• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kerangka Teoritis II.1.1 Definisi

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.

Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis. 7

II.1.2 Insidensi

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.2

Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi. 1

(2)

Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui

epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.4

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. 4

Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis. 4

Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).5

Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di Taiwan.6

Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih tinggi di negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal ini antara lain:

 Kondisi jalan yang buruk

 Berkendara melewati batas kecepatan

 Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam mobil Gambar 1. Epidemiologi paralisis dan cedera medula spinalis di Amerika Serikat 4

(3)

 Korupsi dan suap yang melingkupi implementasi regulasi lalu lintas

 Volume kendaraan yang berlebih

 Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan bekerja

 Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan jembatan6

II.1.3 Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

 Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and

Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula

spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.

 Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.8

II.1.4 Patofisiologi9

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.

(4)

Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.

Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger

Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula

spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.

Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya

lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.

Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase,

protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari

aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel.

Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder.

Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang

(5)

signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.

Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.

Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas (large stab)

Gambar 2. Gambaran skematik dari tiga lesi stereotipik dari sistem saraf pusat: lesi mikro (A), lesi kontusif (B) dan lesi tusukan yang besar (C). Pada semua tipe, makrofag menginvasi lesi tersebut dan baik chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs) diregulasi naik. A. Kesejajaran astrosit tidak terganggu, tetapi akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi. B. Selaput otak tidak rusak, tetapi kavitasi pada episentrum dari lesi tersebut dan deposisi proteoglikan terjadi. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi, tetapi akson yang masih baik dapat ditemukan distal dari lesi. C. Lesi tusukan yang menembus selaput otak dan mengizinkan invasi fibroblast dan makrofag. Akson direpulsi secara tinggi oleh peningkatan gradien dari CSPGs dan KSPGs. Beberapa molekul inhibitor lainnya juga dihasilkan pada jenis cedera ini dan secara khusus prevalen pada inti lesi. ECM= extracellular matrix

(6)

Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan

sulfate proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag menginvasi lesi

tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darah-otak terganggu, tetapi selaput darah-otak masih utuh.

Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari penumbra menuju pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.

II.1.5 Klasifikasi

Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

 Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

 Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

 Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

 Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

 Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)10

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat. 10

Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada segmen sakral yang paling rendah. 10

Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan penyembuhan

(7)

jauh lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit. Menyusul terjadinya cedera medula spinalis, terdapat beberapa pola cedera yang dikenal, antara lain:

Sindroma korda anterior

Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra. Sindroma korda sentralis

Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.

Sindroma korda posterior

Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen posterior dari vertebra.

Sindroma Brown-sequard

Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan

hemiseksi dari medula spinalis. Sindroma konus medularis Sindroma kauda ekuina6

Gambar 3. Potongan melintang dari korda spinalis, menunjukkan sindroma cedera medula spinalis parsial

(8)

Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa grade menurut Frankel. 6

Frankel A; kehilangan fungsi motorik dan sensorik Frankel B; ada fungsi sensorik, motorik tidak ada Frankel C; fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi Frankel D; fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna

Frankel E; fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal

II.1.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual.6

II.1.6 Penatalaksanaan

Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei sekunder.11

Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.2

Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam atau 48 jam secara infusan. 2

Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%.2

(9)

Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut. 2

Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi. Optimisme yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa dari cedera medula spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis. 11

Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus dipelajari baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan

olfactory ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.12,13

Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma penanganan cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi dekompresi masih menuai banyak kontroversi. 11

Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula spinalis, deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari subjek yang potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis dengan

follow up jangka panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan memberikan

gambaran perkiraan dari insidensi dan prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran kecenderungan, dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang. 1

(10)

II.2. Kerangka Konsepsional

II.3. Definisi Operasional

1. Cedera medula spinalis traumatik

Cedera medula spinalis traumatik yaitu lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis yang tercatat di rekam medik pasien. 2. Usia.

Usia penderita sesuai dengan yang tercantum di dalam rekam medik penderita, untuk mengetahui distribusi kasus cedera medula spinalis pada usia tertentu.

3. Jenis kelamin

Jenis kelamin sesuai dengan yang tercantum di dalam rekam medik pasien, untuk mengetahui distribusi kasus cedera medula spinalis berdasarkan jenis kelamin.

4. Riwayat pengobatan

Merupakan riwayat perawatan pasien sebelum datang ke RSUP Haji Adam Malik Medan, baik pengobatan medis maupun alternatif sesuai dengan yang tercantum di dalam rekam medik.

5. Lamanya datang

Lamanya pasien datang adalah waktu yang diperlukan dari awal kejadian hingga pasien datang ke RSUP. Haji Adam Malik Medan sesuai dengan yang tertera di rekam medik.

6. Etiologi

Etiologi atau penyebab dari cedera medula spinalis pada penderita didapatkan dari anamnesis yang tertera di rekam medik.

7. Tingkat keparahan C Ceeddeerraammeedduullaa s sppiinnaalliissttrraauummaattiikk K Kaarraakktteerriissttiikk 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Lamanya datang 4. Riwayat pengobatan 5. Etiologi 6. Tingkat keparahan 7. Level cedera neurologi 8. Jenis tindakan

9. Lama rawatan 10. Status pulang

(11)

Tingkat keparahan dari cedera medula spinalis yang diderita oleh pasien dibagi menjadi beberapa tingkat sesuai dengan grading dari Frankel yang tercantum di dalam rekam medik yaitu

Frankel A; kehilangan fungsi motorik dan sensorik Frankel B; ada fungsi sensorik, motorik tidak ada Frankel C; fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi Frankel D; fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna

Frankel E; fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal 8. Level cedera neurologis

Level cedera neurologis merupakan level neurologis yang paling kaudal di mana fungsi sensorik dan motorik masih intak yang tercantum di dalam rekam medik.

9. Jenis tindakan

Jenis tindakan meliputi tindakan operatif atau konservatif yang diterima oleh pasien selama perawatan.

10. Lama rawatan

Lama rawatan merupakan periode waktu mulai dari pasien menjalani rawat inap sampai pulang sesuai dengan tanggal yang tercantum di rekam medik.

11. Status pulang

Status pulang merupakan cara pasien pulang dari RSUP Haji Adam Malik Medan setelah menjalani perawatan, yang bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu

 Pulang paksa

 Pulang berobat jalan

Gambar

Tabel 1. Dampak ekonomi dari cedera medula spinalis 3
Gambar 1. Epidemiologi paralisis dan cedera medula spinalis di Amerika Serikat  4
Gambar 2. Gambaran skematik dari tiga lesi stereotipik dari sistem saraf pusat: lesi mikro (A), lesi kontusif (B)  dan  lesi  tusukan  yang  besar  (C)
Gambar 3.  Potongan melintang dari korda spinalis,  menunjukkan  sindroma  cedera  medula  spinalis  parsial

Referensi

Dokumen terkait

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.. Prinsip Dasar

Hasil studi mendukung Hipotesis Umum 1 (Artikel ke-1) bahwa “Tekanan ekonomi keluarga berpengaruh secara tidak langsung pada kenakalan pelajar melalui gaya pengasuhan yang

Analisis total asam dilakukan dengan menitrasi (iltrat dari buah yang telah ditambahkan indikator phenolphthalein +** dan dititrasi dengan a/! sampai

Kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, menjadi acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sistem kesehatan dalam kaitannya dengan sistem penyembuhan atau

Selain itu Pemekaran daerah juga dapat diartikan sebagai pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya, pembentukan

Pendidikan pasien dan keluarga membantu pasien berpartisipasi lebih baik dalam asuhan yang diberikan dan mendapat informasi dalam mengambil keputusan tentang

Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan komposisi media tanam dengan dosis pupuk NPK terhadap pertambahan diameter batang bibit tanaman