• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

17

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa negara, penghasil bahan baku untuk industri dan kesempatan kerja maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

Selain itu, subsektor perkebunan juga mempunyai keunggulan komparatif dalam beberapa komoditas di pasar dunia yang sementara belum dimanfaatkan secara optimal hingga kini. Pengalaman selama krisis ekonomi, terutama pada tahun-tahun awal (1997- 1998) ketangguhan subsektor perkebunan selalu menunjukkan pertumbuhan bernilai positif.

Di antara berbagai komoditas perkebunan non tradisional, vanili merupakan komoditas ekspor yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan telah mempunyai nama cukup baik di pasaran internasional. Ekspor vanili Indonesia yang ditujukan ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Hongkong sebagian besar adalah dalam bentuk vanili utuh (vanilla whole) dan dalam bentuk lain (other vanilla) ke negara China, Malaysia, dan Amerika Serikat (Tampubolon, 2004).

Perkembangan ekspor vanili Indonesia dalam beberapa tahun terakhir (2000-

2006) menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif. Meskipun demikian sebagai komoditi

non tradisional, vanili tetap mampu memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan

perekonomian Indonesia. Perkembangan ekspor vanili Indonesia selama tahun 2000-2006

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(2)

18

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006

Tahun Ekspor

Volume (Ton) Nilai (000 US$)

2000 350 8 503

2001 468 19 309

2002 3 599 19 160

2003 6 363 19 275

2004 741 16 502

2005 278 5 347

2006 499 5 892

Sumber : Departemen Pertanian, 2006.

Tabel 1 memperlihatkan pada tahun 2000-2003 volume dan nilai ekspor vanili Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini terjadi karena tingginya permintaan vanili dunia akibat semakin luasnya pemanfaatan vanili. Di pusat konsumsi vanili seperti negara Amerika Serikat, Kanada, Perancis, dan Jerman, vanili tidak hanya digunakan sebagai bahan standar untuk mengubah aroma pada industri pangan, namun telah meluas ke industri parfum, pembuatan susu, permen, dan es “cream”. Sementara itu, menurunnya volume dan nilai ekspor vanili Indonesia pada tahun 2004-2005 disebabkan oleh mutu vanili asal Indonesia yang tidak sesuai dengan standar internasional. Dampak dari penolakan ini menyebabkan vanili menumpuk hampir di seluruh daerah sentra vanili di Indonesia sehingga mengakibatkan kerugian bagi sebagian besar petani vanili.

Terlepas dari fluktuatifnya ekspor vanili tersebut, tingginya permintaan vanili dunia

yang mencapai 2 500 ton memberikan peluang dan kesempatan besar bagi Indonesia

untuk meningkatkan ekspor. Selama ini sebagai produsen vanili terbesar ke dua setelah

negara Madagaskar, Indonesia baru bisa memasok 25 – 30 persen dari kebutuhan pasar

dunia.

(3)

19

Di pasar domestik, permintaan vanili sebagai bahan campuran makanan-jadi, meningkat mencapai 26 persen dari seluruh produksi rempah-rempah seiring dengan meningkatnya makanan olahan yang rata-rata mencapai 41.01 persen per tahun (Tombe, et al, 2002). Untuk memenuhi permintaan vanili (bentuk serbuk) di pasar domestik,

Indonesia masih melakukan impor. Ini dilakukan karena Indonesia belum memiliki industri vanillin, baik vanillin alami maupun vanillin sintetis. Lebih lengkap mengenai data impor vanili Indonesia tahun 2000 - 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006

Tahun Impor

Volume (Ton) Nilai (000 US$)

2000 58 766

2001 230 868

2002 1 514 1 346

2003 116 3 732

2004 8.5* 837*

2005 155 636

2006 55.8 282

Sumber : Departemen Pertanian, 2006.

Keterangan : * sampai Juli 2004

Tingginya kebutuhan / permintaan vanili baik dari pasar internasional maupun pasar domestik memberikan prospek yang cerah dan peluang yang besar bagi perkembangan vanili Indonesia. Selain itu harga vanili yang cukup tinggi juga sangat besar pengaruhnya terhadap perluasan komoditas vanili di Indonesia. Seperti yang terjadi pada bulan Maret – April 2004, harga yang diterima petani untuk buah vanili basah berkisar Rp 250 000 – Rp 600 000 per kg dengan kualitas yang tidak ditentukan.

Sementara harga buah vanili kering berkisar Rp 1 800 000 – Rp 2 500 000 per kg

(Suwandi dan Sudibyanto, 2004). Hal ini membuka kesempatan bagi para petani vanili

(4)

20

untuk terus meningkatkan produksi vanili. Seperti diketahui, produksi vanili Indonesia selama enam tahun terakhir cenderung fluktuatif. Perkembangan produksi vanili nasional selama enam tahun terakhir disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006

Tahun Luas Areal (ha) Produksi

(ton) Produktivitas (ton / ha) 2000 14 692 1 681 0.11 2001 14 749 2 918 0.20 2002 15 922 2 731 0.17 2003 15 653 1 656 0.11 2004 24 251 2 252 0.09 2005 25 486 2 366 0.09 2006 25 429 2 584 0.10 Sumber : Departemen Pertanian, 2006.

Tabel 3 memperlihatkan produksi vanili yang cenderung fluktuatif selama tahun 2000 - 2006. Salah satu penyebab terjadinya fluktuasi produksi vanili ini adalah adanya penyakit busuk batang yang menyerang tanaman vanili. Serangan penyakit busuk batang ini mengakibatkan penurunan produktivitas vanili dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi para petani vanili di seluruh Indonesia.

Terkait dengan fluktuatifnya produksi vanili nasional maka upaya-upaya yang lebih

diarahkan pada peningkatan produksi khususnya pengendalian terpadu dan penyediaan

bibit tahan terhadap penyakit busuk batang perlu dilakukan. Dalam hal pencegahan

maupun pengendalian penyakit busuk batang dapat dilakukan dengan menerapkan cara

budidaya vanili yang benar, mulai dari penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan

cara panen (Ruhnayat, 2004). Sementara dalam hal penyediaan bibit tahan terhadap

penyakit busuk batang, Balai Penelitian Tanaman Tropis (Balittro) telah menghasilkan bibit

Bio-FOB yang diinduksi dengan FoNP (Fusarium oxysporium non patogenik) yaitu sejenis

(5)

21

mikroorganisme yang dapat menginduksi ketahanan tanaman. Efektifitas FoNP menghasilkan bibit yang bebas penyakit busuk batang lebih baik dibandingkan dengan fungisida (Bun, 2004). Ditemukannya bibit vanili bebas fusarium ini, diharapkan dapat meningkatkan produksi / produktivitas vanili.

Di sisi lain, keberhasilan dalam mengembangkan tanaman vanili tidak hanya dicerminkan oleh peningkatan produksi / produktivitas vanili saja ataupun devisa yang diperoleh negara, namun dalam dimensi yang lebih luas keberhasilan tersebut harus dilihat dari peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para petaninya. Oleh karena itu, terkait dengan berbagai upaya peningkatan pendapatan petani vanili, maka upaya kerjasama dengan perusahaan yang berskala besar merupakan salah satu upaya petani vanili untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini kerjasama antar subsektor pertanian, yaitu subsektor perkebunan yaitu tanaman vanili dengan subsektor kehutanan (agroforestri) mempunyai peluang yang baik untuk dikembangkan.

Salah satu konsep agroforestri yang saat ini sedang dikembangkan adalah

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masayarakat (PHBM) yang merupakan salah

satu kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani

berdasarkan konsep Community Based Forest Management. Melalui Surat Keputusan

Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditetapkan bahwa sistem pengelolaan

dilaksanakan bersama antara Perum Perhutani selaku pihak pengelola kawasan hutan dan

masyarakat desa hutan serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan

sumberdaya hutan (stakeholders) (Perhutani, 2005).

(6)

22

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ini (selanjutnya disingkat PHBM) merupakan paradigma baru pembangunan kehutanan yang bertumpu pada kepentingan masyarakat melalui pendekatan partisipatif. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama pembangunan kehutanan yang tidak lagi hanya berorientasi pada hasil kayu tetapi pada keseluruhan sumberdaya hutan.

Salah satu daerah pengembangan agroforestri di Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Sumedang. Kabupaten Sumedang memiliki hutan yang cukup luas, yaitu sebesar 37.5 persen dari luas daerah keseluruhan yang terdiri atas hutan negara (44.473 km

2

) dan hutan rakyat (13.718 km

2

). Dengan adanya luas hutan yang cukup besar, secara tidak langsung mendukung kondisi kehidupan pertanian di Kabupaten Sumedang karena resapan air yang diberikan oleh hutan cukup memadai untuk mengairi masalah pertanian.

Salah satu dari 56 desa yang berada di sekitar kawasan hutan yang tersebar di seluruh Kecamatan di Kabupaten Sumedang yang telah melaksanakan kegiatan sosialisasi PHBM adalah Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka. Terpilihnya Desa Padasari menjadi salah satu daerah sosialisasi PHBM dikarenakan letak daerahnya yang berada di bawah kaki gunung Tampomas dan berada di sekitar kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Sumedang yaitu BKPH Tampomas.

Di Desa Padasari, kegiatan PHBM ini dilaksanakan bersama antara Perum Perhutani Unit III KPH Sumedang selaku pihak pengelola kawasan hutan, masyarakat desa hutan yaitu Kelompok Tani Hutan Bagjamulya, dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan (stakeholders).

Kemitraan PHBM di Desa Padasari ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan

yang saling mengisi antara Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dan Perum Perhutani, di

(7)

23

mana Kelompok Tani membutuhkan lahan dan modal untuk kegiatan usahatani vanili, sementara Perum Perhutani membutuhkan tenaga untuk mengelola dan mengamankan hutan. Kegiatan yang saling mengisi antara petani vanili dan Perum Perhutani melalui kemitraan PHBM ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan sense of belonging petani vanili khususnya anggota Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dalam memfungsikan dan memanfaatkan sumberdaya hutan sekaligus juga dapat mengupayakan peningkatan pendapatan petani melalui usahatani vanili.

Sebagai implementasi PHBM di Desa Padasari, pada tahun 2001 telah dilakukan penanaman vanili di bawah tegakan pinus merkusii dengan seluas 6 ha yang berlokasi di petak 11a RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas. Selanjutnya pada tahun 2002 penanaman vanili diperluas menjadi 30.25 ha dengan areal tambahan di tiga petak (10b, c, dan 13 c) (Perhutani, 2005). Diperluasnya areal penanaman vanili tersebut, membuktikan bahwa pengusahaan vanili dengan sistem tumpang sari telah memberikan hasil yang baik, sehingga diharapkan dapat menghasilkan produksi/produktivitas yang lebih tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani vanili.

1.2. Perumusan Masalah

Konsep kemitraan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi usaha skala besar (perusahaan) dengan usaha skala kecil (petani).

Adanya kebutuhan yang saling mengisi memungkinkan terciptanya harmonisasi dalam

kemitraan yang pada akhirnya akan menguntungkan kedua belah pihak. Demikian halnya

dengan kemitraan PHBM di Desa Padasari yang dilakukan oleh petani vanili yang

tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dengan Perum Perhutani, didasari

(8)

24

oleh adanya kebutuhan dari masing–masing pihak, di mana petani memerlukan tambahan lahan dan modal untuk mengusahakan tanaman vanili sementara Perum Perhutani memerlukan sumberdaya manusia (petani vanili) sebagai tenaga kerja yang dapat digunakan untuk membantu mengelola hutan. Dengan demikian, diharapkan kemitraan PHBM di Desa Padasari ini dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, khususnya bagi para petani vanili.

Sebagai suatu inovasi yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik, kemitraan PHBM di Desa Padasari mempunyai kelebihan dan daya tarik yang tinggi bagi masyarakat sekitar. Selain sebagai kemitraan lintas subsektor antara perkebunan (kebun vanili milik rakyat) dan kehutanan (hutan milik Perum Perhutani), kelebihan lain dari kemitraan PHBM adalah adanya sistem bagi hasil yang jarang dijumpai pada bentuk kemitraan lain. Adanya kelebihan dari kemitraan tersebut diharapkan menjadi daya tarik bagi para petani vanili sehingga petani bersedia menjadi anggota. Namun, pada kenyataannya hanya sebagian kecil petani vanili yang tertarik dan sebagian besar tidak tertarik dengan kemitraan PHBM. Bagi petani vanili yang tertarik pada kemitraan, besar kemungkinan akan mengambil keputusan untuk melakukan kemitraan sedangkan petani vanili yang tidak tertarik kemungkinan besar tidak akan melakukan kemitraan. Dugaan ini sangat beralasan karena dalam proses adopsi inovasi seorang petani setelah melewati tahap penaruhan minat / ketertarikan maka kemungkinan untuk menerapkan / melakukan suatu inovasi menjadi sangat besar (Kartasapoetra, 1994). Begitu juga sebaliknya.

Terkait dengan itu, adanya ketertarikan petani terhadap kemitraan yang

selanjutnya mengambil keputusan untuk melakukan kemitraan pada dasarnya merupakan

hasil dari pemahaman dan pola pikir petani yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan

(9)

25

ekonomi. Faktor sosial petani itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga, status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi penyuluhan dan kontak lembaga. Sementara faktor ekonomi yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan. Berdasarkan uraian tersebut maka menjadi jelas bahwa faktor-faktor sosial ekonomi dapat mempengaruhi kemungkinan petani vanili untuk melakukan kemitraan PHBM. Oleh karenanya, faktor-faktor sosial ekonomi petani vanili di Desa Padasari menjadi penting untuk diketahui lebih lanjut, khususnya mengenai faktor sosial ekonomi apa saja yang paling dominan dan berapa besar pengaruhnya terhadap petani di dalam melakukan kemitraan PHBM.

Selanjutnya, kemitraan sebagai strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau

lebih dalam rangka meraih keuntungan bersama (Hafsah, 2000), maka keberhasilan

kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam

menjalankan etika bisnis kemitraan. Sehubungan dengan itu, dalam melaksanakan

kemitraan PHBM di Desa Padasari kepatuhan antara petani vanili yang tergabung dalam

Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dengan Perum Perhutani dalam menjalankan etika

bisnis kemitraan sudah seharusnya dilakukan. Hal ini dikarenakan sebagai suatu

kelembagaan, kemitraan PHBM tidak dapat dipisahkan dari aspek fungsional dan

struktural yang mendasari eksistensi kemitraan tersebut. Ini berarti kemitraan tersebut

mencakup seperangkat peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diterapkan dan harus

ditaati oleh masing-masing pihak pelaku.

(10)

26

Terkait dengan hal tersebut, sebagai lembaga yang terdiri dari dua pihak yang berbeda skala usaha maka besar kemungkinan dalam pelaksanaan kemitraan PHBM pun dapat terjadi konflik / permasalahan karena masing-masing pihak akan memaksimumkan kepuasannya. Selama ini seperti diketahui, banyak kemitraan yang sudah tidak berjalan lagi dikarenakan hubungan yang dilakukan antara perusahaan mitra dan petani mitra hanya sebatas hubungan majikan dan buruh, di mana perusahaan mitra memandang kemitraan tersebut sekedar belas kasihan dan sekedar memenuhi himbauan pemerintah, sementara petani mitra memandang perusahaan cenderung memanfaatkan mereka dan tidak tulus membantu. Oleh karena itu, adanya aturan main yang jelas, dalam hal ini adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dilaksanakan, diharapkan dapat meminimumkan kemungkinan konflik yang terjadi dalam kemitraan. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas maka penting untuk diketahui sejauhmana aspek kelembagaan dari kemitraan PHBM ini, ditinjau dari aspek batas kewenangan, aspek pelaksanaan hak dan kewajiban, dan aspek aturan representasi.

Selanjutnya, sebagai suatu inovasi yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka dapat dikatakan bahwa kemitraan dapat memberikan manfaat / keuntungan bagi para anggotanya. Adanya manfaat dalam kemitraan ini dapat menjadi motivasi dan dorongan bagi para anggotanya untuk terus meningkatkan partisipasinya dalam kemitraan.

Sebaliknya jika kemitraan itu tidak memberikan manfaat / keuntungan maka besar

kemungkinan para anggotanya tidak bersedia melanjutkan kemitraan. Sehubungan

dengan itu, mengingat kemitraan PHBM sebagai suatu inovasi dan sejak 2001 sampai

sekarang masih tetap berjalan, maka menarik untuk dikaji bagaimana hubungan kemitraan

(11)

27

yang telah dijalin selama ini, apakah telah memberikan manfaat / keuntungan bagi kedua belah fihak yang bermitra khususnya pada petani mitra.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan petani vanili melakukan kemitraan PHBM.

2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan dari kemitraan PHBM.

3. Menganalisis manfaat / keuntungan dari kemitraan PHBM bagi petani mitra dan Perum Perhutani.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam menyusun kebijakan, khususnya kebijakan mengenai pelaksanaan kemitraan PHBM dalam upaya pengembangan komoditas vanili.

2. Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi Perum Perhutani untuk terus meningkatkan hubungan kerjasama yang baik dengan petani vanili dalam kegiatan kemitraan PHBM.

3. Sebagai bahan masukan bagi kelompok tani untuk lebih meningkatkan keterlibatannya

dalam seluruh kegiatan PHBM dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

anggotanya.

(12)

28

4. Sebagai bahan referensi maupun informasi bagi peneliti dalam melakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan komoditas vanili, juga bagi pihak terkait dalam rangka pengembangan kemitraan.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan dan tujuan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah :

1. Komoditas vanili yang diteliti dalam penelitian ini adalah vanili basah. Mutu vanili yang diteliti ditentukan secara agregat, yaitu mutu nomor 1 (satu).

2. Analisis kemitraan dibatasi hanya pada hubungan kemitraan antara petani vanili dan

Perum Perhutani, tidak menganalisis struktur dan manajemen Perum Perhutani secara

keseluruhan.

Gambar

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006
Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006
Tabel  3.  Luas Areal, Produksi,  dan Produktivitas Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil tes uji normality penelitian perbedaan self monitoring yang ditinjau dari minat kerja pekerja outsourcing antara bagian loket (Salesperson) dengan

Pengeluaran wisatawan adalah uang baru dari wisatawan yang dibelanjakan ke bisnis perhotelan lokal secara langsung.Pengeluaran awal oleh wisman dan wisnus ini

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini dianalisis aspek-aspek yang berkaitan dengan kejiwaan tokoh yang mengalami gangguan kepribadian antisosial yang

Monitoring dan evaluasi sangat diperlukan untuk menemukan bukti apakah PPL dapat meraih hasil sesuai dengan yang direncanakan dan memberi keyakinan apakah kegiatan

Bagi Karl Mannheim, publik ialah kesatuan banyak orang yang bukan berdasarkan interaksi perseorangan, tetapi atas dasar reaksi terhadap stimuli yang sama. Reaksi

Berdasarkan kondisi di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang penerapan psikoedukasi keluarga untuk mengetahui pengaruhnya terhadap beban dan kemampuan

Aa8 dapat berpotensi sebagai starter makanan fermentasi dan sebagai agen probiotik karena dapat tumbuh pada pH 1 setelah inkubasi 4 jam, memiliki aktivitas antimikroba,

Apabila jaminan sosialnya mencukupi, maka akan menimbulkan kesenangan bekerja sehingga mendorong pemanfaatan kemampuan yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas