• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN JUMLAH LEUKOSIT DENGAN GANGGUAN FUNGSI EKSEKUTIF PADA CEDERA KEPALA RINGAN-SEDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN JUMLAH LEUKOSIT DENGAN GANGGUAN FUNGSI EKSEKUTIF PADA CEDERA KEPALA RINGAN-SEDANG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN JUMLAH LEUKOSIT DENGAN GANGGUAN FUNGSI

EKSEKUTIF PADA CEDERA KEPALA RINGAN-SEDANG

RELATIONSHIP OF LEUKOCYTE COUNTS WITH EXECUTIVE DYSFUNCTION

IN MILD-MODERATE TRAUMATIC BRAIN INJURY

Gilbert Tangkudung,* Junita Maja PS,* Herlyani Khosama* ABSTRACT

Introduction: In traumatic brain injury there are few factors that can affect the outcomes such as inflammation indicated by leukocyte counts. Traumatic brain injury impacts are very diverse from motor and sensory impairment to cognitive impairment especially executive function that can affect the quality of life.

Aims: Defining the relationship between leukocyte level and executive dysfunction in TBI patients as well as knowing the significant level of leukocyte counts to the disorder.

Methods: A case control study in patients with mild to moderate head injuries who were treated at Prof. dr. R. D Kandou hospital, Manado, consecutively in January-June, 2015. Executive function was examined using Montreal Cognitive Assessment Indonesian version, TMT-A, TMT-B, and Stroop test. Data was analyzed using t-test, Pearson, and ROC curve.

Results: 90 patients were included with 50 patients in case group and 40 patients in control group. There was a significant difference in cognitive function and executive function between the two groups (p<0.001). There was a significant difference in leukocyte and platelet counts between the two groups (p<0.001). There was a relationship between leukocyte level and Stroop-3 test in mild to moderate TBI patients (p=0.007). Leukocyte count >12.100/mm3had a diagnostic value in predicting an impairment in executive function with a sensitivity of 85.0% and specificity of 70%, positive predictive value (PPV) and a negative predictive value (NPV) was 91.9% and 53.8% respectively.

Discussion: The increase in leukocyte counts significantly associated with impaired executive function in mild-moderate head injury, particularly at the levels >12,100/mm3.

Keywords: Executive dysfunction, leukocyte, traumatic brain injury. ABSTRAK

Pendahuluan: Luaran cedera kepala dapat dipengaruhi oleh faktor inflamasi, antara lain ditandai dengan jumlah

leukosit. Dampak akibat cedera kepala sangat beragam mulai dari gangguan motorik dan sensorik sampai gangguan kognitif khususnya fungsi eksekutif, yang dapat memengaruhi kualitas hidup.

Tujuan: Mengetahui hubungan antara jumlah leukosit dengan gangguan fungsi eksekutif pada cedera kepala

ringan-sedang serta mengetahui jumlah leukosit yang bermakna terhadap gangguan tersebut.

Metode: Penelitian dengan desain kasus kontrol terhadap pasien dengan cedera kepala ringan-sedang yang dirawat

di RSUP Prof. dr. R. D Kandou, Manado, secara konsekutif pada bulan Januari-Juni 2015. Subyek dilakukan pemeriksaan fungsi eksekutif dengan menggunakan Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia, TMT-A, TMT-B, dan tes Stroop. Analisis data menggunakan t-test, Pearson, dan kurva ROC.

Hasil: Terdapat 90 subyek yang terdiri dari 50 subyek pada kelompok kasus dan 40 subyek pada kelompok kontrol.

Terdapat perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan kognitif dan fungsi eksekutif antara kelompok kasus dan kontrol (p<0,001), demikian pula terdapat perbedaan jumlah leukosit dan trombosit yang bermakna (p<0,001). Pemeriksaan fungsi eksekutif yang bermakna adalah uji Stroop-3 (p=0,007). Jumlah leukosit >12.100/mm3 memiliki nilai diagnostik untuk

memprediksi gangguan fungsi eksekutif dengan sensitivitas 85,0% dan spesifisitas 70%, dengan nilai prediksi positif (NPP) 91,9% dan nilai prediksi negatif (NPN) 53,8%.

Diskusi: Peningkatan jumlah leukosit berhubungan bermakna dengan gangguan fungsi eksekutif pada cedera kepala-ringan sedang, terutama pada kadar >12.100/mm3.

