• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN TIM KAJIAN KESINAMBUNGAN APBN ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TA 2012 PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN TIM KAJIAN KESINAMBUNGAN APBN ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TA 2012 PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN KEGIATAN

“TIM KAJIAN KESINAMBUNGAN APBN ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

TA 2012”

PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL BADAN KEBIJAKAN FISKAL

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

2012

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan karunia, kemudahan dan ridhoNya sehingga penyusunan laporan Tim ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Laporan Kegiatan Kajian Kesinambungan APBN atas Program Jaminan Sosial Nasional ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggung‐jawaban kepada institusi BKF dan para stakeholder yang selama ini berinteraksi dan banyak membantu kerja Tim.

Disamping itu, laporan ini juga sebagai bahan dokumentasi yang harapannya dapat bermanfaat dalam proses pembelajaran dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang. Kepada Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, yang selama ini banyak memberikan dukungan, bimbingan dan arahan, tak lupa kami ucapkan terima kasih.

Kepada para stakeholder baik dari internal institusi Kementerian Keuangan, Kementerian terkait beserta pihak‐pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu‐persatu, yang telah membantu pelaksanaan berbagai agenda Tim baik dari sisi perencanaan, proses dan evaluasi maupun dukungan dalam bentuk finansial, asistensi dan sharing informasi, kami mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya selama ini.

Akhirnya, kami menyadari bahwa Laporan Tim ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran untuk perbaikan sangat kami harapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, untuk mendukung pengelolaan risiko fiskal atas implementasi program jaminan sosial nasional, yaitu: meningkatnya kesadaran stakeholder dalam pengelolaan kebijakan fiskal, meningkatnya transparansi fiskal, meningkatnya akuntabilitas fiskal dan terciptanya kesinambungan fiskal serta keseinambungan program jaminan sosial nasional.

Jakarta, 28 Desember 2012 Tim Penyusun

(3)

iii DAFTAR ISI

Halaman PUSATPENGELOLAANRISIKOFISKAL ... I BADANKEBIJAKANFISKAL ... I

KATA PENGANTAR ... II DAFTAR ISI ... III DAFTAR TABEL ... V DAFTAR GAMBAR ... VI

BAB IPENDAHULUAN ... 1

I.1. LATAR BELAKANG... 1

I.2. TUJUAN ... 3

I.3. RUANG LINGKUP ... 3

I.4. METODOLOGI ... 3

I.5. OUTPUT DAN OUTCOME ... 5

1.5.1. Output ... 5

1.5.2. Outcome ... 5

I.6. SISTEMATIKA LAPORAN KEGIATAN ... 6

BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN ... 7

II.1. PERTEMUAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN ... 7

BAB IIIHASIL KAJIAN ... 8

III.1. PAKET MANFAAT ... 8

III.1.1. Manfaat Umum ... 8

III.1.2. Manfaat akomodasi ... 9

III.1.3. Manfaat lainnya ... 9

III.2. IURAN... 11

III.2.1. Kajian World Bank ... 11

III.2.2. Kajian DJSN ... 13

III.2.3. Kajian TNP2K ... 14

III.2.3.1. Iuran PBI ... 14

III.2.3.2. Iuran non-PBI ... 17

III.2.4. Kajian PPRF-BKF ... 19

III.2.4.1. Proses 1: Demografi ... 19

III.2.4.2. Proses 2: Ekonomi. ... 19

III.2.4.3. Proses 3: Benefit dan premi. ... 20

III.2.4.4. Proses 4: Proyeksi keuangan BPJS Kesehatan. ... 20

III.2.5. Rekomendasi Besaran Iuran ... 21

III.2.5.1. Pendekatan Manfaat ... 21

III.2.5.2. Pendekatan anggaran ... 26

III.3. PROYEKSI BEBAN FISKAL ... 27

III.3.1. Penerima Bantuan Iuran (PBI) ... 27

III.3.1.1. Jumlah PBI ... 27

III.3.1.2. Iuran PBI ... 28

III.3.2. Pegawai aktif ... 28

III.3.3. Pegawai pensiunan dan veteran ... 30

III.3.4. Dukungan layanan kesehatan tertentu ... 30

(4)

iv

III.3.5. Infrastruktur Kesehatan ... 31

III.3.6. Rangkuman proyeksi beban fiskal ... 31

III.4. POTENSI RISIKO FISKAL ... 32

III.4.1. Deviasi Unit Cost ... 32

III.4.2. Deviasi Utilisasi ... 33

III.5. KAJIAN KEMAMPUAN DAN KESIAPAN SEKTOR INFORMAL ... 33

III.5.1. Profil Responden ... 34

III.5.2. Analisis Deskriptif Hasil Survey ... 36

III.5.2.1. Persepsi Terhadap Risiko Pekerjaan ... 37

III.5.2.2. Persepsi Terhadap Frekuensi dan Keparahan Kecelakaan Kerja... 39

III.5.2.3. Persepsi Terhadap Pengetahuan, Keinginan Keikutsertaan dan Urutan Urgensi ... 40

III.5.2.4. Persepsi Terhadap Kemampuan Membayar Iuran Program SJSN ... 41

III.5.2.5. Persepsi Terhadap Mekanisme Iuran ... 44

III.5.3. Analisis Uji Statistik ... 45

III.5.3.1. Jaminan Kesehatan ... 45

III.5.3.2. Jaminan Kecelakaan Kerja ... 50

III.5.3.3. Jaminan Hari Tua ... 55

III.5.3.4. Jaminan Pensiun ... 60

III.5.3.5. Jaminan Kematian ... 64

BAB IV PENUTUP ... 70

IV.2. SIMPULAN ... 70

IV.3. REKOMENDASI ... 70

(5)

v

D

AFTAR

T

ABEL

Halaman

T

ABEL

1. P

REMI

T

AHUN

2008 ... 12

T

ABEL

2. P

REMI

T

AHUN

2010 ... 13

T

ABEL

3. P

ERKIRAAN

POPB

DALAM

R

P

. ... 13

T

ABEL

4. U

NIT

C

OSTS

RJTL

DAN

RITL

TAHUN

2014 ... 15

T

ABEL

5. A

SUMSI UTAMA SKENARIO MODERAT

(

TIGHT

)

DAN TINGGI

(

FLEXIBLE

) TNP2K ... 17

T

ABEL

6. K

ISARAN BESARAN IURAN

... E

RROR

! B

OOKMARK NOT DEFINED

. T

ABEL

7. I

URAN POPB

PBI

TAHUN

2014 ... 25

T

ABEL

8. S

IMULASI BEBAN FISKAL

PBI ... 28

T

ABEL

9. J

UMLAH DAN RERATA GAJI PEGAWAI

P

EMERINTAH AKTIF

... 29

T

ABEL

10. R

EKAPAN

K

EKURANGAN

K

ELAS

R

UMAH

S

AKIT DAN

P

USKESMAS

... 31

T

ABEL

11. P

ROYEKSI

B

EBAN

F

ISKAL

... 31

(6)

vi

Daftar Gambar

Halaman

G

AMBAR

1. T

RANSFORMASI

BPJS ... 2

G

AMBAR

2. F

AKTOR

R

ISIKO

U

SIA

... 16

G

AMBAR

3. U

TILISASI

RJTL (

PER MIL

) ... 18

G

AMBAR

4. G

AMBARAN UMUM MODEL

... 19

G

AMBAR

5. U

TILISASI

RJTL

PER MIL

... 23

(7)

vii

Daftar Grafik

Halaman

G

RAFIK

1. P

ERSEPSI

T

ERHADAP

K

EMAMPUAN

M

EMBAYAR

I

URAN

: P

EKERJA

M

ANDIRI

... 49

G

RAFIK

2. E

FEK

M

ARJINAL BAGI

K

EPUTUSAN

R

ESPONDEN

... 54

G

RAFIK

3. E

FEK

M

ARJINAL

B

AGI

K

EPUTUSAN

R

ESPONDEN

JHT ... 59

G

RAFIK

4. E

FEK

M

ARJINAL

B

AGI

K

EPUTUSAN

R

ESPONDEN

J

AMINAN

K

EMATIAN

... 68

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Dengan disahkannya Undang‐Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kini Negara Republik Kesatuan Indonesia memiliki sistem jaminan sosial yang menjamin jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Tujuan kedua Undang‐Undang tersebut adalah untuk memberikan hak menyeluruh setiap orang atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, serta untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati‐hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar‐

besarnya untuk kepentingan peserta.

Undang‐Undang BPJS mengamanatkan untuk membentuk dua badan penyelenggara jaminan sosial yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia, akan mulai beroperasi Januari 2014 yang merupakan transformasi dari PT Askes (persero). Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan tranformasi dari PT Jamsostek mulai berubah bentuk 1 Januari 2014 dan mulai beroperasi Juli 2015 menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun, dan jaminan hari tua bagi pekerja baik sektor formal maupun sektor informal sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1 di bawah.

