• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) UNTUK ANALISIS KERAWANAN LONGSOR DI KECAMATAN SIBOLANGIT SUCI AMALIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) UNTUK ANALISIS KERAWANAN LONGSOR DI KECAMATAN SIBOLANGIT SUCI AMALIA"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) UNTUK ANALISIS KERAWANAN LONGSOR DI

KECAMATAN SIBOLANGIT

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana S1 pada Departemen Teknik Sipil

SUCI AMALIA 15 0404 109

BIDANG STUDI GEOTEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

ABSTRAK

Tanah longsor merupakan proses perpindahan massa tanah atau batuan dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah disebabkan oleh gravitasi/gaya berat. Daerah Kecamatan Sibolangit memiliki topografi kasar dengan relief perbukitan bergelombang dan memiliki kemiringan lereng yang sangat tinggi, sehingga potensi terjadinya longsor sangat besar. Maka tujuan dari penulisan tugas kahir ini adalah untuk mengetahui tingkat kerawanan dan sebaran daerah rawan longsor di Kecamatan Sibolangit.

Dalam tugas akhir ini menggunakan model yang mengacu pada pendugaan Puslittanak 2004. Proses analisis dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Microsoft Excel. Parameter-parameter yang digunakan adalah jenis tanah, jenis batuan, kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan dan gempa bumi. Setiap jenis parameter tersebut diberikan skor dan bobot sesuai dengan klasifikasi. Setelah itu skor dikalikan dengan bobot kemudian dijumlahkan berdasarkan kesesuaian lokasi geografisnya.

Dari hasil analisis dihasilkan peta tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Sibolangit dengan potensi kerawanan longsor rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.

Berdasarkan model pendugaan kerawanan longsor tersebut, diperoleh 4 kriteria kerawanan longsor di Kecamatan Sibolangit yaitu daerah rawan longsor rendah meliputi 7 desa (32,65 km2 atau 18,84 %), daerah rawan longsor sedang meliputi 13 desa (77,93 km2 atau 44,96%), daerah rawan longsor tinggi meliputi 8 desa (46,43 km2 atau 28,96%), dan daerah rawan longsor sangat tinggi meliputi 2 desa (16,31 km2 atau 10,17 %).

Kata kunci: Longsor, Kerawanan, Sistem Informasi Geografis.

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulisan Tugas Akhir yang berjudul

“PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) UNTUK ANALISIS RISIKO LONGSOR DI KECAMATAN SIBOLANGIT” ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh ujian Sarjana Teknik Sipil pada Fakultas Teknik Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa dalam penyelesaian Tugas Akhir ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yang berperan penting yaitu :

1. Terutama kepada kedua orang tua saya, H. Ramli Nainggolan, SE dan Hj.

Halimatussadiyah serta kepada kakak Auliya Tamimi dan adik-adik saya Hajija Arfa, Mishab Alwi dan Kesya Ramandita Syahra yang telah memberikan dukungan penuh, nasehat, motivasi serta mendoakan saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

2. Ibu Ika Puji Hastuty, ST. MT. selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan dukungan, masukan, bimbingan serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada saya untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Medis Sejahtera Surbakti, ST, MT, Ph.D, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. M. Ridwan Anas, ST. MT sebagai Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto, M.Sc. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, arahan, dan bimbingan kepada saya.

6. Bapak Ir. Rudi Iskandar, MT. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, arahan, dan bimbingan kepada saya.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan

(4)

memberikan pengajaran kepada saya selama menempuh masa studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh pegawai administrasi Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan selama ini kepada saya.

9. Saudara saya Wardatan Kaddihan, S.Ked yang selalu menghibur dan mencurahkan segala perhatiaannya kepada saya sedari SMA sampai dengan sekarang.

10. Sahabat saya Yossi dan Farid yang telah mau berjuang bersama saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

11. Sahabat-sahabat kesayangan saya yang cantik Seven Angels yaitu Ade, Alya, Ayudita, Idak, dan Pingky yang telah membantu, menghibur dan mencurahkan perhatiannya kepada saya selama proses kuliah ini.

12. Teman-teman seperjuangan stambuk 2015 yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimah kasih buat kebersamaan yang selama ini baik diperkulihan maupun dipertemanan yang luar biasa , semoga kita semua sukses selalu.

13. Abang dan kakak stambuk 2012, 2013 dan 2014 khususnya kepada kakanda Yayang Haslika, ST. yang sangat banyak memberikan arahan dan masukan serta perhatiannya kepada saya dalam pengerjaan Tugas Akhir serta mengenal dunia perkulihan di teknik sipil.

14. Adik adik Stambuk 2016, 2017 dan 2018 yang sudah membantu di perkuliahan maupun menemani saat sedang suntuk.

15. Seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin saya tuliskan satu-persatu atas dukungannya yang sangat baik.

16. Last but not least, kepada Abangda Mitra Muhammad Arsyad Hutagalung, ST. sahabat spesial saya yang sangat banyak membantu, memberikan arahan serta mencurahkan seluruh perhatiannya dalam segala hal termasuk dalam mengerjakan Tugas Akhir ini.

Saya menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak dan Ibu Staf Pengajar serta rekan – rekan mahasiswa demi penyempurnaan Tugas Akhir ini.

(5)

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga laporan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Mei 2019 Penulis

Suci Amalia 15 0404 109

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 3

1.6 Sistematika Penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tanah Longsor... 5

2.1.1 Jenis Tanah Longsor... 7

2.1.2 Penyebab Tanah Longsor ... 9

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)... 14

2.2.1 Definisi dan Ruang Lingkup ... 14

2.2.2 Model Data SIG ... 15

2.2.3 Subsistem SIG ... 18

2.2.4 Komponen SIG ... 19

2.3 Penelitian yang Relevan ... 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22

3.1 Umum ... 22

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Alat dan Bahan Penelitian ... 22

3.4 Variabel Penelitian ... 23

3.5 Definisi Operasional ... 23

3.6 Prosedur Penelitian ... 25

3.7 Metode Penelitian ... 25

(7)

3.7.1 Pengumpulan Data ... 25

3.7.2 Penyiapan Data ... 26

3.7.3 Analisis Data ... 26

3.7.4 Langkah-langkah Pembuatan Peta Penelitian ... 31

3.8 Diagram Alir Penelitian ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 43

4.1.1 Letak, Luas dan Batas Wilayah ... 43

4.2 Parameter Pemicu Tanah Longsor di Kecamatan Sibolangit ... 46

4.2.1 Iklim dan Curah Hujan ... 46

4.2.2 Kemiringan Lereng ... 50

4.2.3 Penggunaan Lahan ... 53

4.2.4 Gempa Bumi ... 57

4.2.5 Jenis Batuan... 60

4.2.6 Jenis Tanah ... 66

4.3 Analisis Kerawanan Tanah Longsor ... 70

4.3.1 Model Pendugaan Bencana Tanah Longsor ... 70

4.3.2 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

5.1 Kesimpulan... 78

5.2 Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Klasifikasi Curah Hujan ... 27

Tabel 3.2 Klasifikasi Kemiringan Lereng ... 28

Tabel 3.3 Klasifikasi Penggunaan Lahan ... 29

Tabel 3.4 Klasifikasi Jenis Batuan ... 29

Tabel 3.5 Klasifikasi Jenis Tanah... 30

Tabel 3.6 Klasifikasi Gempa bumi ... 31

Tabel 4.1 Pembagian Luas Daerah Penelitian Berdasarkan Desa ... 44

Tabel 4.2 Klasifikasi Curah Hujan di Kecamatan Sibolangit ... 49

Tabel 4.3 Klasifikasi kemiringan Lereng di Kecamatan Sibolangit ... 52

Tabel 4.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Sibolangit ... 56

Tabel 4.5 Klasifikasi Gempa Bumi di Kecamatan Sibolangit... 59

Tabel 4.6 Klasifikasi Jenis Batuan di Kecamatan Sibolangit ... 65

Tabel 4.7 Klasifikasi Jenis Tanah Kecamatan Sibolangit ... 69

Tabel 4.8 Interval Skor Kelas Kerawanan Tanah Longsor ... 71

Tabel 4.9 Tingkat Kerawanan Tanah Longsor Kecamatan Sibolangit ... 73

Tabel 4.10 Desa Tingkat Kerawanan Rendah ... 74

Tabel 4.11 Desa Tingkat Kerawanan Sedang ... 75

Tabel 4.12 Desa Tingkat Kerawanan Tinggi... 76

Tabel 4.13 Desa Tingkat Kerawanan Sangat Tinggi ... 77

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Mengatur Koordinat ... 32

Gambar 3.2 Tampilan Arcmap 10.5 ... 33

Gambar 3.3 Proses Georeferencing... 34

Gambar 3.4 Membuat Shapefile Baru ... 34

Gambar 3.5 Proses Digitasi ... 35

Gambar 3.6 Poligon Hasil Digitasi... 36

Gambar 3.7 Pengisian Skor ... 37

Gambar 3.8 Editing Data Atribut ... 38

Gambar 3.9 Membuat Keterangan Nama Desa ... 39

Gambar 3.10 Memunculkan Koordinat pada Peta ... 40

Gambar 3.11 Peta Penggunaan Lahan di Kecamatan Sibolangit ... 41

Gambar 3.12 Diagram Alir Penelitian ... 42

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kecamatan Sibolangit ... 45

Gambar 4.2 Peta Curah Hujan Tahunan Kecamatan Sibolangit ... 47

Gambar 4.3 Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Sibolangit ... 51

Gambar 4.4 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Sibolangit ... 55

Gambar 4.5 Peta Gempa Bumi Kecamatan Sibolangit ... 58

Gambar 4.6 Peta Jenis Batuan Kecamatan Sibolangit ... 63

Gambar 4.7 Peta Jenis Tanah Kecamatan Sibolangit ... 68

Gambar 4.8 Peta Tingkat Kerawanan Tanah Longsor Kecamatan Sibolangit .... 72

(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Tanah longsor dikategorikan sebagai salah satu penyebab bencana alam, di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan rumah, jalan, fasilitas umum dan terganggunya ekosistem alam.

Tanah longsor didefinisikan sebagai tanah batuan atau tanah di atas lereng permukaan yang bergerak ke arah bawah lereng bumi disebabkan oleh gravitasi/gaya berat. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu menahan berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada permukaan lereng dan berkurangnya daya ikat antara butiran tanah relief.

Pengertian tanah longsor sebagai respon dari pada yang merupakan faktor utama dalam proses geomorfologi akan terjadi di mana saja di atas permukaan bumi, terutama permukaan relief pegunungan yang berlereng terjal, maupun permukaan lereng bawah laut.

Secara umum longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam adalah faktor yang berasal dari alam misalnya curah hujan yang tinggi, kondisi lereng yang terjal, kondisi batuan yang kurang padat, gempa bumi dan lain-lain. Sedangkan faktor manusia adalah faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, adanya pemukiman di lahan berkemiringan lereng yang terjal serta pemanfaatan lahan yang tidak sesuai yang akan mempertingkat risiko pada daerah rawan longsor.

(11)

Daerah Kecamatan Sibolangit merupakan wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 400-700 m diatas permukaan laut. Daerah dataran tinggi Sibolangit memiliki topografi kasar dengan relief perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng bekisar antara 60o-90o Dengan kemiringan lereng yang sangat tinggi maka potensi terjadinya longsor sangat besar. Selain itu curah hujan yang tinggi di Kecamatan Sibolangit menjadi faktor yang menyebabkan terjadi longsor.

Bencana tanah longsor yang berulang kali terjadi di sibolangit akhir-akhir ini sangat meresahkan, banyak yang menjadi korban akibat bencana alam ini, baik korban jiwa dan materi.

Berbagai masalah terkait dengan bencana tanah longsor di Kecamatan Sibolangit yang melatar belakangi penelitian yang dilakukan kelompok peneliti.

Tindak lanjut dari permasalahan ini yaitu mencari solusi dan langkah tepat untuk mengatasi dan mengurangi dampak terjadinya tanah longsor. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak tanah longsor adalah dengan mengenali karakteristik daerah rawan terjadinya longsor dengan cara pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor. Pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor dapat dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai aplikasi atau software pemetaan pada SIG, seperti dengan menggunakan ArcGIS dengan berbagai tipe nya. Dengan pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor di Kecamatan Sibolangit, maka dampak dari bencana dapat diminimalisir dan dapat dilakukan tindakan yang bersifat preventif terhadap daerah dengan kategori tingkat kerawanan tinggi

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang dapat dirumuskan suatu permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat kerawanan dan sebaran daerah bencana longsor di Kecamatan Sibolangit?

(12)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:

1. Mengetahui tingkat kerawanan dan sebaran daerah rawan longsor di Kecamatan Sibolangit.

1.4 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Sibolangit.

2. Analisis data dan pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Microsoft Excel.

3. Penelitian menggunakan parameter curah hujan, jenis tanah, jenis batuan kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan gempa bumi

4. Output yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah peta kerawanan bencana tanah longsor di Kecamatan Sibolangit.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain:

1. Memberikan gambaran tentang tingkat kerawan longsor pada masyarakat di Kecamatan Sibolangit, sehingga sebagai salah satu upaya mitigasi bencana tanah longsor di daerah tersebut

2. Sebagai referensi mahasiswa yang akan membahas tugas akhir dengan topik yang sama.

3. Pihak-pihak yang membutuhkan informasi dan mempelajari hal-hal yang dibahas dalam laporan tugas akhir.

1.6 Sistematika Penulisan

Rancangan sistematika penulisan secara keseluruhan pada tugas akhir ini terdiri dari 5 bab, uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut:

(13)

1. Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, tujuan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.

2. Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini mencakup teori dasar, rumus dan segala sesuatu yang berhubungan dengan topik yang dibahas.

3. Bab III : Metodologi Penelitian

Berisikan data-data yang terkait dengan daerah studi yang menjadi daerah penelitian. Bab ini juga menguraikan hasil analisis dari metode yang dipergunakan dan perhitungan-perhitungan yang terkait untuk pekerjaan penyelidikan tanah.

4. Bab IV : Analisis dan Pembahasan

Bab ini menampilkan analisis stabilitas lereng awal sebelum perkuatan dan analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan geogrid dan dinding penahan tanah dengan menggunakan metode elemen hingga program Plaxis versi 8.2

5. Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menampilkan rangkuman dari pembahasan dan memberikan kesimpulan dari studi kasus pada laporan Tugas Akhir ini.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Longsor

Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja disepanjang lereng.

Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng karena penyerapan air hujan dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak mengokupasi tanah-tanah berlereng sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain: tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi dan aktivitas manusia di wilayah tersebut (Sutikno dalam Lestari, 2008)

Menurut Hardiyatmo (2006:1) tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa tersebut cendrung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia.

Gerakan massa, umumnya disebabkan oleh gaya-gaya gravitasi dan kadang- kadang getaran atau gempa juga menyokong kejadian tersebut. Gerakan massa

(15)

yang berupa tanah longsor terjadi akibat adanya keruntuhan geser di sepanjang bidang longsor yang merupakan batas bergeraknya massa tanah atau batuan.

Keruntuhan, umumnya dianggap terjadi saat tegangan geser rata-rata di sepanjang bidang longsor sama dengan kuat geser tanah atau batuan yang dapat ditentukan dari uji laboratorium atau uji lapangan. Akan tetapi, saat terjadi keruntuhan bertahap, longsoran tanah terjadi pada tegangan geser yang kurang dari kuat geser puncaknya (biasanya diperoleh dari uji triaxial atau geser langsung). Keruntuhan bertahap, umumnya diikuti dengan distribusi tegangan tidak seragam di sepanjang bidang longsor, pada tanah atau batuan berlapis ketika longsornya memotong material yang berbeda sifat tegangan regangannya.

Keruntuhan lokal dapat juga terjadi, jika tegangan geser maksimum pada suatu titik di dalam tanah atau batuan melampui kuat geser puncaknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada awalnya tegangan geser maksimum terjadi di dekat kaki lereng dan pada titik dimana kuat geser tanah terlampui. Setelah itu, keruntuhan menyebar ke atas lereng. Dalam kenyataannya, bertambahnya regangan (yang menuju ke kuat geser puncaknya) bertambahnya tegangan normal yang menyokong berkembangnya longsoran secara bertahap.

Jadi, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tanah longsor/longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu material penyusun lereng berupa massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng, yang terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan.

(16)

2.1.1. Jenis Tanah Longsor

Ada beberapa jenis jenis longsor yang perlu diketahui diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Longsoran Translasi

Tanah longsor jenis ini merupakan kondisi dimana bergeraknya material tanah pada kondisi tanah yang bertopografi rata atau menggelombang landai. Jadi, pada daerah tanah yang landai bisa terjadi tanah longsor terutama jika berbagai penyebab tanah longsor sudah mulai kelihatan.

2. Longsoran Rotasi

Tanah longsor ini merupakan pergerakan material tanah yang terjadi di dalam bidang yang berbentuk cekung sehingga seringkali terjadi perputaran atau rotasi di dalam bidang cekung tersebut. Pada bidang cekung yang terkena longsoran dapat menjadi hal yang sangat berbahaya apalagi jika ada pemukiman di atasnya karena akan tertimbun dan mengakibatkan korban jiwa.

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok ini merupakan pergerakan batuan yang ada di dalam tanah pada bidang yang datar atau landai. Kondisi ini juga seringkali dinamakan degan longsoran blok batu dengan jumlah batu yang biasanya tidak sedikit. Ini akan sangat berbahaya bagi manusia jika terkena longsoran ini karena sebagian besar materialnya adalah batuan.

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu ini merupakan kondisi dimana terjadi runtuhan batu secara langsung dan terjun bebas dari atas ke bawah. Hal ini biasanya terjadi pada bukit yang terjal dengan lereng yang cukup curam dan sering ditemukan di tebing pantai. Jika di bawah tebing ini terdapat pemukiman warga maka akan sangat berbahaya karena material yang jatuh biasanya berupa batu besar yang pasti akan membuat kerusakan.

(17)

5. Rayapan Tanah

Tanah longsor ini terjadi karena adanya rayapan atau pergerakan tanah yang sangat lambat dan halus. Longsor ini biasanya terjadi pada tanah yang memiliki butiran kecil halus dan namun memiliki struktur yang cukup kasar. Biasanya jenis tanah longsor ini hampir tidak bisa dikenali dan kalau longsor sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama baru bisa dikenali dengan miringnya tiang-tiang listrik, rumah dan lainnya yang berada di atasnya.

6. Aliran Bahan Rombakan

Tanah longsor ini terjadi karena adanya pergerakan tanah dan materialnya yang disebabkan oleh dorongan air yang sangat kuat.

Kecepatan dari aliran air sendiri akan sangat tergantung pada kemiringan lereng, volume air, tekanan air, kecepatan air serta jenis material tanahnya itu sendiri apakah mudah terangkut oleh air atau tidak.

Gerakan dari tanah longsor ini lumayan cepat dan bisa mencapai seluruh lembah dengan jarak ratusan meter jauhnya. Bahkan jarak yang bisa ditempuhnya bisa dalam jumlah yang sangat banyak dan jaraknya ribuan meter. Jika ini terjadi bisa merusak berbagai hal yang dilewatinya termasuk juga jika ada pemukiman di lewatinya pasti akan ikut terhanyut. Jenis tanah longsor ini biasanya terjadi pada lereng gunung berapi dan menyebabkan banyaknya korban jiwa.

Menurut Naryanto dalam Pasektiono (2016) jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya dapat dibagi menjadi lima jenis yaitu:

a. Aliran, longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.

b. Longsoran, material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran berbentuk tapal kuda.

c. Runtuhan, umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.

d. Majemuk, longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan berkembang lebih lanjut menjadi aliran.

(18)

e. Amblesan (penurunan tanah), terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air bawah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah.

Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya ataupun pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif cepat.

Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah (pada sistem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik, sedangkan tekanan antar batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun.

Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran yang dibangun oleh batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji dalam Pasektiono, 2016).

2.1.2. Penyebab Tanah Longsor

Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat pasif dan aktif. Pasif merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan aktif adalah ulah manusia. Ulah manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng.

I. Faktor pasif

1. Faktor topografi a. Kemiringan lereng

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat (o) atau persen (%). Dua titik yang berjarak horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter membentuk lereng 10% sama dengan kecuraman 45o (Arsyad dalam Sutrisno, 2011). Semakin curam lereng suatu lahan akan memperbesar kecepatan aliran permukaan, yang demikian akan memperbesar erosi.

(19)

b. Panjang lereng

Panjang Lereng berpengaruh terhadap energi angkut untuk terjadinya longsoran. Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik dimana air aliran permukaan masuk ke saluran-saluran (sungai), atau dimana kemiringan berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air sudah sangat berkurang (Seta dalam Sutrisno, 2011).

c. Keterdapatan dinding terjal

Dinding yang terjal merupakan pencerminan dari batuan penyusun bentuk lahan yang berupa dinding-dinding batu dengan kemiringan yang terjal. Adanya dinding terjal baik yang tersingkap melalui sesaran, lipatan, penorehan, akan memberikan kesempatan sinar matahari lebih banyak sehingga pelapukan lebih intensif (Worosuprojo dalam Sutrisno, 2011)

2. Faktor geologis a. Kerapatan kekar

Kerapatan kekar dan hancuran batuan pada lereng atau tebing akan sangat melemahkan kuat geser (kohesi dan sudut gesek dalam) tanah atau batuan penyusunan lereng karena mengakibatkan gaya penahan pada lereng menjadi sangat lemah. Bidang retakan atau kekar justru sering merupakan bidang gelincir atau jatuhan gerakan tanah atau batuan.

b. Struktur pelapisan batuan

Struktur pelapisan batuan menunjukan besar kecilnya kemiringan batuan terhadap bidang datar. Semakin besar kemiringan lereng maka akan semakin rentan terhadap longsor lahan.

c. Tingkat pelapukan batuan

Pada batuan yang mengalami pelapukan sangat lanjut mendukung terjadinya longsor lahan dibandingkan dengan batuan yang masih segar.

(20)

3. Kondisi tanah

Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor.

Tanah yang gembur karena mudah mengalirkan air masuk ke dalam penampang tanah akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi (Sitorus dalam Effendi, 2008).

Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan.

Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian dalam Effendi, 2008)

II. Faktor aktif

1. Aktifitas manusia

a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.

b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.

c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.

d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah menjadi lembek.

e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.

f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.

g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.

(21)

h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.

i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing.

2. Curah hujan

Karnawati dalam Pasektiono (2016) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan.

Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air.

Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor.

Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah.

Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan menurunkan kuat geser tanah.

Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran pada lereng- lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah lempung pasir dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor

(22)

pada lereng yang tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu hingga lebih satu bulan (Anonim, 2007).

3. Penggunaan Lahan

Menurut Alhasanah dalam Prasektiono (2016), Tipe penggunaan lahan yang menentukan tingkat potensi bahaya longsor (Rawan hingga sangat rawan) yaitu semak belukar, tegalan, pemukiman, sawah dan ladang. Dilihat dari resiko yang ditimbulkan tanah longsor terhadap penggunaan lahan adalah pemukiman, gedung dan sawah irigasi. Ini disebabkan penggunaan lahan ini memiliki resiko kerugian materiil dan non materiil yang paling tinggi.

Pola penggunaan lahan (land use) untuk persawahan, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat menyebabkan meningkatnya potensi longsor. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya volume air yang ditampung pada lahan persawahan menyebabkan meningkatnya beban lereng. Lahan persawahan dibuat dengan melakukan modifikasi dan memotong lereng. Aktivitas ini menyebabkan sudut lereng semakin tinggi sehingga memperbesar potensi terjadinya tanah longsor. Selain itu, tanah yang kehilangan vegetasi penutup akan menjadi retak-retak pada musim kemarau dan pada musim penghujan air akan mudah meresap kedalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan tanah jenuh air sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor. Disamping itu, karakteristik hujan di lokasi penelitian yang tergolong tinggi menyebabkan pada musim hujan persawahan menjadi tempat penampungan air yang apabila terus berlanjut, sangat potensial menjadi tanah longsor.

4. Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan fenomena alam yang terjadi karena adanya pelepasan energi yang menyebabkan pergeseran pada lapisan atmosfer bumi. Pelepasan energi ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti karena adanya aktivitas gunung berapi, aktivitas sesar di permukaan bumi, proses tektonik akibat pergerakan lempeng pada

(23)

kerak bumi, pergerakan geomorfologi secara lokal, atau juga karena adanya ledakan nuklir. Tetapi umumnya pelepasan energi yang mengakibatkan gempa bumi ini dihasilkan oleh tekanan akibat kegiatan proses pergerakan lempeng bumi.

Gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel- partikel mineral dan bidang lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng tersebut. Gempa 3 magnitude atau lebih sebagian besar hampir tidak terlihat dan jika besarnya 7 lebih berpotensi menyebabkan kerusakan serius di daerah yang luas, tergantung pada kedalaman gempa. Tak hanya gempa- gempa besar yang dapat mempengaruhi kestabilan tanah, aktivitas kegempaan di bawah M 5 SR juga dapat mengakibatkan longsor tak hanya gempa, tingkat presipitasi juga meningkatkan kerentanan terhadap bencana longsor.

2.2. Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.2.1. Definisi dan Ruang Lingkup

Sistem Informasi Georafis (Georaphic Information Sistem) adalah suatu sistem informasi yang berbasis komputer, yang dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan).

Sistem ini mengcapture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi.

Sistem informasi geografis dapat didefinisikan sebagai sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan presentasi data terutama ketika berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi. Persiapan dan entri data merupakan tahapan awal dimana data tentang sesuatu dikumpulkan dan disiapkan untuk dimasukkan ke dalam sistem. Analisis data menjadi tahapan berikutnya dimana data yang dikumpulkan ditinjau dengan teliti. Tahapan akhir adalah tahapan dimana hasil analisis sebelumnya ditampilkan dengan cara yang tepat (Latifah et al.,2018:1).

(24)

Penggunaan Sistem Informasi Geografis ini bermanfaat untuk memudahkan kita dalam melihat fenomena kebumian dengan perspektif yang lebih baik, pemrosesan data yang lebih cepat, dan mendapatkan hasil analisa yang lebih akurat. SIG dapat menghubungkan data spasial seperti letak geografis dan astronomis dengan data non spasial, sehingga para pengguna sistem ini dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara dan metode.

Dengan menggunakan SIG, di mana data tersimpan dalam bentuk digital, data ini dapat tersimpan lebih padat dibanding bentuk cetak, tabel, atau lainnya sehingga dapat meringankan biaya produksi dan mempercepat pengerjaannya.

2.2.2. Model Data SIG

Dalam Sistem Informasi Geografis data-data yang diambil melalui berbagai cara seperti melalui foto udara, pengindraan jauh, GPS, survai terestrial, peta sekunder dan data pendukung lainnya diorganisir menjadi data geografis. Dalam data geografis diorganisir menjadi dua bagian yaitu data spasial dan data atribut.

1. Data spasial

Data spasial adalah data yang membuat tentang lokasi suatu objek dalam peta berdasarkan posisi geografis objek tersebut di atas permukaan bumi menggunakan sistem koordinat. Data spasial adalah data yang berupa gambar yang berhubungan dengan lokasi, posisi, bentuk dan hubungan antar unsurnya. Data spasial memiliki dua jenis tipe yaitu vektor dan raster.

a. Data raster

Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, objek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan Pixel (picture element). (Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar, 2007:3).

Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran Pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi Pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap Pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang

(25)

direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya. Tiap Pixel mempunyai nilai, dan nilai ini dapat merepresentasikan sesuatu, seperti ketinggian (dalam DEM (Digital Elevation Model)), jenis tanah, penggunaan lahan dan lain-lain. Salah satu contoh data raster adalah data SRTM. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) adalah data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan global (80% luasan dunia). Data SRTM adalah data elevasi muka bumi yang dihasilkan dari satelit yang diluncurkan NASA (National Aeronautics and Space Administration).

Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file, semakin tinggi resolusi grid-nya semakin besar pula ukuran filenya dan sangat tergantung pada kapasistas perangkat keras yang tersedia tetapi data raster lebih mudah digunakan secara matematis.

b. Data vektor

Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis). (Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar, 2007:2).

Data vektor relatif lebih ekonomis dalam hal ukuran file dan presisi dalam lokasi, tetapi sangat sulit untuk digunakan dalam komputasi matematik

Masing-masing format data mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Pemilihan format data yang digunakan sangat tergantung pada tujuan penggunaan, data yang tersedia, volume data yang dihasilkan, ketelitian yang diinginkan, serta kemudahan dalam analisa.

Menurut Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar (2007:4). Data spasial dapat diperoleh dari beberapa sumber, antara lain :

a. Peta Analog

Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah dan sebagainya) yaitu peta dalam bentuk cetak. Pada umumnya peta

(26)

analog dibuat dengan teknik kartografi, kemungkinan besar memiliki referensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata angin dan sebagainya. Dalam tahapan SIG sebagai keperluan sumber data, peta analog dikonversi menjadi peta digital dengan cara format raster diubah menjadi format vektor melalui proses digitasi sehingga dapat menunjukan koordinat sebenarnya di permukaan bumi.

b. Data Sistem Penginderaan Jauh

Data penginderaan jauh (antara lain citra satelit, foto-udara dan sebagainya), merupakan sumber data yang terpenting bagi SIG karena ketersediaanya secara berkala dan mencakup area tertentu.

Dengan adanya bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita bisa memperoleh berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format raster.

c. Data Hasil Pengukuran Lapangan

Data pengukuran lapangan yang dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan tersendiri, pada umumnya data ini merupakan sumber data atribut contohnya yaitu batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas hak pengusahaan hutan dan lain-lain.

d. Data GPS (Global Positioning System)

Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor. Pembahasan mengenai GPS akan diterangkan selanjutnya.

2. Data Atribut

Data atribut merupakan data yang mempresentasikan aspek-aspek deskripsi/penjelasan dari suatu fenomena di permukaan bumi dalam bentuk kata-kata, angka, atau tabel. Data atribut berfungsi untuk menggambarkan gejala topografi karena memiliki aspek deskriptif dan kualitatif. Oleh karena itu, data atribut sangat penting dalam

(27)

menjelaskan seluruh objek geografi. Contohnya, atribut kualitas tanah terdiri atas status kepemilikian lahan, luas lahan, tingkat kesuburan tanah dan kandungan mineral dalam tanah.

Data atribut bisa berupa data kuantitatif (angka) seperti data jumlah penduduk dan dapat berupa data kualitatif (mutu) seperti data tingkat kesuburan tanah.

2.2.3. Subsistem SIG

Dalam Sistem Informasi Geografis terdapat beberapa subsistem yang saling terkait. Menurut Aronoff dalam Sutrisno (2011) ada 4 susistem dalam sistem Informasi geografis antara lain:

1. Input

Sub-sistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial (misalnya: koordinat objek) dan data atribut (misalnya: waktu) dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengonversikan atau mentransformasikan format-format data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oeh perangkat SIG yang bersangkutan.

2. Manajemen

Sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel- tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve, di-update, dan di- edit.

3. Manipulasi dan analisis

Sub-sistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu sub-sistem ini juga melakukan manipulasi (evaluasi, penggunaan fungsi-fungsi, operator matematis dan logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

(28)

4. Output

Sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan lain sebagainya.

2.2.4. Komponen SIG

SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan.

Menurut Gistut dalam Sutrisno (2011) sistem SIG terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut:

1. Perangkat Keras

Pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, sampai multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki 28 ruang penyimpanan (hard disk) yang besar, dan mempunyai kapasistas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian fungsionalitas SIG tidak terkait ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan pada memori PC dapat diatasi.

Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner.

2. Perangkat Lunak

Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan penting karena setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, sehingga jangan heran jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan model program yang masing-masing dapat dieksekusi seperti Mapinfo, ArcView, Arcinfo, ArcGIS, dan lain-lain.

(29)

3. Data dan Informasi Geografi

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lainnya maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.

4. Manajemen

Suatu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang memiliki keakhlian (kesesuaian dengan job description yang bersangkutan) yang tepat pada semua tingkatan.

2.3. Penelitian yang Relevan

Beberapa peneliti telah melakukan berbagai penelitian tentang analisis kerawanan longsor menggunakan sistem informasi geografi (sig). Penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai referensi untuk perhitungan metode elemen hingga. Beberapa hasil penelitiannya adalah sebagai berikut.

Yakub Malik (2010) telah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi faktor fisik dan sosial serta menentukan tipologi kerawanan gempa bumi menggunakan SIG di kecamatan pangalengan menggunakan metode survey dan observasi untuk memperoleh data primer serta mengkaji data sekunder dari literatur sehingga mengetahui faktor yang mempengaruhi kerawanan gempa bumi di kecamatan pangalengan.

Riki Rahmad, Suib Ali Nurman (2018) telah melakukan pemetaan kerawanan longsor di Kecamatan Sibolangit menggunakan ArcGIS dengan memakai parameter curah hujan, penutupan lahan, jenis tanah, jenis batuan dan kemiringan lereng. Penelitian tersebut memakai metode skoring dan pembobotan mengacu pada pendugaan dan pengklasifikasian Puslittanak Bogor (2004).

Menurut Lestari (2008) untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan

(30)

diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor.

Wahyu Widy Pasektiono (2016) telah meneliti variasi sebaran longsor dan faktor-faktor penyebab terjadinya longsor di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Metode yang digunakan adalah metode survey lapangan dengan teknik sampling cluster area. Satuan yang digunakan dalam pemetaan adalah satuan medan. Satuan medan dibuat dengan berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta bentuklahan, kemiringan lereng, dan tanah. Untuk mengetahui variasi tingkat sebaran longsor digunakan teknik pengharkatan pada setiap variabel yang ada pada setiap satuan medan. Berdasarkan hasil pengharkatan kemudian dibuat peta variasi tingkat sebaran longsor dengan program komputer Arc View.

Ardi Chandra Yunianto (2011) telah menganalisis kerawanan tanah longsor berdasarkan model pendugaan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) (2009), parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan, formasi geologi (batuan induk) dan kerentanan gerakan tanah.

Setiap jenis parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay) menggunakan SIG.

Muh Lukman Sutrisno (2011) melakukan penelitian deskriptif di Kecamatan Imogiri dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan longsor dan distribusi spasial daerah rentan longsor di Kecamatan Imogiri Populasi penelitiannya adalah satuan unit lahan hasil overlay dari peta bentuk lahan, peta penggunaan lahan dan peta kemiringan lereng. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi untuk memperoleh data primer tingkat kemiringan lereng, dan kedalaman efektif tanah;

dokumentasi untuk memperoleh data sekunder dari instansi-instansi terkait; dan uji laboratorium untuk memperoleh data jenis tekstur tanah dan nilai permeabilitas tanah. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis SIG dengan metode tumpangsusun (overlay).

(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Umum

Metode penelitian merupakan suatu alur proses berpikir mengenai tahapan tahapan penelitian untuk mengidentifikasikan, menganalisa, merumuskan, memecahkan dan menarik kesimpulan terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini perlu dilakukan untuk membuat penelitian lebih terarah dan sistematis sehingga dapat mencapai tujuan penelitian yang telah ditentukan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai tingkat kerawanan longsor ini berada di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Waktu penelitian dimulai dari bulan Januari sampai Juni 2019.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak sebagai berikut :

1. Alat a. Laptop

b. Software ArcGIS 10.5 c. Printer

d. Alat tulis 2. Bahan

a. Peta jenis batuan Kecamatan Sibolangit (sumber: peta Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Deli Serdang)

b. Peta jenis tanah Kecamatan Sibolangit (sumber: peta Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Deli Serdang)

c. Data gempa bumi Kecamatan Sibolangit 2008 s/d 2018 (sumber:

data online Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tahun 2008-2018)

(32)

d. Peta kemiringan lereng Kecamatan Sibolangit (sumber: data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission))

e. Peta curah hujan Kecamatan Sibolangit (sumber: peta Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumatera Utara skala 1:2.000.000)

f. Peta penggunaan lahan Kecamatan Sibolangit (sumber: peta Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Deli Serdang skala 1:180.000)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian adalah satuan unit lahan yang ada di Kecamatan Sibolangit. Penentuan satuan unit lahan menggunakan SIG dengan menggunakan parameter:

1. Jenis batuan Kecamatan Sibolangit 2. Jenis tanah Kecamatan Sibolangit

3. Kemiringan lereng Kecamatan Sibolangit 4. Curah hujan Kecamatan Sibolangit

5. Penggunaan lahan Kecamatan Sibolangit 6. Data gempa bumi Kecamatan Sibolangit

3.5 Definisi Operasional

Berikut ini dijelaskan berbagai pengertian yang terkait dengan variabel penelitian yang digunakan antara lain :

1. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat (o) atau persen (%).

Dua titik yang berjarak horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter menbentuk lereng 10% sama dengan kecuraman 45o. 2. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah suatu pemanfaatan lahan untuk suatu aktivitas tertentu seperti perkebunan, pertanian, perumahan, daerah rekreasi dan lain-lain. Penggunaan lahan yang digunakan mengacu pada Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Deli Serdang.

(33)

3. Intensitas Curah Hujan

Curah hujan adalah volume air hujan yang jatuh pada suatu areal tertentu, karena itu curah hujan dinyatakan dalam milimeter (mm). Curah hujan menjadi faktor pendorong terjadinya longsor lahan, air hujan yang masuk ke dalam pori-pori tanah akan mengisi rekahan pada tanah dan menambah beban kepada tanah (tambah berat), sehingga lereng tidak stabil dan bila terdapat bidang luncur pada lahan maka longsor dapat terjadi.

4. Gempa bumi

Gempa bumi adalah sebuah getaran atau pergerakan yang terjadi secara tiba tiba akibat adanya pelepasan energi secara tiba tiba yang terjadi pada permukaan bumi. Pelepasan energi yang secara tiba tiba mengakibatkan gelombang seismik, yang bisa bersifat destruktif pada berbagai hal yang berdiri diatas permukaan bumi, termasuk bangunan, pohon pohon, dan lain lainnya.

5. Tanah

Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar permukaan planet bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman, dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jazad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu.

6. Batuan

Batuan adalah kumpulan-kumpulan atau agregat dari mineral- mineral yang sudah dalam kedaan membeku/keras. Batuan adalah salah satu elemen kulit bumi yang menyediakan mineral-mineral anorganik melalui pelapukan yang selanjutnya menghasilkan tanah. Batuan mempunyai komposisi mineral, sifat-sifat fisik, dan umur yang beraneka ragam. Jarang sekali batuan yang terdiri dari satu mineral, namun umumnya merupakan gabungan dari dua mineral atau lebih. Mineral adalah suatu substansi anorganik yang mempunyai komposisi kimia dan struktur atom tertentu. Jumlah mineral banyak sekali macamnya ditambah dengan jenis-jenis kombinasinya.

(34)

3.6 Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang diambil dalam prosedur penelitian ini, yaitu : 1. Studi Literatur

Studi literatur adalah studi kepustakaan guna mendapatkan dasar- dasar teori serta langkah-langkah penelitian yang berkaitan dengan analisis tanah longsor dan untuk mencari referensi penelitian yang sejenis.

2. Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan sesuai dengan parameter pada penelitian ini yaitu data gempa bumi, peta jenis tanah, peta jenis batuan, peta penggunaan lahan, peta curah hujan, dan peta kemiringan lereng.

3. Analisis dan Pembahasan

Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dan perhitungan yang diperlukan untuk analisis kelongsoran.

Langkah awal yaitu pemberian scoring/pengharkatan pada peta sesuai dengan parameter dan kriterianya. Selanjutnya pemberian bobot sesuai kontribusinya masing-masing. Setelah itu skor dikalikan dengan bobot kemudian dijumlahkan dan akan menghasilkan potensi kerawanan longsor yang nantinya akan di input ke software ArcGIS 10.5 untuk dibuat peta kerawanan longsor berdasarkan desa di Kecamatan Sibolangit. Hasil akhir yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah peta risiko longsor di Kecamatan Sibolangit.

3.3. Metode Penelitian 3.7.1 Pengumpulan Data

Data yang dipakai adalah data sekunder. Data sekunder yang dipakai sesuai dengan parameter pada penelitian ini yaitu data gempa bumi, peta jenis tanah, peta jenis batuan, peta penggunaan lahan, peta curah hujan, dan peta kemiringan lereng.

(35)

3.7.2 Penyiapan Data

Penyiapan data yang dilakukan adalah pengolahan data spasial. Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data analog dan data digital. Data analog berupa peta penggunaan lahan, peta curah hujan,.

Data digital berupa peta jenis tanah, peta jenis batuan dan peta kemiringan lereng.

Sedangkan data gempa bumi diolah dan dibuat sehingga menjadi peta digital format vektor.

Dalam pengolahan tahap awal setiap data harus dijadikan peta digital. Data analog berupa peta penggunaan lahan dan peta curah hujan diolah dan masing- masing dijadikan peta digital format vektor. Peta digital format vektor merupakan salah satu jenis data masukan yang disimpan dalam bentuk garis, titik dan poligon. Proses pemasukan data-data dilakukan melalui laptop dengan software ArcGIS 10.5. Data keluaran ini kemudian digunakan sebagai data acuan penelitian.

3.7.3 Analisis Data

Analisis data kerawanan tanah longsor dilakukan setelah peta-peta tematik yaitu peta gempa bumi, peta jenis tanah, peta jenis batuan, peta penggunaan lahan, peta curah hujan, dan peta kemiringan lereng tersebut tersedia dan siap dalam bentuk peta digital. Setiap jenis peta tersebut dilakukan klasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot. Setelah itu skor dikalikan dengan bobot kemudian dijumlahkan dan akan menghasilkan potensi kerawanan longsor yang nantinya akan di input ke software ArcGIS 10.5 untuk dibuat peta kerawanan longsor berdasakan desa di Kecamatan Sibolangit.

Pemberian harkat (scoring) digunakan untuk menentukan atau menilai tingkat kerentanan longsor lahan di daerah penelitian. Pemberian nilai didasarkan pada besar kecilnya pengaruh variabel pendukung tingkat kerentanan longsor lahan di daerah penelitian. Tingkat kerentanan longsor lahan ditunjukan oleh jumlah skor secara keseluruhan dari masing-masing parameter pendukung terjadinya longsor lahan.

(36)

Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada hasil pengklasifikasian Puslittanak Bogor (2004). Skor dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah sebanding dengan tingkat bahaya yang tanah longsor akan timbulkan. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi pula potensi tanah longsor yang akan terjadi. Berikut adalah pemberian skor pada setiap parameter :

a. Curah Hujan

Curah hujan merupakan faktor yang penting dalam terjadinya tanah longsor. Air hujan yang merembes melalui pori-pori tanah akan menambah massa tanah sehingga tanah menjadi lebih berat dan akan menjadi longsor bila melewati batas ketahanan tanah. Semakin tinggi intensitas curah hujan, maka semakin berpotensi terjadi tanah longsor.

Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada hasil pengklasifikasian Puslittanak Bogor (2004). Skor dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah sebanding dengan tingkat bahaya yang tanah longsor akan timbulkan. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi pula potensi tanah longsor yang akan terjadi. Skor dan bobot parameter curah hujan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Klasifikasi Curah Hujan

Parameter Besaran Bobot Skor

Sangat basah >3000

30%

5

Basah 2501-2300 4

Sedang 2001- 2500 3

Kering 1501-2000 2

Sangat kering <1500 1

Sumber : Puslittanak Bogor (2004)

b. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya potensi longsor di suatu wilayah. Semakin miring suatu lahan maka semakin berpotensi untuk terjadi longsor lahan dan sebaliknya. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga makin

(37)

tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh garvitasi bumi.

Skor dan bobot parameter kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Klasifikasi Kemiringan Lereng

Parameter Bobot Skor

>45

20%

5

30-45 4

15-30 3

8-15 2

<8 1

Sumber : Puslittanak Bogor (2004)

c. Penggunaan Lahan

Kondisi penggunaan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air serta kekuatan ikatan partikel tanah. Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga kekompakkan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Pemukiman memiliki andil yang lebih kecil karena limpasan air lebih banyak terjadi di banding genangan dan resapan karena sifat permukaan yang kedap air baik kondisi tanah permukaan maupun karena penutup tanah berupa beton atau sejenisnya. Tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa menjaga stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakkan partikel tanah.(Rahmat dalam Yunianto, 2011). Skor dan bobot parameter penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

(38)

Tabel 3.3. Klasifikasi Penggunaan Lahan

Parameter Bobot Skor

Tegalan, sawah

20%

5

Semak belukar 4

Hutan dan perkebunan 3

Kota/pemukiman 2

Tambak, waduk, perairan 1

Sumber : Puslittanak Bogor (2004)

d. Jenis Batuan

Jenis batuan diklasifikasikan berdasarkan asal bentuknya yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen dan karst serta batuan aluvial. Batuan aluvial merupakan batuan hasil endapan proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor rendah. Batuan sedimen dan karst merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Umumnya batuan ini memiliki permeabilitas kecil bahkan kedap air kecuali jika batuan banyak memiliki rekahan atau telah mengalami pelarutan, maka dapat bersifat tahan air sehingga menjadi akuifer (batuan penyimpan air tanah) atau dapat berfungsi sebagai imbuhan air. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor sedang.

Sedangkan batuan vulkanik merupakan batuan gunung api yang tidak teruraikan. Jenis ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor tinggi.

Scoring dan pembobotan pada tiap jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Klasifikasi Jenis Batuan

Parameter Bobot Skor

Batuan vulkanik

10%

3

Batuan sedimen 2

Batuan aluvial 1

Sumber : Puslittanak Bogor (2004)

(39)

e. Jenis Tanah

Penentuan skor jenis tanah dilakukan berdasarkan tingkat kepekaan terhadap longsor jenis tanah tersebut, semakin peka terhadap longsor maka semakin tinggi skor yang diberikan. Tingkat kepekaan terhadap longsor berhubungan dengan tingkat kemampuan tanah menahan dan melepaskan air yang masuk, tanah dengan permeabilitas sangat lambat sangat kuat menahan air yang masuk dan sangat sulit untuk melepaskannya, hal itu akan menyebabkan tanah menahan beban yang lebih besar dan apabila curah hujan semakin tinggi serta tanah tersebut berada pada wilayah yang memiliki topografi yang terjal sampai sangat curam maka longsor kemungkinan besar terjadi. Secara umum tingkat permeabilitas tanah berbanding terbalik dengan kepekaan terhadap erosi, semakin lambat permeabilitasnya maka semakin peka terhadap erosi (Rahmat dalam Yunianto, 2011). Skor dan bobot parameter jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Klasifikasi Jenis Tanah

Parameter Bobot Skor

Regosol

10%

5

Andosol, podsolik 4

Latosol coklat 3

Asosiasi latosol coklat

kekuningan 2

Aluvial 1

Sumber : Puslittanak Bogor (2004)

f. Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan fenomena alam yang terjadi karena adanya pelepasan energi yang menyebabkan pergeseran pada lapisan atmosfer bumi. Pelepasan energi ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti karena adanya aktivitas gunung berapi, aktivitas sesar di permukaan bumi, proses tektonik akibat pergerakan lempeng pada kerak bumi, pergerakan geomorfologi secara lokal, atau juga karena adanya ledakan nuklir. Tetapi umumnya pelepasan energi yang mengakibatkan

(40)

gempa bumi ini dihasilkan oleh tekanan akibat kegiatan proses pergerakan lempeng bumi.

Semakin kecil magnitudo gempa maka semakin kecil getaran tanah yang dihasilkan sehingga kepekaan terhadap longsor rendah dan sebaliknya. Skor dan bobot parameter gempa bumi dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Klasifikasi Gempa Bumi Parameter

(Magnitudo) Bobot Skor

> 6,5 SR

10%

4

6-6,5 3

5-6 SR 2

<5 SR 1

Sumber : Peraturan Menteri PU No. 21 (2007)

Model yang digunakan untuk menganalisis kerawanan kongsor adalah model pendugaan yang mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan formula:

Skor Total : (0,3xFaktor Curah Hujan) + (0,2xFaktor Kemiringan Lereng) + (0,2xFaktor Penggunaan Lahan) + (0,1xFaktor Jenis Tanah) + (0,1xFaktor Gempabumi) + (0,2xFaktor Jenis Batuan)

Skor hasil akhir, dibagi menjadi 4 kelas kerawanan longsor yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Interval kelas kerawanan longsor dibuat berdasarkan nilai skor tertinggi dan nilai skor terendah, dengan penentuan nilai skor :

3.7.4 Langkah-langkah Pembuatan Peta Penelitian

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini melalui tahapan-tahapan berikut ini:

(41)

1. Persiapan

Tahap persiapan meliputi persiapan alat dan bahan. Persiapan alat meliputi persiapan alat-alat yang dibutuhkan dalam pengolahan data seperti seperangkat komputer, printer, dan lain-lain. Persiapan bahan dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa peta sekunder maupun data lain yang menunjang penelitian. Data tersebut diperoleh dari RTRW dan instansi lain yang terkait.

2. Digitasi Peta

Peta yang diperoleh dari RTRW masih dalam bentuk data mentah.

Untuk dapat diolah maka perlu dilakukan digitasi. Peta yang berbentuk fisik terlebih dahulu di-scan menggunakan scaner agar berbentuk digital.

Setelah berbentuk digital, dengan menggunakan software ArcGIS 10.5.

Proses digitasi melalui tahapan berikut ini:

a. Membuka software ArcGIS 10.5. dan mengatur koordinat

Setelah software ArcGIS 10.5 terbuka maka hal yang pertama dilakukan adalah mengatur koordinatnya, caranya yaitu buka arc catalog dan klik kanan pada foto kemudian pilih properties lalu pada Spatial Reference klik Edit lalu pilih koordinat. Koordinat yang dipakai adalah WGS 1984 UTM zona 47N.

Gambar 3.1. Mengatur Koordinat

(42)

Gambar 3.2. Tampilan Arcmap 10.5

Pada Gambar 3.1 Table Of Content (TOC) berisi informasi tentang layer sedangkan window data frame berfungsi untuk menunjukkan tampilan peta.

b. Georeferencing peta

Georeferencing merupakan proses pemberian sistem koordinat pada suatu objek gambar dengan cara menempatkan suatu titik kontrol terhadap suatu persimpangan antara garis lintang dan bujur pada gambar berupa objek tersebut, atau dengan menempatkan titik ikat pada lokasi yang sudah diketahui koordinatnnya.

Caranya yaitu dengan menempatkan titik kontrol pada peta dengan cara klik add control points pada toolbar georeferencing klik pada salah satu perpotongan grid kemudian klik kanan dan pilih input X dan Y. Masukkan nilai koordinat titik-titik kontrol tersebut dapat dilihat pada bingkai peta. Karena koordinat titik acuan berupa koordinat geografis maka di konversikan dulu ke koordinat UTM yaitu dengan konversi online. Titik kontrol yang dibuat sebanyak minimal 4, semakin banyak titik kontrol yang dimasukkan maka semakin akurat rektifikasi data raster tersebut. Setelah selesai memasukkan titik kontrol, selanjutnya klik georeferencing pada toolbar georeferencing lalu pilih update georeferencing.

Table Of Content (TOC)

Window data frame

(43)

Gambar 3.3. Proses Georeferencing

c. Buat shapefile

Sebelum melakukan digitasi di arcGIS terlebih dahulu dibuat shapefile atau feature class kosong yang akan menampung data hasil digitasi. Caranya yaitu klik kanan pada folder tempat menyimpan data, pilih new lalu pilih shapefile, kemudian pada dialog create new shapefile, ketikkan nama shapefile di name dan pilih tipe data yang sesuai dengan di feature type. Dan klik edit, lalu select, dan pilih koordinat sistem yaitu WGS 1984 UTM zona 47N lalu klik add. Lalu akan muncul layer baru di TOC. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Membuat Shapefile Baru

Referensi

Dokumen terkait

Laju dekomposisi (k) bahan organik kelapa sawit yang terdiri dari janjang kosong, daun pelepah, dan campuran janjang kosong dan daun pelepah yang diperoleh

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) kepada pihak sekolah MA Al Wathoniyyah Semarang didapatkan fakta bahwa di dalam

Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil pembuatan program yang berisikan: Aplikasi “Analisa Metode Algoritma Arithmetic Mean Filter Untuk Mereduksi Noise

Nantinya material yang digunakan juga mengutamakan penggunaan material dari daerah sekitar sebagaimana konsep dari neo vernakuler, serta penggunaan penggunaan elemen

Dalam metode Economic Order Quantity (EOQ) ini juga dapat mengetahui jumlah bahan baku yang optimal, penghematan biaya penyimpanan, jumlah persediaan pengaman,

[r]

(Almh) selaku dosen pembimbing tugas akhir saya yang membimbing mulai dari awal penelitian saya hingga pada pertengahan perjuangan dari penelitian saya, Terimakasih

Yang bertanda tangan di bawah ini, Silfani Permata Sari menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Analisis Pengaruh Capital Adequacy Ratio , Net Operating Margin ,