Kata Kunci: Cedera kepala, fungsi eksekutif, leukosit.

(2)

PENDAHULUAN

Cedera kepala (CK) dianggap sebagai masalah kesehatan utama yang sering menjadi penyebab kematian dan kecacatan. Di negara berkembang, CK adalah penyebab utama kematian pada usia di bawah 45 tahun. Angka kecacatan yang tinggi mengakibatkan meningkatnya biaya perawatan dan terbatasnya produktifitas seseorang karena

kecacatannya.1,2 Di Indonesia, walaupun belum

tersedia data secara nasional, kasus CK sangat sering

dijumpai di setiap RS.3 Sebagian besar (75-80%)

penderita termasuk dalam kategori cedera kepala ringan (CKR), sementara sisanya terbagi rata dalam kategori sedang (10%) dan berat (10%). Hampir 100% penderita cedera kepala berat (CKB) dan dua-pertiga penderita cedera kepala sedang (CKS) akan mengalami cacat permanen dan tidak dapat kembali ke tingkat fungsi premorbidnya. Dampak ini akan lebih besar jika cedera kepala berat terjadi pada

kelompok remaja dan dewasa muda.4

Patogenesis pada CK mencakup cedera primer dan sekunder. Cedera primer meliputi gangguan langsung terhadap parenkim otak, sedangkan cedera sekunder ditandai dengan aktivitas kaskade biokimia, seluler, dan molekular yang terlibat dalam evolusi kerusakan sekunder. Peranan neurotransmitter glutamat dan peningkatan kalsium intraseluler

menyebabkan kerusakan sel yang berarti.5

Gangguan yang ditimbulkan pada CK dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai struktur kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan parenkim otak. Gejala sisa berupa gangguan fungsi kognitif bisa menurunkan kualitas hidup penderita CK. Pada umumnya semua domain kognitif (atensi, bahasa, memori, fungsi eksekusi, dan visuospasial) bisa mengalami gangguan

pada penderita dengan CK.6

Fungsi eksekutif diperlukan untuk perilaku yang bertujuan, terarah, antisipatif, dan adaptif

terhadap perubahan situasi.7 Fungsi eksekutif

sendiri memiliki beberapa manifestasi seperti inisiasi (memulai perilaku), merespons hambatan (inhibisi), melakukan aktivitas yang terus menerus (mempertahankan perilaku), organisasi

(mengorganisasi tindakan dan pikiran), pemikiran generatif (kreativitas, keluwesan, fleksibilitas kognitif), dan kesadaran (mengawasi dan merubah perilaku diri sendiri). Gangguan pada fungsi eksekutif akan memberikan gejala seperti kesulitan dalam merencanakan dan mengorganisasi suatu kegiatan secara detil dan berurutan, serta kesulitan dalam mengontrol emosi, konsentrasi, dan mempelajari hal-hal baru.7,8

Pada CK dapat terjadi peningkatan kadar leukosit dalam darah. Leukositosis secara bermakna memengaruhi derajat keparahan dan luaran dari

CK.9,10 CK menyebabkan respons inflamasi

berupa kompleks kaskade yang selanjutnya dapat memengaruhi sitokin proinflamasi. Selain itu, leukositosis dapat terjadi karena peningkatan kadar

katekolamin.11 Peningkatan jumlah leukosit akan

diikuti dengan tingkat keparahan dan luaran yang buruk dari pasien CK, sehingga leukosit dapat

menjadi prediktor terhadap kasus CK.9,10

Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan hubungan leukosit dengan fungsi kognitif, seperti Harries dkk yang menghubungkan kadar leukosit CCR2 (chemokine C-Receptor 2) dengan pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) pada orang

tua.12 Wilson dkk menjelaskan hubungan sitokin

berupa peningkatan jumlah leukosit dengan fungsi

kognitif.13 Pada CK terjadi keadaan akut berupa

lepasnya mediator inflamasi yang selanjutnya akan memengaruhi fungsi kognitif. Salah satu indikator terjadinya proses inflamasi akut berupa peningkatan

jumlah leukosit.6

Sampai saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan antara jumlah leukosit dengan fungsi kognitif, secara khusus fungsi eksekutif. Leukosit sendiri dalam kaitannya dengan fungsi kognitif memiliki hubungan walaupun dalam keadaan kronik. Oleh karena itu masih menjadi perdebatan ada tidaknya hubungan antara leukosit dengan fungsi kognitif, terutama fungsi ekeskutif dan pada fase akut.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan jumlah leukosit dengan gangguan fungsi eksekutif pada cedera kepala ringan-sedang (CKR-S)

(3)

gangguan tersebut.

METODE

Penelitian kasus kontrol terhadap pasien CKR-S yang diambil secara konsekutif sejak bulan

Januari-Juni 2015 di RSUP Prof. dr. RD Kandou,

Manado. Subyek dibagi menjadi kelompok kasus, yaitu pasien dengan CKR-S, dan kelompok kontrol. Kriteria inklusi adalah pasien CKR-S berdasarkan kriteria skala koma Glasgow (SKG) dan gambaran klinis (CKR jika SKG 13-15, dan CKS jika SKG 9-12), usia 14-60 tahun, awitan kurang dari 24 jam, serta bersedia mengikuti penelitian.

Kriteria eksklusi adalah adanya cedera ekstrakranial, meninggal selama perawatan, nilai TOAG <75 selama perawatan, nilai Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) versi Indonesia >4, gangguan hematopoesis, penyakit infeksi, riwayat penggunaan alkohol kronis, gangguan atensi, gangguan bahasa, buta warna, riwayat penggunaan napza, komplikasi metabolik berat, riwayat epilepsi, riwayat demensia premorbid, skizofrenia, gangguan afektif, depresi, dan penyakit psikiatrik lainnya. Kelompok kontrol dipilih dari beberapa petugas rumah sakit dan kelompok dokter muda yang tidak memiliki defisit neurologi dan riwayat cedera kepala sebelumnya.

Subyek dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa darah perifer lengkap (kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit). Setelah pasien sadar (SKG 15), dilakukan Tes Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG). Jika nilai TOAG >75, dilanjutkan penyaringan fungsi kognitif umum dengan Mini Mental State Examination (MMSE) dan Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina). Dilakukan pula penilaian PHQ-9 untuk menapis, memeriksa, dan mendiagnosis ada tidaknya depresi, karena akan mempengaruhi fungsi eksekutif. Pemeriksaan fungsi eksekutif meliputi Trail Making Test A dan B (TMT-A dan TMT-B) beserta tes Stroop 1,2 dan 3.

Analisis statistik menggunakan program SPSS 22. Untuk mengetahui perbedaan rerata antar dua kelompok independen digunakan uji t-independent atau uji Mann Whitney. Untuk mengetahui arah dan kekuatan hubungan antar dua kelompok independen

dilakukan uji korelasi dan regresi linear. Untuk mendapatkan nilai diagnostik dari jumlah leukosit dengan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC).

HASIL

Sebanyak 90 subyek diikutkan dalam penelitian ini yang dibagi menjadi kelompok kasus (50 subyek) dan kontrol (40 subyek). Didapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan yang sama di kedua kelompok, yaitu 2:1, dengan rerata usia 29,66±9,81 tahun, tingkat pendidikan lulus SMA, dan memiliki kecekatan kinan (Tabel 1). Usia terendah subyek adalah 14 tahun, sesuai dengan ketentuan usia yang boleh ditangani oleh ahli saraf dewasa di institusi tempat penelitian. Didapatkan kelompok umur tersering adalah 14-23 tahun (40,0%) dengan median usia 27,5 tahun.

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Subyek (n=90) Variabel (n=50)Kasus Kontrol (n=40) Total

n % n % n % Jenis Kelamin • Laki-laki • Perempuan 3416 68,032,0 2614 65,035,0 6030 66,6733,33 Umur (rerata) 30,68±12,15 28,37±5,55 • 14-23 tahun • 24-33 tahun • 34-43 tahun • 44-53 tahun • 54-60 tahun 20 13 5 10 2 40,0 26,0 10,0 20,0 4,0 11 19 10 0 0 27,5 47,5 25,0 0 0 31 32 15 10 2 34,44 35,56 16,67 11,11 2,22 Pendidikan • Lulus SMP • Lulus SMA • Lulus PT 14 34 2 28,0 68,0 4,0 0 15 25 0 37,5 62,5 14 49 27 15,55 54,44 30,00 Kecekatan • Kinan • Kidal 482 96,04,0 400 100,00 882 97,782,22

Nilai rerata MMSE 28,28±1,906 pada kelompok kasus dan 29,70±0,966 pada kontrol, sementara rerata MoCA-Ina 25,60±3,156 pada kelompok kasus dan 29,05±1,724 pada kelompok kontrol (Tabel 2). Hasil ini memberikan perbedaan yang bermakna secara statistik nilai pemeriksaan fungsi kognitif (MMSE dan MoCA-Ina) dan fungsi eksekutif (TMT-A, TMT-B, Stroop-1, Stroop-2 dan Stroop-3) pada kelompok pasien CK dan kontrol

(4)

(p<0,05). Pemeriksaan darah perifer lengkap (Tabel 3) memperlihatkan perbedaan bermakna secara statistik nilai leukosit dan trombosit pada kelompok pasien CK dan kelompok kontrol (p<0,05).

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Fungsi Eksekutif Variabel Rerata p* Kasus Kontrol MMSE 28,28+1,906 29,70+0,966 <0,001 MoCA-Ina 25,60+3,156 29,05+1,724 TMT-A 0,93+0,524 0,33+0,061 TMT-B 2,23+1,073 0,77+0,619 Stroop-1 85,90+15,578 134,42+2,818 Stroop-2 86,90+15,295 138,25+3,564 Stroop-3 28,02+14,341 53,83+7,831 *Uji t; MMSE: Mini Mental State Examination, TMT-A: trail making test A, TMT-B: trail making test B Tabel 3. Gambaran Hasil Laboratorium (n=90)

Variabel Rerata p* Kasus Kontrol Hemoglobin 14,49+2,07 14,28+1,44 0,292 Leukosit 14.808,48+4.303,92 8.007,50+1.552,73 <0,001 Trombosit 246.354+56.751,95 295.075+65.334,01 <0,001 *Uji t

Hasil uji statistik dengan korelasi Pearson tidak didapatkan hubungan yang bermakna jumlah leukosit dengan fungsi kognitif MMSE dan MoCA-Ina (Tabel 4). Sementara terdapat hubungan bermakna antara jumlah leukosit dengan fungsi eksekutif menggunakan pemeriksaan Stroop-3 (r=-0,346; p=0,007).

Tabel 4. Hubungan Jumlah Leukosit dengan Pemeriksaan Fungsi Kognitif dan Fungsi Eksekutif Pemeriksaan r* MMSE 0,023 (p=0,436) MoCA-Ina -0,021 (p=0,442) TMT-A 0,149 (p=0,151) TMT-B 0,067 (p=0,323) Stroop-1 -0,162 (p=0,131) Stroop-2 -0,159 (p=0,135) Stroop-3 -0,346 (p=0,007)

*Uji korelasi Pearson

Analisis pengaruh jumlah leukosit untuk memprediksi kejadian gangguan fungsi eksekutif pada CKR-S dapat dilihat dengan menggunakan kurva ROC. Berdasarkan kurva tersebut didapati

bahwa jumlah leukosit dengan cut off ≥ 12.100/mm3

dengan area under curve (AUC) 0,803 sangat baik dipakai untuk memprediksikan kejadian gangguan fungsi eksekutif pada CKR-S (Gambar 1).

Tabel 5 menunjukkan uji diagnostik jumlah leukosit dengan gangguan fungsi eksekutif didapatkan nilai sensitivitas sebesar 85,0%, nilai spesifisitas sebesar 70%, nilai prediksi positif (NPP) sebesar 91,9% dan nilai prediksi negatif (NPN) sebesar 53,8%, serta rasio Odds (RO) sebesar 13,2 (95% IK: 2,6–65,9).

Tabel 5. Uji Diagnostik Jumlah Leukosit dengan Fungsi Eksekutif

Jumlah

Leukosit AbnormalFungsi EksekutifNormal Total

≥12.100/mm3 34 3 37

<12.100/mm3 6 7 13

Total 40 10 50

PEMBAHASAN

Didapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 (67% vs 33%) pada kedua kelompok. Hal ini disebabkan karena umumnya laki-laki dan usia

dewasa muda memiliki mobilitas yang lebih tinggi.1,2

Pertiwi dkk juga mendapatkan laki-laki (69,6%) lebih banyak dibandingkan perempuan (30,4%) dengan

rentang usia tersering 25-34 tahun.14 Demikian pula

Irawan dkk terhadap 30 subyek didapatkan mayoritas laki-laki (60%) dengan kelompok umur paling

sering18-28 tahun.15

Fungsi kognitif dan fungsi eksekutif yang terganggu pada CK disebabkan karena terjadi perubahan pada jaringan otak secara makroskopik sampai pada tingkat sel yang diakibatkan adanya cedera primer dan sekunder yang diakibatkan trauma

langsung maupun tidak langsung pada jaringan otak.5,6

Pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan fungsi kognitif yang bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p<0,001). Kedua metode ini sudah dikenal luas di seluruh dunia, meskipun MMSE memiliki kekurangan dalam mengeksploitasi fungsi eksekutif, namun MMSE baik untuk fungsi kognitif

(5)

secara luas.16 Pemeriksaan fungsi eksekutif dengan

menggunakan TMT-A, TMT-B, Stroop 1, 2, dan 3 juga memberikan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kasus dan kontrol (p<0,001). Hasil yang sama juga ditemukan oleh penelitian Wiratman dkk di Jakarta dan Dikmen dkk Pada kedua penelitian ini menunjukkan fungsi kognitif dan fungsi eksekutif yang terganggu dalam

kasus CO.17,18 Terdapat beberapa pemeriksaan dalam

menilai fungsi eksekutif, antara lain Trail Making Test (TMT-A dan TMT-B) dan Stroop Test. Masing-masing pemeriksaan fungsi eksekutif ini memiliki spesifikasi dalam domain tertentu. Pemeriksaan TMT-A dan TMT-B berguna dalam pengukuran kecepatan berpikir, sequence alternation, fleksibilitas kognitif, pencarian visual, performa motorik dan fungsi eksekutif. Pemeriksaan Stroop Test sendiri

lebih spesifik dalam menilai fungsi inhibisi.7

Berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah leukosit dan trombosit menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kasus dan kontrol secara statistik (p<0,001) sementara kadar hemoglobin tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,292). Hasil ini menunjukkan leukositosis terjadi karena lepasnya mediator inflamasi yang searah dengan derajat keparahan dan luaran kasus CK. Penelitian Gürkanlar dkk dan Paladino dkk menunjukkan leukositosis akan

memberikan nilai prediktif terhadap luaran CK.9,10

Yang menarik dalam penelitian ini adalah perbedaan

jumlah trombosit yang bermakna antara kelompok kasus dan kontrol. Namun masih terbatas referensi tentang peranan trombosit pada CK.

Fungsi eksekutif pada awalnya merupakan suatu fungsi yang diketahui hanya melibatkan struktur-struktur pada lobus frontal. Namun ternyata fungsi ini dijalankan melalui hubungan koneksivitas jaringan otak yang luas antara lobus frontal, struktur subkortikal, dan jalur talamus. Studi lain menekankan sirkuit neural yang melibatkan lobus frontal, ganglia basal dan talamus

dalam menjalankan fungsi eksekutif.8 Demikian pula

Arent dkk menjelaskan fungsi yang kompleks dari beberapa lobus orbitofrontal ke korteks striatal di temporal dalam oleh neurotransmitter dopamin, kemudian ke korteks ekstrastriatal di lobus oksipital.

Pada daerah lobus oksipital terjadi interpretasi objek penglihatan, yang disalurkan juga ke dorsolateral lobus frontalis untuk menginisiasi gerakan. Gerakan tersebut ditentukan oleh lobus

prefrontalis sebagai eksekutor.19 Leukositosis akan

menyebabkan inflamasi yang bersifat difus di otak yang menyebabkan gangguan koneksivitas antar neuron di jaringan otak.20

Penelitian ini mendapatkan hubungan yang bermakna antara leukosit dengan gangguan fungsi eksekutif terutama dengan menggunakan pemeriksaan Stroop-3 (p=0,007; r=-0,346). Artinya jumlah leukosit yang semakin tinggi akan menyebabkan gangguan fungsi eksekutif secara bermakna.

