• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA USIA TAHUN DI SMA PGRI I TUBAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA USIA TAHUN DI SMA PGRI I TUBAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA USIA 15 – 18 TAHUN

DI SMA PGRI I TUBAN

Nurus Safa’ah STIKES NU Tuban PRODI S1 Keperawatan

ABSTRAK

Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing – masing anggotanya, terutama anak – anak yang masih berada dalam bimbingan dan tanggung jawab orang tuanya. Perkembangan pada anak meliputi keadaan fisik, emosional, sosial dan intelektual. Bila periode ini tidak dapat dilalui dengan harmonis, maka akan timbul gejala – gejala penyimpangan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri, kepribadian yang terganggu, bahkan menjadi gagal dalam tugas menjadi makhluk sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pola asuh orang tua dan konsep diri pada remaja.

Penelitian menggunakan metode analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Dengan populasi seluruh siswa kelas XI di SMA PGRI I Tuban tahun 2009 berusia 15 – 18 tahun. Sampel diambil dari seluruh remaja yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 119 responden. Teknik pengambilan sampel secara Cluster Random Sampling. Instrumen pengumpulan data adalah kuesioner. Diinterpretasikan skor < batas bawah adalah rendah dan otoriter, skor > batas atas adalah tinggi dan demokratis dan skor tengah adalah sedang dan permissive. Interpretasi data yang sudah terkumpul dibuat tabel silang dan prosentase, untuk mengetahui adanya hubungan antar variabel dilakukan uji Chi Square χ2 hitung >

χ

2 table yaitu 9,488.

Hasil penelitian dari 119 responden yang dilakukan pada bulan Juni 2009 didapatkan pola asuh orang tua demokratis (76,5%) mempunyai konsep diri tinggi (81,52%), pola asuh permissive (14,3%) mempunyai konsep diri sedang (9,24%), pola asuh otoriter (9,2%) mempunyai konsep diri rendah (9,24%). Hasil uji Chi Square

χ

2 hitung = 19,152 berarti Hı ditolak artinya ada hubungan pola asuh orang tua dengan konsep diri pada remaja.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan pola asuh orang tua dan konsep diri pada remaja. Apabila pola asuh orang tua diterapkan dengan benar maka akan membantu anak menerapkan konsep diri dengan benar.

Kata kunci : Pola asuh orang tua, konsep diri dan remaja.

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak – kanak ke masa dewasa. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya sering kali tidak terlalu jelas. Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis yang dikemukakan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak – kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Yusuf Syamsu , 2002).

Keadaan fisik pada masa remaja dipandang sebagai suatu hal yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kurang percaya diri.

Begitu juga, perkembangan fisik yang tidak propolsional. Kematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan upaya pemuasan dan jika tidak terbimbing oleh norma – norma dapat membawanya pada penyimpangan perilaku. Banyak faktor – faktor yang mempengaruhi rasa tidak puas dan kurang percaya diri, diantaranya adalah konsep diri dan cara pola asuh orang tua

Permasalahan yang sering dialami dalam masa remaja adalah rasa tidak percaya diri karena tubuhnya dinilai kurang / tidak ideal baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, atau merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul. Rasa kurang percaya diri kemudian menyebar

ke hal – hal yang lain, misalnya malu untuk berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri untuk tampil di muka umum, menarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis atau bahkan kemudian menjadi seorang yang pemarah, sinis dan lainnya. Dalam perkembangan sosial remaja, self- estem yang positif sangat berperan dalam pembentukkan pribadi yang kuat, sehat dan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan, termasuk mampu berkata ”tidak”untuk hal-hal yang negatif dengan kata lain tidak terpengaruh oleh berbagai godaan yang dihadapi seorang remaja setiap hari dari teman sebaya mereka sendiri (Yusuf Syamsu, 2002).

Menurut Reasoner (2004), sebanyak 12 % individu menunjukkan adanya penurunan self – estem setelah memasuki sekolah menengah pertama, dan 13

% memiliki self – estem yang rendah pada sekolah menengah ke atas. Remaja wanita dikatakan mengalami kenaikan self – estem pada usia antara 18 hingga 23 tahun melalui aspek – aspek moral dan hubungan pertemanan. Pada remaja, perubahan self – estem terjadi pada 3 dimensi, yakni dalam hubungan personal, ketertarikan dengan lawan jenis, serta kompetensi dalam pekerjaan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari survey awal bahwa terdapat 4 siswa (20 %) kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan teman sebayanya maupun orang lain, 3 siswa (15%) mengatakan saat ini mempunyai harapan yang nantinya dapat berguna di masyarakat, 6 siswa (30%) mengatakan kurang mampu dalam memecahkan masalah yang terdapat di dalam

(2)

kelas ataupun kelompok, 5 siswa (25%) mengatakan kurang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya, 2 siswa (10%) kurang percaya dengan kelebihan yang ada dalam dirinya. Sebagian besar dari mereka mengatakan kurang mampu dalam memecahkan masalah, kurang aktif dengan kegiatan yang diadakan di sekolah, kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan teman ataupun orang lain, mempunyai cita – cita dan harapan yang nantinya dapat berguna dalam masyarakat dan kurang percaya dengan kelebihan yang ada dalam dirinya, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan, dukungan dari orang – orang dan lingkungan sekitar, serta pola asuh orang tua yang kurang tepat.

Berdasarkan data tentang pola asuh yang diterima oleh siswa bahwa 9 siswa (45%) mengatakan orang tua mereka memberikan kebebasan untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, 7 siswa ( 35%) mengatakan diberikan kebebasan oleh orang tuanya asalkan sesuai dengan norma yang berlaku, 4 siswa (20%) mengatakan orang tuanya selalu bersikap suka memerintah/mengharuskan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak orang tua.

Alasan mereka mengatakan bahwa orang tua mereka memberikan kebebasan untuk melakukan apapun itu disebabkan karena orang tua mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak ada waktu luang untuk mengurus anak dan memperhatikan perilaku anak, sedangkan bagi mereka yang mengatakan diberikan kebebasan tetapi harus sesuai dengan norma yang berlaku karena orang tua memberikan kepercayaan pada anak - anaknya serta tetap memantau perilaku anak dan bagi mereka yang mengatakan orang tuanya selalu bersikap suka memerintah/mengharuskan melakukan segala sesuatu sesuai kehendak orang tua karena orang tua mereka mempunyai sikap yang keras dalam mendidik anak – anaknya.

Self-estem yang rendah akan memperlemah hubungan yang dibina dengan orang lain, sedangkan self-estem yang tinggi akan mendukung remaja untuk mengembangkan hubungan mereka dengan orang lain.Self-estem juga berpengaruh terhadap sikap seseorang bagi statusnya sebagai remaja. Seorang remaja yang memiliki self-estem yang positif maka dia tidak akan mudah terbawa godaan yang banyak ditawarkan oleh lingkungannya.

Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan atau herediter. Konsep diri merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Konsep diri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai – nilai, sikap, peran dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai kelompok primer tersebut mampu memberikan umpan balik kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya .

Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi

bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.

Oleh sebab itu, seringkali anak – anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, ataupun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah – marah dan sebagainya.

Dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan ataupun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.

Memahami peran sebagai orang tua bagi remaja bukanlah hal yang mudah. Dari pihak orang tua, remaja membutuhkan kasih sayang dan kehangatan serta penuh pengertian. Di satu pihak orang tua memang butuh mengasihi putra – putrinya. Di pihak lain orang tua pun wajib menetapkan batas – batas bertingkah laku ( disiplin ) bagi putra – putrinya. Kehangatan dan kasih sayang harus dikomunikasikan di sela – sela disiplin dan sikap yang tegas dari orang tua. Di samping itu, remaja memerlukan model dari orang tua yang bisa berlaku sebagai pedoman. Dalam periode perkembangan remaja, orang tua dijadikan tolak ukur oleh para remaja guna menguji diri dalam segi kemampuan penerimaan diri.

Berdasar data tersebut penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan pola asuh orang tua dan konsep diri pada remaja khusunya bagi mereka yang berusia 15 - 18 tahun.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di SMA PGRI I Tuban yang dimulai pada bulan juni tahun 2009.

