• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL Oleh: FATHUL M. DZIKRI NPM: 1210012111060

Bagian Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA

PADANG 2016

(2)
(3)

2

THE JUDGE PRETRIAL CONSIDERATIONS ON THE ISSUANCE OF PRETRIAL NUMBER 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL.

Fathul M. Dzikri¹, Uning Pratimaratri¹, Syafridatati¹

¹Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta Email : fathul.mdzikri@yahoo.co.id

ABSTRACT

Pretrial court is authorized of District Court to examine and decide on the lawfulness of the arrest or detention, the lawfulness of the termination of an investigation or prosecution, as well as the demand for compensation or rehabilitation for cases that are brought to trial. This Pretrial authority contained in Article 1 figures 10 in conjunction with Article 77 of the Criminal Procedure Code. The issuance of pretrial number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. the applicant party Budi Gunawan against the Respondent the Corruption Eradication Commission, there are legal issues that arise that application submitted by the applicant is not the validity of the determination of the suspect by the defendant. The problems are concerned in are 1) How is judge’s pretrial considerations on the issuance of pretrial of issuance number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.? 2) How is implementation issuance of pretrial of issuance number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. toward Article 77 of the Criminal Procedure Code?. Type of the research is normative juridical. They study used secondary data. The data got from documents study. The data were analyzed qualitatively. Research findings showed that : 1) Judge’s pretrial considerations on the issuance of pretrial number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. is the basis of legal used by the judge is Article 1 figures 10 in conjunction Article 77 in conjunction Article 82 paragraph (1) in conjunction Article 95 paragraph (1) and paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. The judge assess the validity of the establishment of the suspects are authority institutions pretrial 2) The implementation issuance of pretrial of issuance number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. toward Article 77 of the expansion of the Article 77 of the Criminal Procedure Code that is associated with the Constitutional Court's Decision Number 21/PUU-XII/2014 regarding the addition determination of the suspect as an object Pretrial.

Keywords : Considerations, The Judge, Pretrial, The issuance

PENDAHULUAN

Setiap aparat penegak hukum dalam rangka menjalankan tugasnya, tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam

proses peradilan pidana melalui lembaga praperadilan yang diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Perlu diketahui dan dipahami konstalasi hukum acara pidana yang berkaitan dengan praperadilan secara

(4)

3 normatif termuat dalam Pasal 77 KUHAP yang berbunyi:

“Praperadilan adalah wewenang

Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu

penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atau permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti kerugian

dan/atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Belakangan ini hukum pidana marak dengan beberapa persoalan, apakah dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus tidak terkecuali dalam proses beracara pidananya. Salah satu persoalan hukum pidana dalam beracara, terjadinya perdebatan tentang pengajuan praperadilan, yakni dalam kasus calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimana Komisaris Jenderal

Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., Msi, (BG) melakukan terobosan hukum melalui pengajuan praperadilan tentang penetapan dirinya sebagai tersangka. Padahal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak tercantum tentang penetapan tersangka untuk bisa diajukan praperadilan.

Jika dicermati pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka dan permohonan penghentian penyidikan atas diri pemohon yaitu Komjen Budi Gunawan, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP.

Namun faktanya dalam kasus ini

permohonan praperadilan pihak BG tetap diperiksa dipersidangan dan dikabulkan sebagian. Dalam beberapa tahun terakhir pengajuan permohonan prapreradilan yang serupa dengan kasus praperadilan BG yang dapat dikatakan merupakan putusan yang dibuat diluar kewenangan hakim dalam sidang praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP juga pernah terjadi antara lain:1

1 Detik, Catat! Ini 2 Vonis Kontroversial PN

Jaksel di Kasus Praperadilan,

http://news.detik.com/berita/2818530/catat-ini-2-

vonis-kontroversial-pn-jaksel-di-kasus-praperadilan, diakses tanggal 22 februari 2016 pukul 8.53 WIB.

(5)

4

1. Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2010/PN.Jkt.Sel. dengan pemohon yaitu Toto Chandra, manager Permata Hijau Group dalam kasus faktur fiktif pada tahun 2009 dengan hakim tunggal yang dipimpin oleh Hakim Muhammad Razzad yang amar

putusannya menyatakan bahwa

penyidikan atas pemohon harus dihentikan.

