Dr. Arief Gusnanto
Department of Statistics University of Leeds
Sebelum kuliah umum ini, saya telah meminta anda untuk mengisi survey.
Total 1.222 orang berpartisipasi dalam survey ini.
Salah satu pertanyaan: “Ketika mendengar kata ”Statistika”, tulis SATU kata saja yang muncul di pikiran anda?”
Sekitar 700 orang (≈ 57%) menjawab Data (dalam berbagai ‘versi’) Berikutnya: Angka (92), Hitungan (87), dan Grafik (84)
Ada juga yang menjawab Mudah, Menarik, Menyenangkan, Penting, Indah, dan Solusi
Juga, ada yang menjawab Susah, Sulit, Susah bangett, Rumit, dan Takut
Saya ingin sampaikan di kesempatan ini: Yang penting adalah pola berpikir statistika, dan anda akan menemui bahwa statistika itu “alamiah” (fitrah)
Seandainya anda berangkat ke kampus setiap hari jam 7 pagi. Selalu memakai moda transportasi yang sama (misal ‘angkot’) Mengambil rute yang sama.
Dalam 10 hari, ada mengamati bahwa anda sampai kampus jam: 7.25, 7.19, 7.38, 7.28, 7.40, 7.27, 7.33, 7.27, 7.35, 7.14 Apabila anda ditanya “Jam berapa anda biasanya sampai kampus?” Tanpa melakukan ‘perhitungan’, anda mungkin menjawab
Statement tersebut menandakan bahwa anda mengakui ada waktu “utama” untuk sampai di kampus
Ada ketidak-pastian dalam waktu sampai di kampus Ketidak-pastian ini dua ‘arah’
Statistika, secara prinsip hanya mencirikan/menggambarkan ketidakpastian ini
Sehingga ketika anda mengambil keputusan berdasarkan informasi ini, anda bisa menimbang peluang salah dalam mengambil keputusan
Mengapa kita perlu menimbang peluang salah dalam mengambil keputusan?
Karena ada standard yang harus dijaga Tanpa standard, dunia ini akan kacau Misal, anda bepergian naik pesawat terbang
Tapi pembuat pesawatnya menyatakan ”silahkan naik pesawat kami, tapi kami tidak tahu peluangnya bisa terbang”
Contoh lain, anda perlu pupuk untuk lahan pertanian anda
Produsen pupuk menyatakan, ”kami tidak tahu akibat/dampak dari penggunaan pupuk ini”
Masih dalam konteks Covid-19, anda memerlukan vaksin
Produsen vaksin menyatakan, ”kami tidak tahu apakah vaksin kami mampu meningkatkan imun tubuh untuk melawan virus”
Pengambilan keputusan itu biasanya dilakukan di pengujian hipotesa Pengujian hipotesa itu tidak lain hanya untuk mengetahui apakah yang anda amati itu bermakna
Misalkan, apakah 1 meter itu lebar? Seberapa lebarkah ”lebar” itu?
Untuk paman saya yang ahli membuat helikopter Puma dan Super Puma, 0.7 mm sudah dianggap lebar
Untuk seorang petani dengan lahan 20 hektar, 1 meter belum tentu lebar
Dari hasil survey, 989 (82%) merupakan lulusan sekolah negeri dan 215 (18%) swasta
Data dari Kemendikbud, kurang lebih 58% siswa SMA di SMA negeri, 42% di SMA swasta
Apakah perbedaan persentase ini bermakna? Kalau bermakna, apakah artinya?
Perbedaan ‘akses’ ke IPB atau kinerja mahasiswa lulusan SMA Negeri lebih baik, atau yang lain?
Seandainya kita melihat pola berikut:
Negeri Swasta
Nasional 6000 4000
IPB 600 400
Apakah anda yakin?
Misalkan sekarang anda mengamati pola berikut:
Negeri Swasta
Nasional 6000 4000
IPB 601 399
Sekarang kita melihat pola berikut:
Negeri Swasta
Nasional 6000 4000
IPB 610 390
Apakah anda yakin? Berikutnya:
Negeri Swasta
Nasional 6000 4000
IPB 650 350
Pertanyaannya: Pada ”titik” mana, anda mulai meyakini bahwa terjadi over-representation lulusan SMA Negeri di IPB?
Pada ”titik” ini, perbedaan itu menjadi bermakna
Secara prinsip, statistika juga berfungsi untuk menimbang apakah yang kita observasi itu lebih ”dekat” kepada ketidakteraturan (acak) atau keteraturan (pola)
Berikut rangkumannya:
> summary(tinggi)
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max. NA’s 15.0 156.0 161.0 161.9 168.0 259.0 4 Frequency 0 20 40 60 80 120
Semua hal ini didasarkan atas peluang dan sebaran
Sebaran ini ”mendalilkan” bahwa data yang kita observasi mengikuti pola tertentu (secara sebaran)
Ketika ada pengamatan yang peluangnya muncul sangat kecil berdasarkan pola tersebut, kita patut ”curiga”
Berikut hasilnya:
Saudara 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah 72 427 388 225 70 17 5 2 2 2
Yang anda tidak lihat, ada dua orang yang menulis jumlah saudara kandungnya 21 dan 24 orang
Statistika bisa menuntun anda untuk mengenali pola data tersebut Berdasarkan pola tersebut, apakah pengamatan 21 dan 24 orang saudara kandung memungkinkan?
Terakhir, ketika kita bicara pola berpikir statistika, kita tidak boleh terlepas dari konteks permasalahan
Seringkali budaya, adat istiadat, kepercayaan, atau latar belakang lainnya bisa mempengaruhi atau menjelaskan pola yang kita lihat Di seluruh dunia, proporsi dari orang yang kidal adalah 10-11% Dari hasil survey, ada 23 orang dari 1.222 yang kidal (1.8%) Ini harus kita sikapi dengan hati-hati
Mengapa proporsi orang kidal lebih kecil di Indonesia (c/q IPB)? Dugaan saya, ada “tekanan budaya”
Tangan kiri diasosiasikan dengan hal yang kurang baik
Di luar negeri, orang kidal di banyak negara tidak menerima tekanan budaya
Data adalah informasi
Ada di seluruh area dan cabang keilmuan/aplikasi Bahkan ada di sekeliling anda
Di era Industri 4.0 ini “hasrat” anda pun menjadi data
Ketika anda berhasrat untuk naik ojek (online), dan mengklik aplikasi, aplikasi anda langsung meregister ”hasrat” anda
Tidak ada situasi atau bidang area yang tidak menghasilkan data Semua itu berusaha “memberi tahu” kita tentang apa yang telah atau sedang terjadi
Data ini menjadi the new oil sekarang
Tapi, cara kita menyikapinya tidak kalah penting Pola berpikir kita menjadi krusial
Untuk bisa “menangkap” what the data are trying to say
H.G. Wells: Statistical thinking will one day be as necessary for efficient citizenship as the ability to read and write.
Data hasil survey ini akan tersedia untuk anda (lewat koordinator mata kuliah)
Saya mengundang anda untuk melihatnya, bagaimana data riil diperoleh dan diolah pertama kali