Desain penelitian menggunakan Desain Penelitian Analitik Korelasional (Hubungan/Asosiasi) yaitu mengkaji hubungan antar variabel.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa SMA PGRI I Tuban Tahun Ajaran 2008-2009. Besar sampel yang digunakan sesuai criteria inklusi sebagai berikut:

1. Bersedia menjadi responden penelitian yang dibuktikan dengan tanda tangan pernyataan remaja tanpa tekanan atau paksaan.

2. Seorang siswa berusia antara atau sama dengan 15 – 18 tahun.

Besar sampel yang digunakan sesuai dengan jumlah pada saat penelitian.

Keterangan :

n = Perkiraan jumlah sampel N = Perkiraan besar populasi

d = Tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)

n = 179 n = 1 N(d)2

N +

(3)

1 + 179 (0,05)2

= 179 1 + 179 X 0,0025 = 119,3

= 119 Responden

Teknik pengambilan probability sampling secara Cluster Random Sampling yaitu pengelompokan sampel berdasarkan wilayah atau lokasi populasi.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah konsep diri remaja.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner.

HASIL DAN ANALISA DATA

Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan pada bulan Juni 2009 pada 119 responden di dapatkan hasil yang akan diuraikan pada tabel hasil pengolahan data.

Hasil penelitian ini disajikan dalam data umum dan data khusus, data umum meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan data khusus meliputi pola asuh orang tua dan konsep diri pada remaja.

1. Data Umum

Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia

Remaja di SMA PGRI I Tuban Tahun 2009

Usia (tahun) Jumlah Prosentase (%)

15 2 1,7

16 4 3,3

17 91 76,5

18 22 18,5

Jumlah 119 100%

Sumber: survey bulan Juni 2009

Pada tabel 1 didapatkan bahwa hampir seluruhnya ( 76,5 % ) berusia 17 tahun, dan sebagian kecil ( 1,7 %) berusia 15 tahun.

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin Remaja di SMA PGRI I Tuban Tahun 2009

Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%)

Laki-laki 49 41,2

Perempuan 70 58,8

Jumlah 119 100%

Sumber: survey bulan Juni 2009

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan sebagian besar responden (58,8%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan hampir setengahnya berjenis kelamin laki- laki (41,2%).

2. Data khusus Pola Asuh Orang Tua

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pola Asuh Orang Tua di SMA PGRI I Tuban Tahun 2009 Sumber: survey bulan Juni 2009

Berdasarkan tabel 3 didapatkan hampir seluruhnya (76,5 %) responden mendapatkan pola asuh yang demokratis, dan sebagian kecil (9,2 %) responden mendapatkan pola asuh yang Otoriter..

Konsep Diri Pada Remaja

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Konsep Diri Pada Remaja di SMA PGRI I Tuban Tahun 2009

Sumber: survey bulan Juni 2009

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa hampir seluruhnya (81,52 %) responden memiliki konsep diri yang tinggi, sebagian kecil (9,24%) responden memiliki konsep diri yang sedang dan sebagian kecil (9,24%) responden memiliki konsep diri yang rendah.

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Konsep Diri pada remaja.

Tabel 5 Tabel Silang Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Konsep Diri Pada Remaja Di SMA PGRI I Tuban tahun 2009.

Pola Asuh Orang Tua

Konsep diri pada remaja Jml (%) Rendah Sedang Tinggi

Otoriter 4 2 5 11 9,2

Permissive 4 3 10 17 14,3

Demokratis 3 6 82 91 76,5

Jumlah 11 11 97 119

Prosentase (%)

9,24 9,24 81,52 100

Dari table 5 dapat dijelaskan bahwa hampir seluruhnya responden mendapat pola asuh Demokratis (76,5 %) dan hampir seluruhnya (81,52%) memiliki konsep diri yang tinggi.

Pola Asuh Orang Tua

Jumlah Responden

Prosentase (%)

Otoriter 11 9,2

Permissive 17 14,3

Demokratis 91 76,5

Jumlah 119 100

Konsep Diri Pada Remaja

Jumlah Responden

Prosentase (%)

Rendah 11 9,24

Sedang 11 9,24

Tinggi 97 81,52

Jumlah 119 100

(4)

PEMBAHASAN

Berdasarkan tabel 1 didapatkan hampir seluruhnya ( 76,5 % ) berusia 17 tahun, dan sebagian kecil ( 1,7 % ) berusia 15 tahun.

