• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka

2.1.1 Definisi Stroke

Menurut Perdossi (2011) stroke merupakan suatu kejadian dimana fungsi sebagian atau fungsi seluruh neurologis yang meliputi defisit neurologik fokal maupun global yang memiliki onset terjadi secara mendadak dan berlangsung lebih dari 24 jam serta dapat menimbulkan kematian yang dimana disebabkan adanya gangguan pada aliran darah di otak dikarenakan suplai darah yang menurun atau terjadinya pembuluh darah yang pecah di otak yang terjadi secara tiba-tiba.

Stroke merupakan cedera otak yang diakibatkan adanya pasokan yang kurang dalam vaskuler otak yang dinamakan iskemia (hemorragik) dan jika terjadi pecahnya pembuluh darah di otak dinamakan stroke perdarahan (Lumbantobing, 2003).

Menurut Gofir (2009) definisi stroke dijadikan tiga poin penting yaitu pertama disebabkan oleh gangguan vaskuler di otak, kedua adanya kerusakan otak fokal maupun global, kelainan saraf yang bersifat mendadak.

2.1.2 Stroke Perdarahan Intraserebral 2.1.2.1 Definisi dan batasan

Stroke perdarahan intraserebral merupakan subtipe dari stroke. Stroke sendiri didefinisiskan oleh WHO sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda klinis fokal atau global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredarah darah di otak. Termasuk disini adalah perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan infark serebri. Yang tidak termasuk dalam gangguan peredarah darah adalah tumor otak, infeksi, atau karena trauma (WHO,2006).

Perdarahan intraserebral didefinisikan oleh Wartenberg (2007) sebagai perdarahan non traumatik, spontan, kedalam parenkim otak. Perdarahan intraserebral spontan adalah perdarahan ke dalam parenkim otak yang bisa meluas ke ventrikel dan tidak jarang ke ruang arachnoid (Qureshi, 2001). Stroke perdarahan intraserebral adalah stroke yang sulit ditangani

(2)

sehingga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya mortalitas dan morbiditas yang berat dibanding stroke iskemik (Wartenberg, 2007).

2.1.2.2 Patofisiologi Kerusakan Otak setelah Stroke Intraserebral

Menurut Qureshi et al (2009) perdarahan intraserebral berasal dari pecahnya pembuluh darah otak baik perdarahan intraserebral primer maupun sekunder mempunyai dasar perubahan patologi yang hampir sama. Perdarahan ini biasanya terjadi pada lobus serebri, ganglia basalis, talamus, dan batang otak kemuadian cerebellum sebagai hasil dari pecahnya pembuluh darah. Sebagian besar perdarahan tersebut terletak di dekat bikurvasio arteri penetran kecil yang berasal dari arteri basilaris atau arteri serecri anterior, media, atau posterior.

Menurut Liebeskind (2011) perdarahan yang terjadi pada stroke intraserebral terjadi secara langsung mengenai parenkim otak dengan mekanisme yaitu adanya pecah nya arteri kecil dikarenakan hipertensi kronik. Faktor resiko paling tinggi yang menyebabkan tejadi nya perdarahan intraserebral adalah hipertensi. Pada pasien yang menderita hipertensi pada tunika media arterinya terjadi kerusakan dan melemahkan dinding pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan dinding pembuluh darah mudah ruptur.

Menurut Qureshi (2008) adanya peningkatan tekanan darah sistemik setelah perdarahan intraserebral berhubungan dengan peningkatan intrakranial dan karena adanya peningkatan tekanan batang otak. Penyebab utama respon hipertensi tersebut diduga karena adanya kompresi pada regio spesifik otak yang mengatur fungsi otonom.

Menurut Toole (2010) perdarahan intraserebral dimulai dikarenakan adanya robeknya kapiler dan arteriol yang kemudian menekan di jaringan sekitarnya yang selanjutnya akan terbentuk edema di sekitar hematom, kemudian akan terjadi suatu kompresi dan diskontinuitas oleh edema tersebut sehingga terjadi infark sekunder.

Oedem hematom berkembang segera setelah terjadinya pecahnya pembuluh darah dan memuncak pada beberapa hari kemudian. Formasi oedem meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan herniasi.

