• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kenakalan Remaja. dilakukan oleh suatu organisme (individu). Perilaku tersebut timbul sebagai akibat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kenakalan Remaja. dilakukan oleh suatu organisme (individu). Perilaku tersebut timbul sebagai akibat"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja

Mutmainah (2018: 636) mengemukakan bahwa perilaku secara psikologi diartikan sebagai sembarang respon (reaksi, tanggapan, jawaban, alasan) yang dilakukan oleh suatu organisme (individu). Perilaku tersebut timbul sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan yang mengenai individu tersebut.

Kenakalan remaja adalah perilaku remaja melanggar status, membahayakan diri sendiri, menimbulkan korban materi padaorang lain,dan perilaku menimbulkan korban fisik pada orang lain. Perilaku melanggar status merupakan perilaku dimana remaja suka melawan orangtua, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. Perilaku membahayakan diri sendiri, antara lain mengendari kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, menggunakan narkotika, menggunakan senjata, keluyuran malam, dan pelacuran. Perilaku menimbulkan korban materi, yaitu perilaku yang mengakibatkan kerugian pada oranglain, misalnya:mencuri dan mencopet, merampas Perilaku menimbulkan korban fisik pada orang lain adalah perkelahian, menempeleng, menampar, melempar bendakeras, mendorong sampai jatuh, menyepak, dan memukul dengan benda (Sarwono, 2014).

Kenakalan remaja adalah hasil belajar individu dari lingkungan atau akibat tekanan dari suatu keadaan tertentu. Pola asuh yang diterima setiap anak berbeda

(2)

– beda, sebagaimana yang dialami dan diterima sejak kecil. Perbedaan pola asuh yang diterima oleh remaja tentu akan terdapat pula perbedaan proses pembentukan kompetensi sosial. Kompetensi sosial remaja sebenarnya bergantung bagaimana remaja melihat, merasakan, dan menilai pola asuh orang tuanya sendiri. Sifat dan perilaku anak sangat dipengaruhi dengan pola asuh kedua orangtuanya. Terlalu menanjakan atau memandang sebelah mata keberadaannya, bisa berakibat buruk terhadap kepribadiannya kelak (Muniryanto dan Suharnan, 2014).

Berdasarkan definisi berikut dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pola asuh dari kedua orangtua yang terlalu memanjakan atau juga yang terlalu menganggap remeh dan memandang sebelah mata keberadaan anak tersebut.

2. Dimensi Kenakalan Remaja

Kartono (2011: 49) menyebutkan bahwa pembagian dari juvenile delinquency bisa terbagi dalam 4 kategori, yaitu :

1) Delikuensi terisolir

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja delinkuen; nerupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya anak-anak tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan disebabkan :

(3)

a) Kejahatan tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, tetapi lebih banyak dirangsang dengan oleh keinginan meniru. Biasnaya semua kegiatan dilakukan secara bersama – sama dalam bentuk kegiatan kelompok.

b) Kebanyakan berasal dari daerah – dareha kota yang tradisional yang memiliki sifat subkultur kriminal. Sejak kecil anak –anak terbiasa melihat adanya gang – gang kriminal, sampai anak tersebut masuk menjadi salah satu anggota geng. Anak tersebut akan merasa diterima, mendapatkan suatu kedudukan “ terhormat”, mendapatkan status sosial dan prestise tertentu. Semua nilai, norma dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta – merta. Jadi ada proses pengkondisian dan proses differential association.

c) Pada umumnya anak delinkuen tipe ini berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Situasi keluarga yang tidak kondusif dipenuhi dengan konflik hebat diantara sesama anggota kelompok, dan juga adanya penolakan dari orang tua terhadap anak. Dalam kondisi seperti ini anak – anak tidak merasakan iklim kehangatan emosional. Kebutuhan elementer tidak terpenuhi misalnya tidak pernah merasa aman, merasa dilupakan dan ditolak oleh orang tua. Pendeknya, anak – anak mengalami banyak frustasi dalam lingkungan keluarganya sendiri dan mereaksi negatif terhadap tekanan lingkungannya.

(4)

d) Sebagai jalan keluarnya, anak memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah anak – anak kriminal. Gang delikuen memberikannya alternatif hidup yang menyenangkan. Akhirnya megadopsi etik dan kebiasaan gangnya, dan dipakai sebagai sarana untuk meyakinkan dirinya sendiri adalah penting, dan berarti.

e) Dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan disiplin yang teratur. Akibatnya, anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Banyak dari merreka menjadi kebal terhadap nilai kesulitan; sebaliknya menjadi peka terhadap pengaruh jahat.

Ringkasnya, delinkuensi terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial. Mencari panutan dan sekuritas dari dan di dalam kelompok. Paling sedikit 60% dari menghentikan perbuatannya pada usia 21 – 23 tahun. Lompatan reformatif ini belangsung sangat spontan, yaitu tidak dipengaruhi oleh usaha masyarakat untuk mengubah kebiasaan buruk. Pola – pola tingkah laku delinkuen merupakan bagian dari pendewasaan diri, untuk memasuki fase era hidup baru.

Pada usia menjelang dewasa tadi, anak delinkuen menyadarai bahwa harus meninggalkan ayah – ibu dan lingkungan. Menginsafi adanya tanggung jawab baru sebagai calon suami atau calon ayah dan sebagai pencari nafkah didalam keluarga yang akan dibinanya. Karena itu anak-anak meninggalkan pola kriminal untuk menjadi ”manusia baik”. Sampailah pada taraf “ individuasi”, yang saat itu

(5)

sedang berlangsung kesadaran – diri dan pandangan hidup yang lebih sehat dan juga imbang.

2) Delikuensi neurotic

Pada umumnya anak – anak delinkuen tipe ini menderita ganggungan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa : kecemasaan, merasa selalu tidak aman dan merasa terancam. Ciri – ciri tingkah laku itu antara lain ialah: a) Tingkah laku delinkuennya bersumber pada sebab – sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai. Juga bukan beupa usaha untuk mendapatkan prestise sosial dan simpati dari luar.

b) Tingkah laku kriminal merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Tidak kejahatan merupakan alat pelepas bagi rasa ketakutan dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.

c) Biasanya, anak remaja tipe ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekan jenis kejahatan tertentu misalnya; suka memperkosa lalu membunuh korbannya.

d) Anak delinkuen neurotik banyak berasal dari keluarga kelas menengah, yaitu dengan lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial – ekonominya. Pada umumnya keluarga mengalami banyak ketegangan emosional yang parah.

(6)

e) Anak dengan delinkuen neurotik memiliki ego yang lemah dan ada kecenderungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak - anak remaja lainnya.

f) Motovasi kejahatan juga berbeda – beda, misalnya para penyundut api didorong oleh nafsu ekshibisonistis, anak – anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks.

g) Perilaku yang memperlihatkan kualitas komplusif ( paksaan). Anak – anak dan orang muda tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan penjahat narkotik dimasukan dalam kelompok tipe neurotik.

3) Delikuensi psikopatik

Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya; akan tetapi jika dilihat dari kepentingan umum dan segi kemanan, merupakan oknum kirimal yang paling berbahaya. Ciri tingkah lakunya ialah:

a) Hampir semua anak delinkuen psikopatik ini berasal dari lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, dan serta diliputi banyak pertikaian keluarga. Tak sedikit juga dari rumah yatim – piatu. Dalam lingkungan seperti itu tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang dan relasi yang akrab secara personal. Sebagai akibatnya, tidak mempunyai kapasitas untuk menyembuhkan afeksi, kedihupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul dan mati. Sebagai akibatnya, tidak mampu menjalin relasi secara emosional yang akrab dengan orang lain.

(7)

b) Tidak mampu menyadari arti dari rasa bersalah, berdosa atau melakukan pelanggaran, sering menjadi meledak tidak terkendali.

c) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada susana hatinya yang kacau dan tidak bisa diduga – duga. Pada umumnya sangat agresif serta implusif. Biasanya sudah berulang kali masuk penjara dan sangta sulit untuk memperbaiki.

d) Selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma – norma sosial yang umum berlaku. Tidak peduli dengan norma subkultur gangnya sendiri.

e) Menderita gangguan neurulogis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.

Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri sebagai berikut : a) Tidak memiliki pengorganisasisan dan intergrasi diri.

b) Sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar dan buas terhadap siapapun. c) Kata – katanya selalu menyakiti hati orang lain tanpa peduli.

4) Delikuensi defek mental

Delinkuensi defek mental mempunyai ciri :

a) Selalu melakukan tindakan a- sosial atau an – sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif. Kelemahan dan kegagalan para remaha tipe ini ialah : tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat. Ingin melakukan perbuatan yang kasar seperti penyerangan dan juga kejahatan. Sikapnya yang sangat dingin dan beku dan juga tanpa perasaan. Merasa cepat puas dengan

(8)

”prestasinya”, namun perbuatan disertai agresivitas yang meledak. Selalu bermusuhan terhadap siapapun juga; karena itu selalu melakukan perbuatan kejahatan.

b) Jumlah pembunuh kejam yang detektif secara moral dan tidak sedikitpun mempunyai perasaan belas kasihan serta perikemanuasiaan itu dua kali lipat daripada jumlah pembunuhan biasa. Disamping itu, pemerkosaan anak – anak kecil dan para pemerkosa seksual yang sadis pada umumnya juga defek moralnya.

c) Anak muda yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Anak muda tersebut adalah para redivis yang melakukan kejahatan didorong oleh naluri yang rendah. Diantara para penjahat habitual dan kaum redivis muda, lebih kurang 80% mengalami kerusakan psikis berupa perkembangan mental yang salah. Kurang lebih 20% yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau faktor lingkungan sekitar.

Pada umumnya bentuk tubuh para penjahat habitual dan redivis lebih kecil daripada tubuh orang normal. Memiliki berat bdan yang lebih ringan, terkadang memiliki kelainan jasmaniah. Apabila perbuatan kejahatan anak muda dan remaja yang defek moralnya itu sangat mencolok ekstrim, biasanya digolongkan ke dalam tipe delinkuen psikopatik.

(9)

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Santrock (2007) menyebutkan faktor – faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja antara lain :

1) Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Santrock (2007) masa remaja berada pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Santrock (2007) percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Santrock (2007) mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Santrock (2007), kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

(10)

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku.

Hasil penelitian yang dilakukan Santrock, menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakala dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.

3) Usia

Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian dari Muawanah (2012) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.

(11)

4) Jenis kelamin

Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2011) pada umumnya jumlah remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok diperkirakan 50 kali lipat daripada kelompok remaja perempuan.

5) Harapan terhadap pendidikan dan nilai – nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai terhadap sekolah cenderung rendah, tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.

6) Proses keluarga

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.

(12)

7) Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan 8) Kelas sosial ekonomi

Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mungkin saja merasa bahwa akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.

9) Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal. Masyarakat

(13)

seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelasmenengah

Berdasarkan faktor – faktor diatas, dapat disimpulkan bahwahal yang paling mempengaruhi kenakalan remaja adalah keluarga dan teman sebaya. Karena pada dasarnya anak pertama kali belajar adalah didalam keluarga dan dibesarkan dengan aturan – aturan yang terdapat dalam keluarga. Sehingga pembelajaran yang diberikan oleh kedua orang tua atau keluarga kepada seorang anak sangat besar pengaruhnya kepada tumbuh kembang anak. Lalu disamping itu anak juga dapat menghabiskan banyak waktunya bersama teman sebayanya, maka pengaruh dariq teman sebaya sangat kuat untuk merubah atau menbentuk pola sikap seorang anak. Jadi saat lingkungan negatif, seorang anak sangat beresiko untuk dapat terseret oleh hal – hal negatif yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya, sebaliknya bila lingkungan positif. Dapat mendorong anak untuk dapat berperilaku dan bertindak hal – hal positif.

B. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri

Diane dkk (2014) berpendapat Konsep diri adalah gambaran keseluruhan dari kemampuan dan karakter khusus kita. Ini merupakan “kontruksi kognitif sebuah system deskriptif dan evaluatif yang mempresentasikan diri” yang menentukan bagaimana kita dan menuntun perilaku kita merasakan diri dan menuntun perilaku. Rasa akan diri juga memiliki aspek sosial yaitu anak menggabungkan diri ke dalam citra diri, suatu pemahaman yang terus tumbuh

(14)

mengenai bagaimana individu lain melihat. Konsep diri mulai datang ke dalam fokus di masa toddler, saat anak mengembangkan kesadaran diri. Hal itu akan semakin jelas ketika seseorang mendapatkan kemampuan kognitif dan berhadapan dengan tugas-tugas perkembangan di masa anak, remaja, dan kemudian dewasa.

Konsep diri merupakan bagian penting dalam perkembangan kepribadian. Thalib (2010: 125) mengemukakan bahwa konsep kepribadian yang paling utama adalah diri. Diri (self) berisi ide-ide, persepsi-persepsi, dan nilai-nilai yang mencakup kesadaran tentang diri. Konsep diri merupakan representasi diri yang mencakup identitas diri yakni karakteristik personal, pengalaman, peran dan status sosial. Secara umum, Thalib (2010: 125) menjelaskan bahwa konsep diri sebagai suatu organisasi dinamis didefinisikan sebagai skema kognitif tentang diri sendiri yang mencakup sifat-sifat, nilai-nilai, peristiwa-peristiwa, dan memori semantik tentang diri sendiri serta kontrol terhadap pengelolahan informasi diri yang relevan. Secara lebih luas, konsep diri dirumuskan sebagai skema kognitif atau pandangan dan penilaian tentang diri sendiri yang mencakup atribut-atribut spesifik yang terdiri atas komponen pengetahuan dan komponen evaluatif. Komponen pengetahuan termasuk sifat-sifat dan karakteristik fisik, sedangkan komponen evaluatif termasuk peran, nilai-nilai, kepercayaan diri, harga diri, dan evaluasi dari global.

Menurut Sarwono dan Meinarno (2014: 53), konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik, dan lain sebagainya. Menurut Sarwono dan Meinarno (2014:

(15)

54), konsep diri pada dasarnya merupakan suatu skema, yaitu pengetahuan yang terorganisasi mengenai sesuatu yang kita gunakan untuk menginterpretasikan pengalaman. Dengan demikian, konsep diri adalah skema diri (self-schema), yaitu pengetahuan tentang diri, yang memengaruhi cara seseorang mengolah informasi dan mengambil tindakan. Sarwono dan Meinarno (2014: 53), mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan kesadaran seseorang mengenai siapa dirinya.

Menurut Agustiani (2014: 138) konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari. Agustiani (2014: 138) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts menjelaskan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri.

Menurut Thalib (2010:125) konsep diri bersifat dinamis dalam situasi interaksi sosial, persepsi terhadap diri sendiri yang didasarkan pada pengalaman dan interpretasi terhadap diri dan lingkungan dan struktur yang bersifat multi dimensional berkaitan dengan konsepsi atau penilaian individu tentang diri

(16)

sendiri. Konsep diri menggambarkan pengetahuan tentang diri sendiri yang mencakup konsep diri jasmaniah, diri sosial, dan diri spiritual. Konsep diri jasmaniah mencakup keadaan fisik, fungsi dan penampilan fisik. Konsep diri sosial mencakup kecenderungan untuk menjalin persahabatan atau mengembangkan hubungan dengan orang lain. Konsep diri spiritual mencakup keseluruhan kapasitas psikis, keadaan kesadaran, dan disposisi seseorang.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan yang bersifat psikologis, sosial dan fisik mengenai segala keadaanyang ada dalam diri seseorang yang diperoleh melalui pengalaman melalui interaksi dengan lingkungan.

2. Dimensi Konsep Diri

Thalib (2010:125) menjelaskan bahwa ada tiga dimensi konsep diri yang menggambarkan pengetahuan tentang diri sendiri yang mencakup konsep diri jasmaniah, diri sosial, dan diri spiritual.

1) Konsep diri jasmaniah mencakup keadaan fisik, fungsi dan penampilan fisik. 2) Konsep diri sosial mencakup kecenderungan untuk menjalin persahabatan

atau mengembangkan hubungan dengan orang lain.

3) Konsep diri spiritual mencakup keseluruhan kapasitas psikis, keadaan kesadaran, dan disposisi seseorang.

Agustiani (2014: 139) membagi konsep diri menjadi dua dimensi pokok, yaitu:

(17)

1. Dimensi Internal yaitu individu menilai dirinya berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini juga disebut kerangka acuan internal (internal frame of reference). Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk, yaitu :

1) Diri Identitas (Identity Self)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri yang mencakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Pengetahuan individu mengenai hal-hal yang lebih kompleks tentang dirinya juga bertambah melalui interaksi dengan lingkungan dan seiring bertambahnya usia.

2) Diri Pelaku (Behavioral Self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh diri (self) yang berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang adekuat atau memadahi akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dan diri pelaku, sehingga diri (self) dapat mengenali dan menerima keduanya dengan baik. Kaitan dari hal ini dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

3) Diri Penerimaan/Penilai (Judging Self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, evaluator, dan sebagai perantara antara diri identitas dan diri pelaku. Individu akan memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya, selanjutnya penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan

(18)

ditampilkannya. Diri penilai juga menentukan kepuasan diri yang kemudian menimbulkan harga diri (self esteem).

Ketiga bentuk dimensi internal ini mempunyai peranan yang berbeda-beda namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.

2. Dimensi Eksternal yaitu individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya, misalnya yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Dimensi ini dibagi menjadi lima bentuk :

1) Diri Fisik (Physical Self)

Diri fisik menyangkut persepsi terhadap keadaan dirinya secara fisik, misalnya mengenai kesehatan, penampilan diri, dan keadaan tubuh.

2) Diri Etik-Moral (Moral-Ethical Self)

Diri etik-moral menyangkut persepsi terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan moral dan etika, misalnya mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan terhadap kehidupan keagamaannya, dan nilai-nilai moral yang dipegangnya.

3) Diri Pribadi (Personal Self)

Diri pribadi menyangkut persepsi tentang keadaan pribadinya ditinjau dari sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya dan sejauh mana individu merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

(19)

Diri keluarga menyangkut persepsi yang menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang tentang keadaan pribadinya terhadap kedudukan, peran, dan fungsi yang dijalankan sebagai anggota dalam suatu keluarga.

5) Diri Sosial (Social Self)

Diri sosial menyangkut persepsi seseorang terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan yang ada di sekitarnya.

Pembentukan kelima dimensi eksternal dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksi dengan orang lain.

Agustiani (2014: 139),bagian-bagian dimensi internal dan eksternal tersebut saling berinteraksi satu sama lain, sehingga dari tiga dimensi internal dan lima dimensi eksternal akan diperoleh lima belas kombinasi yaitu identitas fisik, identitas moral-etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah laku fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku keluarga, tingkah laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik, penerimaan pribadi, penerimaan keluarga, dan penerimaan sosial.

Menurut Zuhdi (2011 : 117) konsep diri memiliki tiga dimensi pokok yaitu :

1) Dimensi pengetahuan, yaitu segala pengetahuan atau informasi yang seseorang ketahui tentang diri, seperti umur, jenis kelamin, penampilan, dan lain sebagainya.

2) Dimensi harapan, yaitu suatu pandangan tentang kemungkinan menjadi apa seseorang dimasa mendatang.

(20)

3) Dimensi penilaian, yaitu penilaian seseorang tentang gambaran siapakah dirinya dan gambaran mengenai seharusnya seperti apa.

Thalib (2010: 122) ada dua macam konsep diri beserta ciri-cirinya yaitu sebagai berikut :

1) Konsep Diri positif, memiliki ciri-ciri tidak cemas dalam menghadapi situasi baru, mampu bergaul dengan teman-teman seusianya, lebih kooperatif dan mampu mengikuti aturan dan norma-norma yang berlaku.

2) Konsep Diri negatif, memiliki ciri-ciri merasa cemas dalam menghadapi situasi baru, susah bergaul dengan teman-teman seusianya, tidak kooperatif dan tidak mampu mengikuti aturan dan norma-norma yang berlaku.

Menurut Thalib (2010: 122) terdapat dua macam konsep diri yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Individu yang memiliki konsep diri positif memiliki ciri-ciri mampu mengatasi permasalahan dalam kehidupan keseharian, cenderung lebih independen, percaya diri, bebas dari karakteristik yang tidak diinginkan seperti kecemasan, kegelisahan, perasaan takut yang berlebihan, perasaan kesepian dan sebaliknya.

Widiarti (2017:139) ada lima ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif yaitu memiliki keyakinan untuk menyelesaikan masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian dari orang lain tanpa rasamalu, memiliki kesadaran bahwa setiap orangmempunyai berbagai perasaan, keinginandan perilaku yang tidak seluruhnya disetujuioleh masyarakat, mampu memperbaiki dirikarena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspekkepribadian yang tidak disukainya dan mengubahnya. Memiliki keyakinan untuk menyelesaikan masalah,

(21)

sedangkan yang memiliki konsep diri negatif, ada 4 ciri-ciri yaitu peka pada kritik, sangat responsif pada pujian, cenderungmerasa tidak diperhatikan dan tidak disenangi oleh orang lain, bersikap pesimistis terhadap kompetisi, enggan untuk bersaing denganorang lain dalam hal prestasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwadimensi konsep diri yaitu penilaian mengenai identitas fisik, identitas moral-etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah laku fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku keluarga, tingkah laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik, penerimaan pribadi, penerimaan keluarga, dan penerimaan sosial.

3. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri

Hurlock (2011: 58) mengungkapkan kondisi yang mempengaruhi konsep diri yaitu:

1) Usia Kematangan

Individu yang matang lebih awal, diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.

2) Penampilan Diri

Penampilan diri yang berbeda membuat individu merasa rendah diri meskipun perbedaan yang menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri.

(22)

Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.

3) Nama dan julukan

Individu peka dan malu bila teman – teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila memberi julukan yang bernada cemooh.

4) Hubungan Keluarga

Individu yang mempunyai hubungan erat dengan seseorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan ciri denga orang tersebut dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Apaila tokoh tersebut sesama jenis, maka individu akan tertolong untuk mengembankan konsep diri yang layak untuk seksnya.

5) Teman – teman Sebaya

Teman – teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian individu dalam dua cara yakni pertama konsep diri individu merupakan cerminan dan anggapan tentang konsep teman dan dirinya. Kedua berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri- ciri kepribadian diakui oleh kelompok.

6) Kreativitas

Remaja yang semasa kanak kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas akademis, mengembangkan peran individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya.

7) Cita –cita

Bila individu mempunyai cita- cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan yang menimbulkan ketidak percayaan dirinya dan timbul perasaan

(23)

tidak mampu serta reaksi yang bertahan dimana individu menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Sebaliknya, individu yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Hal ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang baik.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi konsep diri menurut Herawati (2017: 214) antara lain:

1) Jenis Kelamin

Stereotipe sosial yang muncul dalam masyarakat memegang peranan penting dalam menentukan bagaimana seorang pria atau wanita bertindak dan berperasaan.

2) Harapan

Stereotipe sosial mempunyai peranan penting dalam menentukan harapan-harapan apa yang dipunyai oleh individu terhadap dirinya sendiri dimana harapan terhadap dirinya sendiri itu merupakan pencerminan dari harapan-harapan orang lain terhadap dirinya.

3) Suku bangsa

Dalam masyarakat yang heterogen terdapat beberapa kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ini ada yang dianggap minoritas dan ada yang merasa mayoritas. Apabila kelompok minoritas tidak menunjukkan kelebihannya dari kelompok mayoritas maka kelompok minoritas cenderung memperkembangkan konsep diri yang negatif.

(24)

Nama dan pakaian juga berpengaruh terhadap individu dalam memperkembangkan konsep dirinya.

5) Tingkat pendidikan dan pekerjaan

Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan berasal dari lembaga pendidikan yang terpandang cenderung memperkembangkan konsep diri yang positif.

Menurut Thalib (2010: 125) faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri yaitu:

1) Faktor keadaan fisik yaitu meliputi penilaian orang lain mengenai fisik individu.

2) Faktor keluarga yaitu meliputi pengasuhan orang tua, pengalaman prilaku kekerasan, sikap saudara, dan status sosial ekonomi.

3) Faktor lingkungan yaitu meliputi penilaian lingkungan terhadap individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri menurut Widiarti (2017: 139) adalah:

1) Penilaian orang lain

Manusia tidak bisa terlepas dari orang lain. Ia akan selalu berinteraksi dengan orang lain. Interaksi tersebutlah yang mempengaruhi bagaimana konsep diri seseorang. Naluri manusia untuk selalu hidup dan berhubungan dengan orang lain dan oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial (Jauhar, 2014). Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain. Konsep diri tersebut dipelajari melalui cermin orang lain yaitu dengan

(25)

cara pandangan diri merupakan inteprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri.

2) Kelompok rujukan (reference group).

Dari sebuah interaksi dalam sebuah kelompok, individu tersebut mempelajarinya sehingga bisa mempengaruhi atau bahkan memperkuat konsep dirinya. Pengalaman membuat individu menilai kembali apa yang kurang pada dirinya, sehingga individu tersebut dapat memperbaiki dirinya menjadi yang lebih baik lagi. Hal ini yang menjadikan kelompok rujukan sebagai salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsep diri.

Berdasarkan faktor-faktor diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri pada individu yaitu usia kematangan, penampilan diri, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman sebaya, kreativitas, cita-cita,penilaian orang lain dan kelompok rujukan.

C. Hubungan Kenakalan Remaja Dengan Konsep Diri

Konsep diri adalah pandangan dan perasaan mengenai segala keadaan yang ada dalam diri seseorang yang diperoleh melalui pengalaman melalui interaksi dengan lingkungan. Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

Agustiani (2014:139) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, individu akan lebih mudah untuk meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku seseorang berkaitan dengan

(26)

gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri. Jika remaja menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang positif, maka hal ini disebabkan oleh penilaian dirinya sendiri serta penilaian dirinya oleh orang lain bersifat positif. Hal yang sebaliknya dapat terjadi. Jika seseorang mempersepsikan dirinya sebagai orang yang inferior dibandingkan dengan orang lain, walaupun hal ini belum tentu benar, biasanya tingkah laku yang ditampilkan akan berhubungan dengan kekuranganyang dipersepsinya secara subjektif tersebut.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fatimah (2012: 2) yang mengangkat judul “Dinamika Konsep Diri pada Orang Dewasa Korban Child Abused” menyebutkan bahwa dua korban yang pernah mengalami child abused dan menerima kekerasan mengalami kepercayaan diri yang rendah tetapi setelah subjek beranjak dewasa, konsep diri yang terbentuk pada kedua subjek adalah konsep diri positif. Konsep diri positif tersebut terbentuk karena adanya dukungan dan motivasi orang lain (teman), kesadaran akan spiritualitas seperti shalat dan memperbanyak do’a, serta selalu mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi. Dampak konsep diri positif membuat hubungan dengan masyarakat semakin baik dan subjek lebih mudah bergaul dengan oranglain.

Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja yang mempunyai konsep diri positif dapat terhindar dari perilaku kenakalan yang sering terjadi pada remaja. Remaja yang dikatakan mempunyai konsep diri positif apabila remaja tersebut bisa menerima kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, optimis, harga diri dan bertanggung jawab. Sedangkan remaja yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif apabila remaja tersebut tidak mampu menerima kekurangan

(27)

yang ada pada dirinya, pesimis dan rendah diri. Sehingga cenderung melakukan kenakalan-kenakalan di lingkungannya.

D. Hipotesis

Berdasarkan penguraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah bahwa ada hubungan negatif antara konsep diri dengan kenakalan remaja. Artinya semakin positif konsep diri yang dimiliki maka tingkat kenakalan remaja rendah, sebaliknya semakin negatif konsep diri yang dimiliki maka tingkat kenakalan remaja tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan percobaan adalah mempelajari pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskula, penyediaan bahan organik dari pupuk kandang domba, dan dosis fosfat alam terhadap serapan P

sistem reservasi parkir mobil berbasis IoT ini menggunakan mikrokontroler NodeMcu sebagai pengolah data yang berhubungan dengan beberapa jenis sensor yang

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS yang terterah pada kolom t pada tabel Coefficients di atas untuk menunjukan hubungan linier antara Variabel

Akhir Pemberangkatan (PAP), dengan tujuan agar Calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri memiliki kesiapan mental kepribadian maupun kerohanian, memahami hak dan

27 Sejarah Perkembangan Pancasila ( yang dimaksud adalah perubahannya secara tekstual) berakhir pada masa sidang PPKI pertama tanggal 18 Agustus 1945, dengan disahkannya

(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa

Pengalaman seni : Pemusik Tradisional Pakpak, Pembuat alat musik..

Artinya masyarakat sengaja membeli produk kerajinan dari bahan baku limbah sebagai apresiasi dan dukungan terhadap program yang berorientasi terhadap penyelamatan