Masa remaja merupakan masa transisi yakni peralihan dari masa kanak – kanak memasuki pada kehidupan masa dewasa. Banyak perubahan yang dialami dalam diri remaja, yaitu meliputi perubahan aspek fisiologis, psikologis maupun sosialisasinya (Agoes Dariyo, 2004).

Masa remaja ini dibagi menjadi 3 yaitu: remaja awal (early adolescence) usia 12 sampai 14 tahun, remaja madya (middle adolescence) usia 15 – 18 tahun, remaja akhir (late adolescence) usia 19 – 21 tahun (Sarwono, 2002).

Dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 17 tahun. Usia ini menunjukkan bahwa responden berada pada masa remaja madya (middle adolescence) usia 15 – 18 tahun.

Masa ini merupakan masa perkembangan sikap yang tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat – minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai – nilai estetika dan isu – isu moral.

Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden (58,8%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan hampir setengahnya berjenis kelamin laki-laki (41,2%).

Sejak di dalam kandungan hingga lahir, seorang individu tumbuh menjadi anak, remaja atau dewasa.

Hal ini berarti terjadi proses perubahan pada diri setiap individu. Aspek – aspek perubahan yang dialami oleh setiap individu meliputi fisik, kognitif maupun psikososialnya. Keadaan fisik pada masa remaja dipandang sebagai suatu hal yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kurang percaya diri. Begitu juga, perkembangan fisik yang tidak proposional.

Bila semuanya berjalan secara harmonis, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritik yang berarti bahwa bila periode- periode itu tidak dapat dilalui dengan harmonis, maka akan timbul gejala-gejala yang menunjukkan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri, kepribadian yang terganggu, bahkan menjadi gagal sama sekali dalam tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang di lingkungannya.

Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa hampir seluruhnya (76,5 %) responden mendapatkan pola asuh yang demokratis, dan sebagian kecil (9,2 %) responden mendapatkan pola asuh yang Otoriter.

Pola asuh / Parenting Style adalah model pola asuh atau sikap perlakuan yang dimiliki dan diterapkan orang tua dalam pengasuhan terhadap anak sejak usia kandungan hingga dewasa (Syamsu yusuf, 2002).

Orang tua (parents) adalah ayah, ibu / perusahaan induk (John M.Echols, 1996). Orang tua terdiri dari ayah dan ibu dalam sebuah keluarga dimana masing -

masing mempunyai peranan dan pengaruh sendiri – sendiri dalam keluarga dan tumbuh kembang anaknya.

Keluarga merupakan dunia keakraban seorang anak. Sebab dalam keluargalah dia pertama – tama mengalami hubungan dengan manusia dan memperoleh representasi dari sekelilingnya.

Pengalaman hubungan dengan keluarga semakin diperkuat dalam proses pertumbuhan sehingga melalui pengalaman makin mengakrabkan seorang anak dengan lingkungan keluarga. Keluarga menjadi dunia dalam batin anak dan keluarga bukan menjadi suatu realitas di luar seorang anak akan tetapi menjadi bagian kehidupan pribadinya sendiri. Anak akan menemukan arti dan fungsinya.

Penilaian terhadap pola asuh orang tua berdasarkan gaya perlakuan orang tua dan kontribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual anak. Ditemukan 3 gaya perlakuan orang tua, yaitu Authoritarian (otoriter), Permissive (bebas), Authoritative (demokratis) (Diana Baumrid, 2002). Rentang respon tersebut bila dihubungkan dengan dampak “Parenting Style” terhadap perilaku remaja yaitu (1) remaja yang orang tuanya bersikap

“Authoritarian”, cenderung bersikap bermusuhan dan memberotak; (2) remaja yang orang tuanya

“Permissive”, cenderung berperilaku bebas, tidak terkontrol; (3) remaja yang orang tuanya Authoritative”, cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan atau perilaku nakal (Syamsu, yusuf, 2002).

Berdasarkan tabel 4 didapatkan bahwa hampir seluruhnya (81,52 %) responden memiliki konsep diri yang tinggi, sebagian kecil (9,24%) responden memiliki konsep diri yang rendah dan konsep diri yang sedang.

Konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart and Sundeen, 1998). Konsep diri dapat dicetuskan oleh faktor psikologis, sosiologis atau fisiologis, namun yang lebih penting adalah persepsi individu terhadap ancaman (keliat, 1990).

Konsep Diri meliputi 5 komponen yaitu gambaran diri, harga diri, peran atau tugas yang diemban dan identitas pribadi (Stuart and Sundeen, 1998).

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang ada 2 faktor yaitu faktor eksternal meliputi pola asuh orang tua, lingkungan, faktor sosial budaya dan teman sebaya.

Sedangkan faktor internal meliputi fisik, psikologis dan sosial.

Menurut Reasoner (2004), sebanyak 12%

individu menunjukkan adanya penurunan self – estem setelah memasuki sekolah menengah pertama, dan 13% memiliki self – estem yang rendah pada sekolah menengah ke atas. Remaja wanita dikatakan mengalami kenaikan self – estem pada usia antara 18 hingga 23 tahun melalui aspek – aspek moral dan hubungan pertemanan. Pada remaja, perubahan self – estem terjadi pada 3 dimensi, yakni dalam hubungan personal, ketertarikan dengan lawan jenis, serta kompetensi dalam pekerjaan. Permasalahan yang sering dialami dalam masa remaja adalah rasa tidak percaya diri karena tubuhnya dinilai kurang / tidak

(5)

ideal lagi, baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri.

Pada tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruhnya (76,5%) responden mendapat pola asuh Demokratis dan hampir seluruhnya (81,52%) memiliki konsep diri yang tinggi.

Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square didapatkan nilai

χ

2 hitung = 19,152 sedangkan

χ

2

tabel diketahui 9,488. Hal ini menunjukkan χ2

hitung >

χ

2 tabel (19,152 > 9,488) sehingga Hı ditolak artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan konsep diri pada remaja usia 15 – 18 tahun.

Di sini akan dijelaskan bahwa pola asuh orang tua dengan tipe demokratis cenderung didapatkan pada remaja yang memiliki konsep diri yang tinggi, sedangkan pada remaja yang mendapat pola asuh otoriter memiliki konsep diri yang rendah. Hal ini ditunjang dari data sebagian besar (76,5%) remaja mendapat pola asuh demokratis dan (9,2 %) mendapat pola asuh Otoriter. Pola asuh demokratis cenderung memiliki sikap – sikap seperti perhatian besar, dan kasih sayang pada anak dan orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan serta kemampuan anak sehingga remaja merasa tegas dalam menentukan sikap yang menunjang adanya konsep diri. Sedangkan pada pola asuh yang otoriter cenderung membuat remaja memiliki konsep diri yang rendah. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sikap atau perilaku orang tua yang kurang dalam memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak, suka menghukum secara fisik dan bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi) sehingga mempengaruhi anak dalam menentukan sikap.

Pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang diaktualisasikan terhadap penataan lingkungan fisik, lingkungan sosial internal dan eksternal, pendidikan internal dan eksternal, dialog dengan anak – anak, kontrol terhadap perilaku anak – anak, menentukan nilai – nilai moral sebagai dasar perilaku yang diupayakan terhadap anak – anak (Moh.Shochib, 1997).

Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan atau herediter. Konsep diri merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap dan respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya (Syamsu Yusuf, 2002). Dengan demikian pola asuh orang tua mampu menerangkan atau memberi gambaran tentang konsep diri pada remaja dalam bentuk yang sesuai.

Di SMA PGRI I Tuban didapatkan data konsep diri pada remaja sebagian besar memiliki konsep diri yang tinggi, hal ini dipengaruhi bahwa mereka mendapatkan pola asuh yang demokratis yaitu perlakuan/ penerimaan orang tua melalui kasih sayang, perhatian besar, dan orang tua yang menerima,

memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan meperhitungkan minat anak. Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila diterapkan pola asuh yang demokratis di dalam keluarga sejak dini maka remaja akan memiliki konsep diri yang tinggi sehingga remaja dapat bersosialisasi dengan baik.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil yang diperoleh selama penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Didapatkan bahwa di SMA PGRI I Tuban hampir seluruhnya ( 76,5 % ) berusia 17 tahun, dan sebagian kecil ( 1,7 % ) berusia 15 tahun

2. Didapatkan bahwa di SMA PGRI I Tuban bahwa sebagian besar responden (58,8%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan hampir setengahnya berjenis kelamin laki-laki (41,2%).

3. Didapatkan bahwa di SMA PGRI I Tuban gaya pola asuh orang tua yang banyak diterapkan pada 91 remaja (76,5%) pola asuh demokratis, sedangkan pada 17 remaja (14,3%) pola asuh permissive dan pada 11 remaja (9,2%) pola asuh otoriter.

4. Didapatkan bahwa di SMA PGRI I Tuban konsep diri pada remaja sebesar 97 remaja (81,52%) memiliki konsep diri tinggi, sedangkan 11 remaja (9,24%) memiliki konsep diri sedang dan sebesar 11 remaja (9,24%) memiliki konsep diri yang rendah.

5. Didapatkan adanya hubungan pola asuh orang tua dan konsep diri pada remaja usia 15 – 18 tahun di SMA PGRI I Tuban.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian pendekakatan praktek. Jakarta : Rineka Cipta

Azwar, S. (2002). Penyusunan Skala Psikologi Cetakan ketiga.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin, 2007, sikap dan teori dan pengukurannya.

Yogyakarta : Pustaka pelajar.

Bobak. (1995). Keperawatan Meternitas edisi keempat. Jakarta : ECG.

Dariyo, Agoes, 2004, Psikologi perkembangan remaja. Bogor Selatan : Ghalia Indonesia

Haditono, S. (1998). Psikologi Perkembangan ( Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya ) edisi ketiga. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Hurlock B, 1980 , Psikologi perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang hidup ) Edisi kelima .Surabaya : Erlangga

Keliat BA 1992, Gangguan konsep diri cetakan pertama , Jakarta : EGC

Machfoedz; Suherni; Sujiatini; Suryani; Zein. (2005). Teknik Membuat Alat Ukur

Penelitian ( Bidang Kesehatan, Keperawatan, dan Kebidanan ). Yogyakarta : Fitramaya.

Mahmudah. (1997). Remaja. 06 Okober 2008.http//

www.indoskipsi.com

Notoatmodjo, Soekidjo, 1987. metodologi penelitian kesehatan.

Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam, 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta : Salemba Jakarta

Nursalam, 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu penerapan. Jakarta : Salemba Jakarta

Sugiyono. (2008). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Wirawan Sarwono, Sarlito, 2007, Psikologi Remaja.

Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

(6)
(7)

.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem/aturan kerja buruh bongkar muat di Pelabuhan Sintete Kabupaten Sambas ini adapun sistem/aturannya itu ialah yang terdiri dari atas 7 kelompok kerja yaitu

Klenteng adalah tempat ibadah umat Tri Dharma di Indonesia. Hok Tek Bio Salatiga yang merupakan klenteng terbesar di Salatiga, selama ini hanya mempunyai katalog sebagai

Berdasarkan 17 (tujuh belas) data kasus yang digunakan untuk pengujian, sistem menghasilkan 5 (lima) data kasus yang memiliki urutan nilai akhir terbesar

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diharapkan bagi pelayan kesehatan untuk menjalin kerja sama dengan orang tua balita menyangkut masalah perkembangan

Hasil pengujian tersebut mengindikasikan bahwa dalam waktu yang lebih panjang (sebelum sampai dengan sesudah stock split ), ekspektasi pasar terhadap return

ABSTRAK: Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui penggunaan media power point. Objek penelitian adalah siswa kelas IV

Ada beberapa hal positif yang dapat dilihat dari penggunaan gadget yaitu: mempermudah menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, memberikan berbagai macam informasi diseluruh

Kinerja membran perovskit LSCF 7382 akan menjadi lebih baik jika membran disintesis pada suhu dan waktu sintering tertinggi sehingga membran memiliki kepadatan relatif tinggi, fusi