Toole (2010) menambahkan adanya hematom yang terdapat di jaringan dapat merusak beberapa jaras yang melewati jaringan otak, apabila perdarahan tersebut tidak berakibat parah bagi pasien, hematom itu akan berangsur-angsur mencair dan menjadi suatu

(3)

kapsul yang dimana selanjutnya cairan tersebut akan diserap atau diabsorbsi yang akhirnya menjadi ruang kosong berupa celah jaringan dalam otak.

Pada seperempat pasien dengan perdarahan intraserebral dengan awal kesadaran penuh, kemunduran derajat kesadaran terjadi dalam 24 jam setelah onset perdarahan. Keberadaan hematom yang besar dan perdarahan ventrikuler meningkatkan risiko perburukan dan kematian. Perluasan hematom merupakan penyebab utama perburukan dalam 3 jam pertama setelah onset. Perburukan oedem serebri juga berpengaruh pada perburukan neurologis dalam 24-48 jam setelah onset. Kadang, perburukan yang tertunda berhubungan dengan progresi oedem pada minggu kedua dan ketiga setelah onset (Qureshi et al, 2001).

2.1.2.3 Diagnosis

Menurut Gofir (2009) anamnesis dilakukan sebagai awal dari penegakan diagnosis stroke perdarahan intraserebral untuk mengetahui tanda dan gejala nya. Kelumpuhan wajah atau anggota badan yang terjadi secara hemiparesis timbul mendadak, kemudian adanya hemihipestasi atau gangguan sensorik pada satu atau lebih anggota badan, penurunan kesadaran (somnolen, delirium, letargi, stupor, koma, bicara tidak lancar atau afasia, disatria, gangguan penglihatan (hemianopia)). Adanya gejala seperti hemiparesis maupun hemiparalisis terjadi dikarenakan adanya lesi yang berlawanan arah (kontralateral dengan gejala nya). Tekanan intrakranial yang luas dapat menyebabkan nyeri kepala yang sangat hebat dan penurunan kesadaran, yang ditambah dengan luasnya hematom dan letak lesi yang terjadi.

CT scan merupakan gold standart diagnosis untuk pasien dengan kasus stroke yang memiliki sensitivitas sebesar ≥95% dan spesifisitas sebesar 100%. Ct sacan kepala non – kontras merupakan metode yang paling dapat diterima untuk mendiagnosis perdarahan intraserebral. Dengan adanya CT scan maka dapat diketahui letak lesi, luas lesi, perdarahan dalam parenkimmaupun adanya hematom di dalam otak. Terdapat juga pemeriksaan MRI (Magnetic resonance imaging) yang lebih superior dati CT scan untuk mendeteksi perdarahan intraserebral, tetapi biasanya tidak tersedia (Alway, 2012 ). Selain itu, Doppler USG, Computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA) maupun contarast – enchaced MRA (CE-MRA) memiliki sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi untuk mendiagnosis stroke iskemik (Gofir, 2011).

(4)

Sesuai evidence – based medicine maka pengambilan keputusan pemilihan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis cukup mengguanakan yang sensitif untuk daignostik.

2.1.2.4 Prognosis

Komplikasi yang paling ditakutkan dari perdarahan intraserebral adalah peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi. Adanya keparahan dari edem serebri dapat menyebabkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Pada padien stroke dapat juga terjadi kejang kemudian 25% pasien mengalami perburukan kesadaran dalam 24 jam pertama dalam keadaan waspada.

Menurut Edward et al (2000), 75% penderita stroke yang dapat bertahan hidup mengalami kecacatan. Secara fisik, mental dan emosional pasien penderita stroke juga mengalami gangguan. Jika terjadinya perdarahan memiliki tingkatan yang parah dan terjadi pada lokasi tertentu, misal pada batang otak maka akan terjadilah koma ataupun kematian. Tingkat keparahan stroke dan lokasi serta luas nya perdarahan dapat memperburuk prognosis dari stroke perdarahan intraserebral. Jika terdapat volume hematom yang besar, prognosis nya biasanya buruk dan outcome fungsional nya juga buruk dengan tingkat kematian yang tinggi. Skore dari gcs saat masuk juga dapat mempengaruhi outcome pasien stroke perdarahan. Rendahnya skore gcs, memperburuk outcome dari stroke perdarahan.

Pada 24 jam pertama setelah onset, Mean arterial pressure menjadi prediktor dari survival pada 28 hari. Kematian pada 1 bulan setelah onset diprediksi dengan baik oleh skor GCS dn volume hematom. Dalam suatu penelitian menyebutkan bahwa GCS kurang dari 9 dan volume hematom lebih dari 60 ml mempunyai angka kematian 90%. Sebaliknya adalah pasien dengan skor GCS lebih dari 9 dan volume hematom kurang dari 30ml adalah 17% (Qureshi et al, 2001).