2. Putusan Nomor

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. dengan pemohon yaitu Bachtiar Abdul Fatah,

manager PT. Chevron Pacifik

Indonesia (PT.CPI) dalam kasus korupsi bioremediasi dengan hakim tunggal yang dipimpin oleh Hakim Suko Harsono yang amar putusannya menyatakan bahwa penetapan status tersangka pada diri pemohon adalah tidak sah.

Dalam kaitannya putusan tersebut dengan konsep asas legalitas dimana seperti kita ketahui bahwa makna atas asas legalitas adalah suatu tindakan dapat dikatakan melanggar undang-undang atau peraturan tertulis jika sebelumnya tidak diatur dalam peraturan tertulis. Dalam hukum pidana formil (KUHAP) memang tidak secara eksplisit tercantum dalam pasal-pasalnya yang menerangkan tentang asas legalitas namun pada penjelasan Pasal 2 huruf a KUHAP, menerangkan bahwa dalam kuhap

juga berlaku asas-asas dalam hukum pidana, dalam konsep asas legalitas dapat dikaitkan karena asas legalitas adalah asas dasar dalam hukum pidana. Dalam beberapa konsep asas legalitas menurut para ahli intinya adalah perbuatan yang dilarang haruslah diatur terlebih dahulu dalam undang-undang. Tujuan dari asas legalitas ini adalah untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari penguasa terhadap masyarakat. Sedangkan dalam kaitannya dengan kasus permohonan praperadilan BG ini pengaturan kewenangan praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan status tersangka dan perintah penghentian penyidikan melalui praperadilan bukanlah dalam ruang lingkupnya. Hal ini dikarenakan kewenangan praperadilan telah secara jelas dan limitatif tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP.

Anehnya atau ironis, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang waktu sidang itu kontroversial dalam perdebatan. Karena hakim sarpin telah memutus penetapan tersangka adalah bagian dari praperadilan. Perluasan objek praperadilan yang dilakukan Hakim Sarpin dapat memperbaharui sistem hukum pidana Indonesia. Akibatnya, Pasal yang mengatur objek praperadilan dijuducial review kan kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pengajuan permohonan tersebut, Hakim Mahkamah Konsitusi mengabulkan dan

(6)

5 menyatakan bahwa penetapan tersangka menjadi salah satu objek praperadilan berdasarkan putusan Nomor 21/PUU-XII/2014.

Disisi lain tentang kewenangan hakim

yang mengkabulkan permohonan

praperadilan diluar ketentuan Pasal 77 KUHAP, jika dikaitkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka hal itu dapat dibenarkan. Yang menjadi dasar penulis adalah jika Dikaitkan dengan asas kemerdekaan hakim dalam Pasal 3 Ayat (2) serta Pasal 10 Ayat (1) tentang kewajiban hakim. Dalam Pasal 3 Ayat (2) menjelaskan jika hakim memiliki

kemerdekaan atau kebebasan dalam

melakukan fungsi yudikatif termasuk dalam menjatuhkan putusan dalam sebuah persidangan. Sedangkan pada Pasal 10 Ayat (1) mengamanatkan bahwa hakim dilarang untuk menolak mengadili sebuah perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Namun jika Dikaitkan dengan kewajiban hakim sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1). Maka putusan praperadilan terhadap permohonan yang pokok gugatannya diluar ketentuan Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, dapat dikatakan tidak mengakomodasinya. Hal ini dikarena terhadap putusan tersebut akan membuka peluang bagi tersangka lain untuk mengajukan permohonan praperadilan untuk hal yang sama seperti kasus kasus BG,

dikhwatirkan jika hakim mengabulkan gugatan tersebut, maka hal itu dapat menimbulkan kesulitan bagi pihak penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penyidikan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: “PERTIMBANGAN

HAKIM PRAPERADILAN PADA

PUTUSAN NOMOR

04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL.”

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim praperadilan pada Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel?

2. Bagaimana penerapan putusan praperadilan pada putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel

terhadap Pasal 77 KUHAP?

Metode Penelitian

Guna memperoleh data yang dibutuhkan sebagai bahan dalam penulisan ini maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini,

(7)

6 kepustakaan (library research), Tipe penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian hukum normatif (Yuridis

Normative) yang merupakan penelitian

kepustakaan yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, teori hukum, sistematika hukum, singkronisasi

hukum, sejarah hukum dan

perbandingan hukum.2 Penelitian

hukum normatif dengan

mempelajari dan menganalisis putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dan buku-buku, literature, serta dokumen yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang dianalisis dari berbagai sumber.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum,

digunakan pula data sekunder, yang dari kekuatan sudut mengikatnya digolongkan sebagai berikut:3

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi

Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta, hlm. 11.

3

Ibid.

2. Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

3. Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Negara Republik Indonesia;

4. Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer. Seperti Rancangan Undang-Undang, hasil karya dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian, dan tulisan lainnya yang relevan.4

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan tambahan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).5

3. Teknik Pengumpulan Data

4

Ibid, hlm. 12.

(8)

7 Dalam pengumpulan data pada penelitian dan penulisan ini, maka teknik pengumpulan yang digunakan oleh penulis yaitu studi dokumen. Studi

Dokumen adalah studi dokumen

meliputi pengambilan data-data/ dokumen yang terdapat dilapangan baik berupa berkas perkara maupun dokumen hukum lainnya pada instansi yang relevan dengan objek penelitian seperti

Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. 4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif yaitu dengan menyimpulkan gejala yang terjadi. Analisa terhadap bahan baku yang dilakukan dengan mengumpulkan

semua bahan yang diperlukan

kemudian dihubungankan dengan masalah yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim Praperadilan

pada Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel

Putusan hakim dalam perkara

praperadilan merupakan salah satu putusan yang dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia. Suatu putusan hakim pada pokoknya terdiri dari empat bagian, yaitu: kepala putusan, identitas para pihak,

pertimbangan dan amar. Jadi pertimbangan hakim merupakan salah satu bagian yang terdapat di dalam setiap putusan hakim,

termasuk putusan dalam perkara

praperadilan. Pertimbangan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan bagi hakim

sehingga memutuskan seperti yang

dicantumkan di dalam putusannya. Dalam konteks putusan perkara praperadilan, maka dasar dan alasan hakim itu harus dimuat dalam putusannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP). Kata “harus” menunjukkan, bahwa

dasar dan alasan hakim sebagai

pertimbangan, wajib dimuat di dalam putusannya.

Dengan demikian, hakim yang

memeriksa dan mengadili gugatan

praperadilan yang diajukan oleh BG wajib memuat pertimbangan sebagai dasar dan

alasannya dalam Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Adapun pertimbangan hakim di dalam putusannya tersebut memuat dua bagian, yaitu pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden) dan pertimbangan tentang hukumnya (rechts gronden). Dari kedua pertimbangan itu, maka dalam pembahasan ini hanya akan diuraikan pertimbangan tentang hukumnya.

Berkaitan dengan pertimbangan

tentang hukumnya, Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel memuat dua bagian, yaitu: dalam eksepsi dan dalam

(9)

8 pokok perkara. Dari kedua bagian pertimbangan hukum tersebut yang dimuat dalam eksepsi yaitu objek permohonan praperadilan bukan kewenangan hakim praperadilan. Seperti diketahui, bahwa terhadap gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG, termohon telah mengajukan jawaban dan salah satu jawabannya berupa eksepsi mengenai objek praperadilan bukan kewenangan hakim praperadilan.

Di dalam jawabannya mengenai eksepsi tersebut termohon menyatakan, bahwa lembaga praperadilan tertulis secara tegas dan jelas di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Ketentuan yang menjadi dasar praperadilan tersebut juga diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:

1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Ketentuan mengenai tata cara

penuntutan ganti kerugian,

rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

Penerapan lebih lanjut terhadap Pasal 9

Undang-undang Kekuasaan Kehakiman

tersebut berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP, dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka

harus dipahami bahwa kewenangan

praperadilan hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut

ketepatan penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan, dan penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi.

Kemudian berkaitan dengan eksepsi termohon itu, hakim yang memeriksa perkara praperadilan yang diajukan BG di dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Menimbang, bahwa Pasal 1 angka 10

KUHAP merumuskan pengertian

“praperadilan” adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

(10)

9 a. Sah atau tidaknya penangkapan dan

atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian

penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Menimbang, bahwa rumusan Pasal 77 KUHAP adalah sebagai berikut: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat diketahui dengan jelas bahwa “sah atau tidaknya penetapan

tersangka” tidak termasuk sebagai objek praperadilan, karena hal itu tidak diatur.

