UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SERTA SELF-EFFICACY DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MELALUI DISCOVERY LEARNING
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Peryaratan Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
OLEH
ADE NANDANG MUSTAFA 1201621
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SERTA SELF-EFFICACY DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MELALUI DISCOVERY LEARNING
Oleh:
ADE NANDANG MUSTAFA 1201621
Disetujui oleh:
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Tatang Herman, M.Ed.
Pembimbing II,
Dr. Stanley Dewanto, M.Pd.
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF
SERTA
SELF-EFFICACY
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MELALUI
DISCOVERY LEARNING
Oleh
Ade Nandang Mustafa
S.Pd UPI Bandung, 2011
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Pascasarjana UPI
© Ade Nandang Mustafa 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
EMBAR PERSETUJUAN TESIS ... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... 1
DAFTAR TABE ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR AMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHUUAN ... 1
A. atar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Definisi Operasional ... 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 22
A. Kemampuan Berpikir ... 22
B. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 26
C. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 33
D. iscovery Learning ... 38
E. Self-Efficacy dalam Pembelajaran Matematika ... 41
F. Keterkaitan antara Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis serta Self-Efficacy dengan iscovery Learning ... 46
A. Desain Penelitian ... 54
B. Populasi dan Sampel ... 54
C. Variabel Penelitian ... 55
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 55
1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis ... 56
2. Skala Self-Efficacy ... 60
3. Pedoman Observasi ... 62
4. Pedoman Wawancara ... 62
E. Prosedur Penelitian ... 63
F. Analisis Instrumen ... 63
1. Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis ... 63
2. Skala Self-efficacy ... 71
G. Analisis Data ... 74
1. Analisis Data Kuantitatif ... 74
2. Analisis Data Deskriptif ... 80
BAB IV HASI PENEITIAN DAN PEMBAHASAN ... 82
A. Hasil Penelitian ... 82
1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 82
2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 100
3. Self-Efficacy Siswa terhadap Matematika ... 118
4. Hasil Observasi ... 137
2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis ... 145
3. Korelasi antara Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dengan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 146
4. Asosiasi antara Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dengan Self-Efficacy ... 147
5. Asosiasi antara Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dengan Self-Efficacy ... 148
6. Interaksi antara Faktor Pembelajaran yang Diberikan dengan Faktor Kemampuan Awal Siswa terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis ... 148
7. Interaksi antara Faktor Pembelajaran yang Diberikan dengan Faktor Kemampuan Awal Siswa terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 149
8. Pencapaian Kemampuan Self-Efficacy Siswa ... 150
BAB V KESIMPUAN DAN REKOMENDASI ... 152
A. Kesimpulan ... 152
B. Rekomendasi ... 155
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah pengaruh Discovery Learning terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy ditinjau dari keseluruhan, kemampuan awal, serta dimensi self-efficacy. Diungkap pula interaksi antara faktor pembelajaran dan kategori kemampuan siswa. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini adalah kelompok kontrol pretes-postes. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, skala self-efficacy, pedoman observasi, dan pedoman wawancara. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Lembang dengan sampel penelitian dua kelas yang dipilih secara acak. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji-t, ANOVA dua jalur, korelasi Pearson, dan koefisien kontingensi. Analisis kualitatif dilakukan dengan menelaah hasil skala self-efficacy, pedoman observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari keseluruhan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis kelompok Discovery Learning lebih baik dibandingkan kelompok konvensional. Secara keseluruhan, peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok Discovery Learning lebih baik dibandingkan kelompok konvensional. Siswa dengan kategori atas dan bawah kelompok Discovery Learning memiliki peningkatan kemampuan yang lebih baik dibandingkan kelompok konvensional, baik ditinjau dari kemampuan berpikir kritis maupun kreatif matematis. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan kemampuan berpikir kreatif matematis. Tidak terdapat asosiasi self-efficacy dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis maupun kreatif matematis. Tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis maupun kreatif matematis. Secara keseluruhan, self-efficacy kelompok Discovery Learning lebih baik daripada self-efficacy kelompok konvensional. Melalui dimensinya, self-efficacy dimensi magnitude kelompok Discovery Learning tidak lebih baik dibandingkan kelompok konvensional. Melalui kemampuan awal, self-efficacy siswa kategori atas kelompok Discovery
Learning lebih baik dibandingkan dengan kelompok konvensional.
Learning".
This study aimed to examine the influence of Discovery Learning on the ability to think critically and creatively mathematical and self-efficacy in terms of overall, prior knowledge, and dimensions of self-efficacy. Also revealed the interaction between the learning factor and category of abilities of students. The research design used in this experimental study was pretest-posttest control group. The instrument used in the form of a test's ability to think critically and creatively mathematical, self-efficacy scale, observation, and interview guides. The population of this study are all seventh grade students of SMP Negeri 2 Lembang with two research samples randomly selected classes. Quantitative analysis was performed using t-test, two-way ANOVA, Pearson correlation, and contingency coefficient. Qualitative analysis was performed by examining self-efficacy scale results, observation, and interviews. The results showed that in terms of overall, the increase in critical thinking skills mathematically of Discovery Learning group is better than the conventional group. Overall, the increased ability to think creatively mathematical of Discovery Learning group is better than the conventional group. Students with top and bottom categories of Discovery Learning group has an increased ability better than conventional group, both in terms of the ability to think critically and creatively mathematical. There is a strong correlation between the increase in critical thinking skills with the increase in creative thinking mathematically. There was no association of self-efficacy with increased ability to think critically and creatively mathematical. There is no interaction between factors of learning and students' initial ability to the increase in the ability to think critically and creatively mathematically. Overall, self-efficacy group of Discovery Learning is better than the conventional self-efficacy group. Through the dimensions, dimension magnitude of Discovery Learning group was no better than the conventional group. Through the initial ability, self-efficacy of top category student of Discovery Learning group is better than the conventional group.
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia terbilang sudah sebelas kali mengubah dan menyempurnakan
kurikulum pendidikan. Dimulai kurikulum tahun 1947 yang dikenal dengan nama
Rencana Pelajaran, tahun 1964 dengan Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, tahun
1968 dengan Kurikulum Sekolah Dasar, tahun 1973 dengan Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), tahun 1984 dengan Kurikulum 1984,
tahun 1994 dengan Kurikulum 1994, tahun 1997 dengan Revisi Kurikulum 1994,
tahun 2004 dengan Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tahun 2006
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang mutakhir adalah
Kurikulum 2013 yang mulai diaplikasikan di beberapa sekolah pada pertengahan
tahun 2013 (Kemendikbud, 2012).
Setiap perubahan kurikulum pasti memiliki alasan yang mendasar dan
penting. Walaupun kadang terindikasi adanya muatan politis. Karena biasanya
berbeda pimpinan, terjadi perubahan. Belum terlihat blue print yang menjadi garis
besar haluan pendidikan di Indonesia. Memang dalam hal pendidikan, Indonesia
terkesan masih mencari jati diri. Belum ditemukan formula pendidikan yang
cocok untuk diterapkan di negara kepulauan yang sangat besar ini.
Dalam kacamata penulis, rancangan kurikulum 2013 merupakan salah satu
rancangan kurikulum ideal, jika ditinjau dari kerangka teori yang menopangnya.
