26 2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Agensi
Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu, yang disebut sebagai prinsipal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut sebagai agen, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut.
Menurut Jensen dan Meckling (1927) teori agensi adalah hubungan antara satu pihak atau lebih (principal) memperkejakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengembalian keputusan kepada agent tersebut.
Menurut Brigham & Houston (2006: 26-31) para manajer diberi kekuasaaan oleh pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory).
Sedangkan menurut Hendriksen dan Michael (2000) menyatakan agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal dan prinsipal menututp kontrak untuk memberikan imbalan kepada agen.
Sebagian orang memandang perusahaan merupakan sekumpulan kontrak antara pihak perusahaan dengan pihak pemegang saham. Pada pihak prinsipal atau pemilik perusahaan menyerahkan seluruh tugasnya pada pihak manjemen.
Manajer yang merupakan pihak pengelola perusahaan wajib menyediakan laporan keuangan yang akan digunakan untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utitlitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebab, manajer
merupakan pihak yang memiliki banyak informasi internal perusahaan dan prospek perusahaan dibandingkan pihak pemegang saham. Manajer juga berkewajiban untuk memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan namun informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya sehingga hal ini memacu terjadinya konflik keagenan.
Dalam kondisi yang demikian ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetris informasi (Imanda dan Nasir, 2006).
Menurut Jensen dan Meckling (dalam Siti Muyassaroh, 2008), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri dari:
(1). The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengaawasi perilaku dari agen dalam mengelola perusahaan. (2). The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak bertindak yang merugikan prinsipal. (3). The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen karena adanya hubungan agensi.
Menurut Eisenhardt (dikutip oleh Ujiyantho dan Pramuka, 2008), menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Konflik yang timbul antara manajer dan pemegang saham atau yang biasa disebut dengan masalah keagenan dapat meminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan tersebut sehingga timbul biaya keagenan (agency cost). Sehingga dengan adanya agency cost, diantaranya adanya kepemilikan saham oleh institusional dan kepemilikan manajemen oleh manajemen (Tendi Haruman, 2008).
2.1.2 Legitimacy Theory
Menurut Haniffa et al., (Sayekti dan Wondabio, 2007) Legitimacy Theory perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan perusahan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Maka dari itu, perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup suatu perusahaan juga bergantung dengan hubungan masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan.
Nasi, Philips, and Zyglidopoulos (dalam Nurhayati et al., 2006) mengatakan bahwa “Legitimacy theory focuses of the adequacy of corporate social behaviour”. Ini berarti bahwa society judge organisasi berdasarkan citra yang akan perusahaan ciptakan untuk perusahaan itu sendiri. Selanjutnya organisasi dapat menetapkan legitimasi mereka dengan memadukan anatar kinerja perusahaan dengan ekspektasi atau persepsi publik. Menurut (Nurhayati et al., 2006) ketika terdapat kesenjangan antara penghargaan dari masyarakat dan perilaku sosial perusahaan, maka akan muncul masalah legitimasi.
Menurut Suchman (dalam Barkemeyer, 2007) memberikan definisi mengenai organisational legitimacy sebagai berikut: Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within someocially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.
Barkemeyer (2007) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori legitimasi organisasi dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di negara berkembang terdapat dua hal, pertama : kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan membuat gambaran yang lebih jelas tentang motivasi perusahaan memperbesar tanggung jawab sosialnya. Kedua : legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam konteks yang berbeda.
Dengan adanya uraian teori yang telah dikemukakan di atas telah dijelaskan bahwa teori legitimasi tersebut merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan CSR. Pengungkapan tanggunga jawab perusahaan dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.
2.1.3 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)
Perusahaan tidak hanya sekedar bertanggungjawab terhadap para pemilik saham sebagaimana terjadi selama ini, namun bergeser lebih luas yaitu sampai ranah sosial kemasyarakatan, selanjutnya disebut dengan tanggung jawab sosial.
Fenomena seperti ini terjadi karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi (Harahap, 2002). Untuk itu, tanggungjawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial terhadap stakeholder, baik internal maupun eksternal.
Stakeholder adalah semua pihak baik internal muapun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi atau bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Yang dimaksud pihak internal maupun eksternal seperti pemerintahan, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan.
Batasan stakeholder tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholder karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder.
2.1.4 Teori Kontrak Sosial
Kontrak sosial muncul adanya interaksi dalam kehidupan sosial masyarakat agar terjadi keselarasan, keserasian dan keseimbangan, termasuk terhadap lingkungan. Perusahaan yang merupakan kelompok orang yang memiliki kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersamaan adalah bagian dari masyarakat dalam lingkungan yang lebih besar. Keberadaannya, sangat ditentukan oleh masyarakat dimana antara keduanya saling mempengaruhi. Untuk itu, agar terjadi keseimbangan maka perlu kontrak sosial baik secara eksplisit maupun implisit sehingga terjadi kesepakatan yang saling melindungi kepentingannya.
Di sini perusahaan ataupun organisasi bentuk lain, memiliki kewajiban terhadap masyarakat untuk memberi kemanfaatan bagi masyarakat setempat.
Interaksi perusahaan/ organisasi dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimasi.
2.1.5 Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Wahidawati, 2002). Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006).
Menurut Rika dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Dengan semakin tinggi nya harga saham, maka semakin tinggi pula keuntungan para pemegang saham, sehingga para investor akan memiliki minat yang tinggi, dengan adanya minat yang tinggi tersebut maka nilai perusahaan akan meningkat. Nilai perusahaan juga dapat dicapai dengan memaksimumkan jika para pemegang saham menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada orang yang berkompeten.
Para investor juga menggunakan rasio-rasio keuangan untuk mengetahui nilai pasar perusahaan, karena rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi
manajemen untuk penilaian investor terhadap kinerja perusahaan pada masa lampau ataupun masa yang akan datang. Salah satu rasio yang digunkan untuk menilai pasar perusahaan adalah Tobin‟s Q. Dengan menggunakan Tobin‟s Q rasio tersebut dapat memberikan informasi paling baik, karena di dalam Tobin‟s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).
Jadi, dengan semakin besarnya nilai pada Tobin‟s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik terhadap nilai perusahaan.
Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004).
2.1.6 Kepemilikan Manajemen
Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang
saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Diyah dan Erman, 2009). Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka dapat menimbulkan dugaan bahwa nilai perusahaan dapat meningkat jika kepemilikan manajemen meningkat. Kepemilikan manajemen yang besar akan efektif untuk mengawasi aktivitas perusahaan.
Shliefer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan juga. Kepemilikan manajemen tidak hanya terhadap nilai perusahaan, tetapi juga berhubungan dengan saham. Maka dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dapat dipandang baik dalam menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham , sehingga permasalahan yang timbul antara agen dan prinsipal diasumsikan akan hilang apabila seseorang manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham.
Morck, Shleifer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menemukan bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan, berhubungan negatif pada level 5-25%, berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level > 50%.
2.1.7 Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Selain kepemilikan manajemen yang dapat mengawasi secara efektif aktivitas perusahaan, keberadaan kepemilikan institusional juga dianggap mampu menjadi mekanisme pengawasan terhadap setiap keputusan yang diambil oleh pihak manajemen. Hal ini dikarenakan para investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan memanipulasi laba perusahaan.
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam mengawasi manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Pengawasan tersebut akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Dengan kepemilikan institusional yang tinggi maka akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer.
Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu juga
penelitian Wening (2009) Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.
Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:
1.Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi.
2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
Penelitian Smith (1996) (dalam Suranta dan Midiastuty, 2004) menunjukkan bahwa aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan perusahaan dan mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini didukung oleh Cruthley et al., (dalam Suranta dan Midiastuty, 2004) yang menemukan bahwa pengawasan yang dilakukan institusi mampu mensubstutisi biaya keagenan lain sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat.
2.1.8. Corporate Social Responsibility (CSR) atau Pertanggungjawaban Social Perusahaan
Konsep dari CSR merupakan sebagai salah satu pedoman penting dalam manajemen korporat. Meskipun konsep CSR baru dikenal pada awal tahun 1970- an , tetapi konsep dari CSR ini sudah ditemukan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 (Dwi Kartini, 2009). Menurut Carroll, konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut :
1. Economic responsibilities yaitu tanggung jawab ekonomi lembaga bisnis yang terdiri dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan
2. Legal responsibilities yaitu masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan mentaati hukum dan peraturan yang berlaku yang pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.
3. Ethical responsibilities yaitu masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis yaitu menunjukkan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun kelembagaan untuk menilai suatu isu dimana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.
4. Discreationary responsibilities yaitu masyarakat mengharapakan keberadaan perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka.
Dalam perkembangannya CSR secara konseptual menurut Rika dan Islahuddin (2008) yang mulai dibahas sejak tahun 1980-an yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan bergantinya ke imperium kapitalisme secara global.
2. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negara berkembang sehingga dituntut memperhatikan keadaan sosial, limgkungan dan HAM.
3. Globalisasi dan berkurangnya peran pemerintah telah menyebabkan munculnya lembaga sosial masyarakat (LSM) yang lebih memperhatikan isu kemiskinan
sampai kekhawatiran punahnya spesies tumbuhnya dan hewan akibat ekosistem yang semakin labil.
4. Kesadaran perusahaan akan pentingnya citra perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnsi berkelanjutan.
Selain menurut Rika dan Islahudin, menurut Deegan (dalam Chariri dan Ghozali, 2007) alasan yang paling mendorong adanya praktik CSR dan lingkungan antara lain :
1. Mematuhi persyaratan yang ada dalam UU.
2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi
3. Mematuhi pelaporan dan proses akuntabilitas.
4. Mematuhi persyaratan peminjaman.
5. Mematuhi harapan masyarakat.
6. Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan.
7. Mengelola kelompok stakeholder tertentu.
8. Menarik dana investasi.
9. Mematuhi persyaratan industri.
10. Memenangkan penghargaan pelaporan.
Menurut Taman Achda (2007) CSR sebagai komitmenperusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta harus menjaga agar dampak tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus
peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan juga diungkap dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya didalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) . Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability Reporting harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor industri.
Pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan paradigma enlightened self-interest yang menyatakan bahwa stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya dapat dicapai jika perusahaan melakukan tanggung jawab sosial kepada masyarakat (Hartanti, 2006).
2.1.9. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan
Menurut Hendriksen (dalam Rika dan Ishlahuddin, 2008), mendefinisikan pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Suatu pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan suatu informasi tentang laporan wajib dilakukan oleh perusahaan berdasarkan peraturan atau standar tertentu. Selain itu ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi tambahan perusahaan. Setiap pelaku ekonomi selain
berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan berfokus pada pencapaian laba disamping itu juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan.
Bapepam yang merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan beberapa aturan tentang disclosure yang harus dilakukan oleh perusahaan- perusahaan yang go public. Peraturan ini dimaksudkan untuk melindungi para pemilik modal dari adanya asimetri informasi. Perusahaan dapat memberikan disclosure melalui laporan tahunan yang telah diatur oleh Bapepam (mandatory disclosure), maupun melalui pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) sebagai tambahan pengungkapan minimum yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan tahunan pada dasarnya telah diatur dalam PSAK No. 1. Selain diatur dalam PSAK No.1, pemerintah Indonesia melalui keputusan ketua Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan di Indonesia. Sedangkan pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah atau suatu lembaga yaitu Ikatan Akuntnasi Indonesia (IAI) merupakan pengungkapan yang wajib dipatuhi oleh perusahaan yang telah go public. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan investor dari ketidakseimbangan informasi antara manajemen dengan pemegang saham dengan adanya kepentingan manajemen.
Pengungkapan corporate social responsibility dalam penelitian ini menggunakan 78 item yang terbagi menjadi enam tema. 78 item tersebut terbagi didapatkan dari penelitian Eddy Rismanda Sembiring (2005) yang diperoleh
dengan cara menyesuaikan item pengungkapan milik Hockson dan Milne yang semua terdiri dari 90 item pengungkapan dalam enam tema. Berdasarkan peraturan Bapepam no VIII.G.2 tentang laporan tahunan dan kesesuaian item tersebut untuk aplikasi di indonesia, maka penyesuaian kemudian dilakukan. 12 item dihapuskan karena kurangnya sesuai untuk diterapkan di Indonesia, sehingga total tersisa 78 item pengungkapan. Menurut Sayekti dan Wondabio (2007) juga terdapat 78 item dari 6 tema. Daftar pengungkapan tersebut adalah sebagai berikut:
Lingkungan
1. Pengendalian polusi kegiatan operasi pengeluran riset dan pengembangan untuk pengurangan polusi.
2. Pernyataan yang menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan peraturan polusi.
3. Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi.
4. Pencegahan atau perbaikan kerusakan lingkungan akibat pengolahan sumber alam, misalnya, reklamasi daratan atau reboisasi.
5. Konservasi sumber alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi , minyak, air dan kertas.
6. Penggunaan material daur ulang.
7. Menerima penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan.
8. Merancang fasilitas yang harmonis dengan lingkungan.
9. Kontribusi dalam seni yang bertujuan untuk memperindah lingkungan.
10. Kontribusi dalam pemugaran bangungan sejarah.
11. Pengolahan limbah.
12. Mempelajari dampak lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan.
13. Perlindungan lingkungan hidup.
Energi
1. Menggunakan energi secara lebih efisien dalam kegiatan operasi.
2. Memanfaatkan barang bekas untuk memproduksi energi.
3. Mengungkapkan penghematan energi sebagai hasil produk daur ulang.
4. Membahas upaya perusahaan dalam mengurangi konsumsi energi.
5. Pengungkapan peningkatan efisiensi energi dari produk.
6. Riset yang mengarah pada peningkatan efisiensi energi dari produk.
7. Mengungkapkan kebijakan energi perusahaan.
Tenaga Kerja
1. Mengurangi polusi, iritasi, atau risik dalam lingkungan kerja.
2. Mempromosikan keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental.
3. Mengungkapkan statistik kecelakaan kerja.
4. Mentaati peraturan standar kesehatan dan keselamatan kerja.
5. Menerima penghargaan berkaitan dengan keselamatan kerja.
6. Menetapkan suatu komite keselamatan kerja.
7. Melaksanakan riset untuk meningkatkan keselamatan kerja.
8. Mengungkapkan pelayanan kesehatan tenaga kerja.
9. Perekrutan atau memanfaatkan tenaga kerja wanita/orang cacat.
10. Mengungkapkan persentase/jumlah tenaga kerja wanita/orang cacat dalam tingkat managerial.
11. Mengungkapkan tujuan penggunaan tenaga kerja wanita/orang cacat dalam pekerjaan.
12. Program untuk kemajuan tenaga kerja wanita/orang cacat.
13. Pelatihan tenaga kerja melalui program tertentu di tempat kerja.
14. Memberi bantuan keuangan pada tenaga kerja dalam bidang pendidikan.
15. Mendirikan suatu pusat pelatihan tenaga kerja.
16. Mengungkapkan bantuan atau bimbingan untuk tenaga kerja yang dalam proses mengundurkan diri atau yang telah membuat kesalahan.
17. Mengungkapkan perencanaan kepemilikan rumah karyawan.
18. Mengungkapkan fasilitas untuk aktivitas rekreasi 19. Mengungkapkan presentase gaji untuk pensiun
20. Mengungkapkan kebijakan penggajian dalam perusahaan 21. Mengungkapkan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan 22. Mengungkapkan tingkatan managerial yang ada
23. Mengungkapkan disposisi staff dimana staff ditempatkan
24. Mengungkapkan jumlah staff, masa kerja dan kelompok usia mereka 25. Mengungkapkan statistik tenaga kerja, misal: penjualan per tenaga kerja 26. Mengungkapkan kualifikasi tenaga kerja yang direkrut
27. Mengungkapkan rencana kepemilikan saham oleh tenaga kerja.
28. Mengungkapkan rencana pembagian keuntungan lain.
29. Mengungkapkan informasi hubungan manajemen dengan tenaga kerja dlm meningkatkan kepuasan dan motivasi kerja
30. Mengungkapkan informasi stabilitas pekerjaan tenaga kerja dan masa depan perusahaan.
31. Membuat laporan tenaga kerja yang terpisah.
32. Melaporkan hubungan perusahaan dengan serikat buruh.
33. Melaporkan gangguan dan aksi tenaga kerja.
34. Mengungkapkan informasi bagaimana aksi tenaga kerja dinegosiasikan.
35. Peningkatan kondisi kerja secara umum.
36. Informasi reorganisasi perusahaan yang mempengaruhi tenaga kerja.
37. Informasi dan statistik perputaran tenaga kerja.
Produk
1.Pengungkapan informasi pengembangan produk perusahaan, termasuk pengemasannya.
2. Gambaran pengeluaran riset dan pengembangan produk.
3. Pengungkapan informasi proyek riset perusahaan untuk memperbaiki produk.
4. Pengungkapan bahwa produk memenuhi standar keselamatan.
5. Membuat produk lebih aman untuk konsumen.
6. Melaksanakan riset atas tingkat keselamatan produk perusahaan.
7. Pengungkapan peningkatan kebersihan/kesehatan dalam pengolahan dan penyiapan produk.
8. Pengungkapan informasi atas keselamatan produk perusahaan.
9. Pengungkapan informasi mutu produk yang dicerminkan dalam penerimaan penghargaan.
10. Informasi yang dapat diverifikasi bahwa mutu produk telah meningkat (misalnya ISO 9001).
Keterlibatan Masyarakat
1. Sumbangan tunai, produk, pelayanan untuk mendukung aktivitas masyarakat, pendidikan dan seni.
2. Tenaga kerja paruh waktu dari mahasiswa/pelajar.
3. Sebagai sponsor untuk proyek kesehatan masyarakat.
4. Membantu riset medis.
5. Sebagai sponsor untuk konferensi pendidikan, seminar atau pameran seni.
6. Membiayai program beasiswa.
7. Membuka fasilitas perusahaan untuk masyarakat.
8. Sebagai sponsor kampanye nasional.
9. Mendukung pengembangan industri lokal.
Umum
1. Pengungkapan tujuan/kebijakan perusahaan secara umum berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat.
2. Informasi berhubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan selain yang disebutkan di atas.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, dan corpporate social responsibility telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti antara lain :
Zuhroh dan Putu (2003) menyatakan bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go publik telah terbukti berpengaruh terhadap volume perdagangan saham bagi perusahaan yang masuk kategori high profile.
Artinya bahwa investor sudah memulai merespon dengan baik informasi- informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan. Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap volume perdagangan saham perusahaan dimana terjadi lonjakan perdagangan pada seputar publikasi laporan tahunan.
Siallagan dan Machfoedz (2003) menyimpulkan bahwa dengan menggunakan OLS maupun 2SLS kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan sehingga disimpulkan bahwa dengan kepemilikan manajemen yang tinggi akan menurunkan nilai perusahaan.
Wahyudi dan Pawesti (2006) tentang implikasi struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening dengan sampel perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEJ tahun 2003 dan tahun 2002 sebagai komperasinya yang menemukan bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap nilai perusahan.
Rika Nurlela dan Islahuddin (2008) menguji pengaruh corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan dengan persentase kepemilikan manajemen sebagai variabel moderating. Metode analisis penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis regresi linear berganda. Penelitian ini menemukan bahwa corporate social responsibility, persentase kepemilikan, serta interaksi antara corporate social responsibility dengan persentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
.
2.3 Rerangka Pemikiran
Gambar 1
2.4 Perumusan Hipotesis
2.4.1 Kepemilikan Manajemen Terhadap Nilai Perusahaan
Konflik keagenan disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan utilitasnya masing-masing. Menurut Haruman (2008), perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dan Pawestri (2006) menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan. Hubungan antara kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan adalah hubungan nonmonotonic yang muncul karena adanya insentif yang dimiliki oleh manajer dan mereka
Kepemilikan Manajemen
Kepemilikan Institusional
Corporate Social Responsibilit
Nilai Perusahaan
berusaha melakukan pensejajaran kepentingan dengan outsider ownership dengan cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan meningkat.
Sementara itu menurut Tendi Haruman (2008) menyimpulkan bahwa semakin tinggi proporsi kepemilikan manajerian maka akan menurunkan market value.
Sehingga hipotesis penelitian yang diungkapkan adalah :
H1 : Kepemilikan Manajemen berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan
2.4.2 Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan
Kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang mengawasi perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faizal, 2004). Begitu pula menurut Wening (2009) Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Keberadaan institusional justru menurunkan kepercayaan publik terhadap perusahaan. Akibatnya pasar saham mereaksi negatif yang berupa turunnya volume perdagangan saham dan harga saham, sehingga menurunkan nilai pemegang saham. Menurut Wahyudi dan Pawestri (2006) semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan mengurangi perilaku opportunistic manajer yang dapat mengurangi agency cost yang diharapkan akan meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Sheilfer dan Vishny (dalam Tendi Haruman, 2008), jumlah pemegang saham yang besar mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (5%) mengindikasikan
kemampuannya untuk memonitor manajemen. Sehingga hipotesis penelitian yang diungkapkan adalah :
H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap positif Nilai Perusahaan.
2.4.3 Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan
Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan jika perusahaan memperhatikan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup karena keberlanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Oleh sebab itu dengan adanya praktik CSR yang baik, diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor (Rika dan Islahuddin, 2008). Dengan adanya kosentrasi kepemilikan, maka para pemegang saham besar seperti kepemilikan oleh kepemilikan institusional akan dapat memonitor tim manajemen secara efektif dan nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Tingginya kepemilikan oleh institusi akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan yang tinggi ini akan meminimalisasi tingkat penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang akan menurunkan nilai perusahaan.
Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan. Hal ini dikarenakan dalam pengambilan keputusan, perusahaan harus mempertimbangkan berbagai masalah sosial dan lingkungan jika perusahaan ingin memaksimalkan hasil keuangan jangka panjang yang nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan (Matteww Brine, 2008) Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan
dalam laporan tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap volume perdagangan saham perusahaan dimana terjadi lonjakan perdagangan pada seputar publikasi loparan tahunan sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Sehingga hipotesis penelitian yang diungkapkan adalah :
H3 : Corporate social responsibility berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan