. Hipoglikemia
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena ketidak seimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap, berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang kesadaran (Nabyl, 2009).
Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta koma. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 1-2-4% kematian pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia (PERKENI, 2011).
B. Peningkatan Berat Badan
Penelitian menunjukkan peningkatan berat badan berasosiasi dengan penggunaan insulin baik sebagai monoterapi ataupun dikombinasikan dengan Obat Hipoglikemik Oral. Faktor yang berperan dalam peningkatan berat badan karena pemakaian insulin yaitu interaksi antara perbaikan kontrol glikemia dan penurunan glukosuria, penekanan produksi glukosa hepatik, efek anabolik yang meningkatkan deposisi lemak dan peningkatan asupan makanan untuk mencegah hipoglikemia (Gonza’lez dan Serrano, 2007).
C. Reaksi imunologi
Reaksi imunologi terhadap insulin dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (PERKENI, 2011). Komponen non insulin seperti berbagai pengotor, pengawet (metakresol) atau agen yang digunakan untuk menghasilkan aksi yang panjang (zinc, protamin) dapat bertindak sebagai allergen (Radermocker et al, 2007).
D. Mual dan Muntah
Mual didefinisikan sebagai sensasi tidak menyenangkan pada epigastrium yang disertai kemerahan, takikardi dan kesadaran dari dorongan muntah. Sedangkan muntah atau emesis dikarakteristikkan dengan kontraksi otot abdomen, penurunan diafragma, dan pembukaan kardia lambung yang menghasilkan pengeluaran dari isi lambung melalui mulut (Garrett et al. 2003).
E. Diare
Penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah (WHO,2005). 2.3.9. Efektivitas Terapi (Outcome Klinik)
Outcome klinik adalah peristiwa medis yang terjadi sebagai akibat dari kondisi atau pengobatan yang diberikan. Outcome digunakan untuk membantu pasien, payers, dan providers untuk membuat pilihan pengobatan yang rasional berdasarkan pengetahuan terbaik karena efek dari pilihan ini akan menentukan hidup pasien (Coons, 2005).
Suatu obat diharapkan bekerja secara efektif dengan efek samping seminimal mungkin. Sekecil apapun efek samping tersebut jika ada yang membahayakan. Belum adanya penelitian mengenai gambaran kejadian efek samping terapi obat antidiabetik oral pada pasien JKN dan non JKN. Gambaran kejadian efek samping dijabarkan dengan nilai presentase terjadinya efek samping selama pasien menjalani rawat jalan (Coons, 2005).