• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. karena seseorang menerima sebuah kondisi yang tidak diharapkan dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. karena seseorang menerima sebuah kondisi yang tidak diharapkan dari"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres Kerja

1. Definisi stres kerja

Topik stres telah menarik banyak peneliti untuk mempelajari stres dalam kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Stres pada umumnya terjadi karena seseorang menerima sebuah kondisi yang tidak diharapkan dari lingkungannya, sehingga menimbulkan reaksi-reaksi tertentu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Rollinson (2005) yang menyatakan bahwa stres kerja merupakan respon adaptif individu terhadap interaksi antara individu dengan pekerjaannya, yang mana seberapa tinggi tingkat yang dialami tergantung dari perbedaan individual atau proses psikologis lainnya. Lebih lanjut, Rollinson (2005) menjelaskan bahwa respon adaptif ini mencakup kondisi dan perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh individu. Teori yang dikemukakan oleh Rollinson juga disepakati oleh ahli lainnya, seperti Kreitner & Kinicki (2005) yang mendefinisikan stres kerja sebagai respon adaptif yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi, atau peristiwa yang memberikan tuntutan psikologis atau fisik pada individu. Luthans (2006) juga memberikan definisi yang sejalan mengenai stres kerja, yaitu sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisiologis, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi.

(2)

Berdasarkan pemaparan mengenai definisi stres kerja, dalam penelitian ini stres kerja dipandang sebagai respon adaptif berupa kondisi dan perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh individu akibat adanya ketidaksesuaian antara kemampuan yang dimiliki dengan tuntutan pekerjaan.

2. Dampak stres kerja

Menurut Rollinson (2005), keberadaan stres kerja dapat diukur melalui intensitas dampak-dampak yang dialami oleh individu selama bekerja. Adapun dampak-dampak stres kerja menurut Behr (dalam Rollinson, 2005) yaitu :

a. Dampak fisiologis (physiological outcomes)

Stres kerja dapat berdampak pada kesehatan fisiologis individu. Sebagai ilustrasinya, sistem endokrin manusia memungkinkan tubuh untuk melawan dari pengaruh seperti kuman dan mikroba, dan memainkan peran dalam penyediaan energi adaptif untuk mengatasi hal-hal baru yang masuk ke tubuh, ketidakpastian dan konflik; kondisi-kondisi yang berhubungan dengan sumber stres kerja. Jika cadangan endokrin terbatas dan harus digunakan untuk menyediakan energi untuk mengatasi sumber stres kerja, maka sederhananya, individu tersebut akan kekurangan energi untuk melawan mikroba. Stres kerja yang berat juga diketahui sering diiringi dengan meningkatnya kolesterol di dalam darah dan meningkatnya tekanan darah. Oleh karena fenomena ini berhubungan dengan serangan jantung, maka hal ini merupakan alsan yang mendasar bahwa stres merupakan faktor penyumbang utama, dan ada juga yang menyatakan bahwa ada hubungan antara beberapa bentuk kanker dan stres kerja. Selain itu, stres kerja juga dapat mengganggu ritme sirkadian pada individu sehingga dapat menyebabkan masalah

(3)

pada gastrointestinal (lambung) dan pola tidur. Selanjutnya, stres kerja yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan ketegangan fisik yang menyakitkan dan umumnya terjadi di jaringan tulang punggung sehingga menyebabkan rasa nyeri di sekitar punggung hingga area kepala.

b. Dampak psikologis (psychological outcomes)

Dampak dari stres pada kondisi psikologis individu, yaitu : 1) Frustrasi dan agresi

Frustrasi terjadi ketika pencapaian tujuan terhalangi. Terhalangnya pencapaian tujuan merupakan hal yang selalu ada di dalam kehidupan kerja dan banyak sumber stres telah dijelaskan dapat memunculkan kondisi frustrasi. Ketika kondisi frustrasi yang dialami terjadi dalam periode yang panjang atau telah berlebihan dari ambang batas yang dapat ditoleransi, frustrasi dapat menggerakkan suatu kondisi emosional yang sangat mudah memburuk menjadi agresi. Oleh sebab itu, tidak heran apabila stres yang berat berhubungan dengan perilaku agresif seperti melontarkan kata-kata yang kasar, menggunakan nadayang meninggi pada saat berbicara, permusuhan di dalam hubungan interpersonal, atau bahkan sabotase.

2) Kecemasan

Kecemasan terjadi ketika sesorang yakin bahwa ia tidak memiliki solusi yang efektif untuk menghadapi situasi yang mengganggu; memiliki rasa takut yang merupakan reaksi terhadap bahaya yang dianggap ada. Banyak sumber stres yang telah diidentifikasikan di awal berhubungan dengan ambigitas dan ketidakpastian mengenai masa depan, dan hampir selalu mendorong terjadinya kecemasan. Rasa

(4)

cemas ini juga dapat menyebabkan perasaan yang kurang bahagia terhadap kehidupan yang dimiliki, baik kehidupan pribadi, pekerjaan maupun sosial.

3) Depresi

Oleh karena depresi dapat terjadi dalam bentuk yang sangat bervariasi dan berbeda, maka depresi sangat sulit untuk dijelaskan. Meskipun demikian, Flach (dalam Rollinson, 2005) memberikan beberapa gejala dari depresi yang kronik, yaitu tidur yang terganggu, kehilangan selera makan, rendahnya dorongan seksual, kebimbangan, kelelahan, kurangnya konsentrasi, menghindari kontak sosial, tidak dapat menemukan kesenangan hampir dalam segala hal, dan merasa terperangkap dan tidak berdaya.

4) Kelelahan (Burnout)

Kelelahan (burnout) dapat dijelaskan sebagai rasa kelelahan yang berkembang ketika individu mengalami banyak sekali tekanan dan kurangnya sumber kepuasan. Meskipun hal ini lebih bersifat umum dibandingkan depresi, burnout hampir selalu diasosiasikan dengan sumber stres yang berhubungan dengan pekerjaan dan berhubungan juga dengan dampak-dampak berupa kelelahan emosional, kelelahan fisik, tidur yang terganggu, ketiadaan perasaan positif mengenai pekerjaan, perasaan tidak berdaya dan tidak berguna, memiliki perspektif pesimis terhadap hampir seluruh hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

(5)

c. Dampak kognitif (cognitive outcomes)

Stres kerja juga berdampak pada proses berpikir individu karena hormon yang dilepaskan selama mengalami stres kerja dapat berpengaruh terhadap sistem kerja otak. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, penurunan daya ingat, penurunan kemampuan untuk memperhatikan, dan penyimpangan persepsi (hanya pada kasus-kasus yang ekstrim).

d. Dampak perilaku (Behavioural Outcomes)

Stres kerja dapat berdampak pada perilaku individu, seperti performa kerja menurun, ketidakhadiran, turnover, dan penggunaan alkohol dan obat-obatan.

3. Pengukuran Stres Kerja

Pengukuran stres kerja melalui intensitas dampak-dampak yang dialami oleh individu dilakukan dengan teknik self-report measure (Rollinson, 2005 ; Robbins, 2006). Self-report measure menggunakan kuesioner yang berisikan pernyataan mengenai intensitas pengalaman fisiologis, psikologis, kognitif, dan perilaku yang dialami dalam peristiwa kehidupan bekerja seseorang. Pernyataan yang diajukan tidak bersifat mutlak. Artinya pertanyaan dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu.

Pengukuran stres kerja dengan teknik self-report measure akan menunjukkan seberapa berat stres kerja yang dialami dan akan diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkatan stres kerja (Rice, dalam Rollinson 2005 ; Robbins, 2006). Adapun tingkatan stres kerja sebagai berikut:

a) Stres ringan. Terjadi apabila seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya merasakan adanya sedikit tekanan. Biasanya tekanan yang

(6)

dialami tidak berlangsung lama, hanya bebnerapa menit atau hitungan jam. Jika mengalami stres ringan, maka motivasi dan kreativitas kerja karyawan menurun.

b) Stres sedang. Terjadi apabila seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya merasakan adanya tekanan dalam jumlah optimal dan dapat memacu dalam melaksanakan pekerjaan. Biasanya tekanan yang dialami berlangsung lebih lama. Rentang terjadinya tekanan mulai dari beberapa jam hingga beberapa hari. Jika mengalami stres sedang, akan muncul rasa tidak puas terhadap pekerjaan dan timbul konflik hubungan interpersonal.

c) Stres berat. Terjadi apabila seorang karyawan apabila dalam melaksanakan pekerjaannya merasakan tekanan yang berada di luar kemampuannya untuk menghadapinya. Tekanan yang dihadapi biasanya berlangsung dalam hitungan minggu hingga beberapa tahun. makin sering dan makin lama situasi stres maka semakin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Jika mengalami stres berat, maka akan timbul rasa jenuh dalam bekerja, mudah menyerah/putus asa, produktivitas kerja menurun, loyalitas berkurang, dan meninggalkan kerja atau tidak hadir saat bekerja.

B. Beban Kerja Mental

1. Definisi beban kerja mental

Beban kerja mental dicetuskan pertama sekali oleh Henry R. Jex (dalam Hancock & Meshkati, 1988 ; Munoz dan Martinez, 2006 ; Weigl dkk., 2014) yaitu persepsi karyawan mengenai selisih yang timbul dari beban atensi (antara kapasitas karyawan dan tuntutan tugasnya) ketika sedang melakukan suatu tugas

(7)

tertentu. Selama beberapa tahun terakhir, banyak sekali peneliti yang mengembangkan riset mengenai beban kerja mental dengan merujuk pada konsep yang dicetuskan oleh Henry R. Jex, diantaranya adalah Hancock dan Meshkati (1988 ; Munoz dan Martinez, 2006 ; Weigl dkk., 2014).

Menurut Meshkati (Hancock & Meshkati, 1988 ; Munoz dan Martinez, 2006 ; Weigl dkk., 2014), pada dasarnya aktivitas manusia dapat digolongkan menjadi kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak). Meskipun tidak dapat dipisahkan, namun masih dapat dibedakan pekerjaan dengan dominasi fisik dan pekerjaan dengan dominasi aktivitas mental. Aktivitas fisik dan mental ini menimbulkan konsekuensi, yaitu munculnya beban kerja fisik dan beban kerja mental.

Hancock dan Meshkati (1988 ; Munoz dan Martinez, 2006 ; Weigl dkk., 2014) juga menjelaskan bahwa beban kerja mental merupakan evaluasi subjektif karyawan terhadap jarak antara tuntutan pekerjaan (task demand) dengan kapasitas pekerja yang sedang melakukan pekerjaan mental. Sejalan dengan itu, Wickens & Holland (2000) menyatakan beban kerja mental sebagai hubungan antara kemampuan kerja dan tuntutan tugas.

Oleh sebab itu, di dalam penelitian ini beban kerja mental dipandang sebagai persepsi karyawan terhadap kesenjangan antara kapasitas yang dimilikinya dengan kebutuhan pekerjaan yang harus ia lakukan.

2. Pengukuran beban kerja mental

Beban kerja mental dapat diukur secara subjektif, yaitu pengukuran yang sumber data yang dioleh adalah data yang bersifat kualitatif dan berasal dari persepsi individu (Hancock dan Meshkati, 1988 ; Munoz dan Martinez, 2006 ;

(8)

Weigl dkk., 2014). Terdapat beberapa metode pengukuran beban kerja mental secara subjektif. Menurut Hancock dan Meshkati (1988 ; Munoz dan Martinez, 2006 ; Weigl dkk., 2014) metode pengukuran yang paling banyak digunakan dan terbukti memberikan hasil yang cukup baik adalah Subjective Workload Assesment Technique (SWAT). Pada bidang layanan jasa, SWAT terbukti efektif untuk mengukur beban kerja mental dalam bidang layanan jasa. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Revalicha & Sami’an (2013) pada perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang menggunakan SWAT sebagai alat ukur beban kerja mental.

Metode pengukuran SWAT dikembangkan oleh Gary B. Reid dari Divisi Human Engineering pada Armstrong Laboratory, OHIO-USA, yang didasarkan pada teori Henry R. Jex mengenai beban kerja mental. Metode ini menggunakan 3 dimensi beban kerja mental sebagai acuan pengukurannya (Reid & Nygren, dalam Wickens dan Holland, 2000), seperti yang dijabarkan pada tabel 1.

Tabel 1. Dimensi Pengukuran Beban Kerja Mental SWAT

NO DIMENSI KETERANGAN

1 Beban Waktu (Time Load) Menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan distribusi tugas.

2 Beban Usaha Mental (Mental Effort)

Menunjukkan banyaknya usaha mental dalam melaksanakan suatu pekerjaan ; berkaitan dengan keterampilan dan proses kognitif.

3 Beban Tekanan Psikologis (Psychological Stress)

Menunjukkan tingkat resiko pekerjaan, kejelasan pekerjaan, kesesuaian kompensasi yang diperoleh, dan frustrasi.

Peneliti mengembangkan alat ukur untuk mengukur beban kerja mental berdasarkan dimensi pengukuran SWAT yang dikemukakan oleh Reid (Reid &

(9)

Nygren, dalam Wickens dan Holland, 2000). Hal ini dilakukan agar konten alat ukur yang digunakan sesuai konteks penelitian pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar.

Pengukuran beban kerja mental dengan metode SWAT akan menunjukkan seberapa berat beban kerja mental yang dialami dan akan diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkatan beban kerja mental (Reid & Nygren, dalam Wickens dan Holland, 2000). Adapun tingkatan beban kerja mental sebagai berikut:

a) Beban kerja mental ringan. Terjadi jika karyawan sering memiliki waktu luang. Interupsi atau penumpukan tugas diantara aktivitas-aktivitas jarang terjadi atau bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu, sangat sedikit usaha mental atau konsentrasi yang dibutuhkan. Aktivitas hampir bersifat otomatis dan membutuhkan sedikit perhatian atau bahkan tidak membutuhkan perhatian sama sekali. Terjadi sedikit kebingungan, resiko, dan kekhawatiran dimana hal-hal tersebut dapat diakomodasi secara mudah.

b) Beban kerja mental sedang. Terjadi jika karyawan kadang-kadang mempunyai waktu senggang. Interupsi atau penumpukan aktivitas kadang terjadi. Membutuhkan usaha mental atau konsentrasi dengan jumlah sedang, yang mana hal ini disebabkan oleh ketidaktentuan, kesulitan untuk melakukan prediksi atau kurang terbiasa dengan tugas. Selain itu terjadi tekanan dengan tingkat sedang yang disebabkan oleh kebingungan dan kekhawatiran yang ada dalam beban kerja. Hal ini membutuhkan kompensasi yang signifikan untuk mempertahankan kinerja yang dibutuhkan.

(10)

c) Beban kerja mental berat. Terjadi jika karyawan hampir tidak memiliki waktu luang. Interupsi atau penumpukan jumlah aktivitas sering terjadi setiap waktu. Selain itu juga membutuhkan banyak usaha mental dan konsentrasi. Aktivitas yang dilakukan sangat kompleks dan membutuhkan perhatian total. Tekanan yang dihadapi sangat tinggi atau sangat sering terjadi yang disebabkan oleh kebingungan dan kekhawatiran. Sangat diperlukan determinasi dan kontrol diri yang kuat untuk mengatasinya.

C. Hardiness

1. Definisi hardiness

Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa (dalam Rollinson, 2005). Kobasa memulai dengan adanya perbedaan-perbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan mengkombinasikan variabel ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan tipe kepribadian yang lebih komprehensif (Smet, 1993). Konseptualisasinya tentang hardiness adalah sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam perlawanan terhadap stres. Hardiness merupakan konstelasi atau sekumpulan ciri kepribadian yang memampukan individu untuk bertahan dalam situasi yang penuh tekanan sehingga menjadikannya lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam menghadapi stres dan mengurangi efek negatif yang dihadapi (Kobasa, dalam Rollinson, 2005).

Sejalan dengan itu, DiMatteo dan Martin (2002) juga menjelaskan bahwa hardiness adalah konstruk psikologi yang merujuk pada kestabilan individu dalam memberikan respon terhadap peristiwa. Rollinson (2005) juga sependapat dengan Kobasa bahwa hardiness merupakan karakteristik psikologis yang dapat

(11)

membantu individu untuk bertahan menghadapi stres. Kreitner dan Kinicki (2005) juga menyebutkan bahwa hardiness melibatkan kemampuan secara sudut pandang atau secara keperilakuan mengubah sumber stres yang negatif menjadi tantangan yang positif. Nelson dan Quick (2011) juga memperkuat gagasan bahwa hardiness merupakan suatu konstelasi tipe kepribadian yang mampu bertahan terhadap distress dan dikarakteristikkan oleh komitmen, kontrol dan tantangan.

Rollinson (2005) menyebutkan bahwa individu dengan hardiness yang tinggi memiliki sikap yang membuat mereka lebih mampu dalam melawan stres. Individu yang memiliki hardiness yang rendah dalam kondisi memiliki ketidakyakinan akan kemampuan dalam mengendalikan situasi. Individu dengan hardiness yang rendah memandang kemampuannya rendah dan tidak berdaya serta diatur oleh nasib. Penilaian tersebut menyebabkan kurangnya pengharapan, membatasi usaha dan mudah menyerah ketika mengalami kesulitan sehingga mengakibatkan kegagalan.

Pada penelitian ini, hardiness dipandang sebagai sekumpulan ciri kepribadian yang memampukan individu untuk bertahan dalam situasi yang penuh tekanan sehingga menjadikannya lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam menghadapi stres dan dapat mengurangi efek negatif yang dihadapi.

2. Karakteristik hardiness

Hardiness terdiri dari tiga karakteristik yaitu komitmen, kontrol, dan tantangan. Menurut Kobasa (Rollinson, 2005 ; Kreitner & Kinicki, 2005). Adapun penjelasan dari ketiga karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

(12)

a. Komitmen

Komitmen didefinisikan sebagai sejauh mana keterlibatan individu pada pekerjaan mereka. Karakteristik komitmen juga melibatkan kemampuan untuk percaya pada kebenaran, kepentingan, dan nilai-nilai yang menarik dari hal yang sedang dilakukannya. Orang yang berkomitmen memiliki suatu pemahaman akan tujuan dan tidak menyerah di bawah tekanan karena mereka cenderung menginvestasikan diri mereka sendiri dalam situasi tersebut.

b. Tantangan

Tantangan didefinisikan sebagai sejauh mana individu tersebut meyakinii bahwa perubahan merupakan hal yang wajar. Tantangan merupakan keyakinan bahwa perubahan merupakan suatu bagian yang normal dari kehidupan. Oleh karena itu, perubahan dipandang sebagai suatu kesempatan untuk pertumbuhan dan perkembangan dan bukan sebagai ancaman pada keamanan. Pandangan ini menjadikan individu gigih dan antusias dalam menyongsong masa depan.

c. Kontrol

Kontrol didefinisikan sebagai sejauh mana individu merasa ia mampu mempengaruhi hasil akhir dari suatu peristiwa. Kontrol melibatkan keyakinan bahwa individu mampu mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidupnya. Orang-orang yang memiliki ciri ini lebih cenderung meramalkan peristiwa yang penuh stres sehingga dapat mengurangi keterbukaan mereka pada situasi yang menghasilkan kegelisahan. Selanjutnya, persepsi mereka atas keadaan terkendali dan mengarahkan potensi internal untuk menggunakan strategi penanggulangan yang proaktif.

(13)

Karakteristik hardinessdisajikan pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Karakteristik-Karakteristik Hardiness

NO KARAKTERISTIK KETERANGAN

1 Komitmen Kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam pekerjaan, kegigihan saat menyelesaikan tugas dan memperoleh hasil yang baik dalam pekerjaan. 2 Tantangan Kecenderungan untuk memandang hidup sebagai

suatu perubahan dalam hidupnya sebagai sesuatu yang wajar, dapat mengantisipasi perubahan, dan dapat menarik pelajaran dari pengalamanyang sudah dilalui.

3 Kontrol Kecenderungan untuk menerima dan percaya bahwa ia dapat mengontrol dan mempengaruhi suatu kejadian ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak terduga, menghindari resiko yang tinggi dan mengambil kesempatan yang dapat membuat dirinya menjadi lebih baik.

Berdasarkan karakteristik tersebut, Kobasa (dalam Rollinson, 2005) mengasumsikan bahwa ketiganya dapat membantu individu untuk bertahan dan mengatasi stres dengan menjadikannya pembatas antara dirinya dan sumber stres di tempat kerja. Hardiness merupakan karakteristik kepribadian yang melibatkan kemampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dan memberikan makna positif terhadap kejadian tersebut sehingga tidak menimbulkan stres pada individu yang bersangkutan.

D. Frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar 1. Bank Mandiri area Pematangsiantar

Bank Mandiri area Pematangsiantar merupakan salah satu wilayah kerja Bank Mandiri yang ada di Indonesia. Bank Mandiri area Pematangsiantar terdiri dari 3 kantor cabang, yaitu kantor cabang Sudirman, kantor cabang Sutomo, dan Kantor

(14)

Cabang Pembantu Megaland. Saat ini Bank Mandiri area Pematangsiantar memiliki 79 orang karyawan.

Berikut ini adalah visi dan misi dari Bank Mandiri area Pematangsiantar. a) Visi

Bank Mandiri area Pematangsiantar memiliki visi yang sama dengan visi Bank Mandiri secara nasional, yaitu : :

1) Menjadi lembaga keuangan Indonesia yang paling dikagumi dan selalu progresif.

2) Menjadi bank terpercaya dan terpilih serta menguasai pangsa pasar semua segmen bisnis yang menguntungkan di Indonesia.

3) Menjadi bank yang dikenal secara luas sebagai perusahaan publik terkemuka (Blue Chip Company) di Asia Tenggara (Regional Champion Bank).

b) Misi

Misi yang dibawa oleh Bank Mandiri area Pematangsiantar juga sama dengan misi Bank Mandiri secara nasional, yaitu :

1) Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar. 2) Mengembangkan sumber daya manusia profesional. 3) Memberi keuntungan yang maksimal bagi stakeholder. 4) Melaksanakan manajemen terbuka.

(15)

2. Frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar

Frontliner Bank Mandiri area Pematangsiantar terdiri teller dan customer service yang berjumlah 56 orang. Adapun job description untuk teller dan customer service di Bank Mandiri area Pematangsiantar adalah sebagai berikut : a. Job description teller di Bank Mandiri area Pematangsiantar

1) Pengembangan Bisnis

a) Memberikan pelayanan yang baik, cepat dan tepat kepada nasabah sesuai “Standar Pelayanan Teller”.

b) Menjaga kerapihan dan kebersihan counter Teller

c) Mendukung / ikut serta melaksanakan Cross Selling atas produk-produk Bank Mandiri.

d) Menampung usul/saran nasabah dan menyampaikannya kepada atasan.

e) Melaksanakan Cross-Selling atas produk-produk Bank Mandiri kepada eksisting nasabah.

f) Melaksanakan pemasaran dan promosi produk dan jasa Bank Mandiri dengan cara menjual dan mempromosikan produk retail, melalui :

(1) Secara proaktif memberikan informasi dan menawarkan produk dan jasa serta transaksi Bank Mandiri kepada nasabah.

(2) Menyarankan kepada nasabah untuk memanfaatkan produk dan jasa Bank Mandiri lainnya.

(3) Memberikan brosur-brosur Produk dan Jasa Bank Mandiri (4) Membantu dan mengantar nasabah ke petugas lainnya. (5) Membantu nasabah dalam pengisian formulir transaksi.

(16)

(6) Memelihara nasabah lama dan mencari nasabah baru yang potensial.

2) Kegiatan Operasional

a) Melaksanakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan ketentuan dan SOM yang telah ditetapkan.

b) Memproses / melaksanakan transaksi tunai dan non tunai termasuk warkat-warkat sesuai batas wewenangnya.

c) Meyakini kebenaran dan keaslian uang tunai/bank notes dan warkat berharga d) Meyakini kesesuaian jumlah fisik uang dengan warkat transaksi.

e) Melaksanakan pembukuan dan validasi dengan benar.

f) Menjamin kerahasiaan password milik sendiri dan tidak melakukan sharing password dengan pegawai lainnya.

g) Menjaga keamanan, kebersihan dan ketertiban pemakaian terminal komputer. h) Melaksanakan penukaran uang lusuh ke Cabang Koordinator/Pooling

cash/Bank Indonesia.

i) Menjaga keamanan dan kerahasiaan kartu specimen tanda tangan nasabah. j) Menjaga kerapihan dan kebersihan counter Teller.

k) Menjaga kerapihan dan kebersihan counter Teller.

l) Menyediakan uang tunai pada ATM yang berada di bawah kelolaan Outlet. m) Melakukan verifikasi antara voucher dengan validasi dan laporan transaksi

teller.

n) Meyakini keaslian dan keabsahan specimen tanda tangan nasabah pada warkat bank dan form transaksi penarikan antar cabang.

(17)

p) Menjamin keamanan boks Teller dan kewenangan memegang kunci boks. q) Melakukan verifikasi dan menandatangani warkat transaksi.

r) Melaksanakan pengambilan dan pengantaran uang ke Cabang Koordinator / Pooling cash atau nasabah.

s) Melaksanakan tugas lainnya yang ditetapkan atasan sesuai dengan fungsi jabatannya.

b. Job description customer service di Bank Mandiri area Pematangsiantar 1) Pengembangan Bisnis

a) Melaksanakan Cross-Selling atas produk-produk Bank Mandiri kepada eksisting nasabah.

b) Melaksanakan pemasaran dan promosi produk dan jasa Bank Mandiri, antara lain:

(1) Menjual dan mempromosikan produk retail, melalui :

(a) Secara proaktif memberikan informasi dan menawarkan produk dan jasa serta transaksi Bank Mandiri kepada nasabah.

(b) Menyarankan kepada nasabah untuk memanfaatkan produk dan jasa Bank Mandiri lainnya.

(c) Memberikan brosur-brosur Produk dan Jasa Bank Mandiri (d) Membantu dan mengantar nasabah ke petugas lainnya. (e) Membantu nasabah dalam pengisian formulir transaksi.