Pemerintah mempunyai peranan besar dalam menjamin keberlangsungan program jaminan sosial nasional ini, oleh karena itu diperlukan strategi dan perencanaan yang matang untuk dituangkan dalam peraturan pelaksana Undang‐Undang BPJS ini. Peraturan pelaksana khusus untuk BPJS Kesehatan diharapkan dapat terbit satu tahun sejak Undang‐Undang BPJS disahkan yaitu pada akhir 2012.

(9)

2 Gambar 1. Transformasi BPJS

Rancangan peraturan yang sedang dikerjakan meliputi Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Aset dan Dana Jaminan Sosial Kesehatan, Peraturan Presiden tentang Besar Modal Awal BPJS Kesehatan, Peraturan Presiden tentang Pelayanan Kesehatan tertentu berkaitan kegiatan Operasional TNI dan POLRI.

Kementerian Keuangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penyusunan rancangan peraturan‐peraturan pelaksanaan dimaksud. Badan Kebijakan Fiskal sebagai salah satu unit Eselon I di Kementerian Keuangan yang tergabung dalam kelompok kerja nasional BPJS Kesehatan mempunyai andil terkait risiko fiskal dalam menghitung dampak dan kesinambungan APBN serta program Jaminan Kesehatan. Untuk memperkuat perhitungan dimaksud, maka dalam Tahun Anggaran 2012 telah dilaksanakan beberapa kegiatan yang terangkum dalam Kajian Kesinambungan APBN atas program Jaminan Sosial Nasional. Kegiatan tersebut meliputi, kajian besar iuran dengan melakukan kerjasama dengan ADB dalam membangun medel besar iuran, model perhitungan Beban Fiskal SJSN, serta survey kesiapan dan kemampuan sektor informal dalam mengikuti jaminan sosial SJSN.

(10)

3 I.2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk.

1. Mengembangkan simulator yang dapat digunakan untuk melihat pengaruh faktor demografi, besar iuran, dan manfaat dasar terhadap penyelenggaraan jaminan sosial apabila terjadi guncangan/shock dalam perekonomian Indonesia.

2. Menyusun model yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja BPJS dalam rangka mendeteksi potensi risiko fiskal yang berasal dari penyelenggaraan jaminan sosial.

3. Memberikan dukungan untuk pelaksanaan tugas perwakilan Kementerian Keuangan dalam Tim Nasional persiapan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; dan

4. Menyusun rekomendasi pengelolaan risiko fiskal yang berasal dari penyelenggaraan jaminan sosial.

I.3. Ruang Lingkup

Sesuai amanat UU No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24/2011 tentang BPJS, BPJS Kesehatan akan mulai beroperasional pada 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan beroperasional pada mulai 1 Juli 2015. Kajian kesinambungan APBN dilaksanakan dalam rangka persiapan implementasi kedua BPJS tersebut. Mengingat yang pertama kali beroperasi adalah BPJS Kesehatan, dan jangka waktu penyelesaian peraturan pelaksanaan dari UU SJSN dan UU BPJS terkait Jaminan Kesehatan sampai dengan tahun 2012, maka kajian ini masih menitikberatkan pada perhitungan beban fiskal dari penyelenggaraan program jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Namun, dalam kajian ini juga akan diinformasikan mengenai perkembangan pembahasan yang telah dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

I.4. Metodologi

Kajian ini menggunakan beberapa metode penelitian, antara lain.

1. Metode kuantitatif dalam menghitung beban Pemerintah atas implementasi SJSN.

Metode kuantitatif dimaksud diantaranya adalah pengolahan data sekunder yang

(11)

4 diperoleh dari instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pusat Statistik, dan PT Askes (persero).

2. Konsultasi dengan para pemangku kepentingan dalam berbagai kegiatan seperti focus group discussion, workshop, seminar, dan pertemuan lainnya baik yang diselenggarakan

oleh tim maupun pihak‐pihak lain.

3. Pendekatan aktuaria dalam membangun model perhitungan besaran iuran, benefit, dan proyeksi keuangan BPJS.

Untuk membangun model perhitungan besar premi, benefit, dan proyeksi keuangan BPJS melalui empat proses yaitu proses demografi, proses ekonomi, benefit dan premi, dan proyeksi keuangan BPJS.

 proses demografi, proyeksi perkembangan populasi di setiap usia penduduk Indonesia, tim menggunakan data BPS laju kematian dan laju kelahiran.

 proses ekonomi, memasukkan asumsi makro ekonomi terkait inflasi umum dan inflasi kesehatan, investasi, dan biaya operasional.

 proses benefit dan premi, untukmenghitung besar benefit dan premi per usia, model ini menggunakan asumsi peluang dan biaya per unit atau tindakan medis dari rawat jalan tingkat pertama (RJTP), rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap dan penyakit kritis.

 proses proyeksi keuangan BPJS, setelah memperhitungkan ketiga proses di atas, model ini memiliki output laporan laba rugi dan neraca BPJS.

4. Metode lainnya yang terdiri dari.

a. kajian literatur dan kajian hukum terkait beban APBN atas program SJSN yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS serta best practice negara lain dalam menyelenggarakan jaminan sosial mencakup seluruh penduduk atau dikenal dengan istilah universal health coverage; dan

b. penelitian lapangan yang dilakukan dengan metode tatap muka dan wawancara langsung dengan target responden sektor informal untuk menganalisa kemampuan dan kesiapan sektor informal dalam mengikuti program SJSN.

(12)

5 I.5. Output dan Outcome

1.5.1. Output

a. Simulasi dan model perhitungan beban fiskal atas penyelenggaraan jaminan sosial.

b. Draft Rancangan Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

c. Usulan rekomendasi pengelolaan risiko fiskal yang berasal dari penyelenggaraan jaminan sosial.

1.5.2. Outcome

a. Mempermudah pimpinan Kementerian Keuangan dalam melakukan mitigasi risiko fiskal terkait penyelenggaraan jaminan sosial.

b. Tersedianya alat simulasi yang dapat digunakan untuk melihat pengaruh faktor‐

faktor demografi terhadap penyelenggaraan jaminan sosial apabila terjadi guncangan/shock dalam perekonomian Indonesia.

c. Tersedianya alat pengukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja BPJS dalam rangka mendeteksi potensi risiko fiskal yang berasal dari penyelenggaraan jaminan sosial.

(13)

6 I.6. Sistematika Laporan Kegiatan

Sistematika laporan akhir kajian ini disampaikan dalam pola berikut.

BAB I Pendahuluan

Akan disampaikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metodologi, output dan outcome, dan sistematika penulisan.

BAB II Pelaksanaan Kegiatan

Akan diuraikan mengenai pelaksanaan kegiatan dalam membangun model perhitungan.

BAB III Hasil Kajian Akan diuraikan hasil kajian tim BAB IV Penutup

Akan disampaikan simpulan dan rekomendasi dari hasil kajian tim.

(14)

7

BAB II

PELAKSANAAN KEGIATAN

Kegiatan tim dilakukan dalam jangka waktu selama 1 tahun terhitung mulai tanggal 1 Januari s.d. 31 Desember 2012. Pelaksanaan kegiatan kajian melalui beberapa kegiatan yang antara lain pengumpulan data jumlah dan gaji PNS, TNI/POLRI aktif dan pensiunan, veteran dan PTT/Honorer serta informasi kebijakan dari Kementerian/lembaga terkait melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dan Konsinyering; rapat koordinasi antar Kementerian/Lembaga yang tergabung dalam kelompok kerja nasional BPJS Kesehatan;

Melakukan survey ke 20 kota di seluruh Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran DJA meliputi Kabupaten/Kota Jayapura, Surabaya, Jogjakarta, Padang, Bandung, Semarang, Purwakarta, Palembang, Cirebon, Batam, Salatiga, Balikpapan, Pangkal Pinang, Malang, Mataram, Palangkaraya, Makasar, Medan, Solo, dan Gianyar Bali. Berikut detail dari kegiatan dimaksud.

II.1. Pertemuan dengan pemangku kepentingan

Selain kegiatan‐kegiatan di atas, tim juga turut berperan aktif dalam tiap pertemuan pembahasan persiapan BPJS Kesehatan khususnya pembahasan besaran iuran dan manfaat baik yang pertemuan di internal Kementerian Keuangan dan antar Kementerian/Lembaga.

(15)

8

BAB III Hasil Kajian

III.1. Paket manfaat

Besaran beban Pemerintah terkait implementasi SJSN akan sangat terkait dengan manfaat dan iuran dari program SJSN yang bersangkutan. Untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), besar beban tersebut akan sangat bergantung pada manfaat dan iuran yang akan ditetapkan. Manfaat dan iuran program JKN memiliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dalam proses penentuannya. Semakin besar manfaat yang dijanjikan dalam program JKN, akan semakin besar pula iuran dan demikian juga sebaliknya.Berbagai hal yang sudah diamanahkan oleh UU SJSN dan UU BPJS yang terkait dengan manfaat program JKN akan menjadi bahasan utama kajian mengenai manfaat. Berbagai hal tersebut antara lain sebagai berikut.

III.1.1. Manfaat Umum

Pasal 22 ayat (1) UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN berbunyi:

“manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan”.

Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa yang dimaksud pelayanan kesehatan meliputi pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung. Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Untuk keperluan kehati‐hatian, luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan.

Pasal ini secara jelas menyatakan bahwa program JKN hanya menjamin pelayanan perorangan bukan pelayanan kesehatan masyarakat dimana manfaatnya dapat dirasakan pada tingkat komunitas. Pelayanan kesehatan masyarakat tentunya masih merupakan tanggung jawab Pemerintah.Manfaat yang dijamin dalam pasal ini dapat dikatakan sangat komprehensif termasuk untuk penyakit yang berbiaya mahal. Dalam perkembangan

(16)

9 pembahasan dalam Tim Pokja Kesehatan, telah disepakati bahwa selama suatu penyakit terindikasi secara medis, maka penyakit tersebut wajib dijamin oleh program JKN.

III.1.2. Manfaat akomodasi

UU SJSN mengatur bahwa apabila peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan yang diberikan adalah kelas standar. Hal ini bertujuan bahwa manfaat yang diberikan oleh SJSN adalah sama meski besar iuran yang dibayar berbeda. Dalam perkembangannya, dengan mempertimbangkan kondisi infrastruktur fasilitas kesehatan yang ada saat ini, tim Pokja kesehatan menyepakati bahwa, pada tahap awal, manfaat akomodasi (non‐medis) untuk peserta masih dibedakan. Kelompok PBI akan mendapatkan layanan non‐medis di kelas 3 sedangkan kelompok non‐PBI di kelas 2 atau kelas 1.Dalam peta jalan program JKN, kesamaan kelas baik medis dan non‐medis untuk seluruh peserta direncanakan dapat dicapai pada tahun 2019.

III.1.3. Manfaat lainnya

Selain manfaat umum yang bersifat komprehensif sebagaimana di bahas pada butir a di atas, terdapat beberapa manfaat/hal yang diatur dalam UU nomor 40 tahun 2004 yang perlu dipertimbangkan juga dalam penentuan besaran iuran popb. Beberapa hal tersebut antara lain:

• Jaminan kepada seorang peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk tetap dapat menerima manfaat program JKN paling lama 6 (enam) bulan sejak mengalami PHK dimaksud. Apabila setelah enam bulan sejak PHK belum juga mendapat kerja, peserta yang bersangkutan dapat dimasukkan kedalam kelompok PBI apabila memenuhi syarat.

• Pemberian kompensasi oleh BPJS Kesehatan kepada sejumlah peserta yang didaerahnya belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis. Hal ini bertujuan agar jaminan yang diberikan program JKN ini dinikmati secara adil dan merata oleh peserta baik yang tinggal di suatu tempat dimana fasilitas kesehatan memadai atau pun tidak.

Selain manfaat yang diberikan oleh program JKN sebagaimana tersebut di atas, UU SJSN juga mengatur mengenai dimungkinkannya peserta dikenakan urun biaya untuk jenis pelayanan yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan pelayanan.Jenis pelayanan yang

(17)

10 dimaksud adalah layanan yang membuka peluang moral hazard dari pemberi layanan maupun penerima layanan (peserta).

(18)

11 III.2. Iuran

Seperti yang sudah disampaikan, menentukan besaran iuran tidak dapat dilakukan terpisah dari besarnya manfaat yang dijanjikan oleh suatu program. Seperti yang sudah disampaikan juga bahwa amanah UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN mengenai kesamaan manfaat meski iuran tiap peserta berbeda, belum dapat dilaksanakan dalam tahap awal program JKN. Khusus untuk manfaat non‐medis, program JKN masih mengenal perbedaan manfaat.Manfaat non‐medis untuk PBI adalah pada kelas 3 sedangkan untuk non‐PBI pada kelas 2 dan 1.

UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN telah mengatur rambu‐rambu terkait iuran yang antara lain sebagai berikut:

• Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah

• Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja

• Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala

• Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk PBI ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala

Dalam menentukan besaran iuran, terdapat beberapa lembaga yang melakukan kajian.Dari semua lembaga tersebut, hanya TNP2K yang melakukan kajian besaran iuran untuk kelompok PBI dan non‐PBI.Sementara lainnya mengasumsikan tidak ada perbedaan manfaat antar peserta.Lembaga yang diminta oleh tim Pokja untuk dipaparkan hasil kajiannya antara lain World Bank, DJSN, dan TNP2K. Selain ketiga lembaga tersebut, PPRF‐BKF sendiri, dengan dibantu ADB, melakukan kajian perhitungan sendiri.Hasil kajian dari semua lembaga tersebut adalah sebagai berikut.

III.2.1. Kajian World Bank

Studi World Bank ini dimulai pada tahun 2009 dengan menggunakan data PT Askes tahun 2008. Data tahun 2008 ini dijadikan baseline dalam menghitung besar iuran di tahun‐tahun mendatang. Beberapa keterangan utama yang digunakan dalam baseline ini adalah sebagai berikut:

(19)

12 Item Nasional non

Jakarta Jakarta RITP 44 48 3 Obat RJTP 49 53 7 RJTP 1.122 1.123 1.111 Obat RJTL 2.874 2.427 6.988 RJTL 3.587 3.038 8.648 Obat RITL 1.680 1.649 1.973 RITL 6.525 5.527 15.749 Total (Rp) 15.879 13.864 34.479

• Paket manfaat adalah yang dicakup dalam program PT Askes.

• Berdasarkan data aktual pengeluaran PT Askes, bukan biaya per layanan/fasilitas

• Tidak memperhitungkan biaya yang dikeluarkan sendiri oleh peserta (Out of Pocket) dan belanja kesehatan Pemerintah yang berasal dari anggaran Pemerintah

• Tidak tersedia data berdasarkan

diagnosis atau disagregasi berdasarkan jenis pelayanan kesehatan

• Tidak tersedia data utilisasi dan rerata biaya secara terpisah

Dengan keterbatasan yang dimiliki, pada tahun 2008, besar iuran per orang per bulannya secara nasional adalah sebesar Rp15.879. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 di atas.

Dengan besar iuran pada tabel 1 tersebut, World Bank melakukan beberapa penyesuaian dalam menghitung besar iuran di tahun 2010 untuk program JKN SJSN dimana pesertanya bukan peserta PT Askes saja melainkan seluruh WNI. Beberapa penyesuaian dimaksud antara lain:

• Pengurangan sebesar 45% biaya rawat inap dengan asumsi program JKN akan menggunakan kelas 3 untuk rawat inap;

• Mengurangi biaya sebesar 20% untuk penyesuaian distribusi umur dan jenis kelamin dari populasi Indonesia dengan populasi PT Askes;

• Penambahan Rp1.000 popb untuk biaya kapitasi;

• Peningkatan tarif sebesar 10% untuk farmasi dan 20% untuk layanan lainnya.

Selain beberapa penyesuaian tersebut di atas, terdapat beberapa penyesuaian implisit lainnya.Pertama, subsidi fasilitas ke layanan Pemerintah masih tetap berjalan (perbaikan infrastruktur, gaji, obat, dan lainnya). Kedua, tingkat utilisasi pelayanan dan jenis pelayanan yang dimanfaatkan kelompok populasi tanpa asuransi dianggap sama dengan mereka yang memiliki asuransi. Ketiga, suplai ketersediaan pelayanan meningkat dengan kecepatan yang sama dengan perluasan cakupan. Dengan beberapa penyesuaian ini, besaran iuran popb tahun 2010 adalah sebesar Rp11.671 (lihat tabel 2).

Tabel 1. Premi Tahun 2008

(20)

13 Item Nasional non

Jakarta Jakarta RITP 35 42 2 Obat RJTP 36 42 5 RJTP 2.414 2.415 2.402 Obat RJTL 2.133 1.942 4.601 RJTL 2.903 2.651 6.207 Obat RITL 1.247 1.319 1.298 RITL 2.904 2.653 6.210 Total (Rp) 11.671 11.065 20.724

Tahun Rendah Tinggi Jakarta 2010 20.542 25.677 36.029 2015 28.442 35.553 56.705 2020 39.835 49.793 69.222

World Bank menyadari bahwa besaran iuran pada tabel 2 untuk tahun 2010 masih memiliki beberapa permasalahan. Pertama, subsidi pada layanan kesehatan milik Pemerintah seharusnya diikutsertakan dalam perhitungan besaran iuran (iuran popb seharusnya sudah termasuk full cost –untuk

obat, pemeliharaan fasilitas layanan kesehatan, gaji tenaga medis, dan lainnya).Dengan demikian, fasilitas layanan dan tenaga medis sektor swasta diharapkan dapat berkompetisi dengan sektor publik.

Kedua, kondisi saat ini menunjukkan bahwa pasien masih sering menanggung biaya tambahan (out-of pocket) dan dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini semestinya tidak terjadi dalam program JKN. Hal berikutnya yang tidak kalah penting adalah biaya administrasi.Seluruh biaya administrasi pelaksanaan program JKN seharusnya sudah tercermin dalam besar iuran popb.

Dengan mempertimbangkan beberapa hal yang baru saja tersebut di atas, proyeksi besaran iuran World Bank dapat di lihat pada tabel 3.

III.2.2. Kajian DJSN

Dalam menghitung besaran iuran untuk program JKN, kajian yang dilakukan oleh DJSN terbagi ke dalam 3 (tiga) skenario. Skenario 1 adalah skenario yang memungkinkan Puskesmas melayanai peserta dengan membeli obat dan membayar tenaga yang memadai sehingga pelayanan rujukan dapat dikendalikan dengan baik.Skenario 2 adalah skenario yang memungkinkan Puskesmas bersaing melayani peserta program JKN dengan insentif dan disinsentif melakukan rujukan (mengirim pasien ke rumah sakit). Skenario 3 adalah skenario kompetitif dimana RJP tidak saja disediakan di puskesmas tetapi juga cukup menarik untuk dokter praktik umum melayani pasien program JKN, termasuk obat.

Beberapa asumsi lain yang digunakan DJSN dalam kajiannya adalah sebagai berikut.

• Paket manfaat komprehensif, sesuai UU SJSN (seperti jaminan untuk peserta Askes ) Tabel 2. Premi Tahun 2010

Tabel 3. Perkiraan POPB dalam Rp.

(21)

14

• Angka utilisasi pengalaman Askes

• Rata‐rata biaya klaim Askes Kelas I dan II lima tahun terakhir

• Tingkat bunga = 0%, revenue langsung digunakan

• Inflasi = 5,5% p.a dan inflasi kesehatan = 11% p.a

• Biaya risiko (contigency margin) = 0%

• Pembayaran fasilitas kesehatan adalah secara prospektif (bulk payment‐untuk efisiensi ) secara nasional dengan tingkat fluktuasi 10%

• Biaya operasional : 5% dari total iuran

Dengan berbagai asumsi tersebut di atas, besar iuran program JKN popb tahun 2012 adalah Rp17.501 – Rp22.615 untuk skenario 1, Rp22.471 – Rp28.188 untuk skenario 2, dan Rp33.660 – Rp41.285 untuk skenario 3. Hasil keputusan rapat pleno DJSN menyimpulkan bahwa besar iuran popb tahun 2014 usulan DJSN adalah sebesar Rp27.000.

III.2.3. Kajian TNP2K

Sampai dengan saat laporan ini disusun, TNP2K merupakan satu‐satunya lembaga yang melakukan kajian besaran iuran atas kelompok PBI dan non‐PBI. Hal ini merupakan hasil perkembangan pembahasan tim Pokja Kesehatan yang menyepakati bahwa untuk tahap awal program JKN masih mengenal perbedaan manfaat non‐medis. Kelompok PBI akan mendapatkan kelas 3 sementara kelompok non‐PBI mendapatkan kelas 2 atau kelas 1.

Data yang digunakan TNP2K relatif paling komprehensif dibanding data yang digunakan dalam kajian lembaga‐lembaga yang lain. TNP2K menggunakan data olahan klaim individu PT Askes, data Jamkesmas, data PT Jamsostek, dan data Susenas.

III.2.3.1. Iuran PBI

Dalam menentukan besaran iuran PBI, terdapat empat komponen penting yakni Unit cost, utilisasi, struktur usia dan pergeseran penyakit, dan lainnya.

III.2.3.1.1. Unit cost

Tim pokja telah menyepakati bahwa, selama memungkinkan, untuk rawat jalan tingkat pertama (RJTP) akan digunakan sistem pembayaran kapitasi. Dengan menggunakan data tahun 2011, kapitasi popb untuk program jamkesmas berada pada kisaran Rp700 (PPJK‐

Kemenkes, 2012).Kapitasi yang rendah ini dimungkinkan karena besaran tersebut adalah untuk partial cost dimana beberapa biaya lain seperti gaji tenaga medis, pemeliharaan

(22)

15

1 Askes 2009 Askes 2010 Rerata (Base)

Adjustme nt cost sharing

Inflasi Unit cost 2014 RJTL

Medis 90.916 103.443 97.179 25% 7,5% 157.224 Obat 149.466 151.123 150.295 25% 7,5% 243.158 RITL

Medis 802.517 928.135 865.326 25% 7,5% 1.399.989 Obat 216.501 161.222 188.862 25% 7,5% 305.554 ICU, ICCU, HCU 1.299.123 1.420.951 1.360.037 25% 7,5% 2.200.369 Akomodasi 333.500 333.500 333.500 25% 7,5% 539.561

dan/atau penambahan infrastruktur, obat, alat medis, dan beberapa lainnya masih disubsidi oleh Pemerintah.

Besar kapitasi tahun 2011 untuk full cost diyakini pada kisaran Rp2.700 s.d. Rp4.600 (GIZ dan Ausaids, 2012).Dengan besaran ini, TNP2K memproyeksi besaran kapitasi yang wajar adalah sebesar Rp4.000 (skenario moderat) dan Rp6.000 (skenario tinggi).

Untuk unit cost layanan selain RJTP, baseline data yang digunakan adalah rerata data program PT Askes tahun 2009 dan 2010. Rerata tersebut disesuaikan untuk mengakomodir cost‐sharing yang pada kenyataannya memang sering dialami peserta. Rerata yang telah disesuaikan tersebut diproyeksikan ke tahun 2014 dengan perkiraan inflasi sebesar 7,5%.

Perkiraan unit cost selain RJTP untuk tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 4 di bawah.

III.2.3.1.2. Utilisasi

Asumsi utilisasi yang digunakan untuk perhitungan besaran iuran PBI didasarkan pada data utilisasi Jamkesmas tahun 2010 (4,61 per mil). Data tersebut di proyeksikan ke tahun 2014.Dalam model perhitungannya, TNP2K tidak menyebut secara spesifik berapa tingkat pertumbuhan utilisasi yang mereka proyeksikan. Terdapat berbagai skenario mengenai tingkat pertumbuhan utilisasi yang masing‐masing didasarkan pada asumsi‐asumsi lain seperti penambahan fasilitas kesehatan dan intensitas sosialisasi program JKN. Meski demikian, dalam beberapa kesempatan, TNP2K dinilai sering memaparkan pertumbuhan utilisasi sebesar 70% (asumsi tight) dan 110% (asumsi flexible).Pertumbuhan utilisasi ini merupakan pertumbuhan dari tahun 2010 ke tahun 2014.

Tabel 4. Unit Costs RJTL dan RITL tahun 2014

(23)

16 III.2.3.1.3. Perubahan struktur usia dan pergeseran penyakit

TNP2K menyadari bahwa dengan meningkatnya tingkat harapan hidup baik pria dan wanita Indonesia struktur demografi Indonesia pun mengalami perubahan. Jumlah penduduk usia lanjut secara persentase jumlah penduduk Indonesia pun mengalami peningkatan. Data Susenas 2009 menunjukkan bahwa tingkat utilisasi layanan kesehatan mengalami peningkatan yang signifikan pada kelompok usia lanjut. Situasi ini perlu dipertimbangkan dalam perhitungan premi. Dalam berbagai skenario yang dimiliki TNP2K, besaran yang digunakan untuk penyesuaian risiko usia ini berada pada kisaran Rp250 s.d. Rp1.000.

Sama halnya dengan perubahan struktur usia, jenis penyakit yang umumnya menjangkit penduduk Indonesia pun mengalami pergeseran. TNP2K memproyeksikan bahwa, kondisi di masa yang akandatang, tingkat utilisasi penyakit menular akan lebih rendah dibanding kenaikan utilisasi penyakit tidak menular. Saat ini, penyakit menular mempunyai tingkat utilisasi yang relatif lebih tinggi dan rerata biaya lebih rendah dibanding penyakit tidak menular. Sama halnya juga dengan penyesuaian risiko usia, dalam berbagai skenario yang dimiliki TNP2K, besaran yang digunakan untuk penyesuaian pergeseran penyakit ini berada pada kisaran Rp250 s.d. Rp1.000.

Gambar 2. Faktor Risiko Usia

III.2.3.1.4. Lainnya

Beberapa asumsi lain yang tidak kalah pentingnya dalam kajian TNP2K adalah inflasi kesehatan, biaya manajemen, dan biaya cadangan. Dalam berbagai skenario yang dimiliki TNP2K dalam kajiannya, inflasi kesehatan yang digunakan adalah sebesar 7,5% tiap

0 5 10 15 20 25 30 35

Susenas 2009

(24)

tahunnya. Biaya manajemen yang digunakan dalam berbagai skenario adalah pada kisaran 2% s.d. 5% sedangkan untuk biaya cadangan pada kisaran 0% s.d. 5%.

Dalam tiap pembahasan mengenai besaran iuran selalu terdapat kesepakatan baru yang bersifat dinamis dimana hal ini mempengaruhi besaran asumsi

digunakan dalam model kajian TNP2K.Konsekuensi dari hal tersebut adalah sering berubahnya besaran iuran usulan TNP2K.Usulan besaran iuran berkisar pada Rp16.000 s.d.

Rp24.300. Dua skenario yang pada pembahasan tahap yaitu Rp19.286 untuk skenario moderat dan

Rp22.200 pada akhirnya dipilih oleh tim Pokja Kesehatan dan di usulkan dalam RPerpres tentang Jaminan Kesehatan dengan catatan akan di kaji kembali oleh Kementerian Keuangan.Besaran iuran Rp22.201 itu sendiri tidak ada pada 14 skenario yang dipaparkan TNP2K di hadapan Menteri Keuangan pada tanggal 28 September 2012.

Tabel 5. Asumsi utama skenario moderat (tight) dan tinggi (flexible) TNP2K

III.2.3.2. Iuran non-PBI Dalam kajian untuk iuran non

yang mendapatkan layanan akomodasi di kelas 2 dan kelas 1.Pada saat laporan ini dibuat, untuk sektor informal yang mampu membayar iuran belum ditentukan di layanan kelas berapa mereka diperbolehkan mendapatkan layanan rawat inap.Terdapat berbagai usulan seperti kelompok ini seharusnya mendapatkan layanan lebih baik dari kelas 3 mengingat mereka membayar iuran, tidak seperti kelompok PBI yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Pendapat lain menyatakan, seharusnya untuk kelompok sektor informal ini tahunnya. Biaya manajemen yang digunakan dalam berbagai skenario adalah pada kisaran 2% s.d. 5% sedangkan untuk biaya cadangan pada kisaran 0% s.d. 5%.

Dalam tiap pembahasan mengenai besaran iuran selalu terdapat kesepakatan baru yang bersifat dinamis dimana hal ini mempengaruhi besaran asumsi

digunakan dalam model kajian TNP2K.Konsekuensi dari hal tersebut adalah sering berubahnya besaran iuran usulan TNP2K.Usulan besaran iuran berkisar pada Rp16.000 s.d.

4.300. Dua skenario yang pada pembahasan tahap‐tahap akhir memberikan dua besaran untuk skenario moderat dan Rp22.201 untuk skenario tinggi. Besaran iuran Rp22.200 pada akhirnya dipilih oleh tim Pokja Kesehatan dan di usulkan dalam RPerpres tentang Jaminan Kesehatan dengan catatan akan di kaji kembali oleh Kementerian Keuangan.Besaran iuran Rp22.201 itu sendiri tidak ada pada 14 skenario yang dipaparkan TNP2K di hadapan Menteri Keuangan pada tanggal 28 September 2012.

. Asumsi utama skenario moderat (tight) dan tinggi (flexible) TNP2K

Dalam kajian untuk iuran non‐PBI, TNP2K menghitung besaran yang wajar untuk peserta yang mendapatkan layanan akomodasi di kelas 2 dan kelas 1.Pada saat laporan ini dibuat, untuk sektor informal yang mampu membayar iuran belum ditentukan di layanan kelas rapa mereka diperbolehkan mendapatkan layanan rawat inap.Terdapat berbagai usulan seperti kelompok ini seharusnya mendapatkan layanan lebih baik dari kelas 3 mengingat mereka membayar iuran, tidak seperti kelompok PBI yang iurannya dibayar oleh Pendapat lain menyatakan, seharusnya untuk kelompok sektor informal ini

17 tahunnya. Biaya manajemen yang digunakan dalam berbagai skenario adalah pada kisaran

Dalam tiap pembahasan mengenai besaran iuran selalu terdapat kesepakatan‐kesepakatan baru yang bersifat dinamis dimana hal ini mempengaruhi besaran asumsi‐asumsi yang digunakan dalam model kajian TNP2K.Konsekuensi dari hal tersebut adalah sering berubahnya besaran iuran usulan TNP2K.Usulan besaran iuran berkisar pada Rp16.000 s.d.

tahap akhir memberikan dua besaran untuk skenario tinggi. Besaran iuran Rp22.200 pada akhirnya dipilih oleh tim Pokja Kesehatan dan di usulkan dalam RPerpres tentang Jaminan Kesehatan dengan catatan akan di kaji kembali oleh Kementerian Keuangan.Besaran iuran Rp22.201 itu sendiri tidak ada pada 14 skenario yang dipaparkan

. Asumsi utama skenario moderat (tight) dan tinggi (flexible) TNP2K

PBI, TNP2K menghitung besaran yang wajar untuk peserta yang mendapatkan layanan akomodasi di kelas 2 dan kelas 1.Pada saat laporan ini dibuat, untuk sektor informal yang mampu membayar iuran belum ditentukan di layanan kelas rapa mereka diperbolehkan mendapatkan layanan rawat inap.Terdapat berbagai usulan seperti kelompok ini seharusnya mendapatkan layanan lebih baik dari kelas 3 mengingat mereka membayar iuran, tidak seperti kelompok PBI yang iurannya dibayar oleh Pendapat lain menyatakan, seharusnya untuk kelompok sektor informal ini

(25)

18

51.32 54.34 56.33

53.30

47.15

52.57

19 20 22 21 22

12.58 13.99

11.14 10.42 10.80 13.11

3.35 5.35 5.59 3.70 5.13 4.61

0 10 20 30 40 50 60

2005 2006 2007 2008 2009 2010

PT Askes Susenas Jamsostek Jamkesmas

dibuka juga kesempatan untuk mendapatkan layanan rawat inap di kelas 3 mengingat masih banyak penduduk dalam kelompok ini yang sangat rentan kondisi keuangannya sehingga diragukan mampu membayar iuran untuk layanan kelas 2 atau kelas 1.

Asumsi yang paling membedakan dalam perhitungan iuran non‐PBI dengan iuran PBI adalah tingkat utilisasi. Untuk layanan kelas 2, proyeksi utilisasi dengan asumsi moderat didasarkan pada data utilisasi PTJamsostek tahun 2010 dimana pesertanya mendapatkan layanan pada kelas 2 sedangkan untuk asumsi tinggi didasarkan pada data Susenas tahun 2009.

Sementara itu, untuk layanan kelas 1, proyeksi utilisasi didasarkan pada data utilisasi PT Askes tahun 2009‐2010 untuk peserta yang mendapatkan layanan kelas 1 (lihat Gambar 3).Untuk asumsi moderat, utilisasi rawat jalan diproyeksikan terjadi penurunan di masa yang akan datang sebesar 10% tiap tahunnya dikarenakan peran PPK I sebagai gate keeperberjalan dengan baik dan meningkat 4% tiap tahun sejak tahun 2016 untuk mengakomodir pergeseran penyakit tidak menular. Sementara pada asumsi moderat untuk tingkat utilisasi rawat inap, diproyeksikan sama sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 dan meningkat setelahnya sebesar 2% tiap tahun.

Pada skenario dengan asumsi tinggi, utilisasi rawat jalan dan rawat inap diproyeksikan tidak mengalami perubahan sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Rawat jalan dan rawat inap diproyeksikan meningkat setelahnya berturut‐turut sebesar 4% dan 2% tiap tahunnya.

Dengan berbagai skenario tersebut, dihasilkan besaran iuran popb tahun 2014 untuk kelas 2 sebesar Rp36.921 (asumsi moderat) dan Rp42.454 (asumsi tinggi). Sedangkan untuk kelas 1 besar iuran popb tahun 2014 sebesar Rp57.204 (asumsi moderat) dan Rp59.413 (asumsi tinggi). Sampai dengan akhir Oktober, dengan asumsi batas upah yang dapat dikenakan untuk iuran program JKN pada kisaran Rp3 juta/bulan sampai dengan Rp5 juta/bulan, prosentase upah yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan iuran untuk kelas 2 dan

Gambar 3. Utilisasi RJTL (per mil)

(26)

kelas 1 tersebut di atas berada pada kisaran 5,2%

(asumsi tinggi).

III.2.4. Kajian PPRF-BKF Dengan disahkannya Undang

dengan dibantu oleh ADB, berinisiatif untuk membuat model

keuangan BPJS Kesehatan. Model besaran iuran itu sendiri dibangun dengan pendekatan aktuaria dan terdiri dari 4 (empat) proses yakni demografi, ekonomi, benefit dan premi, dan proyeksi keuangan BPJS.

III.2.4.1. Proses 1: Demografi

Proses demografi didasarkan pada data populasi penduduk yang bersumber dari BPS.

Dengan baseline data ini, populasi penduduk di masa yang akan datang di proyeksikan berdasarkan klasifikasi tiap usia (0

(tabel mortalitas CSO 80) dan laju kelahiran (data BPS).Dengan asumsi laju kematian akan dihasilkan perkembangan populasi bulanan karena kematian. Di sisi lain, laju kelahiran akan menghasilkan perkembangan coh

di masa mendatang diperlukan guna mengestimasi berapa besar jumlah iuran yang akan dikelola BPJS Kesehatan pada masa mendatang.

III.2.4.2. Proses 2: Ekonomi.

Proses ini menggunakan 4 (empat) asumsi utama. Asum

makroekonomi meliputi asumsi inflasi nasional dan inflasi kesehatan.Inflasi nasional dan as 1 tersebut di atas berada pada kisaran 5,2%‐5,7% (asumsi moderat) dan 5,6%

Dengan disahkannya Undang‐Undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, PPRF dengan dibantu oleh ADB, berinisiatif untuk membuat model besaran iuran dan proyeksi keuangan BPJS Kesehatan. Model besaran iuran itu sendiri dibangun dengan pendekatan aktuaria dan terdiri dari 4 (empat) proses yakni demografi, ekonomi, benefit dan premi, dan

Gambar 4. Gambaran umum model

Proses 1: Demografi

Proses demografi didasarkan pada data populasi penduduk yang bersumber dari BPS.

Dengan baseline data ini, populasi penduduk di masa yang akan datang di proyeksikan berdasarkan klasifikasi tiap usia (0‐100 tahun) dengan menggunakan asumsi laju kematian (tabel mortalitas CSO 80) dan laju kelahiran (data BPS).Dengan asumsi laju kematian akan dihasilkan perkembangan populasi bulanan karena kematian. Di sisi lain, laju kelahiran akan menghasilkan perkembangan cohort bulanan dari bayi yang baru lahir. Proyeksi penduduk di masa mendatang diperlukan guna mengestimasi berapa besar jumlah iuran yang akan dikelola BPJS Kesehatan pada masa mendatang.

Proses 2: Ekonomi.

Proses ini menggunakan 4 (empat) asumsi utama. Asumsi yang pertama adalah makroekonomi meliputi asumsi inflasi nasional dan inflasi kesehatan.Inflasi nasional dan

19 5,7% (asumsi moderat) dan 5,6%‐6,6%

Undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, PPRF‐BKF, besaran iuran dan proyeksi keuangan BPJS Kesehatan. Model besaran iuran itu sendiri dibangun dengan pendekatan aktuaria dan terdiri dari 4 (empat) proses yakni demografi, ekonomi, benefit dan premi, dan

Proses demografi didasarkan pada data populasi penduduk yang bersumber dari BPS.

Dengan baseline data ini, populasi penduduk di masa yang akan datang di proyeksikan ahun) dengan menggunakan asumsi laju kematian (tabel mortalitas CSO 80) dan laju kelahiran (data BPS).Dengan asumsi laju kematian akan dihasilkan perkembangan populasi bulanan karena kematian. Di sisi lain, laju kelahiran akan ort bulanan dari bayi yang baru lahir. Proyeksi penduduk di masa mendatang diperlukan guna mengestimasi berapa besar jumlah iuran yang akan

si yang pertama adalah makroekonomi meliputi asumsi inflasi nasional dan inflasi kesehatan.Inflasi nasional dan

(27)

20 inflasi kesehatan sangat dibutuhkan dalam proyeksi khususnya untuk estimasi tingkat biaya kesehatan (RJTP, RJTL, dan lainnya) pada saat dimulainya program JKN (tahun 2014).

Asumsi yang kedua adalah tingkat pengembalian investasi pengelolaan dana iuran pada tiap jenis aset dimana dana tersebut ditempatkan. Asumsi ketiga adalah tax rate untuk hasil pengembalian investasi dan badan usaha. Asumsi yang terakhir dalam proses ini adalah biaya operasional yang dibutuhkan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN.

Asumsi pertama dan keempat sangat dibutuhkan dalam perhitungan besaran iuran popb program JKN. Untuk proyeksi keuangan BPJS Kesehatan itu sendiri dibutuhkan asumsi kedua, ketiga, dan keempat.

III.2.4.3. Proses 3: Benefit dan premi.

Pada proses ini, terdapat banyak asumsi yang digunakan untuk pendekatan benefit dan premi. Asumsi‐asumsiyang digunakan untuk pendekatan benefit antara lain frekuensi dari RJTP, RJTL, Rawat inap, dan penyakit kritis. Sedangkan asumsi‐asumsi yang digunakan untuk pendekatan premi meliputi biaya operasional, biaya klaim tidak langsung, dan safety margin. Hasil dari proses ini adalah besaran iuran program JKN untuk tiap peserta yang berdasarkan usia.

III.2.4.4. Proses 4: Proyeksi keuangan BPJS Kesehatan.

Hasil dari ketiga proses di atas akan digunakan untuk proyeksi keuangan BPJS Kesehatan berupa proyeksi neraca dan laporan laba rugi.

Keunggulan model hasil kajian PPRF ini adalah kategori unit cost yang lebih detail dibanding model perhitungan kajian lembaga lain.Unit cost yang diperhitungkan dalam model ini antara lain RJTP, RJTL, RITL, Persalinan, dan Penyakit kritis.Tiga unit cost yang pertama disebutkan pada umumnya terdapat pada model kajian lembaga lain tetapi tidak dengan dua unit cost yang disebutkan terakhir. Selain itu, model ini pun berdasarkan usia tiap penduduk yang dalam realitanya iuran untuk jaminan kesehatan semestinya berbeda untuk tiap peserta mengingat perbedaan risiko pada diri peserta. Apabila program JKN sudah mature, perbedaan tingkat utilisasi tiap penduduk berdasarkan usia akan lebih akurat dibandingkan berdasarkan kelompok PBI atau non‐PBI.

Meski demikian, model ini memiliki kelemahan yang sangat mendasar yakni sebagian besar data yang dibutuhkan belum tersedia. Seiring dengan berjalannya program JKN nanti, diharapkan kelemahan ini dapat diperbaiki. Pada jangka panjang, model ini diperkirakan akan memberikan hasil yang lebih akurat dibanding model yang tersedia saat ini.

(28)

21 III.2.5. Rekomendasi Besaran Iuran

Dari berbagai hasil kajian yang ada, dapat dikatakan semua lembaga terkait program JKN sepakat bahwa belum ada satupun hasil kajian dari lembaga‐lembaga yang disebutkan di atas memiliki tingkat confidence yang tinggi. Meski demikian, banyak yang berpendapat bahwa model terbaik yang ada saat ini adalah model TNP2K. Tim internal Kemenkeu pun sepakat dengan hal tersebut akan tetapi dengan berbagai catatan. Pada saat laporan ini dibuat besaran iuran untuk PBI yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan adalah sebesar Rp22.200 dan 5% dari upah untuk pekerja formal.

Khusus untuk iuran PBI, Bapak Menteri Keuangan telah melakukan pertemuan yang intensif dengan tim internal Kemenkeu untuk mendiskusikan berapa iuran PBI yang wajar. Dalam suatu pertemuan, Bapak Menteri memberikan arahan kepada tim untuk menghitung besaran iuran yang wajar menggunakan pendekatan manfaat dan pendekatan anggaran.

Dalam menggunakan pendekatan manfaat, Bapak Menteri meminta untuk segera diputuskan model mana yang akan digunakan. Sementara dalam menggunakan pendekatan anggaran, Bapak Menteri meminta untuk dibuat beberapa simulasi dengan dasar jumlah anggaran yang sudah dialokasikan dalam Medium Term Budget Framework (MTBF) dengan tujuan tanpa menambah defisit APBN atau utang Pemerintah.

III.2.5.1. Pendekatan Manfaat

Besaran iuran PBI yang diusulkan oleh Kemenkes didasarkan pada hasil kajian TNP2K dengan menggunakan asumsi tinggi (flexible).Besar iuran Rp22.200 ini mendekati besaran iuran pada skenario ke‐14 hasil paparan TNP2K di hadapan Menteri Keuangan pada tanggal 28 September 2012 (Rp22.924).

Setelah melakukan diskusi dengan beberapa narasumber (TNP2K, Konsultan Bappenas dan DJSN, PT Askes), tim mencoba menggali argumentasi dibalik asumsi‐asumsi yang digunakan dalam mendapatkan besaran iuran pada skenario ke‐14 tersebut. Hasil dari diskusi dengan narasumber tersebut antara lain sebagai berikut.

III.2.5.1.1. Asumsi kapitasi Rp6.000.

Tanggapan narasumber:

Data PPJK Kemenkes tahun 2011 menunjukkan bahwa realisasi kapitasi Jamkesmas pada Puskesmas adalah sebesar +Rp700 per bulannya. Angka ini sangat kecil dan dapat

(29)

22 mencukupi operasional di Puskesmas mengingat ini merupakan parsial cost karena Pemerintah masih mensubsidi gaji tenaga medis, perawatan/penambahan infrastruktur, obat, dan alat medis lainnya.

Hasil kajian GIZ dan Ausaid untuk tahun 2011 menunjukkan bahwa biaya kapitasi untuk layanan full cost (apabila tidak ada subsidi dari Pemerintah) di Puskesmas adalah sebesar Rp2.662 (median) dan Rp4.600 (mean). Dengan memperhitungkan inflasi, didapatkanlah biaya kapitasi Rp6.000.

Tanggapan tim:

Tim sepakat bahwa untuk melakukan revolusi pada sistem layanan kesehatan di Indonesia harus menguatkan peran PPK I sebagai gate keeper.Dengan melihat data yang ada, besar kapitasi sebesar Rp6.000 per bulan di nilai wajar.

III.2.5.1.2. Asumsi unit cost Tanggapan narasumber:

Baseline yang digunakan untuk proyeksi unit cost saat dimulainya program JKN ini adalah menggunakan rerata data PT Askes tahun 2009 dan 2010.Selain itu, diperlukan juga penyesuaian sebesar 25% atas biaya out‐of‐pocket peserta.

Tanggapan tim:

Baseline unit cost sebaiknya menggunakan data terkini yang tersedia untuk menggambarkan real cost yang ada. Semakin update data yang dimiliki, proyeksi unit cost tahun 2014 diyakini akan lebih baik lagi.

III.2.5.1.3. Asumsi kenaikan utilisasi 110% (dari tahun 2010 s.d. 2014) Tanggapan narasumber:

Asumsi kenaikan utilisasi sebesar 110% didasarkan pada beberapa hal sebagai berikut:

• Efek asuransi yang signifikan pada kelompok penduduk dengan penghasilan terendah.

Dengan kata lain, ketika penduduk dengan penghasilan terendah dijamin oleh suatu asuransi kesehatan, data menunjukkan, utilisasi mereka akan layanan kesehatan akan meningkat secara signifikan (Budi Hidayat).

• Dilakukannya sosialisasi mengenai program JKN/Jamkesmas secara masif.

• Perbaikan secara signifikan terkait distribusi dan ketersediaan fasilitas kesehatan.

(30)

23 6.5

8.1

9.7

6.5

7.15

8.22

5.5

6.1

6.5

2010 2011 2012 2013 2014 Kemkes Tim kemkeu Realisasi Tanggapan tim:

Kenaikan 110% dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 dinilai over estimate jika dibandingkan dengan tren data realisasi sampai dengan tahun 2012. Proyeksi TNP2K pada skenario ke‐14 untuk kenaikan utilisasi adalah 110% yaitu dari 4,6 (utilisasi RJTL tahun 2010) ke 9,7 (proyeksi utilisasi RJTL tahun 2014). Sedikit berbeda dengan TNP2K, utilisasi Jamkesmas pada tahun 2010 menurut Kementerian Kesehatan adalah 5,5. Perbedaan ini disebabkan berbedanya dasar angka yang menjadi denominator (pembagi). TNP2K menggunakan angka denominator sebesar 76,4 juta jiwa (jumlah peserta Jamkesmas) sedangkan Kemenkes menggunakan angka 72 juta jiwa (peserta Jamkesmas yang menerima kartu peserta).

Data realisasi utilisasi Jamkesmas menurut Kementerian Kesehatan untuk tahun 2010, 2011, dan 2012 berturut‐turut adalah 5,5, 6,1, dan 6,5 (lihat gambar 5). Melihat data ini, rerata pertumbuhan utilisasi adalah 8,75%. Kementerian Kesehatan memproyeksikan pertumbuhan utilisasi sebesar 24,6% (menjadi 8,1) pada tahun 2013 dan sebesar 19,8% (menjadi 9,7) pada tahun 2014. Dengan alasan ini, tim menilai proyeksi ini relatif berlebihan mengingat semua yang diasumsikan atas.

Selain perbandingan dengan tren data realisasi tersebut, alasan lain tim menganggap proyeksi pertumbuhan utilisasi berlebihan adalah diperlukannya rencana aksi yang jelas terkait sosialisasi yang masif dan perbaikan signifikan atas distribusi dan fasilitas kesehatan.

Untuk pertumbuhan utilisasi, tim memberikan proyeksi yang lebih moderate dibanding proyeksi Kemenkes atau TNP2K pada skenario 14. Tim memproyeksikan terdapat pertumbuhan utilisasi sebesar 10% (menjadi 7,15) pada tahun 2013 dan sebesar 15%

(menjadi 8,22) pada tahun 2014 (lihat gambar 5).

III.2.5.1.4. Asumsi risiko usia dan pergeseran penyakit Tanggapan narasumber:

Perlu mempertimbangkan dua faktor ini kedalam model mengingat berbagai alasan sebagaimana yang sudah dijelaskan pada butir 3.1.3.Kementerian Kesehatan mengusulkan

Gambar 5. Utilisasi RJTL per mil

(31)

24 untuk kedua faktor ini ditambahkan kedalam perhitungan besaran iuran masing‐masing sebesar Rp750.

Tanggapan tim:

Tim sependapat bahwa kedua hal ini perlu dipertimbangkan ke dalam model.Akan tetapi tidak setuju dengan besaran Rp750 mengingat belum adanya data pendukung yang valid yang mendasari.Selain itu, nilai tersebut juga dinilai terlalu besar untuk tahap awal SJSN.Tim mengusulkan untuk kedua faktor ini ditambahkan ke model masing‐masing sebesar Rp250.

III.2.5.1.5. Asumsi biaya manajemen (5%) dan cadangan (5%) Tanggapan narasumber:

Dalam beberapa kali diskusi, PT Askes, yang nantinya akan menjadi BPJS Kesehatan, menyatakan bahwa biaya manajemen/operasional terdiri dari biaya tetap dan variabel.

Persentase biaya manajemen semestinya akan menurun seiring dengan penambahan jumlah peserta. Berdasarkan pengalaman, biaya manajemen pada umumnya 10% dari iuran yang didapatkan.Sementara itu, menurut narasumber lainnya, pengalaman di beberapa negara, gabungan biaya manajemen dan cadangan adalah sebesar 10%.

Terkait biaya cadangan, TNP2K berpendapat bahwa biaya ini diperlukan sebagai buffer untuk kemungkinan terjadinya error dalam model.

Tanggapan tim:

Tim memahami bahwa biaya manajemen dan biaya cadangan diperlukan dalam perhitungan di model akan tetapi tidak setuju dengan besaran yang diusulkan. Jumlah peserta PBI merupakan jumlah yang sangat besar. Menurut hukum bilangan besar, semakin besar jumlah peserta, maka persentase biaya manajemen semestinya akan semakin kecil. Di samping itu, pengumpulan iuran dan pendaftaran kepesertaan PBI tidak memerlukan upaya yang besar. Untuk biaya manajemen, tim mengusulkan sebesar 2%.

Untuk biaya cadangan, mengingat PBI merupakan tanggung jawab Pemerintah, tim berpendapat bahwa sekalipun Pemerintah memberi angka yang cukup moderat hal ini tidak lah terlalu berisiko. Apabila nanti iuran yang dibutuhkan ternyata masih kurang, terkait PBI, Pemerintah siap untuk memenuhi kewajibannya untuk memastikan PBI tetap dapat dilayani.

III.2.5.1.6. Asumsi inflasi kesehatan

(32)

25 Tanggapan narasumber:

Berdasarkan kajian literatur yang ada, inflasi kesehatan pada umumnya lebih tinggi dibanding inflasi umum. Data BPS menunjukkan bahwa rerata inflasi umum pada tiga tahun terakhir (2009 s.d. 2011) adalah4,51% (Data BPS, 2012). Karenanya, TNP2K memberikan angka 7,5% untuk inflasi kesehatan meskipun pada data BPS yang sama, rerata inflasi kesehatan pada data tersebut untuk tiga tahun terakhir yang sama adalah sebesar 3,45%.

Para narasumber belum mengetahui metode yang digunakan BPS dalam menghasilkan angka inflasi kesehatan yang lebih rendah dibanding inflasi umum.

Tanggapan tim:

Rerata inflasi kesehatan pada BPJS Kesehatan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 adalah 3,45%. Sementara itu, Towers Watson (2012) dalam kajiannya menyatakan bahwa rerata inflasi kesehatan untuk Indonesia selama beberapa tahun terakhir adalah 7%. Data inflasi Towers Watson ini disimpulkan dengan responden dari perusahaan asuransi komersial dan mencerminkan biaya kesehatan provider swasta (bukan managed care).

Berdasarkan data di atas, usulan angka inflasi kesehatan sebesar 7,5% dinilai over estimate.

Tim mengusulkan untuk angka inflasi kesehatan ini sebesar 6%.

Dengan berbagai rekomendasi tim tersebut di atas, tim BPJS Kemkeu mengusulkan iuran popb tahun 2014 untuk PBI adalah sebesar Rp18.145 (lihat tabel 7)

Tabel 6. Iuran popb PBI tahun 2014

Tim BPJS Kemkeu 1 Kapitasi dokter RJTP 6,000

2 Kenaikan utilisasi 77.0%

Utilisasi RJTL 8.2

3 Penyesuaian risiko usia 250 4 Pergeseran penyakit 250

5 Biaya manajemen 2.0%

nominal (Rp miliar) 358.3

6 Biaya cadangan 3.0%

7 Inflasi 6.0%

Iuran PBI popb (Rp) 18,145

No Asumsi utama

(33)

26 III.2.5.2. Pendekatan anggaran

Menghitung besar iuran yang wajar dengan pendekatan anggaran dilakukan melalui tiga skenario yaitu dengan iuran popb sebesar Rp10.000 (arahan Bapak Menteri dalam suatu pertemuan), iuran popb yang tidak perlu menambah defisit atau utang, dan iuran popb sebesar yang diusulkan Kementerian Kesehatan yaitu sebesar Rp22.200. Setelah dilakukan simulasi, iuran popb yang tidak menambah defisit atau utang, sebagaimana proyeksi anggaran sampai dengan tahun 2016, adalah sebesar Rp15.557.

(34)

27 III.3. Proyeksi Beban Fiskal

Implementasi program JKN SJSN akan berdampak kepada APBN. Sebagai pemberi kerja, sebagaimana diatur oleh UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, Pemerintah wajib berkontribusi atas iuran jaminan kesehatan program JKN. Adapun tanggungan Pemerintah adalah PNS Pusat aktif, anggota TNI/Polri aktif, Pensiunan dan veteran, dan pegawai honorer. Khusus untuk Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri, Pemerintah juga meyediakan anggaran untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasional mereka yang tidak dijamin oleh SJSN. UU SJSN juga mengamanahkan Pemerintah membayar iuran untuk orang miskin dan tidak mampu, yang lebih dikenal dalam SJSN sebagai PBI. Selain itu, untuk mempercepat peningkatan layanan kesehatan, Pemerintah perlu menyediakan tambahan anggaran untuk perbaikan fasilitas kesehatan.

III.3.1. Penerima Bantuan Iuran (PBI)

Pasal 17 Undang‐Undang nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN menyatakan bahwa iuran program JKN untuk fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.

Kelompok ini, yang iurannya dibayar oleh Pemerintah, disebut sebagai kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI). Menurut berbagai media massa, Presiden pernah menyatakan dalam suatu kegiatan bahwa besar anggaran untuk PBI di tahun 2014 adalah sekira Rp25 triliun.

Tim mencoba mencari dokumen pendukung atas pernyataan Presiden tersebut dan mendapatkan tidak ada dokumen pendukung yang jelas yang menyatakan jumlah tersebut.

III.3.1.1. Jumlah PBI

Untuk menghitung beban fiskal dari PBI, terdapat dua variabel utama yang menentukan besar iuran PBI, yaitu jumlah penerima PBI dan besar iBesar beban fiskal untuk iuran PBI ditentukan oleh dua variabel utama yaitu jumlah penerima PBI dan iuran popb PBI. RPP tentang PBI, yang pada saat laporan ini dibuat sedang menunggu pengesahan dari Presiden selaku kepala Pemerintahan, telah menyatakan bahwa untuk tahap awal, jumlah PBI didasarkan pada data PPLS tahun 2011. Data tersebut terdiri dari 40% penduduk dengan jumlah penghasilan terendah yang sudah terdata berdasarkan nama dan alamat. Jumlah dari data tersebut adalah 96,4 juta jiwa. Jumlah yang sama diusulkan oleh DJSN kepada Menko Kesra sebagai PBI untuk tahun 2014.

(35)

28

I II

1 Jumlah PBI 86.400.000 86.400.000

2 Iuran popb PBI Rp15.557 Rp18.145

16.129 18.813 Beban PBI (Rp miliar)

No Asumsi Tahun 2014

Jumlah penerima Jamkesmas, program dengan manfaat yang sama dan dengan target peserta yang sama juga dengan PBI, pada tahun 2013 adalah 86,4 juta jiwa. Jumlah ini telah meningkat 10 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya.Tim berpandangan, apabila jumlah PBI tahun 2014 meningkat menjadi 96,4 juta jiwa akan bertentangan dengan klaim Pemerintah dalam berbagai kesempatan yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan jumlah orang miskin di Indonesia. Karena itu, dalam simulasi perhitungan proyeksi beban fiskal, jumlah PBI diasumsi sebesar 86,4 juta jiwa.

III.3.1.2. Iuran PBI

Besar iuran popb PBI yang digunakan dalam simulasi adalah besar iuran yang direkomendasikan oleh tim dalam pendekatan manfaat (Rp18.145) dan besar iuran yang tidak menambah defisit atau utang (Rp15.557).

Dengan asumsi‐asumsi tersebut di atas, proyeksi beban fiskal PBI untuk tahun 2014 adalah sebagai berikut.

III.3.2. Pegawai aktif

Beban yang menjadi tanggungan Pemerintah untuk pegawai aktif didapatkan dengan cara porsi iuranyang menjadi tanggungan Pemerintahdikalikan denganjumlah peserta dan dikalikan dengan besar upah peserta. Pasal 27 ayat (1) UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN mengatur bahwa besarnya iuran program JKN untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu. Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan mengusulkan dalam RPerpres tentang Jaminan kesehatan bahwa besar persentase dimaksud adalah sebesar 5% dari upah dengan 3% (60% dari 5%) dari upah menjadi tanggunan pemberi kerja. Karena itu, iuran sebesar 3% dari upah merupakan tanggungan Pemerintah untuk para pegawai penyelenggara negara yang masih aktif.

Sebelum program JKN diimplementasikan, tanggungan Pemerintah untuk iuran jaminan Tabel 7. Simulasi beban fiskal PBI

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

NAMA & NOMOR VIRTUAL ACCOUNT.. JEMAAT GBI

PPAT juga berperan besar dalam meningkatkan sumber penerimaan negara dari pajak, karena mereka ditugaskan untuk memeriksa telah dibayarnya Pajak Penghasilan (PPh) dari

Dari 176 spesimen yang memenuhi kriteria inklusi, 55 spesimen diekslusi antara lain karena hasil MAC ELISA CSS pada fase akut negatif tetapi positif pada

Validitas relatif lebih abstrak dan lebih sulit diukur daripada reliabilitas. Dalam menilai validitas suatu alat ukur, peneliti mempertanyakan apakah alat ukur tersebut

Foto jurnalistik yang akan diteliti pada penelitian ini merupakan bentuk komunikasi penyampaian pesan yang dipublikasikan dalam media massa yaitu surat

Penentuan probabilitas durasi aktivitas menggunakan central limit theorem, yakni suatu teori matematis yang menggabungkan aktivitas PERT dengan salah satu continous

Hasil penelitian untuk diagram network dalam penginstalasian tata udara akan diketahui logika ketergantungan antara elemen-elemen atau kegiatan-kegiatan yang mendukung

Bab ini menjelaskan konsep pembentukan algoritma untuk menghitung solu- si pendekatan dari sistem persamaan linear dengan menggunakan algoritma Arnoldi dan algoritma Arnoldi