Sejumlah analisis multivariat telah mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan perluasan hematom dan perburukan status neurologis awal setelah onset perdarahan intraserebral. Faktor-faktor tersebut adalah: waktu dari onset ke pemeriksaan CT scan, ukuran hematom, MAP lebih dari 130 mmHg, tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 200 mmHg, GCS kurang dari atau sama dengan 8, hiperglikemi, suhu lebih dari 37° C, dan perdarahan intraventrikel. Faktor resiko yang paling konsisten adalah interval

(5)

waktu onset-pemeriksaan CT scan, peningkatan tekanan darah, hiperglikemia, dan penurunan kesadaran. Volume hematom merupakan prediktor terkuat outcome yang buruk dan kematian, apalagi bila disertai dengan perdarahan intraventrikel, penurunan kesadaran, faktor umur dan lokasi di infratentorial (Wartenberg & Mayer, 2007).

Pada survival 28 hari, faktor yang penting merupakan 2 hal yaitu kesadaran saat masuk rumah sakit dan MAP pada hari pertama. Prediktor dari MAP sendiri yaitu hipertensi dan umur. MAP yang tinggi pada pada hari pertama yaitu lebih dari ≥145 mmHg, dengan bermacam-macam derajat kesadaran dapat memperburuk angka survival 28 hari (Fagelholm et al, 2007).

2.1.2.5 Outcome Perdarahan Intraserebral

Menurut Xi et al (2006), outcome dari perdarahan intraserebral yang menjadi permasalahan adalah volume hematom, volume hematom yang >150 ml dapat menyebabkan tekanan perfusi serebral rusak. Pasien dengan volume <140 ml kebayankan dapat terselamatkan pada fase akut. Hematom yang timbul akibat dari volume yang besar juga mengakibatkan mortalitas dan defisit neurologis.

Gejala klinis yang berhubungan dengan besar nya dan lokasi dari hematom adalah penurunan kesadaran yang dilihat dari skor GCS, defisit neurologik fokal onset cepat, dan tanda dari disfungsi batang otak. Perburukan dari kondisi pasien sebelum dan saat sama sampai di rumah sakit berhubungan dengan hematom yang membesar dan edem yang muncul. Faktor-faktor yang mempengaruhi outcome kematian adalah GCS saat masuk, volume hematom, umur, volume perdarahan dan besarnya oedem (Qureshi et al, 2009)

Penyebab outcome kematian adalah herniasi serebral, biasanya terjadi pada pasien dengan skor GCS <7 dan terjadi pada minggu pasien masuk. Herniasi serebral memiliki resiko 44% terjadi kematian dalam waktu 30 hari, prognosis lainnya lebih baik pada perdarahan yang terjadi di lobus dibandingkan di ganglia basalis (Greenberg, 2001).

Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa GCS <9 memiliki angka kematian 90%. Pada penelitian lain dilaporkan hasil bahwa umur yang tua, IMT rendah dan perdarahan intraventrikel yang terjadi pada pasien perdarahan intraserebral berhubungan dengan outcome yang jelek setelah dipulangkan dari rumah sakit. Sedangkan yang berhubungan dengan

(6)

kematian pada awal mauk adalah skor NIHSS yang tinggi di UGD, breathing yang jelek, IMT yang rendah dan volume perdarahan >30ml (Jeng et al, 2008).

Kemudian untuk faktor lainnya seperti kadar glukosa darah yang tinggi, suhu yang meningkat, riwayat stroke sebelumnya menjadi prediktor 3 bulan kematian (Donnan et al, 2008)

Menurut Wartenberg & Mayer (2007), dalam penelitian nya terdapat beberapa faktor yang berhubungan secara statistik dengan perluasan hematom dan perburukan status neurologis saat fase akut stroke perdarahan. Faktor – faktor yang signifikan berpengaruh tersebut adalah waktu yang ada untuk melakukan CT-scan, ukuran hematom, MAP >120 mmHg, tekanan darah sistolik >200 mmHg, GCS <8, glukosa darah meningkat, Suhu >27 derajat celcius, dan perdarahan intraventrikel.

Angka kematian setelah 6 bulan perdarahan terjadi, didapatkan hasil 23-58%. Faktor-faktor sebagai prediktor yang mempengaruhi kematian tersebut adalah skor GCS rendah, volume hematom yang besar dan perdarahan di intraventrikel pada awal pemeriksaan dengan CT-scan (Qureshi et al, 2001).

Shaya et al (2005), melakukan pengembangan skala tingkatan perdarahan intraserebral yang digunakan untuk mengukur prediksi outcome pasien pada 6 bulan awal dari terjadi nya perdarahan. Alat pengukuran menggunakan GOS (glasgow outcome score), GOS tersebut menggunakan variabel defisit neurologik fokal, volume jendalan, dan adanya hidrosefalus yang kemudian dibuat poin.

Menurut Collins et al (2003), outcome kematian dalam 30 hari ditemukan faktor resiko aritmia seperti atrial fibrilasi, umur, PPOK, gagal ginjal, dan gagal jantung kronik.

2.1.2.6 Variabel Lain Sebagai Prediktor Kematian pada Stroke Perdarahan Intraserebral

1. Suhu

Insidensi demam setelah terjadi nya perdarahan memiliki angka yang tinggi terutama pada perdarahan intraventrikel. Lama demam terutama pada 72 jam awal saat perawatan di

(7)

rumah sakit, berhubungan dan dianggap sebagai faktor prognostik independen dengan outcome buruk maupun mortalitas (Schwarz et al, 2000).

Menurut Wang, et al (2000) pada penelitian nya didapat kan hasil hipertermia berubungan dengan outcome kematian pasien stroke dalam setahun, OR dalam setiap kenaikan 1 derajat C adalah 3,9 kali beresiko meninggal di rumah sakit, dan 2,1 kali beresiko meninggal dalam 1 tahun.

Pada pasien stroke, terutama pasien stroke iskemik peningkatan diatas 2 derajat C dapat memperluas dan mempercepat perubahan patologis pada otak dan blood brain barrier dapat lebih mudah cepat kerusakannya (Lukmanto,1990 cit Ritarwan, 2003).

2. Umur

Penelitian lain melaporkan bahwa kelompok umur >55 tahun memiliki resiko 3,640 kali mengalami outcome kematian dibanding dengan kelompok umur <55 tahun (Farmacia, 2009).

Dengan meningkatnya umur, terjadi pula proses penuaan sehingga fungsi tubuh mengalami penurunan, pembuluh darah otak yang tidak elastis lagi dapat menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah dan terjadi penurunan aliran darah ke otak (Krisiyawati et al, 2009).

3. Gula Darah Sewaktu

Menuut Hamidon (2003), Penyakit diabetus melitus merupakan faktor independent kematian pada pasien stroke.

Menurut Garg et al (2006), kadar gula darah yang dikendalikan pada pasien stroke secara ketat dapat mengurangi angka kematian saat fase kritis. Hiperglikemi pada pasien stroke akut, dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah otak karena hiperglikemi dapat menyebabkan disfungsi endothelial nitrit oxide dan penyumbatan mikrovaskuler.

4. Gambaran EKG

Perubahan EKG berhubungan dengan outcome kematian secara bermakna meskipun tidak ada lesi pada jantung (Fagard et al, 2004).

(8)

Menurut Familloni et al (2006), pada pasien stroke sering dijumpai abnormalitas EKG yaitu berupa perpanjangan interval QT, dijumpai pada stroke subarakhnoid 71% dan perdarahan intraserebral 64%. Dapat terjadi takikardi atau bradikarti dan memiliki resiko berubah menjadi aritmia ventrikular yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba.

Patofisiologi abnormalitas EKG belum jelas sepenuhnya. Pada penelitian Mieghem et al (2004), terdpat temuan peningkatan enzim jantung troponin 1 pada pasien neurologik akut.

5. Skor GCS

Menurut Maramis (2009), kesadaran merupakan kemampuan suatu individu untuk melakukan hubungan dengan lingkungan dan dirinya sendiri (menggunkakan indra) dan mengadakan limitasi terhadap dirinya sendiri dan lingkungan. Bila tingkat kesadaran baik, maka orientasi waktu, tempat dan orang.

Menurut Deverat et al cit pradipto (2012), tingkat kesadaran berhubungan dengan terhadap prognosis kematian dalam 30 hari pada pasien stroke perdarahan intraserebral. Penurunan kesadaran menunjukkan adanya hematom atau volume perdarahan yang luas, kemuadian dapat menyebabkan herniasi batang otak yang menimbulkan kematian.

Pada kasus stroke, kualitas kesadaran klien adalah parameter yang penting dan harus dievaluasi untuk menentukan tingkat kerusakan pada sistem saraf. Tingkat kesadaran dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling penting untuk disfungsi persarafan (Hudak & Gallo,2010)

6. Hipertensi Emergensi

Menurut Manning et al (2014) melaporkan bahwa hipertensi emergensi neurologik menyebabkan kematian secara signifikan, paling banyak mengenai stroke iskemik dan stroke perdarahan intraserebral. Menurut Chobanian (2004), hipertensi merupakan satu penyakit kronis dan sering kali disebut slient killer karena pasien tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hipertensi sebelum memeriksa tekanan darahnya dan pada umumnya hipertensi terjadi tanpa gejala apapun.

Penyakit hipertensi yang tinggi dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah pada otak. Hal itu disebabkan karena retensi vaskular yang terus menerus sehingga terjadi rusaknya pembuluh darah kecil yang berada di otak. Resiko terjadinya pecah pembuluh darah

(9)

akan meningkat seiring dengan tingat tekanan darah yang terlalu tinggi yang terjadi pada pasien yang menderita hipertensi emergency (Saseen dan Mclaughlin, 2009).

7. Kadar Kolesterol

Menurut Markaki et al (20014), kadar kolesterol yang tinggi berhubungan dengan survival pasien stroke. Menurut Pamela (2008), dalam penelitian kohort retrospektif nya didapatkan hasil kadar LDL >190 mg/dl pada pasien stroke berhubungan dengan kematian pada minggu pertama.

Adanya peningkatan kolesterol dalam darah akan menghasilkan penumpukan lipoprotein pada tunica intima. Lipoprotein tersebut adalah LDL dan VLDL. Timbunan tersebut akan dioksidasi karena pembuluh darah mengalami jejas yang dimana akan terjadi inflamasi (Gofir, 2009). Hal terebut jika terjadi di vaskularisasi otak maka akan menyebabkan terjadinya stroke. Berkurang nya supali darah dapat menyebabkan sel neuron mati, jika berlangsung selama 72 jam dapat menyebabkan kematian (Corwin, 2009).

2.1.3 Perdarahan Intraserebral Dengan Tekanan Darah Pada Fase Akut

Berdasarkan International Society of Hypertension, dalam 80% perdarahan intraserebral biasanya terdapat peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg dan sebagai faktor prediktor outcome yang buruk. Pada 1 jam pertama onset, terjadi ekspansi hematom pada 1/3 pasien perdarahan intraserebral. Tekanan darah sistolik >200mmHg berhubungan dengan ekspansi hematom dan resiko kematian. Tekanan darah sistolik yang menetap juga berhubungan dengan formasi perihematom (Qureshi, 2008).

Peningkatan intrakranial dapat menyebabkan trias sindrom cushing yaitu gejala bradikardi, hipertensi, dan melambatkanya respirasi. Peningkatan tekanan darah merupakan suatu kompensasi untuk mempertahankan tekanan perfusi otak, tetapi memiliki akibat lain yaitu meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam keadaan normal, jaringan otak 86%, darah 4% dan CSF 10%. Tekanan intrakranial normal adalah 5-15 mmHg. Tekanan ini berubah ubah tergantung pada keadaan batuk, pulsasi arteri, dan respirasi. Peningkatan salah satu komponen otak akan menyebabkan penurunan pada volume komponen otak lainnya. Batas kompensasi yang terlewati akan menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial. Jika tekanan intrakranial dengan cepat, menimbulkan perubahan sistemi yaitu gangguan irama jantung dan

(10)

gangguan jantung, peningkatan tekanan darah, oedem pulmo neurogenik dan hipoksemia arterial. Bradikardi yang ada dalam trias cushing, tidak selalu terjadi bahkan hanya ternjadi sebentar saja, sedangkan pada beberapa orang lainnya mengalami takikardi atau aritmia ventrikel. Peningkatan intrakranial sering dihubungkan dengan outcome kematian, dan pasien yang selamat biasanya mengalami neuropsikologis yang buruk (Bisri et al cit Nugrahanti, 2007).

Pada kasus dengan riwayat hipertensi sebelumnya, pasien stroke perdarahan intraserebral diturunkan <130 mmHg, tepi pada semua kasus MAP dipertahankan > 90 mmhg dan tekanan perfusi serebral dipertahankan >70 mmHg (Pancioli & Kasner, 2006).

2.1.4 Cerebral Perfussion Pressure (CPP)

CPP atau tekanan perfusi otak berhubungan dengan selisih antara MAP dan tekanan intrakranial. Nilai normal dari CPP adalah 70-90 mmHg. Tekanan perfusi darah otak yang melebihi batas >140 mmHg dapat menimbulkan perdarahan, edem otak, dan kerusakan brain-blood-barrier (Budiarto,2002).

2.1.5 Autorgeulasi Otak

Pengertian autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan melakkukan perubahan resistensi pada aliran darah dengan perubahan dapat berupa kontriksi atau dilatasi pembuluh darah (Majid, 2004). Autoregulasi otak adalah kemampuan pembuluh darah otak untuk menontrol tekanan darah di otak tetap konstan walaupun terjadi perubahan CPP.

Aautoregulasi dalam otak dapat dicapai dengan merubah diameter arteria cerebral mengatur agar disaat tekanan darah sistemik yang naik dan turun. Batas normal dari autoregulasi adalah 50-150 mmHg.

Tekanan darah rerata 60 mmHg merupakan autoregulasi yang efektif, kemudian dibawah batas tersebut maka perubahan diameter arteria cerebral tidak dapat dikompensasi tekanan perfusi yang menurun, dan kemudian aliran darah otak menurun yang menyebabkan hipoksia dengan gejala mengantuk sampai hilang kesadaran jika tekanan rerata nya 35-40

(11)

mmHg. Sebaliknya jika diatas 150-200 mmHg, menyebabkan kerusakan autoregulasi (Aminoff cit Nugrahanti 2007).

2.1.6 Mean Arterial Pressure (MAP)

Mean arterial pressure dihitung dengan menggunakan rumus [(2xdiastolik)+ sistolik]/3 (Tetri et al, 2009). Tekanan darah merupakan tekanan yang diakibatkan oleh sirkulasi darah pada dinding pembuluh darah, dan merupakan bagian dari tanda vital. Setiap kali jantung berdenyut memiliki tekanan darah yang bervariasi antara tekanan maksimum atau sistolik dan minimum atau diastolik. Biasanya tekanan darah digunakan untuk menyebutkan tekanan darah pada lengan atas, yaitu diukur dari tempat didalam siku pada arteri brakhialis, yang merupakan arteri utama pada lengan atas, yang membawa darah dari jantung.

Peningkatan tekanan darah pada awal masuk yang tinggi dan penanganan tekanan darah yang kurang adekuat berpengaruh jelek untuk outcome perdarahan intraserebral karena riwayat hipertensi. Menurut beberapa guideline, tekanan darah tersebut harus diturunkan level nya dengan menurunkan angka MAP. Suatu penelitian menggunakan pemeriksaan penungjang PET (positron emission tomography) menunjukkan hasil tekanan darah dapat diturunkan karena terbukti tidak membahayakan penumbra, dibuktikan dengan adanya gambaran hipometabolik di sekeliling hematom dari pada area lain (Oliveira et al, 2003).

Faktor prognosis yang penting dalam pertahanan pasien selama 28 hari adalah GCS dan diikuti MAP pada ahari pertama. Faktor penting dalam MAP adalah hipertensi pada hari pertama. MAP yang melebihi 145 mmHg memperburuk angka bertahan hidup dalam 28 hari (Fagelholm et al, 2007).

MAP yang melebihi 130mmHg dan tekanan darah sistolik yang melebihi 200mmHg merupakan faktor resiko trjadinya perluasan hematom. Menurut Wartenberg & Mayer (2007), berbagai pemikiran dan penanganan untuk mengurangi adanya perdarahan seawal mungkin bisa beralasan yaitu, dapat meningkatkan outcome fungsional dan menurunkan angka kematian.

Menurut Qureshi (2008), pengendalian tekanan darah yang optimal pada perdarahan intraserebral dengan pasien yang memiliki riwayat hipertensi masih menuai kontroversi.

(12)

Peningkatan tekanan darah bisa memicu perdarahan ulang, peningkatan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial. Terjadinya iskemia sekunder merupakan salah satu penyebab dari perdarahan intraserebral. Peningkatan tekanan darah pada saat masuk rumah sakit yang dinilai dengan mengukur MAP-nya dan pengendalian tekanan darah yang inadekuat, bisa berpengaruh pada prognosis pendarahan intraserebral.

2.1.7 Stroke Hemoragik dan MAP

Pada Stroke Hemoragik belum terdapat mekanisme pasti tentang bagaiamana MAP dapat mempengaruhi perdarahan. Akan tetapi, bila dilihat dari hubungan antara MAP, aliran darah otak (CBF) dan tekanan perfusi otak (CPP) dapat diambil sebuah dugaan sementara yang dapat menjelaskan mekanisme MAP dalam terjadinya perdarahan.

Pada Stroke Hemoragik dapat terjadi peningkatan tekanan daarah yang persisten. Jika tekanan darah melebihi batas teratas rentang autoregulasi normal (150-200 mmHg), aliran darah otak akan meningkat yang dapat menyebabkan terjaadinya hipertensi ensefalopati (Budiarto, 2002).

Pada dasarnya, jika terjadi peningkatan tekanan darah maka terjadi pula peningkatan tonus pembuluh arteri (Efek Bayliss). Sehingga dengan adanya tekanan darah yang meningkat tidak akan segera disusul aliran darah otak yang meningkat. Aliran darah otak akan tetap seperti semula (Ngoerah, 2005). Akan tetapi, tekanan darah yang naik secara mendadak dan sangat tinggi dapat menyebabkan dilatasi paksa (Forced Dilatation). Tekanan darah yang tinggi dapat menerobos respon vasokontriktor yang menyebabkan rusaknya sawar darah otak dan membentuk edem. Pada keadaan ini autoregulasi tidak bekerja lagi.

Tekanan perfusi otak berhubungan dengan selisih antara MAP dengan intrakranial pressure. Normalnya tekanan perfusi otak terletak diantara range 70-95 mmHg. Tekanan perfusi otak yang melebihi 140 mmHg dapat menyebabkan rusaknya barier darah otak, edem otak, atau bahkan perdarahan (Budiarto, 2002).

Menurut ASA (2010), tekanan darah pasien stroke sebaiknya dikelola dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan <90 mmHg untuk tekanan darah diastolik. Sedangkan, MAP harus dikontrol agar tidak meningkat diatas 130mmHg, dan dipertahankan diatas 70mmhg untuk tekanan perfusi otak. Pengelolaan tekanan darah pada pasien stroke

(13)

tidak dianjurkan rutin karena dapat memperburuk dari kondisi neurologisnya. Tekanan darah juga akan turun dengan sendirinya pada 24 jam pertama setelah serangan. Pasien dengan MAP≥150 mmHg harus diturunkan dengan obat antihipertensi secara intravena dan dipantau tiap 5 menit, sedangkan pasien yang MAP≥130 mmHg dipantau tiap 15 menit sampai MAP 110 mmHg atau mencapai tekanan darah 160/90 mmHg. Setelah dilakukan kraniotomi, MAP ditargetkan menjadi 100 mmHg. Target yang sudah ditentukan tersebut digunakan dalam upaya mencegah terjadinya vasospasme, namun resiko terjadi nya vasospasme ini juga tergantung pada usia pasien dan bersifat individual.

Belum terdapat mekanisme yang jelas bagaimana MAP diatas 130 mmHg berhubungan dengan tingkat kematian dan kesakitan yang tinggi, namun diduga dengan adanya MAP diatas 130 mmHg yang telah melebihi batas atas autoregulasi maka menyebabkan peningkatan aliran darah otak yang selanjutnya berakibat terjadinya hipertensi ensefalopati.

Pada hipertensi terjadi perubahan degenerasi pembuliuh darah yaitu: degnerasi hialin, degenerasi atipik, degenerasi fibrinoid (Toole, 2010) sehingga menyebabkan pembuluh darah lemah dan cenderung pecah (Japardi, 2003).

2.1.8 Hipertensi Ensefalopati

Hipertensi ensefalopati merupakan sindrom akut yang reversible, adanya peningkatan darah yang akut dan tiba-tiba sebagai pemicunya, dan tekanan darah yang melebihi batas autoregulasi otak. Gejala yang dapat terjadi adalah: pusing, sakit kepala, muntah, letargi, dan kadang tidak ada papil edem.

Hipertensi ensefalopati merupakan keadaan yang darurat, pasien dengan kondisi ini memiliki target penurunan tekanan darah 160/90 dalam 6 jam pertama. Jika tidak ditangani dapat terjadi kondisi koma dan beberapa jam kemudian dapat terjadi kematian.

2.1.9 Krisis Hipertensi

Kondisi dimana keadaan klinis pasien memerlukan penanganan cepat dalam menurunkan tekanan darah disebut dengan krisis hipertensi.

(14)

2 bentuk dari keadaan ini:

1. Hipertensi emergensi

Kondisi tekanan darah yang tinggi, sistolik >200mmHg dan diastolik >120mmHg, dibutuhkan penurunan tekanan darah tersebut dalam 1 jam.

2. Hipertensi Urgensi

Kondisi tekanan darah yang tinggi tapi tidak separah hipertensi emergensi, tekanan darah harus cepat diturunkan dalam beberapa jam sampai beberapa hari.

2.1.10 Hipertensi Maligna

Hipertensi Maligna merupakan hipertensi dengan tanda papiledema, merupakan hipertensi yang berat dan terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Hal tersebut akibat dari penyakit-penyakit seperti nekrosis miokardia, gagal ginjal akut, gagal jantung kongestif, hemolisis angiopati, hematuria mikroskopik dan proteinuria, dan nekrosis miokardia.

(15)

2.2 Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka teori Stroke Perdarahan PIS (Perdarahan Intraserebral) PSA (perdarahan Arakhnoid) Hipertensi MAP ≥ 130 mmHg Kerusakan Autoregulasi Otak Oedem Serebri Hematom Serebri Peningkatan TIK Herniasi Rusaknya Barrier Darah Otak dan Edem Kematian

(16)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Kriteria Eksklusi Populasi Kriteria Inklusi Subyek Penelitian MAP ≥130 mmHg MAP < 130 mmHg Hidup Meninggal Usia Derajat kesadaran Kadar gula darah

Kadar kolesterol darah Suhu tubuh Pemeriksaan EKG Hipertensi emergensi Meninggal Hidup TIA Perluasan darah ke ventrikel Volume perdarahan Indeks massa tubuh Angka leukosit & monosit

(17)

2.4 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dituliskan di dalan tinjauan pustaka, maka disusun suatu hipotesis penelitian sebagai berikut “Peningkatan MAP≥ 130 mmHg pada saat masuk merupakan prediktor kematian pada pasien stroke perdarahan.”

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori Stroke Perdarahan PIS (Perdarahan Intraserebral)  PSA  (perdarahan Arakhnoid) Hipertensi MAP ≥ 130 mmHg Kerusakan Autoregulasi Otak  Oedem Serebri Hematom Serebri Peningkatan TIK Herniasi Rusaknya Barrier Darah Otak dan Edem Kemati
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian  Kriteria  Eksklusi Populasi Kriteria Inklusi Subyek Penelitian MAP ≥130 mmHg  MAP &lt; 130 mmHg Hidup Meninggal Usia  Derajat kesadaran Kadar gula darah

Referensi

Dokumen terkait

D., 2014, Pengaruh Infusa Daun Murbei (Morus alba L.) terhadap Gambaran Histologi dan Berat Testis Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diabetes Mellitus Kronik,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan prestasi belajar Pendidikan Agama Islam melalui metode tersebut, dan mengetahui apakah penerapan model

Penelitian memperlihatkan umumnya laki-laki memiliki intensi untuk berwirausaha yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.. Berpijak pada fenomena kesuksesan bisnis

Dapat Dapat dimanfaatkan dimanfaatkan untuk untuk akses akses internet internet melalui melalui satu satu titik titik (Base PDE),. (Base PDE), semua semua user / user /

Pada kolom Anggaran diisi dengan jumlah anggaran yang dialokasikan pada program tersebut; Pada kolom Keterangan diisi dengan keterangan tambahan yang penting, misalnya proporsi

Untuk membuat pengirisan menjadi cepat dan mendapatkan irisan konsiten diperlukan alat bantu dan dibuatlah konsep alat bantu dengan metode perancangan produk rasional

Kinerja pekerja merupakan kombinasi dari hasil kerja, perilaku kerja, Kinerja pekerja merupakan kombinasi dari hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang ada hubungannya

Membuat kesimpulan sementara berdasarkan hasil mind mapping  yang telah dibuat bersama kelompok dan dengan mengacu pada buku sumber atau referensi lain, dan