(f) Memelihara nasabah lama dan mencari nasabah baru yang potensial.

(2) Pembukaan, pemeliharaan, dan penutupan rekening seluruh produk dana, antara lain:

(18)

(a) Menerima permohonan pembukaan dan penutupan rekening giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito.

(b) Menerima permohonan dan memproses pelayanan jasa-jasa retail lainnya antara lain : Safe Deposit Box, Kartu ATM Mandiri, Payment Point.

(c) Memasukkan data nasabah kedalam komputer.

(d) Memeriksa keabsahan dokumen antara lain : Kartu Identitas, Akta Pendirian Perusahan, SIUP, NPWP, TDP.

(e) Meneruskan permohonan nasabah ke CSO untuk diverifikasi.

c) Mengelola data base nasabah sebagai alat bantu dalam pengembangan bisnis perbankan.

d) Menerima dan meneruskan permohonan consumer loan

e) Memberikan informasi / penjelasan produk dan jasa lainnya kepada nasabah sesuai dengan kewenangan dan ketentuan yang berlaku.

f) Menangani keluhan / komplain nasabah.

2) Kegiatan Operasional

a) Melaksanakan kegiatan-kegiatan Operasional Cabang sesuai dengan Standar Operasional Manual (SOM) dan ketentuan yang telah ditetapkan.

b) Melaksanakan pelayanan kepada nasabah sesuai standar pelayanan yang ditentukan Bank Mandiri.

c) Membuat data base nasabah / update dan mengadministrasikannya dengan tertib.

d) Melakukan pengamanan, pemeliharaan dan pengelolaan surat-surat berharga dengan baik sesuai dengan ketentuan.

(19)

e) Memberikan pelayanan rekening.

f) Memberikan informasi / penjelasan produk dan jasa lainnya kepada nasabah sesuai dengan kewenangan dan ketentuan yang berlaku.

g) Melaksanakan transaksi trade services sesuai standar prosedur dan kualitas yang ditetapkan.

h) Mengadministrasikan, mengencode dan menginput data buku cek/BG. i) Menerima dan membantu menyelesaikan keluhan nasabah.

j) Melaksanakan tugas-tugas administrasi customer service. k) Melaksanakan tugas-tugas khusus yang diberikan oleh CSO. l) Melaksanakan input data ke dalam komputer dengan benar.

m) Bertanggung jawab atas kerahasiaan password milik sendiri dan tidak melakukan sharing password dengan pegawai lainnya.

n) Mengadministrasikan surat-surat berharga dan dokumen lainnya sesuai ketentuan.

(20)

E. Kerangka Penelitian Pengaruh Hardiness Atas Kuat Lemahnya Peranan Beban Kerja Mental terhadap Stres Kerja pada Frontliner di Bank Mandiri Area Pematangsiantar

Keterangan :

= Mengalami. = Mempengaruhi.

Gambar 2. Kerangka Penelitian Pengaruh Hardiness Atas Kuat Lemahnya Peranan Beban Kerja Mental terhadap Stres Kerja pada Frontliner di Bank

Mandiri Area Pematangsiantar

FRONTLINER

Di Bank Mandiri Area Pematangsiantar

BEBAN KERJA MENTAL

1) Beban Waktu 2) Beban Usaha Mental 3) Beban Tekanan Psikologis STRES KERJA 1) Dampak fisiologis 2) Dampak Psikologis 3) Dampak Kognitif 4) Dampak Perilaku HARDINESS 1) Beban Waktu 2) Beban Usaha Mental 3) Beban Tekanan Psikologis

(21)

F. Dinamika Pengaruh Hardiness atas Kuat Lemahnya Peranan Beban Kerja Mental terhadap Stres Kerja pada Frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar

Bank dapat dikatakan sebagai salah satu pemain yang memiliki peranan penting di dalam dunia perekonomian suatu negara. Keberadaan bank sudah tidak asing di mata masyarakat. Baik bank BUMN maupun bank swasta saling berkompetisi untuk menduduki posisi teratas dengan masyarakat sebagai pasar yang dituju. Sehingga tidak mengherankan apabila setiap bank berusaha melakukan pengembangan-pengembangan dan inovasi agar dapat bertahan di tengah persaingan yang sangat ketat dalam mendapatkan nasabah. Apabila sebuah bank tidak dapat menampilkan performa terbaik mereka, terutama dalam proses pelayanan terhadap nasabah, maka akan berdampak pada penilaian nasabah terhadap bank tersebut. Keharusan untuk menampilkan performa terbaik ini pada akhirnya menuntut karyawan bank untuk dapat bekerja dengan optimal. Kondisi ini juga terjadi pada Bank Mandiri area Pematangsiantar.

Sebagai perusahaan jasa, Bank Mandiri area Pematangsiantar tentu mengedepankan frontliner sebagai lini terdepan yang berhubungan secara langsung dengan nasabah. Keberadaan frontliner menjadi sangat penting karena mereka yang menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah sehingga nasabah tersebut merasa puas dan terdorong untuk menjadi nasabah yang loyal. Oleh sebab itu, banyak sekali tuntutan yang dibebankan pada frontliner, seperti tuntutan untuk menerapkan aturan Standar Layanan, untuk menjalankan proses cross selling produk-produk perbankan,

(22)

untuk bertanggung jawab atas uang tunai dan transaksi perbankan yang ia proses, untuk memenuhi penilaian kinerja yang memuaskan, hingga keharusan untuk mencapai target pencapaian nasabah dan memasarkan produk-produk perbankan secara langsung kepada nasabah di luar jam layanan kantor.

Seluruh tuntutan ini menyebabkan adanya beban kerja yang harus dijalani dan dipenuhi oleh frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar. Mengingat aktivitas di Bank Mandiri area Pematangsiantar lebih didominasi oleh aktivitas yang melibatkan mental atau pikiran, tidak mengherankan apabila para frontliner lebih banyak dibebani oleh beban kerja mental. Jika beban kerja mental yang dirasakan terlalu melebihi kapasitas yang dimiliki frontliner, maka bisa mempengaruhi kinerja. Hal ini dibuktikan dengan studi yang dilakukan oleh Kuratsune, dkk (2012) mengenai beban kerja mental yang berlebih dan berkepanjangan dapat menyebabkan kelelahan pada karyawan. Hal ini terjadi karena banyaknya tugas yang harus dikerjakan di saat yang bersamaan sehingga sangat menyita waktu luang yang dimiliki oleh frontliner. Banyaknya tugas yang datang dalam rentang waktu yang berdekatan juga membuat frontliner menjadi bingung mengenai bagaimana cara yang harus dilakukan untuk menyelesaikan seluruh tugas. Frontliner juga merasa bingung mengenai tugas mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Apalagi tugas-tugas yang harus dijalankan oleh frontliner memiliki tingkat resiko yang tinggi, tentunya sangat membutuhkan konsentrasi yang tinggi saat mengerjakannya. Frontliner yang setiap harinya terus menerus menghadapi kondisi seperti ini akan merasa kelelahan.

(23)

Sejalan dengan itu, Marizki, Wahyuning, & Desrianty (2014) juga menyatakan bahwa beban kerja mental menyebabkan terganggunya ritme tidur karyawan. Kondisi ini tidak mengherankan dan wajar saja dialami oleh frontliner. Ketika frontliner pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh tugas-tugas yang belum terselesaikan tentu merasa gelisah karena teringat mengenai tugas-tugasnya, sehingga sulit untuk mendapatkan istirahat yang berkualitas. Mubarok (2007) juga menemukan bahwa beban kerja mental menyebabkan karyawan mengalami penurunan motivasi. Banyaknya tugas-tugas yang diberikan dan selalu bertambah dari waktu ke waktu bisa menyebabkan frontliner merasa jenuh dan kehilangan semangat untuk menyelesaikan dengan tepat dan cepat sehingga terjadi penurunan motivasi dalam bekerja.

Pemaparan di atas mencerminkan adanya masalah fisiologis, psikologis, kognitif, dan perilaku yang dialami oleh frontliner yang disebabkan beratnya beban kerja mental yang dihadapi. Kondisi ini merupakan indikasi dari stres kerja. Rollinson (2005) menyatakan bahwa keberadaan stres kerja di perusahaan dapat ditandai dengan adanya masalah yang berkaitan dengan aspek fisiologis, aspek psikologis, aspek kognitif, dan aspek perilaku karyawan. Kondisi ini juga didukung oleh fakta bahwa beberapa studi terakhir menyimpulkan bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus stres kerja di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak sosial, emosional, psikologis dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Almasitoh, 2011).

Stres kerja terjadi karena tidak atau kurang adanya kecocokan antara frontliner dengan lingkungan tempat kerjanya, sehingga menyebabkan

(24)

ketidakmampuan untuk menghadapi berbagai tuntutan secara efektif. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan frontliner untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan kerjanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Robbins (2006) yang menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara tuntutan dalam pekerjaan dan kemampuan individu untuk mengatasi tuntutan tersebut akan menyebabkan stres kerja. Sejalan dengan itu, Roslan (2011) dalam penelitiannya juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tuntutan perusahaan dengan stres kerja karyawan.

Stres kerja merupakan suatu konsekuensi dari pekerjaan yang tidak dapat dihindari dan bisa saja menimpa setiap frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar. Kondisi ini didukung oleh beberapa studi yang menemukan bahwa frontliner bank di Indonesia rentan terhadap stres kerja (Mahardiani dan Pradhanawati, 2013 ; Permaitiyas, 2013). Sehingga wajar apabila ditemukan fenomena bahwa ada beberapa frontliner yang akhirnya tidak tahan hingga memutuskan untuk mengundurkan diri dari bank meskipun harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi terhadap perusahaan.

Meskipun begitu, berat ringannya stres kerja yang dialami tiap frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar dapat bervariasi. Kemampuan frontliner untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang menekan merupakan salah satu hal yang menentukan kadar stres yang dialami. Kemampuan untuk bertahan ini dikenal juga sebagai hardiness. Menurut Kobasa (dalam Rollinson, 2005) hardiness merupakan karakteristik personal yang penting sekali dalam perlawanan individu terhadap stres kerja.

(25)

Seberapa tinggi hardiness yang dimiliki akan menentukan berhasil atau tidaknya seorang frontliner bertahan dan mengelola segala masalah, tantangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan kerjanya. Semakin tinggi hardiness yang dimilliki oleh seorang frontliner, maka kemampuannya untuk mengatasi masalah, tantangan dan perubahan di lingkungan kerja akan semakin baik pula. Hal ini bisa terjadi karena keberadaan hardiness dalam diri individu menjadikannya lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam menghadapi stres kerja dan mengurangi efek negatif yang dihadapi (Kobasa, dalam Rollinson, 2005).

Sejumlah penelitian juga membuktikan pandangan bahwa hardiness efektif dalam membantu individu lebih tahan banting terhadap stres kerja. Judkins (2005) menemukan bahwa hardiness yang tinggi merupakan prediktor yang signifikan dari rendahnya stres kerja. Sejalan dengan itu, da Silva dkk. (2013) menemukan bahwa individu dengan hardiness yang tinggi memiliki stres kerja yang ringan. McCalister dkk. (2006) juga menemukan bahwa hardiness merupakan salah satu variabel yang mampu mengurangi stres kerja pada karyawan, meningkatkan kebahagiaan dan penyesuaian. Lambert, Lambert & Yamase (2003) juga menyatakan bahwa meningkatkan hardiness dapat memfasilitasi kemampuan individu untuk mengatasi stres di tempat kerja.

Frontliner dengan hardiness tinggi juga terlihat mampu mencapai performa kerja lebih baik dari yang tidak serta lebih dapat mencapai kepuasan dalam bekerja. Kondisi ini terjadi karena individu yang memiliki hardiness yang tinggi memiliki karakteristik untuk mampu mengubah sudut pandangnya dalam melihat suatu permasalahan di lingkungan kerja sehingga dapat memperoleh hal yang

(26)

positif dari permasalahan tersebut. Pandangan yang positif terhadap lingkungan kerja membuat frontliner memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya sehingga tidak akan mudah menyerah sekalipun menghadapi tugas yang sulit. Selain itu, setiap kesulitan yang datang bukan dipandang sebagai hambatan melainkan sebagai sebuah tantangan yang harus ditaklukan. Sejalan dengan itu, frontliner yang memiliki hardiness yang tinggi cenderung merasa mampu untuk mengendalikan keberhasilan dari tugas yang dikerjakan. Wajar saja apabila frontliner yang memiliki karakteristik-karakteristik hardiness seperti itu mampu bertahan menghadapi segala sumber stres kerja yang muncul dan terhindar dari stres kerja. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Sonnentag & Frese (dalam Rolllinson, 2005) yang mengemukakan bahwa hardiness merupakan aspek sentral agar karyawan dapat memandang lingkungan kerja menjadi lebih komprehensif dan bermakna sehingga tidak rentan mengalami stres kerja. Sindik & Adzija (2012) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa karakteristik yang memberikan sumbangsih signifikan dalam membentuk hardiness pada individu adalah karakteristik komitmen dan kontrol.

G. Hipotesa Penelitian

Adapun Hipotesa dalam penelitian ini adalah :

1. Terkait dengan pengaruh hardiness atas kuat lemahnya peranan beban kerja mental terhadap stress kerja pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar : Hardiness secara signifikan mempengaruhi kuat lemahnya peranan beban kerja mental terhadap stres kerja pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar.

(27)

2. Terkait dengan pengaruh beban kerja mental terhadap stres kerja :

a. Mayor : Beban kerja mental secara signifikan mempengaruhi stres kerja pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar.

b. Minor : Terdapat perbedaan besar pengaruh di antara ketiga dimensi beban kerja mental terhadap stres kerja pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar.

3. Terkait dengan pengaruh hardiness terhadap stres kerja :

a. Mayor : Hardiness secara signifikan mempengaruhi stres kerja pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar.

b. Minor : Terdapat perbedaan besar pengaruh di antara ketiga karakteristik hardiness terhadap stres kerja pada frontliner di Bank Mandiri area Pematangsiantar.

Gambar

Gambar 2. Kerangka Penelitian Pengaruh Hardiness Atas Kuat Lemahnya  Peranan Beban Kerja Mental terhadap Stres Kerja pada Frontliner  di Bank

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Dalam setiap kemasan produk hasil produksi Auditee yang akan dipasarkan untuk ekspor telah dibubuhi Tand V Legal dengan

Menurut DePorter (2010) terdapat enam fase dari model pembelajaran Quantum Teaching yang kemudian dikenal dengan istilah TANDUR dengan rincian sebagai berikut: (1)

Dari hasil pengolahan data menggunakan SPSS, kita mendapatkan hasil perhitungan uji F sebesar 3,271 (F hitung > F tabel atau 3,271 > 3,2317) dengan

Setelah barang yang Anda pesan jadi / selesai kami buat, maka akan kami kirimkan foto barang pesanan Anda tersebut via bbm/whatsapp/line/email sebelum barang

Sebuah masyarakat tidak akan lepas dari unsur kebudayaan, baik dari cerminan karakteristik dari masyarakat tersebut ataupun sebagai sebuah

Hubungan supply management  dengan manajemen logistik adalah supply chain  dapat didefinisikan sebagai sekumpulan aktivitas (dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat

Dalam kaitan dengan pembinaan iman orang dewasa, sekarang ini bisa dibedakan empat jenis orang dewasa: pertama, mereka yang menjalani masa katekumenat, kedua,

Harapan dari pembuatan karya tulis ini agar masyarakat mengetahui bahwa susu kedelai sebagai alternatif susu bagi penderita laktosa intolerans dapat memiliki kadar kalsium