Gambar 1. Analisis Jumlah Leukosit untuk Memprediksi Gangguan Fungsi Eksekutif (Kurva receiver operating characteristic [ROC] Jumlah Leukosit)

(6)

Pemeriksaan dengan TMT-A, TMT-B, Stroop-1, dan 2 tidak memberikan nilai uji yang bermakna. Hal ini disebabkan karena dalam pemeriksaan Stroop-3 lebih memerlukan konsentrasi karena adanya perbedaan antara warna kata dengan sebutan kata, sedangkan pada Stroop-1 dan 2 lebih pada penyesuaian

keadaan sebelum dilakukan pemeriksaan.21 Pertiwi

JM menyebutkan nilai sensitivitas Stroop-3 adalah 94,6%. Selain itu pada pemeriksaan Stroop-3 akan menerjemahkan penglihatan warna yang merupakan

fungsi kompleks.14

Hasil uji diagnostik jumlah leukosit dengan fungsi eksekutif menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, yaitu sensitivitas 85,0% dan spesifisitas 70%, dengan nilai prediksi positif (NPP) 91,9% dan nilai prediksi negatif (NPN) 53,8%. Hal ini juga sesuai dengan peranan leukositosis yang memengaruhi luaran cedera kepala. Leukosit akan menyebabkan inflamasi yang menyeluruh sehingga terjadi gangguan koneksivitas antar neuron. Dengan demikian jumlah leukosit dapat digunakan untuk memprediksi timbulnya gangguan fungsi eksekutif pada penderita CKR-S oleh karena terbukti bernilai

diagnostik, yaitu pada kadar 12.100/mm3.

Beberapa keterbatasan pada penelitian ini antara lain kelompok kontrol yang kurang dapat menjadi pembanding terhadap kelompok kasus. Dengan jumlah subyek yang lebih sedikit dan perbedaan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok kasus dapat memengaruhi pemeriksaan fungsi kognitif. Pengambilan darah untuk mengetahui penurunan jumlah leukosit beberapa hari setelah cedera pada penelitian ini juga tidak dilakukan. Hal ini penting untuk membandingkan pengaruh perubahan leukosit terhadap gangguan fungsi eksekutif. Selain itu tidak dilakukan pemeriksaan fungsi eksekutif ulangan untuk mengetahui apakah gangguan fungsi eksekutif bersifat sementara atau menetap dalam penelitian ini.

KESIMPULAN

Fungsi eksekutif memiliki hubungan dengan jumlah leukosit pada CKR-S. Semakin tinggi jumlah leukosit maka akan diikuti oleh terganggunya fungsi eksekutif, terutama pada kadar leukosit >12.100/mm3

yang secara statistik memiliki nilai diagnostik untuk memprediksi kejadian gangguan fungsi eksekutif pada

CKR-S.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kraus JF, McArthur DL. Epidemiology of brain injury. Dalam: Evans RW, editor. Neurology and trauma. New York: Oxford University Press; 2006. hlm. 3-18.

2. Langlois JA, Brown BR, Wald MM. The Epidemiology and Impact of Traumatic Brain Injury: A Brief Overview. J Head Trauma Rehabil. 2006;21(5):375–8.

3. Kelompok Studi Neurotraumatologi PERDOSSI. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal. Prikarsa Utama. Jakarta; 2006. 4. Fithrie A, Bustami M, Ramli SKG, Prihartono J.

Hubungan model prognostik pasien cedera kepala traumatik tertutup sedang dan berat dengan GOS 3 bulan. Neurona. 2010;27(2):1-10.

5. Kochanek PM, Clark RSB, Jenkins LW. TBI: pathobiology. Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editor. Brain injury medicine principles and practice. New York: Demos; 2007. hlm. 81-96. 6. Nordström A, Edin BB, Lindström S, Nordström P.

Cognitive function and other risk factors for mild traumatic brain injury in young men: nationwide cohort study. BMJ. 2013;346:1-9.

7. Devinsky O, D’Esposito M. Neurology of cognitive and behavioral disorders. New York: Oxford University Press; 2004.

8. Jurado MB, Rosselli M. The elusive nature of executive functions: a review of our current understanding. Neuropsychol Rev. 2007;17:213–33. 9. Gürkanlar D, Lakadamyali SKG, Ergun T, Yilmaz

C, Yücel E, Altinörs N. Predictive value of leucocytosis in head trauma. Turkish Neurosurgery. 2009;19(3):211-5.

10. Paladino L, Subramanian RA, Bonilla E, Sinert RH. Leukocytosis as prognostic indicator of major injury. Western J Emergency Med. 2010;11(5):450-5.

11. Algattas SKG, Huang JH. traumatic brain injury pathophysiology and treatments: early, intermediate, and late phases post-injury. Int J Mol Sci. 2014;15:309-41.

12. Harries LW, Bradley RM, Llewellyn DJ, Pilling LC, Fellows A, Henley SKG. dkk. Leukocyte CCR2 expression is associated with mini-mental state examination (MMSE) sCKRe in older adults. Rejuvenation Res. 2012;15(4):395-404.

13. Wilson CJ, Finch CE, Cohen HJ. Cytokines and cognition-the case for a head to toe inflammatory paradigm. JAGS. 2002;50(12):2041-56.

14. Pertiwi JM, Yusuf I, As’ad S, Akbar M. Executive function and nitric oxide in mild-moderate traumatic

(7)

brain injury. Sch. J. App. Med. Sci. 2015;3(1B):113-7.

15. Irawan SKG, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan revised trauma sCKRe dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di rumah sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010;60(10):437-42.

16. Taylor LA, Livingston LA, Kreutzer JS. Neuropsychological assessment and treatment of TBI. Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editor. Brain injury medicine principles and practice. New York: Demos; 2007. hlm. 791-813.

17. Wiratman SKG, Agustini S, Ramli SKG, Lumempouw S. Profil sekuele gangguan neurobehaviour pada pasien trauma kepala di poliklinik fungsi luhur RSCM November 2008–Juni 2010. Neurona. 2010;28(1):1-8.

18. Dikmen SS, CKRrigan JD, Levin HS, Machamer J, Stiers SKG, Weisskopf MG. Cognitive outcome following traumatic brain injury. J Head Trauma Rehabil. 2009;24(6):430-8.

19. Arent AM, de Souza LF, Walz R, Dafre AL. Perspectives on molecular biomarkers of oxidative stress and antioxidant strategies in traumatic brain injury. BioMed Res Int. 2014;13.

20. Subramanian A, Agrawal D, Pandey RM, Nimiya M, Albert V. The leukocyte count, immature granulocyte count and immediate outcome in head injury patients. Dalam: Agrawal A, editor. Brain injury-pathogenesis, monitoring, and management. Croatia: Intech; 2012. hlm. 139-52.

21. National Institute of Health. Stroop tests: naming, interference, reading. [serial online]. 2014 [diunduh 6 Februari 2015].Tersedia dari: NINDS Common Data Elements.

Gambar

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Subyek (n=90)
Tabel 2.   Hasil  Pemeriksaan  Fungsi  Kognitif  dan  Fungsi Eksekutif Variabel Rerata Kasus Kontrol p* MMSE 28,28+1,906 29,70+0,966 &lt;0,001MoCA-Ina25,60+3,15629,05+1,724TMT-A0,93+0,5240,33+0,061TMT-B2,23+1,0730,77+0,619 Stroop-1 85,90+15,578 134,42+2,81
Gambar 1. Analisis Jumlah Leukosit untuk Memprediksi Gangguan Fungsi Eksekutif (Kurva receiver operating characteristic [ROC] Jumlah Leukosit)

Referensi

Dokumen terkait

Analisis isi adalah Teknik mengumpulkan dan menganalisis isi dari sebuah teks.27 Menurut Budd, analisis isi adalah suatu teknik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan

bukanlah halangan kepada murid untuk menguasai literasi namun perlu ada kesinambungan dengan pelaksanaan pendekatan dan kaedah pengajaran dan pembelajaran yang khusus dalam

Disiplin kerja, budaya organisasi dan kepuasan kerja sebagai salah satu penunjang dalam proses kerja yang dapat berakibat terhadap peningkatan kinerja karyawan pada

Informasi tersebut seperti ketersediaan dosen pembimbing, judul penelitian, jadwal ujian seminar, serta data informasi lainnya yang berkaitan dengan Skripsi/Tugas

a. Katarak kongenital, adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari satu tahun. Katarak kongenital sering ditemukan

Pada April 2015 NTPR mengalami kenaikan indeks sebesar 0,31 persen, hal ini terjadi karena kenaikan indeks yang diterima petani sebesar 0,42 persen, lebih besar

TAHAP KEGIATAN MAHASISWA DAN DOSEN PEMBIMBING Sesuai dengan rencana kegiatan dan persiapan yang telah dilakukan untuk pelaksanaan kegiatan “ Strategi Pengembangan

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perancangan Sistem Pakar