• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SUAKA MARGASATWA: STUDI KASUS DI SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SUAKA MARGASATWA: STUDI KASUS DI SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SUAKA MARGASATWA: STUDI KASUS DI SUAKA MARGASATWA KARANG

GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT

ONRIZAL

T.M. HANAFIAH OELIEM

Fakultas Pertanian

Program Ilmu Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SM KGLTL merupakan satu-satunya suaka mergasatwa di Indonesia yang sebagian besar kawasannya berupa hutan mangrove. Bersarkan letaknya di pesisir pantai, maka hutan mangrove merupakan kawasan ekoton yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dan lautan. Karena peranannya inilah, hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang unik. Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuk mensuplai kayu bakar, nener/ikan dan udang serta mempertahankan kualitas kawasan pertanian, perikanan dan pemukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, intrusi dan angin laut yang kencang. Oleh karena itu, dalam beberapa keadaan sumberdaya mangrove harus dikonservasi dan dilindungi sejalan dengan sejumlah pilihan-pilihan pengelolaan lestari yang layak. Berdasarkan kenyataan tersebut, pada tahun 1980, Menteri Pertanian telah menetapkan hutan mangrove di Karang Gading dan Langkat Timur Laut seluas 15.765 ha sebagai suaka alam c.q. suaka margasatwa yang semula berstatus hutan produksi.

SM KGLTL merupakan satu-satunya kawasan suaka margasatwa di Indonesia yang keseluruhan arealnya berupa tipe ekosistem mangrove. Secara alami kawasan SM KGLTL, merupakan habitat dari berbagai satwa dan merupakan salah satu tempat persinggahan burung-burung migran dari Siberia dan Eropa ke Australia dan Selandia Baru, sehingga keberadaan kawasan suaka margasatwa ini tidak hanya penting secara nasional, namun juga secara internasional.

Namun demikian, hingga saat ini pengelolaan SM KGLTL belum didasarkan pada data potensi kawasan dan belum dilakukan secara optimal, baru terbatas pada pengamanan kawasan (Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 1998). Pada sisi lain, kelestarian kawasan semakin terancam akibat semakin meningkatnya tekanan terhadap kawasan, akan tetapi tidak cepat teratasi. Dalam kaitan ini, salah satu kegiatan yang penting dilakukan adalah pengumpulan data dan informasi mutakhir dari potensi kawasan dan permasalahan serta ancaman terhadap kawasan, sehingga kegiatan berikutnya dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

(2)

1.2. Tujuan

Studi ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mutakhir dari potensi kawasan dan permasalahan serta ancaman terhadap pengembangan dan pengelolaan kawasan SM KGLTL yang berupa ekosistem mangrove.

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Lokasi Kegiatan

Pengamatan lapangan dilakukan bulan Februari 1999. Kegiatan pengamatan dilakukan di kawasan SM KGLTL (Lampiran 1), sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/11/ 1980 tanggal 5 November 1980.

2.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah (a) peta kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang merupakan hasil interpretasi Citra Landsat 5 TM Band 542, 8 Juli 1995, dan (b) sumber pustaka tentang SM KGLTL.

Sedangkan peralatan yang digunakan adalah peralatan survey, seperti meteran, tambang, kompas, teropong dan lainnya.

2.3. Metode Kegiatan

Kajian ini dilakukan dengan pengamatan secara umum melalui penjelajahan ringan terhadap (a) kondisi biofisik kawasan, yang meliputi vegetasi, satwa, tanah, dan perairan, dan (b) kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Selain itu juga dilakukan dengan pengumpulan data sekunder tentang kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Status Kawasan

Kelompok hutan mangrove di Karang Gading dan Langkat Timur Laut ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam, yakni Suaka Margasatwa oleh Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan Nomor 811/Kpts./Um/11/1980 tanggal 5 November 1980 dengan luas sekitar 15.765 ha. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penunjukkan kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa sangat beralasan, karena:

a. Kawasan hutan di Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan habitat berbagai satwa liar, terutama berbagai jenis burung dan merupakan salah satu tempat persinggahan jenis-jenis burung migran dari Eropa dan Siberia menuju Australia dan Selandia Baru. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Giesen dan Sukotjo (1991) dilaporkan bahwa di kawasan SM KGLTL dijumpai 44 jenis burung, dimana 13 diantaranya merupakan burung migran, 12 jenis mamalia, dan 13 reptilia.

b. Hutan mangrove di daerah yang bersangkutan membentuk ekosistem mangrove dengan hamparan yang cukup kompak dan luas yang mencirikan perwakilan mangrove di kawasan Indonesia bagian barat. Giesen dan Sukotjo (1991), melaporkan bahwa kawasan SM KGLTL ditumbuhi oleh 37 jenis dari 21 suku

(3)

(Lampiran 2). Berdasarkan kategori Tomlinson (1986), vegetasi yang dijumpai tersebut terdiri atas major component: 10 jenis, minor component: 6 jenis, dan

mangal associate: 21 jenis.

c. Kondisi seperti ini menjadikan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satu-satunya Suaka Margasatwa di Indonesia yang keseluruhan arealnya merupakan tipe ekosistem mangrove.

Dengan demikian, status kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa sangat beralasan untuk dipertahankan.

3.2. Gangguan Kawasan

Sebelum ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, penduduk secara perorangan sudah mengambil kayu secara tidak sah dan memanfaatkan lahan kawasan Suaka Margasatwa sebagai lahan tambak. Walaupun sejak tahun 1980 hutan mangrove di Karang Gading dan Langkat Timur Laut ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa tetapi pengambilan kayu dan pemanfaatan lahan Suaka Margasatwa ini secara tidak sah masih terus berlangsung.

Pengambilan kayu dan pemanfaatan lahan yang ada pada awalnya dilakukan secara perorangan meningkat menjadi secara berkelompok dan lebih terorganisir. Sejak tahun 1995 pelanggaran makin meningkat, perambahan sudah dilakukan, baik oleh berbagai macam koperasi maupun badan usaha swasta (Perseroan Terbatas). Hal ini hanya dapat dimungkinkan karena adanya kesalahan ataupun penyalahgunaan wewenang dari instansi pemerintah.

Gangguan utama terhadap kawasan Suaka Margasatwa yang sudah berlangsung cukup lama hingga saat ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Okupasi lahan, baik oleh penduduk sekitar hutan maupun oleh mereka yang berada di luar hutan tetapi mempunyai modal kuat. Okupasi lahan ini dimaksudkan untuk mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak ikan/udang dan lahan budidaya (kebun kelapa sawit dan jenis tanaman lainnya).

Diperkirakan okupasi lahan di kawasan Suaka Margasatwa sudah mencapai 3.650 ha dengan lokasi dan perincian luas sebagai berikut:

1). Resort Karang Gading

- Tambak 1400 ha

- Kebun kelapa sawit 1200 ha

- Lain-lain 250 ha

2). Resort Langkat Timur Laut I

- Kebun kelapa sawit dan sawah 600 ha 3). Resort Langkat Timur laut II

- Tambak 200 ha

Dengan demikian, secara kasar saat ini luas okupasi lahan oleh pihak lain di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut diperkirakan melebihi 3.650 ha. laju pengokupasian oleh berbagai pihak meningkat dengan tajam dalam beberapa tahun terakhir.

b. Penebangan pohon mangrove secara liar di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang sudah berlangsung sejak lama dengan dikeluarkannya izin pemberian HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan).

Sampai tahun 1994, nampaknya penebangan pohon mangrove dilakukan dalam skala besar, baik oleh penduduk sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Kayu berbagai jenis mangrove tersebut dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan arang pada kilang arang yang tumbuh menjamur di Sumatera Utara yang selanjutnya diekspor. Kantor Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara (1998) melaporkan bahwa kilang arang yang

(4)

terdapat disekitar kawasan tercatat 16 unit. Jumlah dapur dari ke-16 kilang arang tersebut adalah sebanyak 88 buah dengan kebutuhan kayu bakau 2000 batang/dapur/40 hari.

Pada tahun 1994, Pemerintah Daerah setempat melarang beroperasinya Kilang Arang dalam rangka menyelamatkan hutan mangrove di kawasan Suaka Margsatwa. Sejak itu, nampaknya penebangan liar pohon mangrove agak berkurang. Namun saat ini, penebangan pohon mangrove masih dilakukan oleh penduduk sekitar kawasan.

Akibat penebangan pohon mangrove secara terus menerus, saat ini hampir semua areal hutan mangrove di Suaka Margasatwa di dominasi oleh vegetasi mangrove tingkat semai (seedling) dan pancang (sapling) dengan tinggi sekitar 1 - 4 meter. hanya sedikit vegetasi mangrove di kawasan tersebut berada pada tingkat tiang (pole) dan pohon (tree) (berdiameter 10 cm ke atas). Bahkan dibeberapa lokasi ditemukan tempa-tempat yang sangat kurang permudaan pohonnya.

Pada waktu survey lapangan melalui paluh-paluh selama 5 jam terlihat 15 perahu membawa potongan kayu bakau tebangan diameter 5 - 10 cm masing-masing perahu membawa 1 - 2 m3 kayu. Dengan perkataan lain, hutan mangrove di kawasan SM KGLTL berupa hutan mangrove muda tidak sempat bertambah menjadi pohon yang besar.

c. Pengambilan biota air yang tidak terkendali

Pengambilan biota air terutama ikan, udang, kepiting di dalam kawasan SM KGLTL, saat ini dinilai tidak terkendali. Di samping tidak terbatasnya pengambilan biota air, baik lokasi maupun jumlahnya, juga cara-cara pengambilannya masih belum memperhatikan kelestarian/konservasi. Sebagai contoh, pemasangan ambai (jaring yang dipasang pada tiang-tiang yang ditancap) baik di muara maupun di batang sungai menutup lebih setengah lebar muara dan lebar sungai. Hal ini berakibat buruk terhadap populasi ikan dan udang. Ikan dan udang yang akan mencari makan dan bertelur dari laut sebagian besar terjaring, demikian pula benih-benih ikan dan udang yang akan menuju laut untuk pembesaran mengalami nasib yang sama.

d. Perburuan liar

Perburuan liar terjadi dalam kawasan yang jauh dari pengawasan dengan sasaran perburuan berupa satwa darat dan burung, baik burung endemik maupun migran. Peralatan yang dipakai dalam perburuan berupa jebakan/jerat, anjing pemburu, sumpit dan senapan angin (Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 1998).

3.3. Permasalahan

Permasalahan saat ini yang berkaitan dengan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dapat dikategorigan sebagai berikut:

a. Okupasi lahan kawasan Suaka Margasatwa, terutama oleh pihak luar (bukan penduduk sekitar hutan) yang bermodal kuat untuk pembangunan tambak intensif dan kebun kelapa sawit. Dalam skala kecil, penduduk sekitar kawasan hutan mengokupasi lahan dalam bentuk tambak alam (empang paluh) dan sawah. Okupasi dan eksploitasi areal Suaka Margasatwa secara besar-besaran tidak dilakukan oleh penduduk sekitar tetapi oleh pemodal dari luar.

b. Kualitas vegetasi mangrove yang rendah akibat penebangan liar pohon mangrove secara besar-besaran di masa lalu, sehingga hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut tidak

(5)

berfungsi optimal sebagai habitat satwa liar, terutama bagi berbagai jenis burung.

c. Persepsi masyarakat sekitar hutan terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove sebagai suatu unit ekosistem belum tumbuh. Hal ini disebabkan karena kegiatan penyuluhan dari petugas terhadap penduduk sekitar hutan belum berjalan optimal.

d. Tataguna lahan di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut belum tertata dengan baik sesuai dengan kesesuaian lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

e. Belum adanya koordinasi antar instansi yang terkait dengan keberlangsungan pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa. Hal ini terbukti dengan terbitnya surat izin pemanfaatan lahan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut oleh aparat pemerintah daerah (kepala desa, camat, dan lain-lain) dan pihak luar lainnya tanpa berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kehutanan setempat.

f. Masih kurangnya petugas lapangan dan sarana-prasarana untuk pengawasan dan pengamanan kawasan. hanya ada 15 orang pengawas lapangan dari Kehutanan untuk areal 15.765 ha dan sarana sebuah speed boat kapasitas 6 orang.

g. Tanda-tanda batas kawasan banyak yang hilang/tidak ada 3.4. Rencana Aksi (Actions Plan)

Kondisi kawan SM KGLTL, seperti yang telah diuraikan di atas, saat ini sangat memprihatinkan, sehingga kawasan tersebut tidak dapat berfungsi secara optimal. Apabila kondisi kawasan tersebut tidak segera dipulihkan, maka akan semakin mengancam kelestarian dan keseimbangan ekosistem kawasan yang bersangkutan. Pada akhirnya akan sangat sulit dan sangat mahal untuk mengembalikan kondisi kawasan, sehingga dapat berfungsi kembali secara optimal sesuai dengan tujuan penetapannya sebagai suaka margasatwa. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan berbagai upaya untuk mengembalikan kondisi kawasan tersebut sesuai dengan fungsinya.

Secara garis besar, sesuai dengan klasifikasi kondisi kawasan, ada 3 (tiga) bentuk kegiatan untuk mengambalikan kawasan tersebut, yaitu: (a) mempertahankan dan memantapkan areal yang masih baik, yaitu pada areal yang belum terganggu dengan kondisi mangrove masih baik, (b) merehabilitasi areal yang rusak, yaitu areal yang rusak akibat penebangan liar, sehingga kondisi mangrove sudah rusak, namun lahannya belum dikonversi untuk penggunaan lain (misal: tambak, kebun dan lainnya), dan (c) melaksanakan revitalisasi areal yang rusak berat, yaitu areal yang telah dikonversi untuk penggunaan lain.

Agar berbagai upaya tersebut dapat mencapai sasarannya, maka upaya tersebut harus didasari dengan data yang akurat dan komprehensif dari SM-KGLTL, yaitu data: (a) ekologi kawasan, yang meliputi data kondisi dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem mangrove, yaitu flora, fauna, tanah, iklim, salinitas dan kualitas perairan; dan (b) sosial-ekonomi dan budaya masyarakat, baik yang berada di dalam kawasan maupun yang berada di sekitar kawasan. Selain itu, pelaksanaan berbagai upaya tersebut harus didukung oleh koordinasi yang baik dari berbagai instansi yang terkait dan penegakan hukum. Sehingga pengelolaan yang dilakukan merupakan pengelolaan yang didsarkan atas potensi kawasan dan kebutuhan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan (community base management)

Pola pengembangan masyarakat dan pengaman kawasan dapat dilakukan dalam bentuk skenario usaha social forestry (misal: sylvofishery, agroforestry, dan lainnya) (Departemen Kehutanan (1997) dan untuk tahapan awal dilakukan dengan cara pembangunan plot-plot percontohan (Research and Extension Centre) bagi

(6)

pembinaan dan menumbuhkembangkan kekuatan kelembagaan ekonomi masyarakat sekitar hutan yang bermukim di daerah penyangga melalui instroduksi bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat produktif dan berkelanjutan, sehingga masyarakat setempat tidak merusak dan merambah potensi hayati dan lahan kawasan.

Mengingat adanya aturan dalam Keppres No 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa bentuk pemanfaatan lahan di suatu kawasan Suaka Margasatwa adalah bentuk pemanfaatan yang seminimal mungkin merubah bentang darat kawasan, sehingga gangguan terhadap ekosistem sangat kecil, maka pola pengembangan masyarakat di daerah penyangga atau diluar kawasan SM KGLTL.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

a. Sudah terjadi perubahan pada tataguna lahan di dalam kawasan menjadi lahan perkebunan dan tambak udang secara intensif, sehingga mengganggu ekosistem kawasan.

b. Bila tindakan okupasi lahan secara liar dan tidak terkendali tidak secepatnya dicegah maka dikuatirkan lahan hutan mangrove ini secara luas menjadi rusak dan sangat memprihatinkan bila satu-satunya Suaka Margasatwa di Indonesia yang keseluruhan arealnya merupakan tipe ekosistem mangrove ini menjadi rusak/punah.

4.2. Saran

a. Perlu upaya yang terpadu dan terstruktur untuk mencegah perluasan perubahan tataguna lahan secara ilegal.

b.

Dalam rangka pengembangan masyarakat pengamanan kawasan dapat dilakukan dalam bentuk skenario usaha social forestry (misal: sylvofishery,

agroforestry, dan lainnya) dan untuk tahapan awal dilakukan dengan cara

pembangunan plot-plot percontohan (Research and Extension Centre) bagi pembinaan dan menumbuhkembangkan kekuatan kelembagaan ekonomi masyarakat sekitar hutan yang bermukim di daerah penyangga melalui instroduksi bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat produktif dan berkelanjutan. Kegiatan tersebut dilakukan di luar atau di daerah penyangga kawasan.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di

Indonesia. Jilid 2: Strategi dan Rancang Tindak. Departemen Kehutanan

RI, Jakarta.

Giesen, W and Sukotjo. 1991. Karang Gading - Langkat Timur Laut Wildlife

Reserve, North Sumatra. Director-General of Forest Protection and Nature

Conservation - Asian Wetland Bereau Indonesia. Jakarta.

Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara. 1998.

Keberadaan dan Arahan Pengembangan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan

Perkebunan Sumatera Utara. Medan.

Thomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. London

(8)

Lampiran 1. Peta kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut

(9)

Lampiran 2. Jenis flora mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (Giesen and Sukotjo, 1991)

No. Suku Jenis Nama Lokal

1. Acanthaceae 1. Acanthus ilicifolius jeruju 2. Araceae 2. Cryptocoryne ciliata keladi air 3. Asteraceae 3. Pluceae indica beluntas 4. Avicenniaceae 4. Avicennia alba

5. Avicennia officinalis api-api hitam api-api putih 5. Casuarinaceae 6. Casuarina equisetifolia cemara 6. Chyperaceae 7. Cyperus compacius

8. Cyperus copressus 9. Cyperus javanicus 10. Cyperus malaccensis 11. Fimbristhylis ferrugunea pepayungan jeriwit karisan mensiang paha belalang 7. Convolvulaceae 12. Ipomoea pes-caprae ?

8. Euphorbiaceae 13. Excoecaria agallocha buta-buta 9. Fabaceae 14. Caesalpinia crista gepeng 10. Logan 15. Fagraea crenulata pilang 11. Malvaceae 16. Hibischus tiliaceus

17. Thespesia populnea baru-baru baru-baru 12. Meliaceae 18. Xylocarpus granatum

19. Xylocarpus malaccensis

nyirih nyirih batu 13. Palmae 20. Daemonorops leptopus

21. Livistonia cf.saribus 22. Nypa fruticans 23. Oncosperma tigillarium rotan air ibus nipa nibung 14. Pandanaceae 24. Pandanus tectorius pandan 15. Poaceae 25. Chloris gayana ? 16. Pteridaceae 26. Acrostichum aureum

27. Acrostichum speciosum piai piai 17. Rhizophoraceae 28. Bruguiera gymnorrhiza

29. Bruguiera parviflora 30. Bruguiera sexangula 31. Ceriops tagal 32. Rhizophora apiculata tumus lengadai mata buaya tengar bakau 18. Rubiaceae 33. Scyphiphora hydrophyllacea cingam

19. Sonneratiaceae 34. Sonneratia alba

35. Sonneratia ovata berembang perapat 20. Tiliaceae 36. Brownlowia tersa dungun 21. Typaceae 37. Typha angustifolia banat, banak

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Pada sistem gerak diferensial seperti pada Gambar 1 (Kiri), robot dapat bergerak karena adanya perbedaan kecepatan angular roda dan hanya dapat bergerak maju dengan

The test tube number 9 was the negative control that showed the negative antibacterial result, and the test tube number 10 was the positive control and showed the presence

Dalam implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Governance.Dampak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap bentuk badan hukum dan

Sebuah jalur transmisi maupun rangkaian listrik dalam sebuah jaringan dapat berupa rangkaian resistor, sebuah rangkaian jalur transmisi ataupun terdiri dari

Pengaturan BUMD sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah belum berbanding lurus dengan perkembangan sistem tata kelola perusahaan yang

World Health Organization (2011) Health