• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT KI HADJAR DEWANTARA. Haryanto FIP Universitas Negeri Yogyakarta ( HP:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT KI HADJAR DEWANTARA. Haryanto FIP Universitas Negeri Yogyakarta ( HP:"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Haryanto

FIP Universitas Negeri Yogyakarta (e-mail: haryan62@yahoo.co.id; HP: 08122762981

Abstract: Ki Hajar Dewantara’s Concept of Character Education. Nowadays the issue of character is interesting because our educational practices are unpredictable. They develop the cognitive skill only so that our education produces people with scholastic and intellectual capabilities only. Long time ago, Ki Hadjar Dewantara proposed a concept of character education. Some important points in his concept are as follows. 1) Emotional intelligence is important because it is a foundation for a good character and strong personality. 2) Character education is the responsibility of the three educational centers (family, school, and society). 3) Character should be developed through the among (caring) system (ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, and tut wuri handayani). 4) Character education must include nationality spirit that can be developed through examples, good habits and actions, and physical and psychological experiences.

Keywords: character education, three educational centers, among system

PENDAHULUAN

Masih segar dalam ingatan kita bah-wa ‘Pendidikan Karakter untuk Mem-bangun Keberadaban Bangsa’adalah se-buah tema yang diusung kementerian pendidikan dalam memperingati hari Pendidikan Nasional 2010. Sejak saat itu, banyak ahli pendidikan, pengamat pendidikan, dan praktisi pendidikan mencoba menterjemahkan pendidikan karakter menurut versinya masing-masing. Lembaga pendidikan (baik se-kolah maupun perguruan tinggi), ber-lomba untuk menterjemahkan pendi-dikan karakter itu dalam praksis pen-didikan di lembaganya masing-masing. Sekolah mencirikan pendidikan karak-terdengan pendidikan budipekerti. Per-guruan tinggi melakukan kajian-kajian ilmiah dan mendalam tentang apa,

mengapa, dan bagaimana pendidikan karakter dalam praksis pendidikan.

Isu pendidikan karakter menjadi mengedepan bukan hanya karena men-jadi tema peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010, melainkan lebih disebab-kan oleh keprihatinan kita terhadap praksis pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah dan hasilnya. Pendidikan yang dalam UU No. 20 Ta-hun 2003 tentang SISDIKNAS bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang ber-iman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, ber-ilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan men-jadi warga negara yang demokratis ser-ta berser-tanggung jawab (pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak warga negara yang tidak berakhlak mulia

(2)

(se-jenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri (kon-sumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan de-ngan tujuan pendidikan nasional.

Beberapa kasus di atas menunjuk-kanbahwapendidikan kita belum mam-pu membangun karakter bangsa. Prak-sis pendidikan yang terjadi di kelas-kelastidaklebih dari latihan-latihan sko-lastik, seperti mengenal, membanding-kan, melatih, dan menghapal kemam-puan kognitif yang sangat sederhana di tingkat paling rendah(Surachmad, dkk., 2003:114).

Secara lebih ekstrim, Sinawang (2008), mengatakan bahwa kecende-rungan yang muncul, pendidikan di-persempit menjadi "persekolahan" yang kemudian dipersempit lagi dengan "pengajaran". Selanjutnya "pengajaran" dipersempit kembali dengan "pengajar-an di ru"pengajar-ang kelas" d"pengajar-an semakin sempit menjadi penyampaian materi kuriku-lum yang hanya berorientasi pada pen-capaian target sempit ujian nasional (UN). Penyempitan seperti ini hanya mengarah pada aspek kognitif dan in-telektual, sedangkan unsur fundamen-tal yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Aki-batnya pendidikan hanya menghasilkan manusia yang skolastik dan pandai se-cara intelektual, namun kurang memi-liki karakter utuh sebagai pribadi.

Apa yang salah dengan pendidikan sehingga setelah lebih dari enampuluh tahun Indonesia merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi me-nunjang tumbuhnya bangsa yang ber-karakter? Selama masalah pendidikan dibiarkan mengelinding bebas sehingga

siapapun boleh dan berhak mengulas masalah pendidikan dengan versinya masing-masing tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin carut-marut. Itulah sebabnya, kajian tentang pandangan to-koh pendidikan kita (Ki Hadjar Dewan-tara) terhadap persoalan pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah. Pandangan Ki Hadjar Dewantara yang akan ditelaah dalam artikel ini meliputi: tri pusat pendidikan karakter, teori Trikon sebagai rujukan pendidikan karakter, asas dan dasar pendidikan karakter, sistem pendidikan karakter, dan corak & cara pendidikan karakter.

KI HADJAR DEWANTARA

Ki Hadjar Dewantara masa kecilnya bernama R.M. Soewardi Surjaningrat, lahir pada hari Kamis Legi, tanggal 02 Puasa tahun Jawa, bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1889 M. Ayahnya ber-nama G.P.H. Surjaningrat, putra Kan-jeng Hadipati Harjo Surjo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam ke-III. Ibunya adalah seorang putri keraton Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai pewaris Kadilangu keturunan langsung Sunan Kalijogo (Suratman, 1985: 2).

Ki Hadjar Dewantara pertama kali masuk Europeesche Lagere School. Se-telah tamat Europeesche Lagere School, Ki Hadjar melanjutkan pelajarannya ke STOVIA, singkatan dari School Tot Op-leiding Van Indische Arsten. Ki Hadjar ti-dak menamatkan pelajaran di STOVIA. Ki Hajar juga mengikuti pendidikan se-kolah guru yang disebut Lagere Onder-wijs hingga berhasil mendapatkan

(3)

ijasah (Irna H.N., Hadi Soewito, 1985: 16).

Ki Hadjar Dewantara bersama de-ngan Tjipto Mangunkusumo pada per-mulaan Juli 1913 membentuk “Com-mittee tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid” (panitia peringat-an 100 tahun kemerdekaperingat-an Nederlperingat-and) yang dalam bahasa Indonesia disingkat “Komisi Bumi Putra”. Panitia bermak-sud akan mengeluarkan isi hati rakyat, memprotes adanya perayaan kemer-dekaan Belanda karena rakyat Indo-nesia dipaksa secara halus harus me-mungut uang sampai ke pelosok-pe-losok.

Akibat terlalu banyak protes dalam artikel dan tulisan di brosur ketiga pe-mimpin Indische Party (tiga serangkai) ditangkap dan ditahan. Dalam waktu yang amat singkat, pada 18 Agustus 1913 keluarlah surat dari wali negara untuk ketiga pemimpin tersebut. Ke-tiganya dikenakan hukuman buang; Soewardi ke Bangka, Tjipto Mangun-kusumo ke Banda Neira, dan Douwes Dekker ke Timur Kupang. Keputusan itu disertai ketetapan bahwa mereka bebas untuk berangkat keluar jajahan Belanda. Ketiganya ingin mengganti hukuman interniran dengan hukuman externir, dan memilih negeri Belanda sebagai tempat pengasingan mereka.

Ketika di negeri Belanda perhatian SoewardiSoejaningrat tertarik pada ma-salah-masalah pendidikan dan penga-jaran di samping bidang sosial politik. Ia menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan pada tahun 1915 memperoleh akte guru. Tokoh-tokoh besar dalam bidang pendidikan mulai dikenalnya, antara lain; J.J.

Rousseau, Dr. Frobel, Dr. Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Frobel ahli pendidikan terkenal dari Jerman pendiri Kinder-garten. Montessori sarjana wanita dari Italia pendiri Casa dei Bambini. Rabin-dranath Tagore, pujangga terkenal dari India, pendiri perguruanSanti Niketan.

Pengalaman Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawannya di lapangan per-juangan politik, dengan melalui ber-bagai rintangan, penjara dan pem-buangan dengan segala hasilnya, me-nimbulkan pikiran baru untuk menin-jau cara-cara dan jalan untuk menuju kemerdekaan Indonesia (Tauchid, 1963: 29). Ki Hadjar Dewantara yang terus berjuang tak kenal lelah tersebut dalam menghadapi berbagai masalah, ternyata dia menaruh perhatian terhadap pen-didikan karakter bangsa.

PENDIDIKAN KARAKTER: MENG-APA BARU SEKARANG?

Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan pe-serta didik mengenal, peduli dan meng-internalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Tujuan pendidikan karakter adalah me-ningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, se-suai standar kompetensi lulusan. Ada-pun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: reli-gius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cin-ta cin-tanah air, menghargai prescin-tasi,

(4)

bersaha-bat/komunikatif, cinta damai, senang mem-baca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.

Penanaman nilai-nilai karakter juga dapat dilakukan melalui ekstra kuri-kuler. Penanaman nilai-nilai karakter melalui kegiatan ekstra kurikuler me-liputi: pembiasaan akhlak mulia, ke-giatan Masa Orientasi Sekolah (MOS), kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), tata krama dan tata tertib kehi-dupan sosial sekolah, kepramukaan, upacara bendera, pendidikan pendahu-luan bela negara, pendidikan berwa-wasan kebangsaan, UKS, PMR, serta pencegahan penyalahgunaaan narkoba.

Kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Kata ini menjadi semakin populer setelah Men-diknas RI mencanangkan pendidikan berbasis karakter pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2010. Mengapa pendidikan karakter ba-ru dicanangkan sekarang?

Ki Hadjar Dewantara telah jauh ber-pikir dalam masalah pendidikan karak-ter. Mengasah kecerdasan budi sung-guh baik karena dapat membangun bu-dipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (per-soonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu ter-jadi, orang akan senantiasa dapat me-ngalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, ki-kir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persa-tuan Tamansiswa: 1977: 24).

Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budi-pekerti” atau watak atau dalam bahasa asing disebut “karakter” yaitu “bulatnya

jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan ser-ta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti, yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.

Budipekerti, watak, atau karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, pe-rasaan, dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti pikiran – perasaan – kemauan, sedang “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan “budipekerti” itu, tiap-tiap ma-nusia berdiri sebagai mama-nusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan. Jadi, teranglah di sini bah-wa pendidikan itu berkuasa untuk me-ngalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dile-nyapkan, maupun dalam arti “natura-liseeren” (menutupi, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah bersatu dengan jiwa.

Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tum-buhnya jiwa raga anak agar dalam ko-drat pribadinya serta pengaruh ling-kunganannya, mereka memperoleh

(5)

ke-majuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987:12). Sedang yang dimaksud adab kemanu-siaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang ber-kembang selama hidupnya.Artinya, da-lam upaya mencapai kepribadian sese-orang atau karakter sesesese-orang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.

Dari definisi pendidikan tersebut terdapat dua kalimat kunci, yaitu ‘tum-buhnya jiwa raga anak’ dan ‘ kemajuan anak lahir-batin’. Dari dua kalimat kun-ci tersebut dapat dimaknai bahwa ma-nusia bereksistensi ragawi dan rokhani atau berwujud raga dan jiwa. Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa meliputi “ngerti, ngrasa, lan nglakoni” (cipta, rasa, dan karsa). Kalau diguna-kan dalam istilah psikologi, ada kese-suaiannya dengan aspek atau domain kognitif, domain emosi, dan domain psikomotorik atau konatif.

Ki Hadjar Dewantara lebih lanjut menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuh-nya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik. Anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti yang termak-tub di muka, maka apa yang dikatakan kekuatan kodrati yang ada pada anak itu tidak lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuat-an kodrat. Kaum pendidik hkekuat-anya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu agar dapat

mem-perbaiki lakunya (bukan dasarnya) hi-dup dan tumbuhnya itu.

Dari konsepsi tersebut, dapat diam-bil kesimpulan bahwa Ki Hadjar De-wantara ingin (1) menempatkan anak didik sebagai pusat pendidikan; (2) me-mandangpendidikan sebagai suatu pro-ses yang dengan demikian bersifat di-namis, dan (3) mengutamakan keseim-bangan antar cipta, rasa, dan karsa da-lam diri anak.

Dengan demikian, pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa, tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses trans-formasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain, pendidikan adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan menunjukkan ke-pada kita bahwa jauh hari Ki Hadjar Dewantara memiliki komitmen yang tinggi untuk membentuk karakter bang-sa melalui pendidikan. Hanya bang- sayang-nya,pada pekembangannya pendidikan justru kehilangan roh dan semangatnya sehingga terjebak pada pencapaian tar-get sempit, dan perwujudan karakter bangsa yang baik menjadi terabaikan. PENDIDIKANKARAKTER MELALUI TRI PUSAT PENDIDIKAN

Dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hadjar Dewantara me-mandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Semua ini disebut “Tripusat Pendidikan”. Tripu-sat Pendidikan mengakui adanya puTripu-sat-

(6)

pusat-pusat pendidikan, yaitu (1) pendidikan di lingkungan keluarga; (2) pendidikan di lingkungan perguruan; dan (3) pen-didikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda.Tripusat Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pem-bentukan karakter seseorang.

Alam keluarga adalah pusat pen-didikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga selalu mempenga-ruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter dari tiap-tiap manusia. Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban meng-usahakan kecerdasan pikiran (perkem-bangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Alam kemasyarakatan atau alam pemuda me-rupakan kancah pemuda untuk berakti-vitas dan beraktualisasi diri mengem-bangkan potensi dirinya.

Ada beberapa hal yang menarik da-lam keterangan Ki Hadjar Dewantara tentang Tripusat Pendidikan, seperti berikut.

 KeinsyafanKiHadjar Dewantara bah-wa tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalur saja.  Ketiga pusat pendidikan itu harus

berhubungan seakrab-akrabnya serta harmonis.

 Bahwa alam keluarga tetap merupa-kan pusat pendidimerupa-kan yang terpen-ting dan memberikan pendidikan budi pekerti, agama, dan laku social.  Bahwa perguruan sebagai balai wiya-ta yang memberikan ilmu pengewiya-ta- pengeta-huan dan pendidikan keterampilan  Bahwa alam pemuda (yang sekarang

diperluas menjadi lingkungan/alam kemasyarakatan)sebagai tempat sang

anak berlatih membentuk watak atau karakter dan kepribadiannya.

 Dasar pemikiran Ki Hadjar Dewan-tara ialah usaha untuk menghidup-kan, menambah dan memberikan pe-rasaan kesosialan sang anak (Ki Gunawan, 1989: 36).

Pandanganyangdemikian itu, mem-buat Ki Hadjar Dewantara tidak me-mandang perguruan atau sekolah se-bagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan ka-rakter anak. Justru dia memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Tiap-tiap pusat harus mengeta-hui kewajibannya masing-masing, atau kewajibannyasendiri-sendiri,dan meng-akui hak pusat-pusat lainnya, yaitu alam keluarga untuk mendidik budi-pekerti dan laku sosial. Alam sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencer-daskan cipta, rasa, dan karsa secara se-imbang. Alam pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasaan diri da-lam pembentukan watak atau karakter.

Ketiga lingkungan pendidikan ter-sebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk memper-oleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati, agar dapat ber-jalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai pimpinan ha-rus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang

(7)

dan memberi pengaruh, berada di te-ngah memberi semangat, berada di de-pan menjadi teladan.

TEORI TRIKON SEBAGAI RUJUK-AN PENDIDIKRUJUK-AN KARAKTER

Selain tripusat pendidikan Ki Ha-djar Dewantara mengemukakan ajaran Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebuda-yaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.

Dasar Kontinuitas

Dasar kontinuitas berarti bahwa bu-daya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya continue, bersam-bung tak putus-putus. Dengan perkem-bangan dan kemajuan kebudayaan, ga-ris hidup bangsa terus menerima pe-ngaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu bangsa ditarik terus. Bukan lon-catan terputus-putus dari garis asalnya. Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup asalnya, yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Jadi, kontinuitas da-pat diartikan bahwa dalam mengem-bangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari bu-daya sendiri.

Dasar Konsentris

Dasar konsentris berarti bahwa da-lam mengembangkan kebudayaan ha-rus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi

mutu kebudayaan saja yang dapat di-ambil dan diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian bang-sa. Hal ini merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada budaya bangsa, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk meng-akomodir budaya luar yang baik dan selaras dengan budaya bangsa.

Dasar Konvergensi

Dasar konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bang-sa, bersama-sama bangsa lain diusaha-kan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan ke-pribadian atau identitas bangsa masing-masing. Kekhususan kebudayaan bang-sa Indonesia tidak harus ditiadakan, demi membangun kebudayaan dunia.

Dari pernyataan di atas, dapat di-ambil kesimpulan bahwa dalam me-ngembangkan karakter dan membina kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (konti-nuitas) menuju ke arah kesatuan kebu-dayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus memiliki dan membina sifat pribadian di dalam lingkungan ke-manusiaan sedunia (konsentrisitas). De-ngan demikian, pengaruh terhadap ke-budayaan yang masuk, harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas sendiri. ASAS-ASAS DAN DASAR PENDI-DIKAN

Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922 bertujuan mengganti sistem pendidikan dan pengajaran

(8)

Be-landa dengan sistem baru berdasarkan kebudayaan sendiri. Untuk mewujud-kan cita-cita itu, maka diterapmewujud-kan asas-asas pendidikan dan dasar-dasar. Asas pendidikan ini dikenal dengan asas 1922.

Pasal pertama: Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan meng-ingati tertibnya persatuan, dalam peri-kehidupan umum. Tertib dan damai itulah tujuan kita yang tertinggi. Tidak akan ada ketertiban jika tidak ada ke-damaian. Sebaliknya, tidak ada keda-maian selama orang dirintangi dalam mengembangkan hidupnya yang wajar. Tumbuh menurut kodrat merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan yang wajar, mengutamakan perkembangan diri menurut kodratnya. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara menolak faham pendidikan dalam arti dengan sengaja membentuk watak anak melalui paksaan dan hukuman. Cara yang de-mikian disebut “Sistem Among”

Pasal kedua: dalam sistem ini, pe-lajaran berarti mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, mer-deka pikirannya, dan mermer-deka tenaga-nya. Dengan demikian, seorang guru atau pamong tidak hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi juga harus mendidik kepada siswa untuk mencari sendiri pengeta-huan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Ki Hadjar Dewantara mengutamakan kemandirian pada diri peserta didik, yang dengannya peserta didik akan memiliki karakter mandiri.

Pasal ketiga: tentang zaman yang akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan. Sering kita tertipu oleh

keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sulit didapatnya dengan alat penghi-dupan kita sendiri. Demikianlah acap-kali kita merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering me-mentingkan pengajaran menuju terle-pasnya pikiran. Padahal, pengajaran itu membawakitakepada gelombang peng-hidupan yang tidak merdeka dan me-misahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Dalam zaman ke-bingungan ini, seharusnyalah keadaan kita sendiri, kita pakai sebagai penun-juk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Pasal ini juga merupakan bagian penting dalam membangun ka-rakter anak bangsa untuk menjadi ma-nusia yang tidak kehilangan jati diri se-bagai bangsa yang beradab.

Pasal keempat: dasar kerakyatan. Pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil rakyat Indonesia tidak berfaedah untuk bangsa, maka seharus-nyalah golongan rakyat yang terbesar mendapat pengajaran secukupnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa memajukan pengajaran untuk rakyat umum atau kuantitas pendidikan lebih baik daripada meninggikan pengajaran (kualitas) jikalau meninggikan peng-ajaran dapat mengurangi tersebarnya pengajaran.

Pasal kelima: untuk dapat berusaha menurut asas dengan bebas dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut ke-kuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan

(9)

me-ngurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Ini adalah wujud nyata karakter kemandirian.

Pasal keenam: keharusan untuk membelanjai diri sendiri segala usaha Taman Siswa. Usaha ini terkenal de-ngan “Zelbedruiping-systeem”. Hal sema-cam ini amat sukar karena untuk dapat membelanjai diri sendiri tanpa meneri-ma bantuan orang lain diperlukan ke-harusan untuk hidup sederhana. Ajaran ini merekomendasikan kepada kita un-tuk hidup sederhana. Dengan kata lain, hidup sederhana sebagai bentuk karak-ter positif perlu karak-terus ditradisikan.

Pasal ketujuh: dengan tidak terikat lahir atau batin, serta kesucian hati, ber-minat kita berdekatan dengan “Sang Anak”. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada “Sang Anak”. De-ngan kata lain, keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala ke-pentingan kita kepada selamat bahagia-nya anak didik.

Selain asas-asas tersebut yang dice-tuskan oleh Ki Hadjar Dewantara, Ta-man Siswa juga memiliki dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang terkenal de-ngan sebutan Panca Darma, yaitu: (1) kodrat alam; (2) kemerdekaan; (3) budayaan; (4) kebangsaan; dan (5) ke-manusiaan (Tauchid dan Ki Suratman, 1988:16).

Kodrat alam mengandung penger-tian pada hakikatnya manusia sebagai makhluk tidak dapat terlepas dari ke-hendak hukum kodrat alam. Manusia akan mengalami kebahagiaan jika dapat menyatukan diri dengan kodrat alam

yang mengandung segala hukum ke-majuan.

Dasar kemerdekaan mengandung arti bahwa kemerdekaan sebagai ka-runia Tuhan kepada semua makhluk manusia yang memberikan kepadanya “hak untuk mengatur dirinya sendiri”, dengan selalu mengingat syarat-syarat tertib damainya hidup bersama (masya-rakat).

Dasar kebudayaan mengandung pe-ngertianmembawakebudayaan kebang-saan itu ke arah kemajuan dunia dan kepentingan hidup rakyat, lahir dan ba-tin.

Dasar kebangsaan memiliki maksud tidak boleh bertentangan dengan ke-manusiaan, justru harus menjadi ben-tuk dan fitrah kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu, tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, me-lainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup la-hir serta batin seluruh bangsa.

Dasar kemanusiaan mempunyai maksud bahwa darma tiap-tiap manu-sia itu adalah mewujudkan kemanumanu-sia- kemanusia-an, yang berarti kemajuan manusia la-hir dan batin yang setinggi-tingginya yang dapat dilihat pada kesucian hati seseorang serta adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, yang ber-sifat keyakinan adanya hukum kema-juan yang meliputi alam semesta.

Asas dan dasar pendidikan yang di-gagas Ki Hadjar Dewantara merupakan landasan yang kokoh untuk memba-ngun karakter bangsa bersendi pada budaya bangsa dengan tidak

(10)

meng-abaikan budaya asing. Jika asas dan da-sar ini digunakan sebagai landasan pe-nyelenggaran pendidikan kita, maka tidak perlu lagi meributkan tentang carut marut potret pendidikan kita. SISTEM PENDIDIKAN

Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan Sistem Among sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak se-bagai sentral proses pendidikan. Dalam sistem among, setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan di-wajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tula-dha, Ing madya mangun karsa, dan Tut-wuri handayani (MLPTS, 1992:19-20).

Ing Ngarsa Sung Tuladha

Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Tuladha ber-arti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989:47). Jadi, ing ngarsa sung tuladha mengandung makna sebagai pamong atau pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai central figure bagi siswa.

Ing Madya Mangun Karsa

Mangun karsa berarti membina ke-hendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur. Ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungan-nya sehari-hari secara harmonis dan terbuka. Jadi, ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa pamong

atau pendidik sebagai pemimpin hen-daknya mampu menumbuhkembang-kan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.

Tutwuri Handayani

Tutwuri berarti mengikuti dari be-lakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang. Handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan de-ngan perhatian dan bimbide-ngan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis ko-drat pribadinya.

Sistem pendidikan yang dikemuka-kan Ki Hadjar Dewantara juga merupa-kan warisan luhur yang patut dimple-mentasikan dalam perwujudan masya-rakat yang berkarakter. Jika para pen-didik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, semua tentu akan terus mengedepankan keteladan-an dalam segala perkataketeladan-an dketeladan-an perbuat-an. Dengan keteladanan, karakter reli-gius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.

Begitu pula jika kita sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan arahan pen-didik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator yang baik.Dengan dorongan dan arahan

(11)

pen-didik, karakter kreatif, mandiri, meng-hargi prestasi, dan pemberani peserta didik akan terbentuk dengan baik.

Sementara itu, ada kalanya pen-didik perlu memberikan keleluasaan dan atau kebebasan kepada peserta di-dik untuk menentukan pilihannya sen-diri. Hal demikian dimungkinkan dapat mengembangkan karakter demokratis dan bertangung jawab.

CORAK DAN CARA PENDIDIKAN Corak dan cara pendidikan menu-rut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya, secara nasional pendidikan ha-rus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bang-sa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya me-miliki kesamaan corak dalam mengem-bangkan karakter anak bangsanya. Hal ini penting untuk menghindari terjadi-nya konflik fisik sebagai akibat baterjadi-nyak- banyak-nya perbedaan.

Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantarabercorak nasional yang pada awalnya muncul dalam rangka meng-ubah sistem pendidikan kolonial men-jadi sistem pendidikan nasional yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri. Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan nasional. Hal ini diinsyafi benar oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari ji-wa merdeka dan jiji-wa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup

berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syarat-nya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa.

Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya sebagai “peralat-an pendidik“peralat-an”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat ba-nyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu (1) mem-beri contoh (voorbeelt); (2) pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming); (3) peng-ajaran (wulang-wuruk); (4) laku (zelfbe-heersching); dan (5) pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Per-satuan Tamansiswa, 1977:28).

Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangat tepat untuk membangun karakter anak bangsa. Pemberian con-toh yang disertai dengan pembiasaan sangat tepat untuk menanamkan karak-terpadapeserta didik. Begitu juga peng-ajaran (wulang-wuruk) yang disertai con-toh tindakan (laku) akan mempermu-dah peserta didik dalam menginternail-sasi nilai-nilai positif sebagai bentuk perwujudan karakter. Apalagi disem-purnakan dengan pengalaman lahir dan batin maka menjadi sempurnalah karakter peserta didik.

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas tentang pandangan dan konsep pendidikan me-nurut Ki Hadjar Dewantara, kaitannya dengan pendidikan karakter yang se-harusnya dibangun dapat dideskripsi-kan sebagai berikut.

(12)

 Nilai-nilai yang perlu diinternalisasi-kan kepada peserta didik dalam pe-ngembangan karakter adalah: reli-gius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, ber-sahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkung-an, dan tanggung jawab.

 Penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada pencapaian target sem-pit, yang hanya melakukan transfer of knowledge melainkan perlu dengan sengaja (by design) mengupayakan terjadinya transformasi nilai untuk pembentukan karakter anak bangsa.  Pembentukan karakter peserta didik

perlu melibatkan tri pusat pendidik-an (keluarga, sekolah, dpendidik-an masyara-kat) secara sinergis.

 Pengembangan karakter peserta di-dik perlu memperhatikan perkem-bangan budaya bangsa sebagai se-buah kontinuitas menuju ke arah ke-satuan kebudayaan dunia (konvergen-si), dan tetap memiliki sifat kepriba-dian di dalam lingkungan kemanu-siaan sedunia (konsentris).

 Asas dan dasar pendidikan yang di-gagas Ki Hadjar Dewantara merupa-kan landasan dasar yang kokoh un-tuk membangun karakter bangsa, bersendi pada budaya bangsadengan tidak mengabaikan budaya asing.  Sistem pendidikan yang

dikemuka-kan Ki Hadjar Dewantara (ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuru handayani) adalah wa-siat luhur yang patut diterapkan da-lam mengembangkan karakter peser-ta didik.

 Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara pa-tut kita jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Pendidikan karakter harus bercorak nasional dengan menerapkan cara-cara; pemberian contoh, pembiasaan, wulang-wuruk, laku, dan pengalaman lahir-batin.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Redaktur Jurnal Cakrawala Pen-didikan atas saran yang diberikan se-hingga artikel ini layak dimuat dalam jurnal ini. Terima kasih juga diucapkan kepada semua staf Jurnal Cakrawala Pen-didikan yang telah berjasa terhadap ter-bitnya artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Irna H.N. Hadi Soewito. 1985. Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka.

Ki Gunawan. 1989. Aktualisasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia di Gerbang XXI, dalam Ki hadjar Dewantara dalam Pandangan para Cantrik dan Mantriknya. Yog-yakarta: MLPTS.

Ki Hadjar Dewantara. 1977. Bagian Per-tama: Pendidikan. Yogyakarta: Ma-jelis Luhur Persatuan Taman Sis-wa.

Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo. 1989. Masalah-masalah Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Haji Mas-agung.

(13)

Ki Suratman. 1987. Pokok-pokok Ketaman-siswaan. Yogyakarta: Majelis Lu-hur Persatuan Taman Siswa. MLPTS. 1992. Peraturan Besar dan

Pia-gam Persatuan Taman Siswa. Yog-yakarta: MLPTS.

Sinawang, Helena Asri. 2008. Guru dan Watak Bangsa. http://www.keya-naku.blogspot.com. Diunduh 28 Maret 2011.

Surakhmad, Winarno, dkk. 2003. Meng-urai Benang Kusut Pendidikan. Ja-karta: Transformasi.

Suratman, Darsiti. 1985. Ki Hadjar De-wantara. Jakarta: Majelis Pendi-dikan dan Kebudayaan.

Tauchid, Muchammad dan Ki Surat-man. 1988. Taman Siswa dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Yogya-karta: MLPTS.

Tauchid, Muchammad. 1963. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar De-wantara. Yogyakarta: Majelis Lu-hur Persatuan Taman Siswa.

Referensi

Dokumen terkait

Sebaran Vertikal Jumlah Gerombolan Ikan Pelagik pada berbagai Selang Kedalaman di Daerah Penelitian I dan

Metode Least Square memanfaatkan data history penjualan untuk melakukan peramalan,semakin banyak data history yang digunakan untuk peramalan maka semakin akurat

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran PBL terhadap kemampuan penalaran matematik siswa terhadap

Peningkatan ketahanan terhadap penyakit blas pada galur-galur padi yang memiliki lokus Pup1 terlihat jelas pada persilangan dengan tetua Situ Bagendit.. Pada persilangan dengan

Walaupun prosesnya melalui penunjukan atau pencalonan, akan tetapi proses itu sendiri terjadi setelah adanya musyawarah (konsultasi informal) yang dilakukan oleh Abu Bakar

Politisi Partai Gerindra yang juga Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mempertimbangkan keluar dari partai politik jika RUU Pilkada yang mengatur kepala

• Siswa mampu dan mengerti tentang Sistem Operasi Berbasis TEXT • Siswa mampu dan mengerti tentang prosedur Instalisasi S/O TEXT • Siswa dapat mengetahui proses instalisasi

Parfum Laundry Bojonggambir Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI TARGET MARKET PRODUK NYA:.. Chemical Untuk Keperluan