Namun masih terdapat beberapa keraguan tentang hasil pengaplikasiannya. Salah
satunya adalah bagaimana sumber daya guru siap untuk menerapkan sebelum
kurikulum ini diaplikasikan secara menyeluruh. Karena kurikulum ini penuh
dengan muatan teoritis, sedangkan sebagian besar guru terbiasa dengan hal-hal
yang teknis, sehingga diperlukan pelatihan-pelatihan intensif agar pelaksanaannya
diimplementasikan secara menyeluruh, masih terdapat kekurangan yang terjadi,
diantaranya belum siapnya buku pegangan guru dan siswa serta durasi pelatihan
guru yang dirasa masih kurang cukup.
Tabel 1.1
Kebangkitan industri kreatif dan budaya
Pergeseran kekuatan ekonomi dunia
Pengaruh dan imbas teknosains
Mutu, investasi, dan transformasi pada sektor pendidikan
Hasil TIMSS dan PISA
Kompetensi Masa Depan Kemampuan berkomunikasi
Kemampuan berpikir jernih dan kritis
Kemampuan mempertimbangkan segi
Kurikulum 2013 menekankan adanya peningkatan efektivitas belajar
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Karena dirasa kurikulum
sebelumnya belum mengedepankan hal ini. Terdapat tiga aspek yang
diperhatikan, yakni efektivitas interaksi, pemahaman, dan penyerapan. Untuk
meningkatkan efektivitas interaksi dapat ditempuh dengan membentuk iklim
akademik dan budaya sekolah yang kondusif dalam meningkatkan kompetensi
siswa serta manajemen dan kepemimpinan yang sehat. Efektivitas pemahaman
dapat diupayakan dengan meramu pembelajaran yang mengedepankan
pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca,
mendengar), bertanya, asosiasi, menyimpulkan, mengkomunikasikan, dan
penyerapan dapat ditempuh melalui pembelajaran horizontal dan vertikal yang
berkesinambungan. Secara sederhana ditampilkan dalam gambar berikut.
Gambar 1.1
Strategi Peningkatan Efektivitas Pembelajaran
Sumber: Kemendikbud: 2012
Perubahan yang signifikan terjadi pada kurikulum 2013 dibandingkan dengan
KBK maupun KTSP. Beberapa diantaranya adalah perubahan kedudukan dan
ruang lingkup elemen standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, dan
standar penilaian. Perubahan tersebut terdiri dari: a) adanya peningkatan
keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan; b) kompetensi yang semula diturunkan dari mata
pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi; c)
pendekatan pembelajaran tematik, mata pelajaran wajib dan pilihan, dan vokasi
disesuaikan berdasarkan jenjang pendidikan; d) perubahan struktur kurikulum
yang berkaitan dengan mata pelajaran dan alokasi waktu; e) proses pembelajaran
yang terkait dengan pendekatan pembelajaran (pembelajaran saintifik); f)
penilaian; g) ekstrakurikuler.
Contohnya adalah penguatan proses pembelajaran melalui penerapan
mengamati, menalar, mensintesis, menyimpulkan, mengevaluasi, dan mencipta
(Kemendikbud: 2012). Pembelajaran saintifik merupakan proses pembelajaran
yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruk
konsep, hukum, atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk
mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan
atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik,
menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan”. Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud: 2013b).
Prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan saintifik (Kemendikbud:
2013b): 1) pembelajaran berpusat pada siswa; 2) pembelajaran membentuk
students’ self concept; 3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; 4) pembelajaran
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi
konsep, hukum, dan prinsip; 5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan
kemampuan berpikir siswa; 6) pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa
dan motivasi mengajar guru; 7) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melatih kemampuan dalam komunikasi; 8) adanya proses validasi terhadap
konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya
Penilaian pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik meliputi: penilaian
proses, penilaian produk, dan penilaian sikap. Penilaian proses atau keterampilan
dilakukan melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu,
berdiskusi, dan presentasi dengan menggunakan lembar observasi kinerja.
Penilaian produk berdasarkan pada hasil tes tertulis yang diberikan guru dan
penilaian sikap melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu,
berdiskusi, dan saat presentasi dengan menggunakan lembar observasi sikap.
Salah satu alasan pengembangan kurikulum adalah rendahnya pencapaian
Indonesia dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS)
dan Program for International Student Assessment (PISA) sampai pada asesmen
dan tahun 2012 untuk PISA. Akan tetapi sebelum menyoroti hasil yang diperoleh
Indonesia dalam kedua ajang tersebut, ada baiknya perlu diketahui aspek-aspek
yang diuji oleh keduanya sehingga dapat dianalisa kesenjangan antara harapan
dan fakta yang terjadi, terutama yang berkaitan langsung dengan asesmen
matematika.
TIMSS adalah sebuah asesmen internasional terhadap matematika dan sains
pada kelas 4 dan kelas 8 yang telah dan masih diselenggarakan setiap empat tahun
sejak 1995. TIMSS adalah proyek dari IEA (International Association for the
Evaluation of Educational Achievement) yang berpusat di Amsterdam, dan IEA
mengelola langsung TIMSS & PIRLS (Progress in International Reading
Literacy Study) Center di Boston College. TIMSS melakukan asesmen terhadap
banyak negara di seluruh dunia dan mengumpulkan informasi mengenai konteks
pendidikan matematika dan sains.
TIMSS masih menjadi salah satu asosiasi asesmen pendidikan terbesar dan
terpercaya di dunia. Banyak negara merujuk pada hasil TIMSS dalam hal
pengembangan pendidikan di negaranya. TIMSS sendiri telah mengumpulkan
data matematika dan sains pada tahun 1995, 1999, 2003, 2007, dan 2011. Hasil
dari TIMSS sepertinya banyak mengubah kebijakan pendidikan dari negara yang
berpartisipasi di TIMSS. Contohnya perubahan kurikulum di Indonesia yang
mencantumkan hasil TIMSS sebagai tantangan masa depan dalam ranah
pendidikan.
Secara rutin TIMSS mengumpulkan informasi penting tentang pendidikan
yang berkenaan dengan kualitas dan kuantitas pembelajaran di kelas. TIMSS
memberikan informasi yang detail mengenai lingkup kurikulum matematika dan
sains meliputi implementasinya, pendidikan guru, keberadaan sumber daya, dan
penggunaan teknologi dalam pendidikan. hasil temuan TIMSS menjadi bahan
yang penting untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan di
negara-negara anggotanya. Bahkan di Indonesia, temuan TIMSS menjadi salah satu
alasan utama mengapa kurikulum terus dikembangkan. Terdapat kesan selama
belum mencapai keberhasilan. Walaupun penulis menganggap hasil TIMSS
bukanlah sesuatu yang esensi.
Penilaian TIMSS terhadap kemampuan matematika meliputi dua dimensi: 1)
dimensi konten yang berkaitan dengan materi pelajaran dan 2) dimensi kognitif
yang berkaitan dengan proses kognitif atau berpikir. Pada kelas 4, TIMSS menilai
pengetahuan siswa dalam tiga domain konten: bilangan, bentuk dan ukuran
geometri, dan menampilkan data. Pada kelas 8, TIMSS menilai pengetahuan
siswa dalam empat domain konten: bilangan, aljabar, geometri, dan data dan
peluang.