Menimbang, bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ada ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang “sah atau tidaknya penetapan tersangka” menjadi objek praperadilan.

Menimbang, bahwa masalahnya

sekarang adalah: karena hukumnya tidak mengatur apakah hakim boleh menolak suatu perkara dengan alasan pertimbangan bahwa “hukum tidak mengatur” atau “hukumnya tidak ada?”

Menimbang, bahwa undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim untuk menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Menimbang, bahwa larangan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

(11)

10 perkara itu dibarengi dengan kewajiban perkara itu dibarengi dengan kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Menimbang, bahwa larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dengan dalih atau alasan bahwa hukumnya tidak ada, tentunya melahirkan kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada atau yang semula hukumnya kurang jelas menjadi jelas.

Menimbang, bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum (rechtsvinding), yang jika dikaji secara ilmiah (keilmuan) dan secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan.

Menimbang, bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak jelas menjadi jelas dilakukan

dengan menggunakan dan menerapkan metode penafsiran (interprestasi).

Menimbang, bahwa dalam perkara a

quo, permohonan dari pemohon adalah

tentang “sah atau tidaknya penetapan

tersangka” terhadap pemohon yang

dilakukan oleh termohon.

Menimbang, bahwa penetapan

tersangka adalah merupakan bagian dari proses penyidikan, bahkan ahli hukum pidana, Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H., berpendapat bahwa penetapan tersangka adalah merupakan hasil dari penyidikan.

Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian praperadilan pada Pasal 1 angka 10 KUHAP dan norma hukum pengaturan kewenangan praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP dapat

disimpulkan keberadaan lembaga

praperadilan adalah sebagai sarana atau tempat menguji tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik pada tingkat penyidikan dan oleh penuntut umum pada tingkat penuntutan sudah dilakukan menurut ketentuan dan tata cara yang diatur dalam undang-undang atau tidak.

Menimbang, bahwa dalam kaitannya

(12)

11 praperadilan ini, maka timbul pertanyaan, “apakah penetapan tersangka terhadap diri pemohon yang dilakukan oleh termohon dapat dikualifisir sebagai tindakan upaya paksa?”

Menimbang, bahwa termohon di dalam jawabannya berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap pemohon bukanlah tindakan upaya paksa dengan alasan bahwa sampai dengan disidangkannya permohonan praperadilan a quo. Termohon belum melakukan upaya paksa apapun terhadap diri pemohon, baik berupa penangkapan, penahanan, pemasukan rumah, penyitaan atau penggeledahan terhadap diri pemohon, bahkan di persidangan kuasa termohon

mempertanyakan apakah penetapan

tersangka merupakan tindakan upaya paksa. Menimbang, bahwa pendapat termohon tersebut di atas secara hukum tidak dapat dibenarkan, karena harus dipahami arti dan makna “tindakan upaya paksa” secara benar, bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah merupakan tindakan upaya paksa, karena telah menempatkan atau menggunakan label “pro justisia” pada setiap tindakan.

Menimbang, bahwa terkait dengan permohonan pemohon, karena hukum positif Indonesia tidak mengatur lembaga mana yang dapat menguji keabsahan penetapan

tersangka atas diri pemohon, maka hakim harus menetapkan hukumnya sebagaimana akan ditetapkan dalam pertimbangan berikut ini:

a. Menimbang, bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan yang belum diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah lembaga praperadilan.

b. Menimbang, bahwa terkait langsung dengan permohonan pemohon, karena “penetapan tersangka” merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “penetapan tersangka” adalah lembaga praperadilan.

Menimbang, bahwa tentang penerapan asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana sebagai salah satu dasar dan alasan dalam mengajukan eksepsi ini tidak dapat dibenarkan, karena asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat

(13)

12 (1) KUHP hanya berlaku dalam penerapan Hukum Pidana Materiil, bahkan dalam perkembangannya dimungkinkan dilakukan penafsiran dengan pembatasan sebagaimana pendapat ahli hukum pidana Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H.

Menimbang, bahwa pendapat ahli tersebut sejalan dengan yurisprudensi, diantaranya:

a. Penerapan penafsiran pengertian “barang” dalam tindak pidana pencurian;

b. Penerapan penafsiran penghalusan hukum (rechtverfijning) dan penafsiran secara luas (extensieve interpretatie) dalam penegakan Hukum Pidana Materiil tindak pidana subversi di masa lalu.

Menimbang, bahwa menyangkut

alasan-alasan termohon sebagaimana tercantum dalam jawaban angka 14 s.d angka 17 halaman 10 s.d halaman 13, pengadilan negeri mempertimbangkannya sebagaimana tercantum dalam pertimbangan-pertimbangan berikut ini:

a. Menimbang, bahwa Hukum Indonesia tidak menganut sistem precedent yang dianut dan berlaku di negara-negara

Anglo-Saxon, akan tetapi jangan lupa

bahwa yurisprudensi diterima dan

diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia;

b. Menimbang, bahwa oleh karena Hukum Indonesia tidak menganut sistem

precedent, maka tidak ada keharusan

bagi Hakim Indonesia untuk mengikuti putusan-putusan hakim terdahulu. Menimbang, bahwa pemohon di dalam permohonannya mengemukakan beberapa putusan praperadilan sebagai dasar hukum permohonannya, yaitu:

a. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 01/Pid. Prap/2011/PN.Bky tanggal 18 Mei 2011 jo. Putusan

Mahkamah Agung Nomor 88

PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012; b. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan Nomor

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012.

Menimbang, bahwa dari jawaban termohon pada halaman 10 s.d 13 angka 14 s.d 17 dapat disimpulkan bahwa termohon tidak menerima kalau putusan-putusan tersebut di atas disebut sebagai suatu yurisprudensi.

Menimbang, bahwa terlepas dari apakah Menimbang, bahwa terlepas dari apakah Nomor 01/Pid.Prap/2011/PN.Bky tanggal 18 Mei 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 88 PK/Pid/2011 tanggal 17

(14)

13 Januari 2012 dan Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012 dapat diterima sebagai yurisprudensi atau tidak, namun yang pasti adalah bahwa hakim yang memeriksa perkara

a quo tidak akan menggunakan

putusan-putusan tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara a quo.

Menimbang, bahwa berdasarkan

pertimbangan di atas, maka eksepsi termohon tentang hal ini haruslah ditolak.

Dari uraian mengenai pertimbangan hakim di atas, maka dapat dikatakan, bahwa hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan BG jelas memasukkan penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Hal itu terlihat dari pertimbangan yang secara tegas menolak eksepsi yang diajukan oleh termohon. Adapun dasar hukum yang digunakan oleh hakim adalah Pasal 77 jo. Pasal 85 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Penggunaan dasar hukum tersebut, karena penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga yang berwenang menguji dan melihat keabsahan “penetapan tersangka” adalah lembaga praperadilan. Jadi, hakim memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan karena dikategorikan sebagai bentuk “tindakan lain”

dari upaya paksa dalam penyidikan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.

Apabila hukum acara pidana Indonesia dengan jelas dan tegas memuat asas legalitas, maka penyelenggaraan proses pidana harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada di dalam KUHAP, termasuk yang berkaitan dengan praperadilan. Adapun ketentuan KUHAP yang digunakan oleh hakim dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, sehingga penetapan tersangka dimasukkan ke dalam objek praperadilan adalah Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dari ketiga ketentuan KUHAP tersebut yang digunakan oleh hakim sebagai dasar hukumnya adalah Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, hakim mengategorikan penetapan tersangka sebagai salah satu bentuk “tindakan lain” berupa upaya paksa yang dilakukan penyidik. Selanjutnya untuk menjawab mengenai tepat atau tidaknya penafsiran hakim yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan, maka akan dilihat rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut:

1. Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang

(15)

14 atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan. 2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka

atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

Frasa “tindakan lain” tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Yang dimaksud dengan “kerugian karena tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.” Merujuk pada penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP itu, maka dapat penulis katakan, bahwa penetapan tersangka tidak termasuk dalam kategori tindakan lain. Adapun yang termasuk dalam kategori tindakan lain hanya meliputi: pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan, serta penahanan tanpa alasan yang sah atau tidak sah.

Kemudian perlu juga diketahui, bahwa sebenarnya Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2)

KUHAP merupakan ketentuan yang berada di dalam Bab XII tentang Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Bagian Kesatu tentang Ganti

Rugi. Apabila dilihat dari segi

sistematikanya, maka Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP berkaitan dengan masalah ganti rugi. Selanjutnya apabila diperhatikan rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP di atas, maka secara substansi memuat ketentuan mengenai objek yang dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Dengan demikian dapat penulis simpulkan, bahwa ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai objek gugatan praperadilan. Menurut penulis, objek gugatan praperadilan telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP.

Pasal 77 KUHAP mempunyai

hubungan dengan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, namun hubungan itu tidak ada kaitannya dengan pengujian atas keabsahan tindakan di dalam pemeriksaan pendahuluan sebelum pemeriksaan pokok perkara di persidangan. Pengujian atas keabsahan tindakan dimaksud, seperti penangkapan merupakan bagian dari objek gugatan praperadilan. Hubungan di antara kedua pasal tersebut hanya terbatas pada permintaan ganti rugi yang juga sebagai bagian dari objek gugatan praperadilan. Dalam hal ini, apabila tuntutan ganti rugi yang perkara pokoknya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka diputus di sidang

(16)

15 praperadilan. Perlu diingat, bahwa ganti rugi yang dapat diminta ke lembaga praperadilan telah dibatasi oleh Pasal 77 huruf b KUHAP yaitu untuk perkara pidana yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Penulis menyesuaikan dengan argumen termohon di dalam jawabannya sebagai berikut:

a. Perlu dipahami pula bahwa konteks “tindakan lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP serta penjelasannya hanya dapat digunakan sebagai alasan dalam pengajuan tuntutan ganti kerugian bukan dalam rangka mengajukan keberatan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka. b. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana

dimaksud Pasal 95 ayat (1) KUHAP

diajukan ke pengadilan yang

memeriksa perkara pokoknya setelah perkaranya diadili dan diputus (Pasal 95 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHAP), sedangkan dalam hal perkara pokoknya tidak diajukan ke pengadilan negeri maka tuntutan ganti kerugian atas “tindakan lain” berdasarkan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, diputus dan disidang oleh praperadilan

sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP.

Berdasarkan yang telah dipaparkan di atas, maka dapatlah dipahami, bahwa penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan BG adalah tidak tepat. Ketidaktepatan itu karena telah memasukkan penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan dengan menggunakan dasar hukum Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dalam hal ini, hakim tidak memperhatikan penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang secara tegas tidak memasukkan penetapan tersangka dari frasa “tindakan lain” dan hakim juga tidak memperhatikan hubungan antara Pasal 77 dengan Pasal 95 berdasarkan sistematikanya. Walaupun demikian, penulis sepakat dengan pertimbangan hakim yang menyatakan penetapan tersangka sebagai bagian dari proses penyidikan.

B. Penerapan Putusan Praperadilan

pada Putusan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel terhadap Pasal 77 KUHAP

Putusan Praperadilan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel telah

mengabulkan pengajuan praperadilan Budi Gunawan. Amar putusannya menetapkan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian;

2. Menyatakan Surat Perintah

(17)

Sprin.Dik-16 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;

3. Menyatakan penyidikan yang

dilaksanakan oleh Termohon terkait

Peristiwa pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;

4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas

Pemohon yang dilakukan oleh

Termohon adalah tidak sah;

5. Menyatakan tidak sah segala keputusan dan penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon;

6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil;

7. Menolak permohonan Pemohon selain dan selebihnya.

Hal di atas berarti bahwa Pengajuan Praperadilan atas penetapan BG sebagai tersangka diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 tahun 2015 tidak memiliki kekuatan mengikat dan menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap BG oleh KPK. Sehingga tindakan KPK selanjutnya terhadap BG yang berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tidak diizinkan.

Penambahan objek kewenangan

praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka dalam perkembangannya melalui putusan mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 menjadikan objek tersebut adalah sebagai bentuk pengawasan terhadap tindakan kesewenang-wenangan penyidik

(18)

17 dalam menetapkan status tersangka sesuai prosedur yang berdasarkan hukum atau tidak. Apabila seorang tersangka merasa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadapnya tidak bersasarkan aturan hukum sebagaimana mestinya, maka tersangka dapat

melakukan ikhtiar hukum dengan

mengujinya melalui pranata praperadilan, dan hal ini tidak menutup kemungkinan apabila seseorang diduga keras telah melakukan tindak pidana dilakukan penyidikan kembali.

Dasar penambahan objek tersebut adalah sebagai bentuk pengawasan terhadap tindakan kesewenang-wenangan penyidik dalam menetapkan status tersangka yang tidak sesuai prosedur sebagaimana tercantum dalam KUHAP, dalam perkembangannya banyak peristiwa yang menjadi dasar penambahan objek kewenangan praperadilan ini diantaranya yang paling mendasar adalah tindakan penyidik yang memutar balikan prosedur dalam KUHAP khususnya dalam hal penyidikan, dimana seharusnya dalam proses penyidikan mengumpulkan bukti-bukti untuk menemukan tersangka namun dalam beberapa peristiwa tersangka ditetapkan terlebih dahulu untuk menemukan barang bukti. Hal ini lah yang dijadikan dasar

oleh mahkamah konstitusi untuk

menambahkan penetapan tersangka menjadi objek praperadilan. Namun dalam putusan mahkamah konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 tersebut terdapat 3 hakim dari 9 majelis hakim yang melakukan Dissenting

Opinion (pendapat berbeda).

Beberapa hal yang menjadi

pertimbangan hakim tunggal dalam Putusan

Praperadilan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. diantaranya mengenai: Esensi Pasal 77 KUHAP, asas legalitas dalam hukum acara pidana, metode penemuan hukum oleh hakim, penafsiran hukum oleh hakim mengenai upaya paksa, kewenangan hakim dalam menetapkan hukum yang semula tidak ada menjadi ada, dan lain lain.

Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limilatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 j0. Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasa hak asasi manusia. Dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai obejk pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.

Dalam perkara Budi Gunawan sebagai pemohon melawan KPK sebagai termohon,

(19)

18 maka dari Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel terhadap Pasal 77 KUHAP dan kemudian dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dalam hal ini penulis berpendapat bahwa adanya perluasan objek Praperadilan mengenai penetapan tersangka.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan hakim dalam Putusan

Praperadilan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

didasarkan pada alasan, yaitu penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan sehingga disebut upaya paksa. Setiap pengujian terhadap sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik adalah kewenangan lembaga praperadilan. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim tersebut adalah Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, hakim menilai keabsahan “Penetapan Tersangka”

adalah wewenang Lembaga

Praperadilan.

2. Penerapan Putusan Praperadilan pada Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel. terhadap Pasal 77 KUHAP yaitu adanya perluasan terhadap Pasal 77 KUHAP yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor:

21/PUU-XII/2014 mengenai

penambahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum

oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010,

Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara

Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta..

Darwan Prints, 1983, Praperadilan dan

Perkembangan di dalam Praktek, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim

dalam Hukum Acara Pidana,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Loebby Loqman, 1990, Praperadilan di

Indonesia, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,

(20)

19 dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990,

Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman Negara Republik Indonesia.

C. SUMBER LAIN

Detik, Catat! Ini 2 Vonis Kontroversial

PN Jaksel di Kasus Praperadilan, http://news.detik.com/berita/28 18530/catat-ini-2-vonis- kontroversial-pn-jaksel-di-kasus-praperadilan.

Referensi

Dokumen terkait

- pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung,pasien tidak tahu secara pasti apa yang telah terjadi pada dirinya,dan memberikan jawaban yang salah saat

Dari 2 substrat epididymis (carnitine dan proline) yang diuji dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua substrat tersebut dapat meningkatkan persentase motile dan spermatozoa

Sebagai Narasumber acara Pengabdian kepada Masyarakat yang dilaksanakan pada tanggal April 2015 di Kelompok Tani Harau Saiyo Nagari Sarilamak Kab.. Sungai Pua

Dengan demikian, masalah penelitian dapat dirumuskan yaitu, “bagaimana keberdayaan masyarakat yang terbentuk dalam memanfaatkan sumber daya keruangan yang ada di

bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antara yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagaimana diketahui, hadits sebagai hujjah bukan hanya

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan melakukan perancangan suatu program aplikasi yang dapat mengolah data-data percobaan pertanian menggunakan analisis ragam dan

Meskipun tidak ada perbedaan pada performa pertumbuhan antara kolam dengan rasio Na/K ideal (kolam B) dengan rasio Na/K tinggi (kolam C), namun secara fisiologis

Covey dalam Suryana (2000:35), bahwa kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri