• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA MACHIAVELLIANISM DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU ANTI-KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA MACHIAVELLIANISM DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU ANTI-KORUPSI"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

SKRIPSI

Rani Soraya NIM: 201210230311174

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rani Soraya

NIM : 20121023031174

Fakultas / Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi / karya ilmiah yang berjudul:

Hubungan antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 31 Januari 2016 Mengetahui,

Ketua Program Studi Yang menyatakan

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi”, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan terutama kepada:

1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang dan pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan kesabaran untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang dan dosen wali yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan arahan sejak awal perkuliahan hinggan selesainya skripsi ini.

3. Adhyatman Prabowo, M.Psi selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan kesabaran untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Kepada seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

5. Kepada keluargaku, Ayah Anhar, Ibu Adjizah, dan adikku Irsyad, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, do’a, dan kasih sayang serta kebahagiaan dalam hidup sehingga dapat menambah motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. Totok Waluyanto, M.Si selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Buduran, Sidoarjo, beserta staf yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

(4)

iv

8. Teman-teman tercinta “ebes” dan teman-teman alumni SMAN 3 Sidoarjo khususnya Heni yang selalu mendukung dan menjadi penyemangat, serta tempat curhat sehingga penulis dapat menyelesaikan segala proses perkuliahan dan skripsi ini.

9. Kepala seluruh Pejabat Struktural SD dan SMP yang telah menjadi subjek penelitian, terima kasih atas bantuan dan partisipasinya.

10.Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 31 Januari 2016 Penulis

(5)

v

DAFTAR ISI

Surat Pernyataan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Lampiran ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi ... 5

Machiavellianism ... 8

Hubungan Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi ... 9

Hipotesis ... 10

METODE PENELITIAN ... 10

Rancangan Penelitian ... 10

Subjek Penelitian ... 10

Variabel dan Instrumen ... 10

Prosedur dan Analisa Data ... 12

HASIL PENELITIAN ... 13

DISKUSI ... 14

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 17

REFERENSI ... 18

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Skala Machiavellianism ... 11

Tabel 2. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi ... 12

Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian ... 13

Tabel 4. Perhitungan T-Skor Skala Machiavellianism ... 13

(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Blueprint Skala ... 22

Lampiran II Hasil Uji Coba Skala ... 25

Lampiran III Skala Penelitian... 36

Lampiran IV Tabulasi Data Penelitian ... 42

Lampiran V Hasil Uji Korelasi Pearson ... 55

(8)

1

HUBUNGAN ANTARA

MACHIAVELLIANISM

DENGAN

KECENDERUNGAN PERILAKU ANTI-KORUPSI

Rani Soraya

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang ranivikipyon@gmail.com

Korupsi merupakan permasalahan yang banyak terjadi, termasuk pada pejabat publik di Dinas Pendidikan maupun pejabat struktural di sekolah. Pejabat struktural memegang wewenang dan tanggung jawab terkait pengelolaan sekolah sehingga cenderung memiliki kesempatan melakukan korupsi. Salah satu faktor penyebab korupsi adalah kepribadian, seperti machiavellianism. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif korelasional. Subjek penelitian ini adalah pejabat struktural sejumlah 50 orang dan pengambilan sampel menggunakan teknik cluster sampling. Instrumen yang digunakan adalah skala machiavellianisme dan skala kecenderungan perilaku anti-korupsi. Uji analisa menggunakan korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi, dengan r = - 0,343 dan p = 0,015. Sumbangan efektif machiavellianism sebesar 11,8%, dan sisanya adalah faktor lain. Jadi, semakin tinggi machiavellianism seseorang, semakin rendah kecenderungan perilaku anti-korupsinya, dan sebaliknya.

Kata Kunci: Korupsi, machiavellianism, kecenderungan perilaku anti-korupsi, pejabat struktural

Corruption is a common problem that often happens, even to public officials at the Department of Education and structural official at school. Structural officials who have the authority and responsibility to the school management can lead to corruption practice. One of the causes is personality, such as machiavellianism. This study was aimed at investigating the correlation of machiavellianism with the tendency of anti-corruption behavior. This correlational research employed 50 structural officials as participants through cluster sampling technique. The data were obtained by using machiavellianism and tendency of anti-corruption behavior scale, which then analyzed by using Pearson correlation. The result showed that there was a negative correlation between machiavellianism and tendency of anti-corruption behavior, with r = - 0.343 and p = 0.015. The effective contribution of machiavellianism was 11.8%, and the rest was the others. So, the higher someone’s machiavellianism was, the lower their tendency to anti-corruption behavior, and vice versa.

(9)

2

Di Indonesia, masalah korupsi tidak lagi dipandang sebagai masalah sosial kecil yang bisa diremehkan banyak orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa, korupsi merupakan masalah sangat besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Korupsi seperti halnya budaya yang telah berkembang tidak hanya pada kelompok elit tertentu tapi juga masyarakat pada umumnya. Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebagaimana dilansir oleh Transparansi Internasional tahun 2003 adalah 1.9, 2004 adalah 2.0, 2005 adalah 2.3, dan 2006 adalah 2.4 (Santiago, 2014). Tahun 2010, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat korupsi paling tinggi di Asia Pasifik, IPK Indonesia tahun 2011 adalah 3.0 peringkat 100 dari 183 negara di dunia (Montessori, 2012)

Saat ini, perilaku anti-korupsi sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa yang lebih baik. Perilaku anti-korupsi menunjukkan bahwa seseorang akan menghindari tindakan-tindakan yang bisa mengarah pada perilaku korupsi. Salah satu upaya yang telah dilakukan sebagai wujud sikap anti-korupsi adalah dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2002. Puluhan kasus korupsi telah berhasil terungkap oleh KPK. Di lain pihak, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman menyatakan bahwa Polri tahun 2013 telah menangani 1363 kasus, naik 187 kasus dari tahun 2012 (Santiago, 2014). Fiardini (2015), menambahakan baru-baru ini didirikan Gerakan Anti Korupsi (GAK) yang dideklarasikan alumni beberapa universitas di Indonesia di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, pada 29 September 2015 lalu. GAK merupakan organisasi yang hadir bersama masyarakat guna mendukung dan mengawal Trisula penanggulangan korupsi oleh Polri, Kejaksaan, dan KPK.

Namun demikian, menurut Mauro (dalam Mashal, 2011), memerangi korupsi bukanlah hal yang mudah. Pendapat demikian mengacu pada strategi “saling melengkapi”, dimana jika salah satu agen melakukan sesuatu maka akan menjadi lebih menguntungkan bagi agen lain untuk melakukan hal yang sama. Montessori (2012), mengatakan salah satu cara untuk memerangi korupsi adalah dengan menerapkan pendidikan anti-korupsi secara formal di sekolah, yang memiliki beberapa keunggulan seperti anggaran yang diperlukan rendah, kontinuitas, dan sistematisasi program. Namun, pelaksanaannya belum memenuhi hasil yang diharapkan, terutama dalam mengembangkan sikap dan karakter anti-korupsi siswa. Dapat dikatakan bahwa sekolah menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan dalam upaya anti-korupsi bagi masyarakat sejak dini. Dalam pelaksanaannya, tentu anak didik di sekolah memerlukan role model yang dapat dicontoh sehingga hal ini dapat terlaksana dengan baik.

(10)

3

manipulasi jumlah siswa penerima BOS lewat entri data yang dilakukan oleh pihak sekolah, pengalokasian dana BOS yang tidak sesuai dengan 13 item pembelanjaan dalam Petunjuk Teknis, serta laporan tahunan yang terjadi seringkali terlambat, bahkan terjadi manipulasi laporan. Sektor pendidikan menjadi salah satu fokus KPK dalam pemberantasan korupsi, tidak semata-mata melihat dari sisi penindakan, namun juga pencegahan. KPK juga melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) penindakan dengan kejaksaan dan kepolisian yang terkait dengan korupsi di bidang pendidikan.

Contoh kasus korupsi yang terjadi terutama di dunia pendidikan seperti yang diberitakan Sudiono (2015), dimana kasus kredit fiktif dengan jaminan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp 12 miliar yang berhasil ditarik dari Bank Perkreditan Rakyat Delta Artha Sidoarjo (BPR DAS) melibatkan Bendahara Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPTD Dindik) Kecamatan Tanggulangin selaku tersangka utama, Atik Munziati berstatus Guru Taman Kanak-kanak (TK), Yunita selaku pekerja swasta, dan Munawaroh selaku Kepala Sekolah SDN Ganggangpanjang, Tanggulangin. Kasus lain terkait tindak pidana korupsi seperti yang diberitakan Zein (2013) juga melibatkan kepala sekolah salah satu SMA Negeri bekas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Sidoarjo. Pungutan biaya sekolah yang besar dengan tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi serta tindakan kepala sekolah yang tidak tranparan dalam mengelola anggaran membuat kepala sekolah ini terindikasi korupsi dana BOS.

Korupsi merupakan perilaku yang tidak jujur atau ilegal dan termasuk salah satu contoh dari unethical behavior. Beberapa perilaku tidak etis di tempat kerja seperti korupsi, penipuan penjualan atau penggunaan teknik memanipulasi klien (Zińczuk, Cichorzewska & Walczewski, 2013). Perilaku tidak etis seperti ini bisa dipengaruhi dari perilaku curang di masa lalu. Contohnya, hasil survei Josephson Institute (dalam Stone, Kisamore, Kluemper, & Jawahar, 2012), menunjukkan orang-orang yang mengaku menyontek ujian di sekolah tinggi lebih cenderung berbohong kepada pelanggan, klien, bos mereka, dan lain-lain serta terlibat perilaku tidak etis lainnya seperti menggembungkan klaim biaya untuk penggantian. Lebih lanjut, Stone, Jawahar dan Kisamore (dalam Stone et al., 2012) menemukan kecurangan dan/atau menjiplak di sekolah dikaitkan dengan sabotase dan pencurian di tempat kerja. Hal ini membuktikan bahwa melakukan kecurangan kecil seperti menyontek di masa sekolah juga berkaitan dengan tindakan korupsi dan akan berdampak pada kehidupan mereka bahkan setelah bekerja. Tempat kerja seperti telah menjadi lahan bagi banyak oknum untuk melakukan tindakan korupsi. Banyak ditemukannya kesempatan, serta contoh orang yang telah melakukan korupsi menjadi dorongan tersendiri bagi pelaku korupsi di tempat kerja.

(11)

4

lingkungan dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak melakukan korupsi, sehingga kesejahteraan psikologis anak tidak dapat tercapai.

Mauro (dalam Mashal, 2011) menjelaskan bahwa korupsi tersebar luas di negara-negara berkembang, bukan karena orang-orang mereka berbeda dari orang-orang di tempat lain, tetapi karena kondisi yang memungkinkan untuk itu, seperti: (1) Motivasi untuk memperoleh pendapatan sangat kuat karena kemiskinan, gaji/upah yang rendah, dan adanya risiko yang tinggi dari berbagai hal (penyakit, kecelakaan dan pengangguran, kurangnya asuransi), (2) Peluang untuk terlibat dalam korupsi banyak, peraturan yang lebih mengarah ke peluang yang lebih tinggi untuk korupsi, (3) Lemah legislatif dan yudikatif sistem, (4) Hukum dan prinsip-prinsip etika yang kurang berkembang, (5) Penduduk bergantung terhadap sumber daya alam yang besar, serta (6) Ketidakstabilan politik dan kemauan politik yang lemah.

Menurut Stachowitsh (dalam Dayakisni, 2015) ada 3 aspek utama penyebab korupsi berdasarkan beberapa studi empiris, yaitu aspek psikologis atau individual (faktor kepribadian dan moral), aspek lingkungan (tekanan kelompok atau peer-group), dan aspek iklim organisasi. Telah diketahui sebelumnya bahwa ada hubungan signifikan antara kepribadian, niat untuk berbuat tidak etis, dan sikap terhadap korupsi, dimana kepribadian merupakan prediktor paling potensial terhadap kecenderungan perilaku korupsi. Kepribadian sangat berpengaruh pada pemaknaan individu mengenai nilai, membentukan ide/gagasan, serta motivasi untuk melakukan suatu tindakan. Hasil studi Adejumo (2010), membuktikan bahwa kepribadian, niat berbuat curang, dan motif berprestasi, serta ketakutan akan kejahatan menjadi prediktor sikap terhadap korupsi. Dayakisni (2015), pada aspek psikologis yang dikaitkan dengan perilaku tidak etis, faktor kepribadian seperti the big five, motif sosial, locus of control, integritas, atau disengagement moral lebih banyak menjadi fokus perhatian sebagai penyebab korupsi. Masih sedikit dan jarang ada studi empiris yang mengaitkan antara unethical behavior seperti korupsi dengan sisi gelap kepribadian (dark side personality) seperti machiavellianism, narcissism, dan psychopathy.

Machiavellianism adalah kepribadian dengan kecenderungan manipulatif yang sangat berorientasi pada tujuan. Seseorang dengan machiavellianism akan menggunakan berbagai cara bahkan walaupun tidak etis demi mendapatkan tujuan, yang nantinya akan terkait kecenderungan melakukan perilaku-perilaku tidak etis dan munculnya perilaku kerja yang buruk. Kepribadian ini dapat mempengaruhi kecenderungan perilaku korupsi yang juga mengarah pada perilaku tidak etis. Korupsi adalah perilaku yang tidak etis dan ilegal karena merusak dan bertujuan memperkaya diri demi kepentingan pribadi, seperti terkait suap, penggelapan, menyalahgunaan jabatan, dan sebagainya, yang tentunya akan menimbulkan kerugian pada lingkup kerja di sekitarnya.

(12)

5

sehingga mereka akan cenderung menggunakan cara-cara tidak etis saat berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan memanipulasi demi memperoleh keuntungan.

Hasil serupa terlihat dari penelitian penggunaan skala Machiavellian Personality Scale (MPS) yang baru. Dari studi yang telah dilakukan, machiavellianism berkorelasi negatif dengan outcomes seperti kepuasan kerja dan kinerja tugas, serta berkorelasi positif dengan perilaku kerja yang tidak produktif. Machiavellianism dikonseptualisasikan sebagai kecenderungan seseorang untuk tidak mempercayai orang lain, terlibat dalam manipulasi amoral, mencari kontrol atas orang lain, dan mencari status untuk diri sendiri. Dengan kata lain, machiavellianism terkait dengan kecenderungan munculnya perilaku tidak etis (Dahling, Whitaker, & Levy, 2009). Adanya kecenderungan berperilaku amoral, tidak mengherankan pekerja tipe mach bertindak tidak etis dan kontraproduktif di tempat kerja, mereka akan mudah terlibat penyimpangan interpersonal dan pengambila keputusan tidak etis yang tercermin dalam hal seperti mencuri, berbohong, sabotase, dan kecurangan lainnya (Dahling, Kuyumcu, & Librizzi, 2015).

Studi lainnya, Weber & Getz (dalam Zińczuk et al., 2013) menyebutkan bahwa korupsi menunjukkan pemanfaatan kekuasaan untuk keuntungan keuangan pribadi, yang meliputi penggelapan, penyalahgunaan uang publik, eksploitasi informasi sensitif. Hal demikian juga disampaikan Budgol (dalam Zińczuk et al., 2013), korupsi dapat mengambil karakter intra-organisasi, dimana seseorang akan memanifestasikan dirinya melanggar aturan, standar sosial dan peraturan hukum. Korupsi membuat seseorang melakukan tindakan-tindakan tidak etis demi mendapatkan keuntungan pribadi. Korupsi adalah salah satu perilaku tidak etis yang terjadi di tempat kerja.

Dengan berdasarkan fenomena yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan masalah sosial yang sangat berbahaya sehingga perilaku anti-korupsi menjadi satu kebutuhan yang sangat diperlukan bagi masyarakat terutama di dunia pendidikan yang merupakan salah satu wadah bagi masyarakat untuk mengembangkan sikap dan perilaku anti-korupsi. Penelitian ini akan difokuskan pada pejabat struktural SD, SMP, dan SMK di salah satu kecamatan di Sidoarjo sebagai subjeknya. Hal ini dikarenakan bahwa pejabat struktural memegang wewenang dan tanggung jawab untuk segala hal terkait pengelolaan sekolah dan cenderung memiliki kesempatan yang tinggi untuk melakukan tindakan tidak etis demi mendapatkan keuntungan pribadinya.

Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi? Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi. Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan sebagai literatur baru dalam bidang ilmu Psikologi Sosial terkait tema perilaku anti-korupsi, khususnya hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi. Manfaat untuk instansi adalah dapat memberikan masukan pada instansi terkait mengenai keterkaitan machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rekrutmen pejabat struktural.

Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

(13)

6

bahwa intensi adalah suatu kemungkinan individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Fishbein dan Ajzen (dalam Wahyuni, 2015), intensi adalah representasi kognitif kesiapan seseorang untuk menerapkan perilaku tertentu dan dipandang sebagai yang paling dekat dengan perilaku. Dengan demikian intensi dapat pula dikatakan sebagai kecenderungan. Anti-korupsi adalah perilaku seseorang untuk menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada perilaku korupsi. Transparency International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku dari pejabat publik yang secara tidak wajar atau illegal dan tujuan memperkaya diri sendiri dan orang-orang dekatnya dengan cara melakukan penyalahgunaan kekuasaan publik yang telah dipercayakan kepada mereka. Sedangkan berdasarkan kamus hukum, korupsi berarti merusak, seperti menerima suap, menggelapkan uang atau barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan publik untuk keuntungan pribadi, penyalahgunaan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai seorang yang bekerja untuk kepentingan pribadi maupun orang lain (Wahyuni, 2015). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan mengenai kecenderungan perilaku anti korupsi yaitu kemungkinan seseorang untuk berperilaku menghindari tindakan-tindakan negatif yang dilakukan dengan tujuan memperkaya diri dan orang-orang di sekitar dengan cara yang tidak wajar demi kepentingan pribadi maupun orang lain.

Salama (2014), korupsi seringkali dilihat sebagai sesuatu yang terkait dengan faktor ekonomi, hukum, politik, dan kekuasaan, dan sangat jarang dikaitkan dengan segi lain yaitu dimensi yang melekat pada manusia, khususnya dimensi perilaku. Korupsi merupakan perilaku yang menyimpang dari norma dalam masyarakat dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi yang dilakukan pegawai publik. Berkaitan dengan definisi di atas, korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi, dan politik saja tapi juga menyangkut aspek perilaku manusia yang menjadi bahasan utama dari ilmu psikologi.

The Independent Commission Against Corruption Act 1988 menjelaskan bahwa perilaku korupsi terjadi ketika: (1) seorang pejabat publik tidak benar menggunakan, atau mencoba untuk menggunakan secara tidak benar, pengetahuan, kekuasaan atau sumber dari posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau keuntungan dari orang lain, (2) seorang pejabat publik secara tidak jujur melaksanakan fungsi resmi, tidak benar melaksanakan fungsi resmi secara parsial, melanggar kepercayaan publik atau menyalahgunakan informasi atau materi yang diperoleh selama pelaksanaan fungsi resminya, dan (3) anggota dari publik mempengaruhi, atau mencoba untuk mempengaruhi, pejabat publik untuk menggunakan posisi nya dengan cara yang tidak jujur, bias atau pelanggaran kepercayaan publik. Selain itu, Salama (2014) menambahkan bahwa korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-sumber dana, dan memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi.

(14)

(anti-7

gratification), anti-penipuan (anti-fraud), anti-menggembungkan (anti-mark up), anti-pemerasan (anti-black mail), dan anti-nepotism (anti-nepotism).

Menurut Alatas (1986), bentuk-bentuk korupsi mencakup tiga hal, yaitu: (1) penyuapan (bribery), bentuk korupsi dimana seseorang menerima pemberian dari orang lain dengan maksud untuk mempengaruhi penerima pemberian demi memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan pemberi, (2) pemerasan (extortion), bentuk korupsi dimana ada permintaan pemberian-pemberian atau hadiah termasuk penggunaan ancaman kekerasan ataupun memunculkan informasi-informasi yang beresiko dapat menghancurkan demi mempengaruhi orang lain agar bisa diajak bekerja sama, dan (3) nepotisme, tindakan memilih keluarga, teman-teman, ataupun orang-orang tertentu dengan berdasarkan pertimbangan adanya hubungan satu sama lain, bukan karena kemampuan ataupun hasil kerja yang dimiliki seseorang dan dengan tidak mempertimbangkan konsekuensinya apa kesejahteraan publik.

Garner (2009) dalam Black’s Law Dictionary memberikan definisi mengenai beberapa bentuk korupsi yang telah disebutkan di atas, sebagai berikut: (1) bribe: harga, imbalan, hadiah atas permohonan yang diberikan sesuai yang telah dijanjikan dengan maksud untuk memutarbalikkan penilaian atau mempengaruhi tindakan seseorang dalam hal kepercayaan. (2) gratification: sebuah kesukarelaan memberikan imbalan atau balasan untuk layanan atau manfaat yang telah didapatkan; gratifikasi. (3) fraud: sebuah kekeliruan dalam mengetahui kebenaran atau penyembunyian fakta material untuk mendorong orang lain bertindak yang justru merugikan dirinya sendiri. Penipuan biasanya perbuatan melawan hukum, namun dalam beberapa kasus (terutama ketika perilaku dengan sengaja melakukan) mungkin kejahatan. (4) mark up: jumlah yang ditambahkan ke biaya barang untuk menentukan harga jual, meningkatkan harga barang, merevisi atau mengubah (tagihan legislatif, aturan, dan lain-lain) dan dituliskan ke dalam laporan akhir sebelum laporan tersebut dilaporkan. (5) black mail: Sebuah permintaan yang mengancam dibuat tanpa justifikasi; pemerasan. Tindakan atau praktek memperoleh sesuatu dengan cara ilegal, seperti dengan kekerasan atau paksaan. (6) nepotism: Pemberian bantuan resmi pada seorang kerabat terutama dalam perekrutan.

Djaja (2010) berdasarkan UURI No. 31 Tahun 1999 juncto UURI No. 20 Tahun 2001, juga menambahkan beberapa definisi istilah bentuk korupsi terkait, sebagai berikut: (1) suap: sejumlah uang atau benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan yang ada atau kedudukan untuk memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi menggunakan uang atau aset orang yang melakukan penyuapan. Penyuapan selalu melibatkan pihak yang melakukan suap dan pihak yang menerima suap, (2) pemerasan: pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara meminta bahkan cenderung melakukan pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan atau bantuan pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara tersebut, dan (3) gratifikasi: pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara tidak tahu menahu kalau akan diberi sejumlah uang atau benda berharga, tidak ada deal atau kesepatakan besar nilai uang atau benda, mengenai dimana, dengan siapa, dan kapan penyerahannya di antara kedua belah pihak, tetapi secara sepihak dan tanpa diduga pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara tersebut menerima pemberian atau gratifikasi.

(15)

8

1. Anti-Bribe: perilaku menghindari pemberian dan penerimaan uang atau benda tertentu yang memiliki maksud mempengaruhi tindakan penerima demi kepentingan pemberi yang bertentangan dengan hukum dan wewenang penerima

2. Anti-Gratification: perilaku menghindari penerimaan imbalan atau balasan atas layanan atau keuntungan yang telah didapat pemberi, yang sebelumnya bahkan tidak ada kesepakatan awal di antara kedua belah pihak.

3. Anti-Fraud: perilaku menghindari penyembunyian atau pemutarbalikan fakta, juga termasuk perilaku yang justru mendorong orang lain melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri

4. Anti-Mark up: perilaku menghindari penambahan (menggelembungkan) biaya item, pengubahan tagihan, aturan dan lain-lain dalam menentukan harga jual yang nantinya dituliskan ke dalam laporan akhir sebelum akhirnya laporan tersebut dilaporkan. 5. Anti-Black mail: perilaku menghindari pemerasan dan ancaman, atau tindakan ilegal

lain yang serupa seperti penggunaan kekerasan, paksaan, ataupun memunculkan informasi-informasi beresiko yang dapat menghancurkan demi mendapatkan suatu kesepakatan dengan seseorang.

6. Anti-Nepotism: perilaku menghindari tindakan memilih keluarga, teman, atau kerabat lainnya dengan tidak mempertimbangkan kemampuan atau hasil kerja melainkan hanya berdasar hubungan pribadi, terutama dalam perekrutan.

Abidin & Siswadi (2014), menjelaskan mengenai adanya faktor-faktor psikologis (internal) perilaku korupsi, seperti: (1) kepribadian, faktor kepribadian yang diungkap berupa the big five personality (openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism); (2) motivasi, teori motivasi yang digunakan adalah teori motivasi McClelland (need for achievement, need for power, dan need for affiliation); dan (3) locus of control, Laveson membagi konsep locus of control menjadi tiga (internality, powersful others, dan chance), selain perilaku korupsi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal seperti birokrasi, penegakan hukum, sistem politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.

Dari studi yang dilakukan Abidin & Siswadi didapati hasil bahwa faktor-faktor psikologis di atas juga terkait dengan perilaku korupsi. Chance, power motive, dan complience (indikator agreeableness) yang tinggi memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan korupsi. Seorang yang locus of control-nya masuk dalam kategori chance, cenderung berperilaku berdasarkan persepsinya tentang ada tidaknya peluang atau kesempatan yang bersifat eksternal. Jika kesempatan atau peluang untuk melakukan korupsi di tempat kerjanya terbuka lebar maka besar kemungkinan dia akan melakukan korupsi. Apalagi jika didukung power motive dan complience yang juga tinggi (dengan lingkungan sekitar yang mungkin juga korup).

Machiavellianism

Christie dan Geis (dalam Gunnthorsdottir, McCabe, & Smith, 2002) menjelaskan konsep machiavellianism adalah kepribadian seseorang yang berdasarkan pada risalah Machiavelli “The Prince” dan “Discourses on the First Decade of Titus Livius”, dimana machiavelliansim merupakan kepribadian dengan kecenderungan manipulatif dan adanya keyakinan bahwa hasil akhir membuat seseorang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

(16)

9

taktik persuasi dan menjilat dalam mencapai tujuan mereka. Niat untuk berperilaku tidak etis juga ditemukan dari tipe mach. Mereka menjadi cenderung lebih toleran terhadap perilaku yang tidak etis tersebut. Dibandingkan dengan tipe mach rendah, tipe mach tinggi memiliki motif intrinsik dan prioritas lebih pada hal seperti sex, uang, bisnis, kekuasaan, persaingan, serta minat sosial yang rendah. Dalam memilih pekerjaan mereka cenderung lebih memilih pekerjaan yang berorientasi bisnis daripada yang berorientasi membantu orang lain (Jones & Paulus, 2009).

Seperti yang dikemukakan Christie (dalam Dahling et al., 2015), mach tinggi cenderung memiliki tiga karakteristik (aspek). Pertama, cynical view of human nature, mereka mengadopsi pandangan sinis dari dunia dan orang lain, mengharapkan bahwa setiap orang diinvestasikan semata-mata kepentingan pribadi sendiri. Kedua, interpersonal tactics, mereka bersedia untuk memanfaatkan taktik manipulatif untuk mempengaruhi orang lain dan mengamankan hasil yang diinginkan. Ketiga, disregard for conventional morality, mereka cukup bersedia keluar dari standar etika ketika perilaku yang tidak etis dinilai memberikan keuntungan yang diperlukan atas orang lain. Demi mencapai hal ini, orang tipe mach memerlukan kebebasan dari pertimbangan-pertimbangan etis.

Corral & Calvete (2000), ada 4 model berbeda terkait struktur faktor machiavellianism pada skala Mach IV: (1) Model 1, machiavellianism sebagai struktur faktor tunggal; (2) Model 2, machiavellianism sebagai struktur 2 faktor (interpersonal tactics dan cynical view of human nature); (3) Model 3, machiavellianism sebagai struktur 3 faktor (interpersonal tactics, cynical view of human nature, dan disregard for conventional morality. Ini adalah model asli struktur faktor machiavellianism; dan (4) Model 4, machiavellianism sebagai struktur 4 faktor (positive interpersonal tactics, negative interpersonal tactics, positive view of human nature, dan cynical view of human nature).

Hubungan Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi Tipe mach adalah seseorang dengan kecenderungan manipulatif yang sangat berorientasi pada tujuan dan memiliki prioritas seperti pada bisnis, uang, kekuasaan, persaingan, serta penghargaan akan berusaha mendapatkan tujuannya dengan berbagai cara walaupun harus menggunakan cara yang tidak etis. Seperti yang diketahui sebelumnya, hasil studi menjelaskan bahwa tipe machs diketahui memiliki kecenderungan memanipulasi dan berperilaku amoral, menggunakan taktik manipulasi pikiran, penipuan, dan menjilat demi mendapatkan tujuan mereka. Mereka juga lebih toleran terhadap perilau tidak etis dan mudah terlibat penyimpangan di tempat kerja, termasuk seperti mencuri, berbohong, sabotase, dan kecurangan lainnya. Hal ini dapat dihubungkan dengan perilaku korupsi yang juga mengarah pada perilaku tidak etis.

(17)

10

Dengan adanya kesamaan antara tipe mach dengan perilaku korupsi yaitu pada penggunaan cara dalam pencapaian tujuan yang secara tidak etis, dan bahwa keduanya sama-sama berorientasi pada tujuan atau kepentingan pribadi maka dapat ditemukan keterkaitan dimana machiavellianism dan perilaku korupsi memiliki arah yang sama dan menjadi berkebalikan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi.

Hipotesis

Ada korelasi negatif antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi, artinya semakin tinggi machiavellianism seseorang maka semakin rendah kecenderungan perilaku anti-korupsinya, dan sebaliknya semakin rendah machiavellianism seseorang maka semakin tinggi kecenderungan perilaku anti-korupsinya.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan kuantitatif korelasional dua variabel, yang bertujuan mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel yaitu machiavellianism dan kecenderungan perilaku anti-korupsi.

Penelitian korelasional adalah penelitian yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yaitu sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain. Derajat hubungan variabel dinyatakan dalam satu indeks yang dinamakan koefisien korelasi. Koefisien korelasi dapat digunakan untuk menguji hipotesis tentang hubungan antarvariabel atau untuk menyatakan besar kecilnya hubungan antara kedua variabel (Noor, 2014)

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pejabat struktural SD, SMP, dan SMK se-wilayah UPTD Kecamatan “X” sejumlah 50 orang, baik laki-laki maupun perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster sampling, pengambilan sampel berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu memilih pejabat struktural di Kecamatan “X”. Dalam penelitian ini teknik cluster sampling digunakan karena populasi cukup luas sehingga sebelumnya telah ditetapkan terlebih dahulu daerah mana yang dijadikan sebagai sampel. Terdapat 21 SD, 9 SMP, dan 6 SMK di Kecamatan “X”. Dari total 36 SD, SMP dan SMK, sebanyak 25 sekolah dijadikan sampel dengan mengambil 2 orang pejabat struktural untuk tiap sekolahnya.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat dua variable yaitu variable bebas dan variable terikat. Variabel bebas dari penelitian ini adalah machiavellianism, sedangkan variabel terikat dari penelitian ini adalah kecenderungan perilaku anti-korupsi.

(18)

11

adanya penggunaan taktik licik serta sering kali tidak etis demi melancarkan pencapaian tujuan di tempat kerja mereka, melakukan tindakan yang berorientasi pada bisnis, mengutamakan uang, kekuasaan, dan persaingan, serta kurang memiliki prioritas terkait hubungan sosial. Skor yang diperoleh subjek penelitian dari skala Mach IV menunjukkan machiavellianism seseorang.

Sedangkan untuk variabel terikatnya, kecenderungan perilaku anti-korupsi merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku menghindari tindakan negatif yang bertujuan memperkaya diri dan orang-orang di sekitar dengan cara yang tidak wajar. Kecenderungan perilaku anti-korupsi ditandai dengan adanya penolakan terhadap suap, penggelapan uang, penggunaan atau pengadaan barang-barang di luar tanggung jawab pribadi, pemerasan, maupun nepotisme dalam pekerjaan. Skor yang diperoleh subjek penelitian dari skala kecenderungan perilaku anti-korupsi menunjukkan seberapa tinggi kecenderungan seseorang berperilaku anti-korupsi.

Instrument yang digunakan untuk mengetahui machiavellianism seseorang adalah skala machiavellianism, yaitu skala adaptasi Mach IV yang disusun Christie dan Jolie (1970), dimana dari 3 aspek skala machiavellianism yaitu interpersonal tactics, cynical view of human nature, dan disregard for conventional morality dikembangkan dalam 4 faktor (positive interpersonal tactics, negative interpersonal tactics, positive view of human nature, dan cynical view of human nature). Skala Mach IV disusun dalam 20 item. 10 item mengindikasikan mach tinggi dan 10 item mengindikasikan mach rendah. Subjek diminta untuk menilai sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan pada 6-point (1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Sedikit Tidak Setuju, 4 = Sedikit Setuju, 5 = Setuju dan 6 = Sangat Setuju). Koefisien alpha versi asli skala ini adalah .70, dengan masing-masing subskala bernilai: .50, .53, .62. dan .40 untuk positive view of human nature, cynical view of human nature, positive interpersonal tactics, dan negative interpersonal tactics. Setelah dilakukan try out dengan menggunakan versi bahasa Indonesia, diketahui koefisien alpha .918 dengan 17 item valid.

Tabel 1. Blueprint Skala Machiavellianism

Aspek skala Favorable Unfavorable Item Valid setelah

Try Out

(19)

anti-12

gratifikasi (anti-gratification), anti-penipuan (anti-fraud), anti-menggembungkan (anti-mark up), anti-pemerasan (anti-black mail), dan anti-nepotisme (anti-nepotism). Subjek diminta untuk menilai sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan pada 4-point (1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Setuju dan 4 = Sangat Setuju). Versi asli skala ini hanya memiliki 1 item untuk masing-masing subskala sehingga skala dikembangkan terlebih dahulu dan diperoleh 30 item yang kemudian setelah diujicobakan didapati 22 item valid dengan koefisien alpha .861.

Tabel 2. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

Aspek skala Favorable Unfavorable Item Valid setelah

Try Out

Prosedur penelitian ini diawali dengan menyusun instrumen penelitian berupa skala likert. Untuk skala machiavellianism, digunakan skala adaptasi machiavellianism versi IV (Mach IV) yang disusun Christie dan Jolie dengan jumlah item 20. Sedangkan untuk skala anti-korupsi, digunakan skala kecenderungan perilaku anti-korupsi yang disusun oleh Wahyuni, Z. A., Adriani, Y., & Nihayah, Z., yang kemudian dikembangkan jumlah item dari masing-masing aspek dalam skala tersebut, jumlah total item skala menjadi 30 item. Setelah itu, dilakukan penyebaran angket untuk try out terhadap 50 orang guru dan staf di sekolah pada tanggal 18 – 23 November 2015. Skala disebar dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas dari instrumen. Pada skala adaptasi machiavellianism versi IV diketahui koefisien alpha .918 dengan 17 item valid. Sedangkan pada skala kecenderungan perilaku anti-korupsi, 22 item valid dengan koefisien alpha .861.

Pada tahap pelaksanaan, skala dengan item valid setelah try out disebar untuk mendapatkan data penelitian pada subjek yang sesuai penelitian. Penelitian dilaksanaan pada tanggal 14 Desember 2015 – 4 Januari 2016 terhadap 50 pejabat struktural SD, SMP, dan SMK se-wilayah UPTD Kecamatan “X”. Skala penelitian diserahkan pada UPTD dan pendistribusian skala kepada masing-masing pejabat struktural dilakukan oleh petugas dari UPTD kecamatan tersebut.

(20)

13

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa hasil yang akan dijelaskan melalui tabel-tabel berikut. Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian dijelaskan pada tabel pertama bab hasil penelitian ini. Subjek yang digunakan sejumlah 50 orang yang merupakan pejabat struktural SD, SMP, dan SMK se-wilayah UPTD Kecamatan “X”. Uraian lebih rinci mengenai subjek penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian

Tabel 3 menunjukkan deskripsi subjek yang digunakan dalam penelitian ini. Diketahui subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 26 orang atau sebesar 52% dan subjek penelitian yang berjenis kelamin perempuan sejumlah 24 orang atau sebesar 48%. Antara subjek yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan jumlahnya tidak terlalu berbeda. Ditinjau dari segi usia, subjek yang berusia 31 – 40 tahun sejumlah 11 orang atau sebesar 22%, usia 41 – 50 tahun sejumlah 12 orang atau sebesar 24%, usia 51 – 60 tahun sejumlah 26 orang atau sebesar 52%, dan usia 61 – 70 tahun sejumlah 1 orang atau sebesar 2%.

Tabel 4. Penghitungan T-Skor Skala Machiavellianism

Kategori Interval Frekuensi Persentase

Tinggi

Rendah T-Skor ≥ 50 T-Skor < 50 25 25 50% 50%

Total 50 100%

Berdasarkan skala yang telah disebar maka diperoleh data bahwa subjek yang memiliki machiavellianism tinggi dan subjek yang memiliki machiavellianism rendah jumlahnya sama. Hal tersebut dapat diketahui melalui hasil yang diperoleh yaitu dari 50 subjek penelitian yang digunakan, 25 subjek dikategorikan memiliki machiavellianism tinggi dan 25 subjek dikategorikan memiliki machiavellianism rendah. Dapat pula dikatakan, besar persentase subjek pada masing-masing kategori adalah 50%.

Selanjutnya berikut ini hasil t-skor skala kecenderungan perilaku anti-korupsi:

Tabel 5. Penghitungan T-Skor Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

Kategori Interval Frekuensi Persentase

Tinggi

Rendah T-Skor ≥ 50 T-Skor < 50 29 21 58% 42%

(21)

14

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa subjek yang memiliki kecenderungan perilaku korupsi tinggi lebih banyak daripada subjek yang memiliki kecenderungan perilaku anti-korupsi rendah. Hal tersebut dapat diketahui melalui data hasil penelitian, dimana subjek yang memiliki kecenderungan perilaku anti-korupsi tinggi sejumlah 29 orang, yang berarti 58% dari total subjek. Sedangkan subjek yang memiliki kecenderungan perilaku anti-korupsi rendah sejumlah 21 orang, yang berarti 42% dari total subjek.

Dari total keseluruhan subjek, 52% berjenis kelamin laki-laki dan 48% berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan skala Mach IV, untuk subjek berjenis kelamin laki-laki, 14 orang atau 28% tergolong mach tinggi dan 12 orang atau 24% tergolong mach rendah, sedangkan untuk subjek berjenis kelamin perempuan, 11 orang atau 22% tergolong mach tinggi dan 13 orang atau 26% tergolong mach rendah. Berdasarkan skala kecenderungan perilaku anti-korupsi, untuk subjek berjenis kelamin laki-laki, 14 orang atau 28% tergolong pada kategori tinggi dan 12 orang atau 24% tergolong pada kategori rendah, sedangkan untuk subjek berjenis kelamin perempuan, 15 orang atau 30% tergolong pada kategori tinggi dan 9 orang atau 18% tergolong pada kategori rendah.

Selanjutnya, mengenai hasil korelasi antara kedua variabel dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Korelasi Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

Koefisien Korelasi (r) Indeks Analisis

Koefisien Korelasi (r)

Berdasarkan tabel korelasi dari perhitungan SPSS, diketahui adanya hubungan antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi pada tingkat signifikansi 5% atau 0,05. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan nilai signifikansi yang ditunjukkan yaitu sebesar 0,015, lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan yaitu 0,05 (0,015 < 0,05). Skor koefisien korelasi (r) yaitu sebesar 0,343 dengan arah korelasi negatif, menunjukkan bahwa antara variabel machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi memiliki hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi machiavellianism seseorang maka semakin rendah kecenderungan perilaku anti-korupsinya, dan sebaliknya semakin rendah machiavellianism seseorang maka semakin tinggi perilaku anti-korupsinya.

Koefisien determinasi (R2) variabel machiavellianism berdasarkan hasil analisa data tersebut diketahui yaitu 0,118 yang berarti sumbangan efektif dari machiavellianism yang diberikan terhadap kecenderungan perilaku anti-korupsi adalah sebesar 11,8%. Ini berarti, 88,2% sisanya merupakan faktor lain terhadap kecenderungan perilaku anti-korupsi.

DISKUSI

(22)

15

dan sebaliknya semakin rendah machiavellianism seseorang maka semakin tinggi kecenderungan perilaku anti-korupsinya. Pengaruh atau sumbangan efektif dari machiavellianism yang diberikan terhadap kecenderungan perilaku anti-korupsi hanya sebesar 11,8%, sehingga 88,2% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu ada korelasi negatif antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi.

Korupsi yang merupakan masalah sangat besar saat ini menjadikan pentingnya untuk mengembangkan perilaku anti-korupsi di masyarakat. Selain berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Trisula penanggulangan korupsi seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan, serta gerakan anti-korupsi yang dilakukan masyarakat, upaya pencegahan juga menjadi wujud perilaku anti-korupsi. Salah satu upaya pencegahan korupsi yang dapat dilakukan untuk bisa lebih mengembangkan perilaku anti-korupsi, yaitu melalui pendidikan formal di sekolah. Hakim (2012) menambahkan upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa melalui pendidikan. Penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku anti-korupsi dilakukan melalui sekolah karena sekolah adalah proses pembudayaan. Menjadikan peserta didik sebagai target, dan menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permisif (serba membolehkan) untuk korupsi merupakan dua langkah pencegahan pada anak didik di usia dini yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga pendidik yang baik dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi terutama di bidang pendidikan ini.

Perilaku anti korupsi menjadi bahasan yang sangat menarik mengingat banyak kasus dan studi yang membahas mengenai korupsi. Korupsi dapat dikaitkan dengan perilaku unethical behavior. Studi terkait machiavellianism dengan unethical behavior, Turan (2015), menemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara machiavellianism dengan psychological withdrawal behavior, physical withdrawal behavior dan antagonistic behavior. Tipe mach tinggi lebih mungkin untuk mewakili tingkat atas perilaku penarikan baik psikologis, fisik, maupun perilaku antagonis. Withdrawal behavior adalah serangkaian sikap dan perilaku yang diambil ketika seseorang sudah tidak banyak berpartisipasi dalam pekerjaan mereka, seperti terkait absensi, keterlambatan, intensi untuk meninggalkan pekerjaan, dan lain-lain. Antagonistic behavior mengacu pada perilaku seperti berdebat dengan sesama pekerja, tidak mematuhi supervisor, sengaja menyebarkan rumor atau gosip, dan lainnya. Tipe mach tinggi yang memiliki kecenderungan untuk melakukan unethical behavior seperti withdrawal behavior dan antagonistic behavior, menjadi memiliki kecenderungan pula untuk berbuat tidak etis seperti korupsi. Dapat dikatakan kecenderungan perilaku anti-korupsi tipe mach adalah rendah.

(23)

16

untuk bertindak tidak jujur dan sulit dalam penerimaan, sehingga kemungkinan untuk melakukan tindakan tidak etis seperti korupsi pun juga cenderung tinggi. Selain itu, studi lain yang juga sesuai dengan hasil penelitian di atas, dilakukan Paulhus dan Williams (2002). Machiavellianism berkorelasi dengan big five personality yaitu disagreeableness dan diketahui rendah pada conscientiousness. Hasil menunjukkan bahwa tipe mach cenderung sulit dalam hal penerimaan dan memiliki kesadaran rendah, kemungkinan untuk bertindak tidak etis pun juga akan cenderung tinggi. Tipe mach yang berorientasi pada hasil akan melakukan berbagai cara demi tercapainya tujuan mereka walaupun mungkin saja yang mereka lakukan melanggar norma, mereka akan sulit menerima apabila tujuan mereka tidak tercapai. Studi menunjukkan kecenderungan yang tinggi tipe mach terhadap perilaku tidak etis seperti korupsi berkaitan dengan perilaku anti-korupsi tipe mach yang rendah.

Hasil uji korelasi dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, ditemukan adanya kesesuaian hasil penelitian, ada hubungan negatif antara kedua variabel penelitian, dengan angka korelasi 0.343. Semakin tinggi machiavelianism seseorang, semakin rendah kecenderungannya untuk berperilaku anti-korupsi. Tingginya machiavellianism seseorang dapat dikaitkan dengan tingginya kecenderungan seseorang untuk berperilaku tidak etis seperti melakukan korupsi, dan menjadi memiliki kecenderungan rendah dengan perilaku yang lebih etis seperti anti-korupsi. Antara tipe mach dan perilaku korupsi yang sama-sama berorientasi pada hasil atau tujuan pribadi serta cenderung melakukan perbuatan yang tidak etis dalam mencapai tujuan tersebut menunjukkan adanya dinamika atau keterkaitan antara machivellianism dengan korupsi. Tipe mach yang memiliki kecenderungan melakukan korupsi menunjukkan bahwa perilaku anti-korupsi tipe mach adalah rendah, sehingga dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu machivellianism dengan korupsi menjadi berkorelasi negatif.

Tipe Mach tinggi memiliki kecenderungan manipulatif dan sangat berorientasi pada hasil atau tujuan, bahkan walaupun harus menggunakan cara yang tidak etis. Kecenderungan memanipulasi dan berperilaku amoral, menggunakan taktik manipulasi pikiran, penipuan, dan menjilat banyak digunakan demi mendapatkan tujuan mereka. Dengan lebih tolerannya mereka dengan perilaku amoral, kecenderungan mereka untuk bertindak secara tidak etis di tempat kerja pun semakin tinggi. Korupsi bisa menjadi salah satu perilaku tidak etis yang mereka dapat lakukan mengingat perilaku ini memiliki tujuan memperkaya diri atau untuk kepentingan pribadi. Hal-hal yang dilakukan seperti terkait suap, penggelapan, penyalahgunaan jabatan dan lain-lain membuat seseorang bertindak menyalahi aturan, norma, dan hukum demi kepentingan pribadi. Perilaku seperti ini sangat mungkin terjadi di tempat kerja terutama pada seseorang yang memiliki kesempatan atau peluang tinggi bertindak demikian, baik karena kedudukan atau jabatan, maupun desakan situasi yang ada. Tingginya kecenderungan tipe mach untuk melakukan korupsi, tidak menunjukkan adanya kecenderungan untuk berperilaku anti-korupsi.

(24)

17

Machiavellianism merupakan salah satu tipe kepribadian yang telah dibuktikan memengaruhi kecenderungan perilaku anti-korupsi seseorang. Namun demikian, masih banyak faktor-faktor kepribadian lain seperti big five personality, motif sosial, locus of control, integritas, atau disengagement moral serta faktor motivasi. Faktor lainnya berasal dari faktor eksternal seperti birokrasi, penegakan hukum, system politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Artinya, machiavellianism bukanlah satu-satunya faktor kepribadian yang memengaruhi, dan faktor kepribadian sendiri bukan juga satu-satunya faktor yang memengaruhi kecenderungan perilaku anti-korupsi seseorang, atau dapat dikatakan masih banyak faktor lain yang bisa menjadi penyebab kecenderungan perilaku anti-korupsi seseorang.

Pada skala machiavellianism 50% subjek berada pada kategori tinggi dan 50% subjek berada pada kategori rendah. Sedangkan pada skala kecenderungan perilaku anti-korupsi 58% subjek berada pada kategori tinggi dan 42% subjek berada pada kategori rendah. Menjadi hal yang menarik karena diketahui frekuensi subjek pada kategori tinggi dan rendah skala machiavellianism adalah sama. Artinya, secara keseluruhan, machiavellianism subjek tidak terlihat lebih pada kategori tinggi atau pada kategori rendah, sehingga sumbangan efektif machiavellianism terhadap kecencerungan perilaku anti-korupsi menjadi tidak begitu besar. Hasil tersebut bisa terkait dengan jumlah subjek penelitian yang hanya 50 orang dan sebagai keterbatasan dalam penelitian ini. Jumlah subjek hanya 50 karena hanya difokuskan pada satu daerah (Kecamatan “X”), membuat penelitian ini terkesan kurang bisa mewakili populasi. Hal ini terkait pula dengan adanya keterbatasan waktu dan kondisi.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima karena terdapat hubungan yang negatif antara machiavellianism dengan kecenderungan perilaku anti-korupsi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikan sebesar 0,015 (< 0,05) dan dengan hasil koefisien korelasi (r) sebesar 0,343 dengan arah korelasi negatif. Sumbangan efektif (R2) dari machiavellianism yang diberikan terhadap kecenderungan perilaku anti-korupsi adalah sebesar 11,8%. Dengan demikian, semakin tinggi machiavellianism seseorang maka semakin rendah kecenderungan perilaku anti-korupsinya, dan sebaliknya semakin rendah machiavellianism seseorang maka semakin tinggi perilaku anti-korupsinya.

(25)

18 REFERENSI

Abidin, Z. & Siswadi, G.P. (2014). Faktor-faktor psikologis perilaku korupsi dan peran psikologi dalam pemberantasan korupsi. Dalam A. Supratiknya, Faturochman, & Hana Panggabean (Eds), Bunga rampai psikologi 2 (hal. 45-68). Jakarta: HIMPSI.

Adejumo, A. O. (2010). Relationship between psycho-demographic factors and civil servants attitudes to corruption in osun state, nigeria. Internet Journal of Criminology, 1-13.

Alatas, S. H. (1986). Sosiologi korupsi: Sebuah penjelajahan dengan data kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Anti-Corruption Clearing House. (2015). Potensi korupsi dunia pendidikan. (Online). Diakses pada 31 Januari 2015 diperoleh dari http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/potensi-korupsi-dunia-pendidikan

Corral, S. & Calvete, E. (2000). Machiavellianism: Dimensionality of the mach iv and its relation to self-monitoring in a spanish sample. The Spanish Journal of Psychology, 3 (1), 3-13.

Dahling, J. J., Kuyumcu, D., & Librizzi, E. H. (2015). Implications for individual well-being. In Robert A. Giacalone & Mark D. Promislo (Eds), The handbook of unethical work behavior (hal. 183-194). New York: Routledge.

Dahling, J. J., Whitaker, B. J., & Levy, P. E. (2009). The development and validation of a new machiavellianism scale. Journal of Management, 35 (2), 219-257.

Dayakisni, T. 2015. Hubungan sinisme sosial dengan sikap remaja terhadap korupsi. Seminar Psikologi & Kemanusiaan (Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8) 401-406.

Deliani, E. (2012). Pengaruh desain botol parfum terhadap intensi membeli pada remaja. Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Djaja, E. (2010). Memberantas korupsi bersama KPK: kajian yuridis UURI no. 31 tahun 1999 juncto UURI no. 20 tahun 2001 versi UURI no. 30 tahun 2002 juncto UURI no. 46 tahun 2009. Jakarta: Sinar Grafika.

Fiardini, R. (2015). Alumni lintas universitas deklarasikan gerakan anti-korupsi. (Online).

Diakses pada 31 Januari 2015 diperoleh dari

http://news.okezone.com/read/2015/09/29/337/1222932/alumni-lintas-universitas-deklarasikan-gerakan-anti-korupsi.

Garner, B. A. (Ed.). (2009). Black’s law dictionary (9th ed.). Opperman Drive: West.

(26)

19

Hakim, L. (2012). Model integrasi pendidikan anti korupsi dalam kurikulum pendidikan islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, 10 (2), 141-156.

Independent Commission Against Corruption, New South Wales. What is corrupt conduct? (Online). Diakses pada 5 Oktober 2015 diperoleh dari http://www.icac.nsw.gov.au/about-corruption/what-is-corrupt-conduct.

Jones, D. N. & Paulhus, D. L. (2009). Machiavellianism. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds). Individual differences in social behavior (hal. 93-108). New York: Guilford.

Lee, K. & Ashton, M. C. (2005). Psychopathy, machiavellianism, and narcissism in the five-factor model and the hexaco model of personality structure. Personality and Individual Differences, 38, 1571-1582.

Mashal, A. M. (2011). Corruption and resource allocation distortion for “ESCWA” countries. International Journal of Economics and Management Sciences, 1 (4) 71-83.

Montessori, M. (2012). Pendidikan antikorupsi sebagai pendidikan karakter di sekolah. Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan, 11 (1), 293-301.

Noor, J. (2014). Metodologi penelitian: skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah. Jakarta: Kencana.

Paulhus, D. L. & Williams, K. M. (2002). The dark triad of personality: narcissism, machiavellianism, and psychopathy. Journal of Research in Personality, 36 556-563.

Salama, N. (2014). Motif dan proses psikologis korupsi. Jurnal Psikologi, 41 (2), 149-164.

Santiago, F. (2014). Strategi pemberantasan kejahatan korupsi: Kajian legal sosiologis. Jurnal Lex Publica, 1 (1), 55-69.

Sari, I. P. (2015). Korupsi dan dampaknya terhadap kesejahteraan psikologis anak. Seminar Psikologi & Kemanusiaan (Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8) 169-174.

Spain, S. M., Harms, P. & Lebreton, J. M. (2013). The dark side of personality at work. Journal of Organizational Behavior. Published online in Wiley Online Library (wileyonline library.com) doi : 10.1002/job.1894.

Stone, T. H., Kisamore, L. J., Kluemper, D., Jawahar, I. M. (2012). Whistle-blowing in the classroom?. Journal of Higher Education Theory and Practice, 12 (5), 11-26.

(27)

20

Turan, A. (2015). Examining the impact of machiavellianism on psychological withdrawal, physical withdrawal and antagonistic behavior. International Journal of Global Business and Managment, 7 (3), 87-103.

Zińczuk, B., Cichorzewska, M., & Walczewski, M. (2013). The analysis of unethical behavior among employees in enterprises – a pilot study in the automotive industry. Paper presented at the Management, Knowledge and Learning, International Conference, Zadar, Croatia, 19-21 June 2013.

Zein. (2013). Kepsek sman 1 sidoarjo terindikasi korupsi dana BOS. (Online). Diakses pada 31 Januari 2015 diperoleh dari http://harianjayapos.com/detail-4573-kepsek-sman-1-sidoarjo--terindikasi-korupsi-dana-bos.html.

(28)

21

(29)

22

(30)

23

Blueprint Skala TryoutMachiavellianism

Aspek skala Favorable Unfavorable Jumlah

Item Negative Interpersonal Tactics 1, 2, 12, 15 4 Positive Interpersonal Tactics 3, 6, 7, 9, 10, 16 6 Cynical View of Human Nature 5, 8, 13,17, 18, 20 6 Positive View of Human Nature 4, 11, 14, 19 4

Jumlah 10 10 20

Blueprint Skala Penelitian Machiavellianism

Aspek skala Favorable Unfavorable Jumlah

Item

Negative Interpersonal Tactics 1, 10, 13 3

Positive Interpersonal Tactics 2, 5, 7, 8, 14 5 Cynical View of Human Nature 4, 6, 11, 15, 16, 17 6

Positive View of Human Nature 3, 9, 12 3

(31)

24

Blueprint Skala Tryout Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

Aspek skala Favorable Unfavorable Jumlah Item

Anti- Suap 1, 13, 20 14, 22, 27 6

Anti-Gratifikasi 2, 10, 24 8 4

Anti-Penipuan 3, 11, 30 18, 21 5

Anti-Menggembungkan 4, 15, 25 7 4

Anti-Surat Kaleng 16 5, 12, 19, 26 5

Anti-Nepotism 6, 9, 28, 29 17, 23 6

Jumlah 17 13 30

Blueprint Skala Penelitian Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

Aspek skala Favorable Unfavorable Jumlah Item

Anti- Suap 8, 15 9, 17, 21 5

Anti-Gratifikasi 5, 19 4 3

Anti-Penipuan 6 13, 16 3

Anti-Menggembungkan 1, 10 3 3

Anti-Surat Kaleng 11 7, 14, 20 4

Anti-Nepotism 2, 22 12, 18 4

(32)

25

(33)
(34)

27

(35)
(36)
(37)

30

Output Data Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi

(38)
(39)
(40)

33

item_15 74.58 59.473 .491 .857 item_16 74.80 58.939 .458 .857 item_17 75.30 56.622 .553 .854 item_18 75.12 59.169 .348 .860 item_19 74.90 57.071 .586 .853 item_20 74.70 59.235 .331 .861 item_21 75.26 56.686 .545 .854 item_22 75.08 57.136 .506 .855 item_23 74.88 58.067 .506 .856 item_24 75.16 59.647 .335 .861 item_26 74.82 57.702 .420 .858 item_27 75.12 56.026 .604 .852 item_29 75.04 59.917 .304 .862

Case Processing Summary

N %

Cases

Valid 50 100.0 Excludeda 0 .0

Total 50 100.0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

(41)
(42)
(43)

36

(44)

37

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG JL. Raya Tlogomas No.246 464318 Malang 65144

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan Hormat,

Sehubungan dengan penelitian yang saya lakukan guna penyusunan skripsi, saya Rani Soraya mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, dengan rasa hormat memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk membantu memberikan data penelitian dengan cara mengisi skala yang saya sediakan. Hasil dari pengisian skala ini tidak ada kaitannya dengan prestasi atau kinerja Bapak/Ibu dan juga tidak berimplikasi terhadap penilaian diri Bapak/Ibu. Selain itu, dalam skala ini tidak ada jawaban benar maupun salah. Oleh karena itu, dimohon untuk tidak ragu-ragu dalam menjawab setiap pernyataan yang ada sesuai dengan diri pribadi Bapak/Ibu. Hasil penelitian ini sangat bergantung pada data yang Bapak/Ibu berikan. Kelengkapan dalam pengisian skala ini sangat saya harapkan dan saya akan menjamin kerahasiaan dari data yang diberikan.

Terima kasih atas kesediaan serta kerjasama Bapak/Ibu dalam meluangkan waktu mengisi lembar skala penelitian ini. Semoga partisipasi Bapak/Ibu bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Hormat saya,

(45)

38 Nama / Inisial :

Usia :

Jenis Kelamin :

Petunjuk pengisian :

Di bawah ini ada sejumlah pernyataan, dimana masing-masing mewakili pendapat Anda dan dalam hal ini tidak ada jawaban benar maupun salah. Apabila Anda menemukan pilihan nomor yang tidak sesuai dengan pendapat Anda maka pilihlah salah satu yang terdekat dengan keadaan yang Anda rasakan.

Bacalah setiap pernyataan secara seksama, kemudian berikan tanda silang (X) pada kolom angka sesuai tingkat persetujuan Anda pada tiap pernyataan, angka-angka tersebut memiliki arti sebagai berikut :

1 = Sangat Tidak Setuju 4 = Sedikit Setuju

2 = Tidak Setuju 5 = Setuju

3 = Sedikit Tidak Setuju 6 = Sangat Setuju

No. Item 1 2 3 4 5 6

1. Jangan pernah memberi tahu seseorang alasan sebenarnya Anda melakukan suatu hal kecuali jika memberitahukannya dapat mendatangkan manfaat. 2. Seseorang hendaknya bertindak ketika dia yakin bahwa

tindakan tersebut tidak menyalahi norma.

3. Kebanyakan orang pada dasarnya baik dan ramah. 4. Saya rasa sah-sah saja untuk beranggapan bahwa semua

orang memiliki sisi buruk dan sifat tersebut dapat muncul ketika mereka diberi kesempatan.

5. Kejujuran adalah jalan terbaik untuk setiap persoalan. 6. Pada umumnya, seseorang tidak akan bekerja keras

(46)

39

No. Item 1 2 3 4 5 6

7. Setelah dipikirkan, lebih baik menjadi rendah hati dan jujur daripada menjadi orang terpandang dan tidak jujur.

8. Ketika meminta seseorang melakukan sesuatu untuk Anda, sebaiknya Anda memberikan alasan sebenarnya mengapa Anda menginginkannya daripada memberi alasan yang dibuat-buat.

9. Kebanyakan orang sukses di dunia ini mengedepankan kehidupan yang bersih dan bermoral.

10. Mempercayai orang lain sepenuhnya sama saja dengan mencari masalah.

11. Perbedaan terbesar antara para kriminal dan orang-orang pada umumnya adalah bahwa mereka cukup bodoh untuk tertangkap.

12. Kebanyakan orang itu pemberani.

13. Menyanjung-nyanjung orang-orang penting itu hal yang wajar.

14. Bersikap baik di setiap keadaan itu mungkin untuk dilakukan.

15. Barnum (nama tokoh) salah apabila berpikir bahwa setiap menit ada seorang pecundang yang dilahirkan. 16. Anda sulit untuk maju apabila tidak berbuat curang. 17. Kebanyakan orang lebih mudah melupakan kapan

(47)

40 Petunjuk pengisian :

Di bawah ini ada sejumlah pernyataan, dimana masing-masing mewakili pendapat Anda dan dalam hal ini tidak ada jawaban benar maupun salah. Apabila Anda menemukan pilihan nomor yang tidak sesuai dengan pendapat Anda maka pilihlah salah satu yang terdekat dengan keadaan yang Anda rasakan.

Bacalah setiap pernyataan secara seksama, kemudian berikan tanda silang (X) pada kolom angka sesuai tingkat persetujuan Anda pada tiap pernyataan, angka-angka tersebut memiliki arti sebagai berikut :

1 = Sangat Tidak Setuju 3 = Setuju

2 = Tidak Setuju 4 = Sangat Setuju

No. Item 1 2 3 4

1. Saya tidak pernah berpikir untuk menggelembungkan harga pada pembelanjaan kantor.

2. Objektivitas dan profesionalitas sangat penting untuk diterapkan dalam bekerja.

3. Biaya tagihan dalam laporan dapat diubah/direvisi jika dirasa terlalu merugikan.

4. Mendapatkan hadiah sebagai imbalan setelah melaksanakan tugas adalah hal yang menyenangkan.

5. Saya menolak pemberian hadiah atas pekerjaan yang telah saya lakukan walaupun orang yang memberikan hadiah tersebut tulus dan ikhlas.

6. Saya akan melaporkan kecurangan yang terjadi di tempat kerja saya kepada pihak berwenang.

7. Saya meminta seseorang membayar lebih apabila mereka ingin permintaannya segera dipenuhi.

8. Pemberian hadiah apapun tidak akan mempengaruhi saya dalam bekerja.

(48)

41

No. Item 1 2 3 4

10. Harga barang dalam laporan belanja harus dituliskan sesuai harga asli barang tersebut.

11. Saya tidak akan melakukan pemerasan dan pemaksaan terhadap seseorang demi mendapatkan kesepakatan.

12. Saya dengan senang hati menerima permintaan teman saya yang meminta agar anaknya dapat dipastikan diterima di sekolah tempat saya bekerja sebagai tanda pertemanan.

13. Mobil kantor yang sekiranya bisa bermanfaat akan saya gunakan untuk pulang dan saya kembalikan keesokan harinya.

14. Penggunaan ancaman terhadap orang lain wajar dilakukan apabila kondisi sedang mendesak demi memperoleh sesuatu. 15. Menerima sejumlah uang dalam jumlah besar sekalipun, untuk

pekerjaan yang bertentangan dengan hukum adalah hal yang tidak dapat dibenarkan.

16. Saya akan menggunakan printer kantor untuk mencetak lembar tugas anak saya apabila printer di rumah rusak.

17. Apabila saya melanggar aturan lalu lintas dan saya ditilang oleh polisi, saya akan memberikan uang agar tidak disidang.

18. Pengangkatan kerabat sebagai staf/karyawan tanpa tes di instansi yang saya pimpin adalah hal yang seharusnya dilakukan.

19. Menurut saya, pemberian parcel kepada staf/karyawan tidak penting dan tidak perlu dilakukan.

20. Ketika mengetahui seseorang memanipulasi hasil laporan pekerjaan, saya meminta sejumlah uang sebagai uang tutup mulut.

21. Saya biasanya memberikan uang/barang tertentu untuk mempermudah urusan saya.

(49)

42

(50)

43 Input Data Penelitian Skala Machiavellianism

(51)

44

Gambar

Tabel 6. Korelasi Antara Machiavellianism dengan Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi
Tabel 1. Blueprint Skala Machiavellianism
Tabel 2. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Anti-Korupsi
Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara depresi dengan kecenderungan perilaku merokok pada remaja. Subjek penelitian adalah siswa kelas 2 SMK Kristen I

Pengertian dan Peraturan Pedagang Kaki Lima (PKL) .... Aspek-aspek kecenderungan perilaku agresif ... Faktor-faktor penyebab munculnya kecenderungan perilaku agresif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja, untuk mengetahui tingkat dukungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja, untuk mengetahui tingkat dukungan keluarga,

Namun dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan ditolak bahwa tidak ada hubungan antara empati dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP.. Berdasarkan

Bullying ... Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Bullying ... Kriteria dan Nilai Alternatif Jawaban Skala Kelekatan Tidak Aman .... Blueprint Skala Kelekatan Tidak Aman

Pada grafik 3 menggambarkan bahwa sebagian besar siswa kelas VIII SMP Malidar Bekasi memi- liki tingkat kecenderungan perilaku bullying bera- da dalam kategori sedang yakni sebesar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku impulsif dengan kecenderungan nomophobia pada remaja pengguna media sosial Twitter dengan taraf