Tabel 1.2
Perubahan Perolehan Skor Siswa Kelas 8 Berdasarkan Sistem Pendidikan: 2007-2011 dan 1995-2007-2011
Sumber:Provasnik, S., Kastberg, D., Ferraro, D., Lemanski, N., Roey, S., dan Jenkins, F. (2012)
Rata-rata perolehan skor matematika Indonesia dalam TIMSS tahun 2011
menurun 11 poin dibandingkan dengan perolehan pada tahun 2007. Pada tahun
2007 Indonesia memperoleh skor 397, sedangkan pada 2011 memperoleh skor
386. Secara umum, dari 56 negara peserta pada tahun 2011 Indonesia menduduki
peringkat 38 dengan rata-rata skor 386. Rata-rata skor yang diperoleh Indonesia
dan rata-rata skor United States yakni 509. Hal ini masih dianggap kurang
membanggakan jika dibandingkan dengan negara yang mendapat peringkat lima
teratas yang semuanya dari Asia. Perlu dianalisis faktor yang mempengaruhi
rendahnya pencapaian Indonesia pada ajang ini. Beberapa ahli meragukan tingkat
representasi samapel yang diambil oleh TIMSS, karena soal yang diberikan
dianggap seharusnya sudah dapat dikuasai dengan baik oleh sebagian besar siswa
di Indonesia. Namun, hal ini masih dalamm kerangka dugaan, sehingga
diperlukan penelitian lebih mendalam tentangnya.
Tabel 1.3
Rata-Rata Skor Matematika Siswa Kelas 8: 2011
Sumber:Provasnik, S., Kastberg, D., Ferraro, D., Lemanski, N., Roey, S., dan Jenkins, F. (2012)
Melalui rata-rata skor yang diperoleh Indonesia dapat dianalisis pencapaian
melalui perolehan nilai berdasarkan domain konten dan domain kognitif yang
diujikan TIMSS. Berdasarkan skor perolehan pada domain konten, Indonesia
memperoleh skor 375 pada konten bilangan, 392 pada konten aljabar, 377 pada
bawah rata-rata skor United States yang menjadi rata-rata skor acuan yakni 514
pada konten bilangan, 512 pada konten aljabar, 485 pada konten geometri, dan
527 pada konten data dan peluang. Imlikasinya adalah kemampuan siswa
Indonesia masih rendah pada keempat domain tersebut, sehingga masih
diperlukan perhatian yang menyeluruh.
Dalam domain kognitif, Indonesia masih jauh dibandingkan dengan lima
negara teratas dari Asia. Skor Indonesia pada domain pengetahuan 31%, domain
penerapan 23%, dan yang paling rendah adalah domain penalaran yakni 17%.
Bandingkan dengan negara Cina, Hongkong, Korea, Singapura, dan Jepang,
negara-negara tersebut memperoleh lebih dari 50% untuk ketiga domain kognitif.
Tabel 1.4
Rata-Rata Skor Domain Konten dan Kognitif Matematika Siswa Kelas 8: 2011
Sumber:Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., dan Arora, A. (2011)
Penulis mencoba menganalisis pencapaian Indonesia pada ajang ini. Analisis
dilakukan dengan mencermati contoh soal yang diberikan dan perolehan
Indonesia dibandingkan dengan peserta lain. Dalam menyelesaikan soal tingkat
tinggi ini, diperlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan
penalaran, pemecahan masalah, berpikir kreatif, dan berpikir kritis. Seperti yang
dikemukakan dalam laporan TIMSS 2011 (Mullis, Martin, Foy, dan Arora, 2011):
“Students can reason with information, draw conclusions, make
figures to solve problems. Students can reason with data from several sources or unfamiliar representations to solve multi-step problems”.
Siswa dapat bernalar dengan informasi, membuat kesimpulan, membuat
generalisasi, dan menyelesaikan persamaan linear. Siswa dapat menyelesaikan
beragam macam masalah pecahan, perbandingan, dan persen dan menjustifikasi
kesimpulan mereka (siswa). Siswa dapat mengkomunikasikan generalisasi secara
aljabar dan model dari situasi. Mereka (siswa) dapat menyelesaikan beragam
macam dari masalah yang melibatkan persamaan, rumus, dan fungsi. Siswa dapt
bernalar dengan gambar geometri untuk memecahkan masalah. siswa dapt
bernalar dengan data dari beberapa sumber atau representasi yang tidak familiar
untuk memecahkan masalah multi langkah. Contoh item soal pertama adalah
sebagai berikut:
Gambar 1.2
Contoh Soal Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi TIMSS: 2011 (Contoh 1)
Sumber:Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., dan Arora, A. (2011)
Soal di atas mengharuskan siswa menemukan komposisi dari letak dan
penempatan buku sehingga diperoleh jumlah buku terbanyak yang dapat
setiap buku dengan cara berdiri (vertikal) dalam kotak atau kombinasi
penempatan secara vertikal dan horizontal. Gambar ilustrasinya dalah sebagai
berikut.
Gambar 1.3 (a)
Penempatan Buku Dalam Kotak (Ilustrasi 1)
Gambar 1.3 (b)
Penempatan Buku Dalam Kotak (Ilustrasi 2)
Dengan cara yang ditampilkan pada Gambar 1.3 (a), ke dalam kotak dapat
dimasukkan 12 buah buku. Di sisi lain, dengan menggunakan cara yang
ditampilkan pada Gambar 1.3 (b), ke dalam kotak dapat dimasukkan 10 buah
buku. Siswa dituntut untuk dapat menemukan atau mendaftar komposisi lain dari
penempatan buku dalam kotak dan menentukan berapa jumlah buku terbanyak
yang dapat masuk ke dalam kotak. Paling tidak, terdapat beberapa kemampuan
yang harus dimiliki siswa untuk dapat menemukan jawaban yang tepat dari
permasalahan tersebut. Kemampuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kemampuan pemahaman matematis
Kemampuan pemahaman matematis yang harus dimiliki untuk dapat
menyelesaikan persoalan di atas adalah kemampuan pemahaman interpolasi dan
ekstrapolasi. Interpolasi digunakan untuk menafsirkan maksud dari bacaan, tidak
hanya berkaitan dengan redaksi, tetapi juga berkenaan dengan pemahaman
pada hasil pemikiran, mencakup pembuatan kesimpulan yang sesuai dengan
informasi.
2. Kemampuan penalaran matematis
Kemampuan ini dirasa terlibat karena dalam proses penyelesaian soal di atas,
siswa memerlukan proses pemikiran yang logis sehingga diperoleh kesimpulan
yang logis pula. Siswa harus berpikir dengan pola logika tertentu dan berpikir
dengan secara analitik.
3. Kemampuan koneksi matematis
Tipe kemampuan koneksi yang paling terlibat adalah modelling connections
(NCTM, 1989). Modelling connections merupakan hubungan antara situasi
masalah yang muncul di dalam dunia nyata dengan representasi matematisnya.
Dengan kata lain soal tersebut menuntut kemampuan koneksi matematika dengan
kehidupan sehari-hari.
4. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Suatu soal disebut masalah jika soal tersebut merupakan soal yang non-rutin
dan menjadi tantangan bagi siswa. Dengan melihat persentase siswa yang dapat
menjawab soal tersebut, ada indikasi bahwa soal merupakan soal yang non-rutin
dan siswa merasa kesulitan. Paling tidak hal tersebut dialami oleh sebagian besar
siswa yang menjadi sampel TIMSS. Masalah tersebut dapat digolongkan ke dalam
masalah translasi dan teka-teki, karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
dan bersifat menerka.
5. Kemampuan berpikir kritis matematis
Kemampuan berpikir kritis matematis berkaitan dengan keterampilan dalam
memproses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi untuk mencari solusi
yang logis. Untuk dapat menyelesaikan masalah di atas dengan baik, siswa
dituntut untuk dapat memberikan alasan, sudut pandang, dan prosedur yang
merupakan karakteristik dari pemikir kritis.
6. Kemampuan berpikir kreatif matematis
Hal ini berhubungan dengan empat aspek dalam kemampuan berpikir kreatif
gagasan pemecahan masalah (kelancaran), mampu mengubah arah berpikir secara
spontan (keluwesan), membuat kombinasi-kombinasi yang tidak biasa dari
unsur-unsur permasalahan (keaslian), dan memperinci gagasan sehingga kualitas
gagasan menigkat (elaborasi).
Dari nilai rata-rata internasional 25%, Indonesia memperoleh 11% untuk
contoh soal di atas. Artinya hanya 25% siswa secara internasional yang dapat
menjawabnya dan hanya 11% siswa Indonesia yang mampu menjawab soal
tersebut dengan benar. Hal ini mengindikasikan masih jauhnya kemampuan
Indonesia dibandingkan kemampuan peserta lain secara keseluruhan. Apalagi
ketika dibandingkan dengan lima negara peringkat teratas yang seluruhnya
memperoleh nilai lebih dari 50%. Masalah ini menjadi bahan perenungan bagi
para pendidik Indonesia. Banyak aspek yang menyebabkan rendahnya pencapaian
Indonesia di ajang Internasional ini, terutama kurikulum yang dapat menjadi
solusi utama dari masalah ini. Walaupun memang masih banyak sikap skeptis dari
para ahli pendidikan mengenai hasil TIMSS maupun PISA. Keraguan tersebut
merujuk pada metode penyampelan yang digunakan, karena walaupun pencapain
Indonesia di kedua ajang ini tidak memuaskan, tetapi pencapaian Indonesia pada
ajang olimpiade atau sains lainnya sangat memuaskan secara internasional.
Gambar 1.4
Contoh Soal Kemampuan berpikir Tingkat Tinggi TIMSS: 2011 (Contoh 2)
Sumber:Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., dan Arora, A. (2011)
Contoh soal kedua ini adalah termasuk dalam kategori domain konten aljabar
dan domain kognitif penalaran. Soal ini menuntut siswa untuk dapat menemukan
rentang berat yang paling tepat dari pelat baja. Pada soal ini, Indonesia
memperoleh nilai 18%, jauh dari rata-rata internasional 47%. Jika dibandingkan
dengan perolehan 5 peserta teratas: Korea selatan (79%), Jepang (76%),
Singapura (75%), Finland (74%), Cina (74%), tentu perolehan Indonesia dapat
dikategorikan masih rendah. Perolehan tersebut menggambarkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematis dalam memecahkan masalah masih rendah.
Perlu adanya perbaikan di dalam sistem pendidikan agar kemampuan berpikir
seperti kemampuan kreatif, kritis matematis, dan pemecahan masalah dapat terus
berpikir tingkat tinggi seperti berpikir kritis matematis, pemecahan masalah, dan
berpikir kreatif dalam rangka mengatur dan menciptakan ilmu pengetahuan
(Giannakopulos dan Buckley: 2009)
Setelah mendapatkan gambaran kemampuan siswa Indonesia melalui
perolehan TIMSS, diperlukan konfirmasi melalui ajang asesmen lain agar analisis
yang dilakukan lebih berimbang. Diluncurkan tahun 1997 oleh Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD), Programme for International
Student Assessment (PISA) adalah studi internasinal yang bertujuan mengevaluasi
sistem pendidikan di dunia dengan menguji kemampuan dan pengetahuan siswa
usia 15 tahun. Di tahun 2012 survey berfokus pada matematika, dengan membaca,
sains, dan pemecahan masalah sebagai minor areas dari asesmen. Pada tahun
tersebut 34 anggota OECD dan 31 negara dan ekonomi rekanan berpartisipasi.
Sekitar 510.000 siswa yang usianya berkisar antara 15 tahun 3 bulan sampai 16
tahun 2 bulan mengikuti asesmen di tahun 2012.
Terdapat tujuh kemampuan pokok yang digunakan dalam kerangka kerja
asesmen PISA: 1) Komunikasi; 2) Matematisasi; 3) Representasi; 4) Penalaran
dan penjelasan; 5) Merencanakan strategi dalam pemecahan masalah; 6)
Penggunaan simbol; 7) Penggunaan alat matematika.
Indonesia dalam PISA 2012 memperoleh peringkat 64 dari 65 peserta. Skor
rata-rata yang diperoleh adalah 375, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 494. Hal
ini bukanlah sesuatu yang cukup membanggakan. Akan tetapi hasil asesmen
seyogyanya menjadi refleksi pendidikan Indonesia. Melalui hasil asesmen
diharapkan pendidikan Indonesia lebih dapat berbenah diri. Sistem pendidikan
yang masih belum baik menjadi salah satu penyebab pendidikan di Indonesia sulit
untuk berkembang dan terkesan masih berlari di tempat. Perubahan kurikulum
yang terjadi belum jelas aspek mana yang menjadi penekanan pembenahan. Hal
ini diindikasikan oleh hampir samanya aspek perubahan yang diaplikasikan
sehingga kesannya kurikulum baru hanya berubah nama dan dokumen saja.
Sebetulnya peningkatan sumber daya manusia di lapangan yang perlu menjadi
Tabel 1.5
Gambaran Kemampuan Matematika dalam PISA 2012
Sumber: http://www.oecd.org/pisa/
Struktur matematika berubah sejalan dengan perkembangan zaman.
Dibutuhkan kurikulum yang mampu meningkatkan kemampuan matematis siswa.
Begitu pun yang diuji oleh PISA. Salah satu kemampuan yang diuji adalah
bagaimana siswa dapat melihat kemungkinan-kemungkinan membawa
kemampuan matematisnya secara kreatif dalam menghadapi suatu situasi dan
melakukan matematisasi. Dalam memecahkan masalah, kemampuan yang
diperlukan lebih tinggi daripada pengetahuan mendasar. Diperlukan mobilisasi
dari kemampuan kognitif dan praktis, kemampuan kreatif dan sumber daya
psikologis lain seperti sikap, motivasi, dan nilai (OECD: 2003a).
PISA selain mengases kemampuan kognitif, kemampuan afektif seperti self
efficacy juga tidak luput dalam pantauan. Self-efficacy merupakan tingkat
keyakinan siswa akan kemampuannya. Indeks self efficacy yang dimiliki siswa
Indonesia masih di bawah rata-rata OECD. Beberapa peserta dari Asia yang
memperoleh indeks self efficacy di atas rata-rata OECD diantaranya:
Shanghai-Cina, Singapura, Hogkong-Shanghai-Cina, Cinai Taipei, dan Macau-Cina. Implikasinya
matematika masih tergolong rendah secara keseluruhan dibandingkan
negara-negara tersebut.
Tabel 1.6
Gambaran Self Efficacy Siswa
Sumber: modifikasi dari OECD (2003a)
Ket:
T : Negara dengan nilai di atas rata-rata OECD
S : Negara dengan nilai yang secara statistik tidak berbeda dengan rata-rata OECD
R : Negara dengan nilai di bawah rata-rata OECD
Hasil TIMSS dan PISA mencerminkan masih jauhnya pencapaian pendidikan
Indonesia dengan tujuan pendidikan yang sedari dulu dirumuskan. Tujuan
pendidikan Indonesia adalah untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, terdeteksi adanya
kesenjangan antara harapan dan tuntutan kurikulum 2013 dengan fakta keadaan
yang ada. Secara khusus kurikulum 2013 bertujuan untuk membentuk pribadi
yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak
dan konkret (Kemendiknas, 2012). Diperlukan generasi muda yang mampu
merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu masyarakat.
Secara umum tujuan kurikulum adalah mempersiapkan insan Indonesia untuk
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia.
Di lain pihak, banyak yang beranggapan bahwa matematika adalah ilmu pasti,
sehingga bagaimana siswa memahami dan memecahkan masalah matematis juga
dianggap memiliki satu jalan yang sama (Leeuw, 1998). Padahal berdasarkan
pengalaman penulis selama ini, siswa sering memperlihatkan pola pikir yang
berbeda dengan yang diberikan guru dan yang ditampilkan siswa lain. Oleh
karena itu, dibutuhkan pendekatan atau strategi pembelajaran yang dapat
mendorong kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa.
Dari sekian banyak model, metode, dan strategi pembelajaran yang penulis
pahami, Discovery Learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang
dapat menjadi jembatan antara kesenjangan yang dirumuskan sebelumnya. Dalam
Discovery Learning dibuat suatu situasi dengan konten utama dari pembelajaran
tidak diberikan secara langsung tapi harus secara mandiri ditemukan oleh siswa.
Situasi ini dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam bernalar,
memecahkan masalah, dan berpikir kreatif. Discovery Learning memberikan
siswa ruang untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis
matematis.
Treffinger (1980) mengemukakan bahwa kreativitas berhubungan dengan
proses discovery. Treffinger (1980) menyatakan bahwa pengalaman melalui
Discovery Learning meningkatkan kemampuan kreatif dengan mendorong siswa
Treffinger (1980) juga melaporkan bahwa proses kreatif dari kelancaran,
keluwesan, elaborasi, dan keaslian tergabung dalam pendekatan mengajar
Inquiry-Discovery. Melalui pembelajaran ini siswa diajak untuk menemukan konsep
penting yang tidak diberikan langsung, diharapkan siswa dapat menemukan
sendiri konsep tujuan melalui proses pembelajaran yang diberikan oleh guru.
Discovery Learning memiliki karakteristik yang sejalan dengan pembelajaran
saintifik. Discovery Learning dan pembelajaran saintifik berusaha membelajarkan
siswa untuk mengenal dan merumuskan masalah, menguji hipotesis atas suatu
masalah dengan melakukan penyelidikan, pada akhirnya dapat menarik
kesimpulan dan menyajikannya. Lebih mendalam, berikut adalah pengalaman
belajar yang harus diperhatikan dalam Discovery Learning (Fasco: 2001): 1)
Memberikan pengalaman awal untuk minat siswa dalam bertanya tentang
masalah, konsep, situasi, atau ide; 2) Memberikan siswa situasi manipulatif dan
materi untuk memulai jalan eksplorasi; 3) Menyediakan sumber informasi untuk
pertanyaan siswa; 4) Menyediakan materi dan perangkat yang memicu dan
mendorong Discovery Learning dan hasil siswa; 5) Memberikan waktu bagi siswa
untuk memanipulasi, mendiskusikan, mencoba, gagal, dan berhasil; 6)
Memberikan bimbingan, jaminan, dan penguatan untuk gagasan-gagasan siswa
dan hipotesis; 7) Menghargai dan mendorong strategi solusi yang dapat diterima.
Iklim positif yang menunjang hasil terbaik.
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2013)
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan, dan inferensi. Pembelajaran ini mengandung tiga sifat
(Bicknell-Holmes dan Hoffman, 2000): 1) Melalui kegiatan eksplorasi dan memecahkan
masalah siswa mencipta, mengintegrasi, dan menggeneralisasi pengetahuan; 2)
dikendalikan siswa, kegiatan berbasis aktivitas dengan siswa menentukan urutan
dan frekuensi pembelajaran; 3) Aktivitas bertujuan mendorong integrasi dari
pengetahuan baru ke dasar pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
mendapatkan Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan
b) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah)?
2. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang
mendapatkan Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan
b) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah)?
3. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan
self efficacy siswa?
5. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kreatif matematis
dengan self-efficacy siswa?
6. Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan
faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir
kritis siswa?
7. Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan
faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa?
8. Apakah self-efficacy siswa yang mendapatkan Discovery Learning lebih
tinggi daripada self-efficay siswa yang mendapatkan pembelajaran
konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; b) dimensi self-efficacy; dan c)
kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara umum penelitian ini dilakukan
matematis serta self-efficacy siswa. Hal tersebut diharapkan terjadi karena
perlakuan yang diberikan yakni Discovery Learning dan pembelajaran
konvensional. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui secara mendalam kemampuan berpikir kritis matematis
siswa antara yang mendapatkan Discovery Learning dan pembelajaran
konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan b) kemampuan awal siswa
(atas, tengah, bawah).
2. Untuk mengetahui secara mendalam kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa antara yang mendapatkan Discovery Learning dan pembelajaran
konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan b) kemampuan awal siswa
(atas, tengah, bawah).
3. Untuk menelaah korelasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan
kemampuan berpikir kreatif matematis siwa.
4. Untuk menelaah asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan
self-efficacy siswa.
5. Untuk menelaah asosiasi antara kemampuan berpikir kreatif matematis
dengan self-efficacy siswa.
6. Untuk menelaah interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan
faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematis siswa.
7. Untuk menelaah interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan
faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa.
8. Untuk mengetahui secara mendalam self-efficacy siswa antara yang
mendapatkan Discovery Learning dan pembelajaran konvensional, ditinjau
dari: a) keseluruhan; b) dimensi self-efficacy; dan c) kategori kemampuan
awal siswa (atas, tengah, bawah).
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, sebagai wawasan tambahan dalam rangka meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy siswa.
2. Bagi guru, sebagai informasi bahwa Discovery Learning merupakan salah
satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan kreatif matematis serta self-efficacy siswa.
3. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka perbaikan mutu
pendidikan.
4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pijakan untuk penelitian
tindak lanjut dengan ruang lingkup yang lebih luas.
E. Definisi Operasional
Untuk meminimalisir perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagi
berikut:
1. Discovery Learning adalah kegiatan pembelajaran dengan konten utama
materi tidak diberikan langsung kepada siswa, diharapkan siswa dapat secara
mandiri membangun pengetahuannya. Discovery Learning meliputi model
dan strategi yang fokus pada kesempatan siswa untuk belajar aktif dan
hands-on. Discovery Learning melibatkan peserta didik dalam pemecahan masalah
untuk melakukan penemuan, seperti yang dijelaskan oleh Mayer (2004).
Peran guru adalah untuk menciptakan kondisi bagi penemuan bukan
memberikan pengetahuan siap pakai. Discovery Learning bekerja pada
asumsi bahwa siswa lebih mungkin untuk mempertahankan pengetahuannya
jika mereka menemukannya sendiri. Dalam Discovery Learning guru tidak
secara penuh memandu siswa dalam menyelesaikan masalah.
2. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan dalam
menganalisis informasi dan menata gagasan-gagasan secara reflektif menuju
pemecahan masalah. Indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari empat aspek yang
menjustifikasi konsep; 2) menggeneralisasi; 3) menganalisis algoritma; dan 4)
mengintegrasi gagasan, informasi, dan teori.
3. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah pendekatan baru dalam
melihat atau melakukan sesuatu yang memiliki empat karakteristik: fluency,
flexibility, originality, dan elaboration.
4. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa diterapkan
oleh guru ketika proses belajar mengajar.
5. Self-efficacy adalah tingkat atau kekuatan keyakinan seseorang terhadap
kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan.
Efficacy dipengaruhi oleh empat faktor: mastery experience, vicarious
experience, verbal persuasion, dan somatic and emotional state. Tiga dimensi
self-efficacy adalah: magnitude, strength, dan generality.
6. Kategori kemampuan awal siswa adalah pengelompokan siswa ke dalam tiga
kategori: atas, tengah, dan bawah. Hal ini berdasarkan kemampuan matematis
siswa sebelumnya. Terdapat dua jalan dalam mengkategorikan siswa
berdasarkan kemampuan matematisnya. Yang pertama yaitu dengan
menggunakan tes kemampuan awal matematis. Kedua dengan melihat
rekapitulasi nilai sebelumnya dan pertimbangan guru pamong, dan cara kedua
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok
kontrol non-ekuivalen. Pada desain ini ada pretes, perlakuan, dan postes. Pretes
dan postes diberikan kepada kedua kelompok (Eksperimen dan kontrol)
sedangkan perlakuan hanya diberikan kepada kelompok Eksperimen.
Desain penelitian yang digunakan termasuk ke dalam jenis desain
eksperimen. Pada penelitian ini, subyek dipilih berdasarkan kelompok-kelompok
yang sudah terbentuk secara alamiah. Kemudian dari seluruh kelompok kelas di
kelas VII diambil dua kelompok secara acak, satu sebagai kelas eksperimen dan
satu sebagai kelas kontrol (random assignment) (Borg dan Gall, 1989).
Desain eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
R : O O
R : O O
(Borg dan Gall, 1989:663)
Keterangan:
: Perlakuan berupa penerapan Discovery Learning
O : Pemberian pretes dan postes
R : Random assignment
B. Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas VII dari SMP
Negeri 2 Lembang, Bandung, Jawa Barat. Dengan sampel penelitian terdiri dari
dua kelas, satu kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas yang lainnya sebagai
seluruh kelas VII secara acak. Hal ini dimungkinkan karena di SMP Negeri 2
Lembang tidak ada kelas unggulan, pembagian kelas dibuat sehomogen mungkin
berdasarkan kepada nilai UNAS sekolah dasar.
C. Variabel Penelitian
Penelitian ini menelaah tentang pembelajaran matematika di kelas VII SMP
melalui Discovery Learning untuk melihat pengaruhnya terhadap kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy terhadap matematika.
Perbandingan antara penerapan Discovery Learning dengan pembelajaran
konvensional juga dilakukan dalam penelitian ini.
Variabel kontrol yang juga diperhatikan dalam penelitian ini adalah kategori
kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah). Kelompok kategori kemampuan
awal siswa adalah tingkat kedudukan siswa didasarkan pada nilai rata-rata harian
siswa sebelumnya. Peneliti tidak menggunakan nilai rapor karena dikhawatirkan
sudah terjadi “katrol” pada nilai uang diperoleh siswa. Selanjutnya juga
pengelompokan ini dikonsultasikan kepada guru pamong sebagai bahan
konfirmasi agar pengelompokan lebih valid.
Dari uraian di atas, variabel pada penelitian ini meliputi variabel bebas yakni
Discovery Learning dan Pembelajaran konvensional, variabel terikatnya adalah
kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy, sedangkan
variabel kontrolnya adalah kelompok kategori kemampuan awal siswa (atas,
tengah, dan bawah).
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Pada penelitian ini menggunakan lima jenis instrumen, yaitu tes kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematis, skala self-efficacy, pedoman observasi untuk
mengetahui aktivitas guru dan siswa, serta pedoman wawancara untuk menelaah
proses dan tingkat berpikir kritis dan kreatif matematis serta tingkat keyakinan
siswa terhadap matematika.
Prosedur awal yang dilakukan adalah membuat kisi-kisi dan merancang
dianggap ahli. Ahli dalam hal ini adalah penimbang yang berkompeten
memvalidasi instrumen penelitian dan memberikan masukan atau saran yang
dapat digunakan untuk menyempurnakan instrumen yang telah disusun.
1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis diukur melalui tes
berbentuk uraian yang dibuat berdasarkan indikator-indikator kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematis. Penyusunan tes didasarkan pada standar
kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum 2006 matematika kelas VII
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tes ini diberikan sebelum (pretes) dan
sesudah (postes) pembelajaran. Sebelum digunakan, tes ini terlebih dahulu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
Tabel 3.1
Pedoman Penskoran Respon Siswa pada Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Apek yang
Diukur Respon Siswa Skor
Mengidentifikasi dan
Menjustifikasi Konsep
Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya menjelaskan konsep-konsep yang digunakan tetapi benar 2 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan kurang lengkap tetapi benar dan memberikan alasan yang salah 3 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan kurang lengkap tetapi benar dan memberikan alasan yang benar 4 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan dengan lengkap dan benar tetapi memberikan alasan yang kurang lengkap 5 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan dengan lengkap dan benar serta memberikan alasan yang lengkap 6
Menggeneralisasi Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya melengkapi data pendukung saja tetapi lengkap dan benar 2 Melengkapi data pendukung dengan lengkap dan benar tetapi salah dalam menentukan aturan umum 3 Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan benar tetapi tidak disertai penjelasan cara memperolehnya
4
Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan benar disertai penjelasan yang salah tentang cara memperolehnya
5
Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan benar tetapi penjelasan cara memperolehnya kurang lengkap
6
Apek yang
Diukur Respon Siswa Skor
benar tentang cara memperolehnya Menganalisis
Algoritma
Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya memeriksa algoritma pemecahan masalah saja tetapi benar 2 Memeriksa algoritma pemecahan masalah dengan benar tetapi memberikan penjelasan yang tidak dapat dipahami dan tidak memperbaiki kekeliruan
3
Memeriksa algoritma pemecahan masalah dengan benar dan memperbaiki kekeliruan tetapi memberikan penjelasan yang tidak dapat dipahami
4
Memeriksa, memperbaiki, dan memberikan penjelasan setiap langkah algoritma pemecahan masalah lengkap dan benar 5 Mengintegrasi
gagasan, informasi, dan teori
Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya menidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan
unsur) tetapi benar 2
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar tetapi model matematika yang dibuat dan penyelesaiannya salah; atau memberikan jawaban yang benar tetapi tidak disertai penjelasan
3
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar tetapi terdapat kesalahan dalam model matematika yang dibuat sehingga terdapat kesalahan dalam proses perhitungan sehingga penyelesaian dan hasilnya salah; atau memberikan jawaban yang benar namun penjelasannya salah
4
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar tetapi terdapat kesalahan dalam model matematika yang dibuat sehingga terdapat kesalahan dalam proses perhitungan sehingga penyelesaian dan hasilnya salah; atau memberikan jawaban yang benar namun penjelasannya terdapat kekeliruan
5
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar, serta membuat model matematika dan kemudian meyelesaikannya dengan benar; atau memberikan jawaban dan penjelasan yang kedua-duanya benar
6
Aspek yang dinilai dalam kemampuan berpikir kritis matematis adalah: 1)
mengidentifikasi dan menjustifikasi konsep; 2) menggeneralisasi; 3) menganalisis
algoritma; serta 4) mengintegrasi gagasan, informasi, dan teori. Untuk
mendapatkan data kemampuan berpikir kritis matematis siswa, dilakukan
penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran
menggunakan rubrik yang dimodifikasi dari Facione (dalam Ratnaningsih: 2013).
Penyusunan soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis bertujuan untuk
proses pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk dapat menganalisis
peningkatan kemampauan berpikir kreatif yang dialami olah siswa. Aspek yang
dinilai dalam kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kelancaran,
keluwesan, elaborasi, dan keaslian. Untuk mendapatkan data kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap
butir soal. Kriteria penskoran menggunakan rubrik yang dikembangkan oleh
Brookhart (2001).
Tabel 3.2
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa
Aspek yang
Diukur Respon Siswa Skor
Fluency Tidak menjawab 0
Mengajukan gagasan yang tidak relevan 1 Mengajukankan sebuah gagasan yang relevan dengan penyelesaian masalah namun pengungkapannya kurang jelas 2 Mengajukan sebuah gagasan yang relevan dan mengungkapnya
dengan jelas 3
Mengajukan lebih dari satu gagasan yang relevan dengan penyelesaian masalah namun pengungkapannya kurang jelas 4 Mengajukan lebih dari satu gagasan yang relevan dengan penyelesaian masalah dan pengungkapannya jelas 5
Flexibility Tidak menjawab 0
Mengajukan jawaban dengan satu atau lebih cara penyelesaian yang
semuanya salah 1
Mengajukan jawaban dengan satu cara dan terdapat kekeliruan dalam prosesnya sehingga hasilnya salah 2 Mengajukan jawaban dengan satu cara dan prosesnya benar serta
jawabannya tepat 3
Mengajukan jawaban lebih dari satu cara tetapi terdapat kekeliruan dalam prosesnya sehingga hasilnya salah 4 Memberikan jawaban melalui cara yang beragam dan prosesnya benar dan hasilnya tepat 5
Originality Tidak memberikan jawaban 0
Memberikan Jawaban yang salah 1 Memberikan caranya dengan caranya sendiri tetapi kurang jelas 2 Memberikan jawaban melalui cara penyelesaian sendiri, prosesnya sudah terarah namun tidak selesai 3 Memberikan jawaban melalui cara penyelesaian sendiri, namun terdapat kekeliruan dalam prosesnya sehingga hasilnya tidak tepat 4 Memberikan jawaban melalui cara penyelesaian sendiri, proses penyelesaian dan hasilnya benar 5
Elaboration Tidak menjawab 0
Aspek yang
Diukur Respon Siswa Skor
perincian
Terdapat kekeliruan dalam memperluas dan disertai perincian yang
kurang detail 3
Memperluas situasi dengan benar dan merincinya kurang detail 4 Memperluas situasi dengan benar dan merincinya secara detail 5
Sebelum digunakan, soal tes kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
terlebih dahulu divalidasi untuk melihat validitas isi dan validitas muka, kemudian
diujicobakan secara empiris. Ujicoba secara empiris bertujuan untuk mengetahui
tingkat reliabilitas soal dan validitas butir soal.
Uji validitas isi dan validitas muka dilakukan oleh para penimbang yang
dianggap ahli dan punya pengalaman mengajar dalam bidang pendidikan
matematika. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas isi adalah:
kebenaran konsep atau materi yang terkandung dalam soal; kesesuaian soal
dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator kemampuan siswa,
sedangkan hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas muka adalah
kejelasan susunan bahasa dan kalimat dalam soal, akurasi gambar atau ilustrasi,
dan aspek psikologi yang terkandung dalam soal.
Hasil pertimbangan validitas isi dan validitas muka dianalisis dengan
menggunakan statistik C-Cochran. Untuk melihat apakah para penimbang
melakukan pertimbangan terhadap tiap butir soal kemampuan berpikir kritis
matematis dari segi validitas isi dan validitas muka secara sama atau seragam.
Hasil pertimbangan para ahli dikonsultasikan kembali dengan pembimbing
penelitian. Langkah selanjutnya adalah merevisi atau menggunakan soal tanpa
perubahan sesuai dengan hasil pertimbangan validator dan pembimbing
penelitian.
Selanjutnya setelah instrumen dinyatakan sudah memenuhi validitas isi dan
validitas muka, kemudian diujicobakan secara terbatas kepada beberapa orang
siswa di luar sampel penelitian tetapi telah menerima materi yang diteskan.
sekaligus memperoleh gambaran apakah butir-butir soal yang akan diujikan dapat
dipahami dengan baik oleh siswa.
Setelah dinyatakan memenuhi validitas isi dan validitas muka serta memadai
untuk dicobakan, kemudian tes berpikir kritis matematis ini diujicobakan terhadap
siswa kelas dengan jumlah siswa sekitar 30 orang (Sugiyono; 2011). Data hasil uji
coba soal tes dianalisis untuk memperoleh tingkat validitas, reliabilitas, daya
pembeda, dan derajat kesukaran. Kriteria validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan
derajat kesukaran berdasarkan Suherman dan Sukjaya (1990).
Untuk mencari koefisien korelasi dapat digunakan 3 macam (Suherman dan
Sukjaya: 1990), yaitu menggunakan rumus: 1) korelasi produk moment memakai
simpangan, 2) korelasi produk momen memakai angka kasar (raw score), dan 3)
korelasi metode rank. Dalam penelitian ini, untuk menghitung koefisien validitas
tes menggunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw
score), sedangkan rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas
soal uraian dikenal dengan nama rumus Alpha (Suherman dan Sukjaya: 1990).
2. Skala Self-Efficacy
Skala self-efficacy digunakan untuk mengukur tingkat keyakinan siswa
terhadap kemampuannya dalam melakukan prosedur atau teknik kreatif yang
diperlukan ketika dihadapkan dengan persoalan matematis. Pengukuran
self-efficacy meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi magnitude untuk mengukur taraf
keyakinan dan kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan soal yang
dihadapi, dimensi strength merujuk pada tingkat keyakinan terhadap kemampuan
dalam mengatasi kesulitan yang muncul, dan dimensi generality untuk mengukur
tingkat keyakinan terhadap kemampuan dalam menggeneralisasikan tugas dan
pengalaman sebelumnya. Dari ketiga dimensi tersebut diturunkanlah
indikator-indikator self-efficacy dan kemudian dibuat pernyataan-pernyataan dari indikator-indikator
yang telah dirumuskan tersebut. Dimensi dan indikator yang digunakan dalam
penelitian ini mengadopsi dari dimensi dan indikator yang dikembangkan oleh
Sudrajat (2008), sedangkan perumusan dan penyusunan pernyataan dalam skala
Item pernyataan harus secara akurat merefleksikan gagasan. Self-efficacy berfokus pada keyakinan akan kemampuan. Oleh karenanya item pernyataan
harus memakai istilah “dapat melakukan” dibandingkan dengan “akan melakukan”.
Skala Self-efficacy adalah unipolar, berkisar antara 0 sampai keyakinan maksimum
Dalam metode standar untuk mengukur taraf self-efficacy, siswa disajikan
item-item pernyataan yang menggambarkan berbagai tuntutan tugas, dan siswa
menilai tingkat keyakinan mereka terhadap kemampuannya dalam melakukan
kegiatan yang diperlukan. Skala yang hanya menggunakan sedikit kriteria
sebaiknya dihindari karena kurang sensitif dalam mengukur kemampuan yang
diinginkan. Pada skala dengan sedikit kategori, siswa yang memilih kategori yang
sama kemungkinan memiliki keyakinan yang berbeda jika diantara kategori
tersebut disisipi kategori yang lebih sensitif. Oleh karenanya skala yang
digunakan adalah skala 100, dimulai dengan 0 (tidak dapat melakukan), 50 (cukup
yakin dapat melakukan), sampai 100 (sangat yakin dapat melakukan). Skala
self-efficacy dengan format respon 0-100 merupakan prediktor yang lebih kuat
dibandingkan dengan skala dengan 5 interval (Brookhart, 2001) seperti skala
Likert. Contoh formatnya adalah sebagai berikut.
Item pernyataan yang disajikan berisi beragam kegiatan tugas. Pada kolom keyakinan, tolong lingkari bilangan 0 sampai 100 yang mewakili tingkat keyakinan kamu.
“Jika diberikan soal tentang trigonometri, saya mampu menggunakan rumus yang tepat untuk menyelesaikan soal yang diberikan”
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Sebelum digunakan, skala self-efficacy terlebih dahulu dilakukan pengujian
validitas isi dan validitas konstruknya. Pengujian validitas dapat dilakukan oleh
para ahli. Beberapa pertimbangan dalam menguji validitas skala self-efficacy
adalah kesesuaian format angket dengan panduan yang mendasarinya, keseuaian
Setelah instrumen self-efficacy dinyatakan valid oleh para ahli, dilakukan uji
terbatas terhadap beberapa siswa sebagai uji keterbacaan. Uji terbatas ini
bertujuan untuk mengetahui apakah susunan kalimat dan redaksi yang ada dalam
instrumen dapat dipahami oleh siswa, dan apakah sudah menggambarkan tentang
apa yang dirasakan dan dialami oleh siswa.
Selanjutnya dilakukan uji coba terhadap siswa dengan jumlah sampel besar.
Data hasil uji coba digunakan untuk mempeoleh tingkat validitas dan reliabilitas
instrumen. Teknik statistik yang digunakan untuk menghitung tingkat validitas
adalah korelasi produk momem memakai angka kasar, sedangkan tingkat
reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha.
3. Pedoman Observasi
Pedoman observasi digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aktivitas
guru dan siswa dengan indikator Discovery Learning. Dalam penelitian ini, pihak
yang menjadi observer adalah pengamat yang telah mendapatkan pengetahuan
tentang Discovery Learning maupun guru pamong yang dianggap lebih mengerti
karakteristik siswa.
Pedoman observasi terbagi menjadi dua yaitu pedoman observasi untuk
aktivitas guru dan pedoman observasi untuk aktivitas siswa. Pedoman observasi
untuk aktivitas guru disusun berdasarkan indikator-indikator yang harus muncul
dalam Discovery Learning, sedangkan pedoman observasi untuk aktivitas siswa
disusun berdasarkan keaktifan siswa dalam melakukan proses penyelidikan,
berdiskusi, dan keterlibatan siswa dalam proses pemecahan masalah. Data hasil
pedoman observasi digunakan sebagai bahan penunjang dari instrumen penelitian
lainnya.
4. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar informasi yang dikumpulkan tidak
melenceng dari tujuan penelitian ini. Pedoman ini bermanfaat untuk mengetahui
respon, sikap, dan motivasi siswa terhadap Discovery Learning, serta untuk
kritis dan kreatif matematis yang disebabkan oleh Discovery Learning. Pedoman
wawancara menjadi panduan guru untuk merumuskan pertanyaan yang dapat
diberikan kepada siswa. Terkadang pertanyaan yang diberikan diperbolehkan
untuk keluar dari pedoman yang ada, yang terpenting adalah data yang diperoleh
relevan dengan tujuan penelitian. Data hasil wawancara menjadi bahan konfirmasi
bagi temuan yang diperoleh dari instrumen lain, atau bahkan menjadi bahan yang
dapat menyangkal temuan bila memang ditemukan hasil yang kontradiktif dengan
data instrumen penelitian yang lain.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan observasi ke sekolah. Menyusun dan menetapkan materi yang
digunakan dalam penelitian.
2. Menyusun perangkat pembelajaran. Menyusun instrumen penelitian.
3. Judgement instrumen penelitian dengan dosen pembimbing.
4. Melakukan uji coba instrumen penelitian.
5. Melaksanakan penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih sampel sebanyak dua kelas. Satu kelas dijadikan sebagai kelas
Discovery Learning (kelas eksperimen) dan satu kelas lainnya dijadikan
sebagai kelas konvensional (kelas kontrol).
b. Melaksanakan pretes di kelas Discovery Learning dan kelas
konvensional.
c. Melaksanakan kegiatan pembelajaran pada kedua kelas.
d. Memberikan angket skala self-efficacy kepada kelas Discovery Learning
maupun kelas konvensioal untuk mengetahui tingkat keyakinan siswa.
e. Melaksanakan postes pada kedua kelas tersebut.
6. Mengolah data hasil penelitian.
7. Menganalisis dan membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan hipotesis
yang telah dirumuskan.
1. Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis
Suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut
mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman dan Sukjaya,
1990). Oleh karena itu keabsahannya tergantung pada sejauh mana ketepatan alat
evaluasi itu dapat melaksanakan fungsinya. Fungsinya yaitu memberikan ukuran
kemampuan sesuai dengan yang dimiliki siswa. Alat evaluasi yang tidak valid
akan memberikan hasil pengukuran yang cenderung tidak tepat dan tidak dapat
dijadikan acuan dalam melakukan penelitian.
Selanjutnya perlu dihitung validitas, tingkat reliabilitas, daya pembeda, dan
derajat kesukaran. Berikut uraian singkat mengenai unsur-unsur tersebut.
a. Validitas
Berdasarkan pelaksanaanya validitas dibagi menjadi dua, yaitu validitas logis
(teoritis) dan validitas empiris (Suherman dan Sukjaya, 1990). Validitas teoritis
adalah validitas alat evaluasi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan teoritis
atau logika. Cara menguji validitasnya adalah dengan cara meminta pertimbangan
ahli atau melalui teori yang telah dikaji. Ahli dalam hal ini adalah orang yang
dianggap kompeten mengevaluasi alat evaluasi atau berpengalaman dalam
bidangnya.
Validitas logik dibagi menjadi validitas isi dan validitas muka. Validitas isi
berkaitan dengan ketepatan alat evaluasi dilihat dari segi materi yang digunakan,
atau dengan kalimat lain materi yang digunakan sebagai alat evaluasi merupakan
sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai siswa (Suherman dan
Sukjaya: 1990), sedangkan validitas muka berkaitan dengan keabsahan susunan
kalimat, sehingga tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman dan Sukjaya: 1990).
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas isi adalah: 1)
kebenaran konsep atau materi yang terkandung dalam soal; 2) kesesuaian soal
dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator kemampuan siswa; 3)
aspek kemampuan berpikir kritis dan kreatif yang diukur; 4) tingkat kesukaran