• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI

1. COVID-19

1.1. Definisi COVID-19

Penyakit coronavirus (COVID-19) merupakan penyakit akibat virus SARS-CoV-2. Virus ini menyebar pertama kali di Wuhan, Cina pada Desember 2019. WHO menamai virus ini sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) dan namanya berganti Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) oleh Coronaviridae Study Group (CSG) dari International Committee on Taxonomy of Viruses. Secara resmi, COVID-19 menjadi nama dari penyakit yang diakibatkan virus tersebut (Kementrian Kesehatan, 2020).

1.2. Epidemiologi

Kasus pertama dilaporkan di Wuhan pada desember 2019 dan dari tanggal 18 desember sampai 29 desember terdapat 5 kasus dengan acute respiratory distress syndrome dan satu diantaranya meninggal dunia (Rothan and Byrareddy, 2020). Sejak kasus pertama di Wuhan, kasus COVID-19 mengalami peningkatan setiap harinya dan sampai pada puncaknya di akhir Januari sampai Februari 2020 (Susilo et al., 2020). Pada bulan januari 2020, 41 kasus dikonfirmasi hasil laboratorium positif COVID-19 di Cina dan setengahnya memiliki penyakit bawaan seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler (Rothan and Byrareddy, 2020). Pada 30 Januari 2020 sekitar 7734 kasus dikonfirmasi di Cina dan banyak kasus juga dionfirmasi di Negara lain termasuk Taiwan, Thailand, Arab Saudi, India, Australia, Perancis, Jerman, dan Kanada (Rothan and Byrareddy, 2020).

Menurut data dari WHO pada tanggal 5 November 2021 terdapat

248.467.363 total kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dengan 5.027.183

kematian. Di Indonesia sendiri menurut data kemenkes pada tanggal 5

November 2021 dikonfirmasi sebanyak 4.246.802 kasus positif COVID-19

(2)

6

dengan 143.500 kematian dan kasus aktif sebanyak 10.825 kasus. Di Jawa Tengah sendiri sampai tanggal 5 November 2021 terdapat total kasus 485.517 dengan total kematian sebanyak 30.158 kasus.

1.3. Etiologi dan Virologi a. Klasifikasi Virus

Patogen penyebab COVID-19 diketahui adalah novel enveloped RNA beta-coronavirus yang memiki 96% kemiripan dengan bat coronavirus RaTG13, yang kemudian dinamakan SARS-CoV-2. Infeksinya mirip dengan SARS-CoV yakni memiliki afinitas yang sama terhadap reseptor host (manusia) yaitu Angiotensin-C0nverting Enzyme 2 (ACE-2) yang diekspresikan oleh sel-sel epitel pada alveolar (Di Jiang et al., 2020).

Virus SARS-CoV-2 pertama kali terisolasi pada bronchoalveolar lavage fluid (BALF) dari 3 pasien yang berasal dari Wuhan Jinyitan Hospital pada Desember 2019. SARS-CoV-2 termasuk subfamili dari coronavirinae, famili coronavirdiae, dan ordo nidoviral. Virus ini dapat diklasifikasikan ke dalam β- COVs dan termasuk dari tujuh coronavirus yang menginfeksi manusia. Sebelum SARS-CoV-2, ada 6 jenis coronavirus yang menginfeksi manusia, yaitu α- coronavirus 229E, α-coronavirus NL63, β-coronavirus OC43, β-coronavirus HKUI, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) (Susilo et al., 2020). β- COVs sendiri adalah suatu kelas virus enveloped yang memiliki RNA rantai tunggal (single-stranded RNA virus) (Liu, Kuo and Shih, 2020). Virus ini menyebabkan berbagai penyakit respirasi, hepar, gastrointestinal, dan neurologic.

Berdasarkan analisis filogenetik mengindikasi bahwa SARS-CoV-2 ini memiliki 50% kemiripan sekuen dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (Duan, 2020).

b. Struktur Virus

Secara umum virus SARS-CoV-2 memiliki struktur rasio gen receptor-

binding yang mirip dengan virus SARS, salah satunya terdapat pada gen replicase

ORF1ab, spike (S), envelope (E), membran (M), dan nucleocapsid (N) (Wu et al.,

2020). Virus SARS-CoV-2 berdiameter 60-100 nm dan berbentuk oval atau bulat.

(3)

7

Virus ini juga memiliki nukleokapsid yang terdapat di dalam fosfolipid bilayer yang terlindungi oleh dua jenis protein yang berbentuk mirip duri, yaitu spike glycoprotein trimmer (S) dan hemagglutinin esterase (HE). Protein S dalam viral enveloped terdapat pada membran protein (M) dan enveloped (E) (Duan, 2020).

Genom SARS-CoV-2 mempunyai hemologi 89% terhadap coronavirus kelelawar dan 82% terhadap SARS-CoV (Susilo et al., 2020).

Gambar 1. Struktur Virus SARS-CoV-2 (Duan, 2020).

Persamaan strukturnya dengan SARS-CoV dibuktikan dengan

sebuah penelitian untuk membandingkan receptor-binding domain (RBD) dan

didapatkan kemiripan struktur asam amino sebesar 73.8%-74.9%, termasuk

rantai Rs4874, Rs7327, dan Rs4231, yang mampu berikatan dengan reseptor

Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) manusia untuk masuk ke dalam sel

(Wu et al., 2020). Perbedaannya dengan SARS-CoV terletak pada gen spesifik

RdRp_SARSr-P2 yang hanya ditemukan di SARS-CoV-2 (Corman et al.,

(4)

8

2020). Gambar 2 dibawah ini menunjukan struktur dan panjang Genom pada SARS-CoV-2.

Gambar 2. Struktur Genom dari SARS-CoV-2 (Nawaz et al., 2021)

c. Sifat Fisiokimia Virus

Virus SARS-CoV-2 yang memiliki banyak kemiripan struktur rantai dengan MERS-CoV dan SARS-CoV mengakibatkan kemiripan pada sifat fisiokimianya juga. Virus SARS-CoV dapat diinaktivasi oleh sinar UV dan panas dengan suhu 56°C selama 30 menit. Struktur sampul pada virus ini bersifat hidrofobik sehingga sensitif terhadap berbagai jenis desinfektan seperti dietil eter, etanol 75%, klorin, dan kloroform. Sabun dan alcohol 60%

dapat berikatan dengan kapsul dan memecah struktur virus. Virus ini pun dapat bertahan lama pada besi atau plastik yaitu sekitar 72 jam (Duan, 2020).

d. Transmisi

Coronavirus adalah virus zoonosis yang berarti menular dari hewan

ke manusia (Kementrian Kesehatan, 2020). Sampai saat ini diketahui

penularan melalui droplet dan kontak langsung dengan pasien positif covid-19

(Duan, 2020). Droplet merupakan partikel berisi air. Penularan juga dapat

melalui benda yang terkontaminasi oleh droplet, sehingga dapat dikatakan

penularan ini merupakan penularan secara tidak langsung. Virus ini memiliki

masa inkubasi kurang lebih 5-6 hari namun dapat mencapai 14 hari. Diketahui

bahwa risiko penularan tertinggi terjadi pada hari-hari pertama infeksi

dikarenakan kandungan konsentrasi virus pada sekret yang tinggi (Kementrian

Kesehatan, 2020).

(5)

9 1.4. Patogenesis dan Patofisiologi

Virus SARS-CoV-2 terhirup dan masuk ke tubuh dan berikatan dengan sel epitel di cavitas nasalis dan mulai bereplikasi (Mason, 2020). Spike glycoprotein berikatan dengan reseptor Human Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) (Li et al., 2020). Human Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) adalah membran protein tipe 1 yang diekspresikan di paru-paru, ginjal, hati, dan saluran pencernaan (Duan, 2020). Masuknya SARS-CoV-2 ke dalam sel disebabkan oleh direct membrane fusion antara virus dan membran plasma (Li et al., 2020). Setelah masuk, RNA virus dikeluarkan ke dalam sitoplasma dan mulai bereplikasi. Fase pertama ini juga dinamakan fase asimtomatik karena belum mengeluarkan gejala dan berlangsung selama 1-2 hari setelah terpapar. Biasanya pada fase ini bisa dideteksi dengan swab nasal dan kemudian melalui RT-PCR dapat menilai infeksius dan derajat penyakit (Mason, 2020).

Beberapa hari setelah paparan, virus mulai menyebar dan dimulailah respon dari saluran respirasi bagian atas dan sistem konduksi pernapasan. Penyebaran virus memicu innate immune response, antigen virus akan dipresentasikan oleh antigen presenting cells (APC) yang difasilitasi oleh Major histocompability complex (MHC) dan dikenali oleh virus-spesific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) (Li et al., 2020). Lalu mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti CXCL10 yang merupakan interferon yang mudah terdeteksi pada alveolar tipe II dan responnya terhadap SARS-CoV dan influenza (Mason, 2020). Pada fase ini mulai terlihat gejalanya (Mason, 2020).

Fase kedua ini dipengaruhi oleh innate immune response dari host itu sendiri.

Dengan menentukan innate immune response host dapat meningkatkan

prediksi dari tingkat keparahan penyakit dan kebutuhan untuk monitoring

(Mason, 2020). Presentasi antigen menstimulasi sistem imun humoral dan

seluler yang diperantarai oleh sel T dan B. Profil antibodi IgM dan IgG pada

infeksi akut SARS-CoV-2 mirip dengan SARS-CoV, dimana antibodi akan

hilang pada hari ke 12 sedangkan untuk IgG akan bertahan lebih lama yang

mengindikasikan fungsi IgG untuk proteksi jangka panjang (Mason, 2020).

(6)

10

Masuk fase ketiga virus mulai mencapai unit pertukaran gas di pulmo dan menginfeksi sel alveolar tipe II (Mason, 2020). SARS-CoV-2 berkembang biak di dalam sel tipe II ini, dan mengekspresikan viral partikelnya menyebabkan apoptosis sel (Mason, 2020). Kemudian viral toxin tersebut menyebar dan menginfeksi sel alveolar tipe II yang berdekatan menyebabkan pulmo kehilangan sebagian besar sel alveolar tipe II dan mengaktivasi jalur regenerasi epitel sekunder (Mason, 2020). Hasil gambaran patologi yang terlihat adalah diffuse alveolar dengan banyak jaringan fibrin dan hyaline dan beberapa multinucleated giant cells (Mason, 2020).

Respon inflamasi yang berlebihan dan berkepanjangan saat infeksi SARS-CoV-2 mengakibatkan inflamasi pulmo yang tidak terkontrol (Duan, 2020) . Respon infalmasi yang berlebihan ini akibat dari replikasi virus dan kerusakan sel yang cepat, penurunan regulasi dari ACE2, dan hasil dari antibody dependent enhancement (ADE) (Duan, 2020). Replikasi virus yang cepat mengakibatkan kerusakan sel epitel dan endotel serta kebocoran vaskuler (vascular leakage) yang kemudian memicu pengeluaran sitokin dan kemokin proinflamasi (Duan, 2020). Penurunan regulasi dari ACE2 menyebabkan disfungsi dari sistem renin-angiotensin (RAS) yang kemudian menambah inflamasi dan memengaruhi permeabilitas vaskuler (Duan, 2020). Sementara itu ADE dapat mendorong uptake seluler virus yang mengakibatkan peningkatan infeksi (Duan, 2020).

Pengeluaran sitokin belebihan mengakibatkan kondisi yang disebut

dengan badai sitokin. Badai sitokin (cytokine storm) merupakan sebuah respon

imunologi sistemik yang tidak terkontrol akibat dari ekspresi berlebihan

sitokin pro-inflammatory (IFN-α, INF-γ, IL-1, IL-6, IL-12, IL-33, IL-18, TNF-

α) dan kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, CXCL10) (Li et al.,

2020). Badai Sitokin akan memicu serangan berat kepada sistem imun tubuh,

mengakibatkan ARDS dan multiple organ failure (Li et al., 2020).

(7)

11

Gambar 3. Patogenesis dan Patofisiologi COVID-19 (Duan, 2020).

1.5. Manifestasi Klinis

Gejala dari COVID-19 muncul setelah masa inkubasi (Rothan and Byrareddy, 2020). Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang, dan berat. Gejala yang biasa muncul yaitu demam, sesak napas, produksi sputum meningkat, fatigue, myalgia, dan diare (Rothan and Byrareddy, 2020). Kesulitan bernapas dan batuk menjadi gejala utama dari COVID-19 (Burhan et al., 2020). Adapun gejala lain yaitu pneumonia, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis, dan syok septik (Burhan et al., 2020).

Deteksi dini dari manifestasi klinis akan memberikan kesempatan

yang cukup untuk penerapan tatalaksana dan pencegahan dan pengendalian

infeksi yang tepat. Skrining pasien dengan dugaan COVID-19 dilakukan untuk

menentukan tingkat keparahan penyakit atau derajat penyakit pada pasien

(Chen et al., 2020). Derajat penyakit pada pasien COVID-19 dibagi menjadi

(8)

12

lima kriteria, yaitu : tanpa gejala, sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, dan sakit kritis (Kementrian Kesehatan, 2020). Kriteria tanpa gejala atau asimptomatik tidak ditemukan tanda dan gejala. Sedangkan untuk kriteria ringan terdapat gejala umum seperti batuk, demam, sesak napas, dan nyeri tenggorokan tanpa disertai komplikasi. Untuk derajat sedang biasanya ditemukan pula tanda dan gejala dari pneumonia ringan seperti dyspnea, demam, napas cepat, dan batuk. Kemudian untuk kriteria berat ditemukan tanda dan gejala pneumonia berat atau ISPA berat dan untuk kriteria kritis ditemukan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

Tabel 1. Kriteria Manifestasi Klinis yang Berhubungan dengan Infeksi Covid 19 (Burhan et al., 2020).

Kriteria Gejala Manifestasi Klinis Penjelasan

Tanpa gejala

(asimptomatik)

Tanda dan gejala tidak ditemukan

Tidak ada keluhan pasien

Sakit ringan Terdapat gejala ringan namun tidak disertai komplikasi

Keluhan pasien terfokus pada gejala umum seperti batuk, demam, sesak napas. Selain itu terdapat pula keluhan seperti hidung tersumbat, nyeri tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot, malaise

Pada pasien

immunocompromised dan usia lanjut, perlu waspada karena tanda dan gejala tidak spesifik.

Sakit sedang Pneumonia ringan Pasien remaja atau dewasa

biasanya memiliki keluhan

sama seperti tanda dan gejala

pneumonia, yaitu : dyspnea,

demam, napas cepat, dan

(9)

13

batuk. Pasien tidak mengeluhkan tanda dan gejala pneumonia berat.

Pasien Anak biasanya ditemukan tanda dan gejala pneumonia ringan seperti napas cepat, kesulitan bernafas, dan batuk. Ditemukan frekuensi napas :

Usia <2 bulan = ≥60x/menit Usia 2-11 bulan = ≥50x/menit Usia 1-5 tahun = ≥ 40x/menit dan tidak ditemukan gejala dan tanda pneumonia berat

Sakit berat Pneumonia berat / ISPA berat

Pasien remaja atau dewasa Ditemukan tanda dan gejala seperti :

- Dalam pengawasan infeksi saluran napas

- Demam

- Setidaknya satu dari berikut ini : distress pernapasan berat, saturasi oksigen (SpO2) <90%

pada udara kamar atau frekuensi napas

>30x/menit Pasien anak

Ditemukan tanda dan gejala

seperti :

(10)

14

- Kesulitan bernapas - Batuk

- Setidaknya satu dari berikut ini:

 Distress pernapasan berat (seperti tarikan dinding dada yang berat, mendengkur)

 SpO2 <90% atau sianosis sentral - Terdapat tanda pneumonia

berat seperti kejang, letargi, penurunan

kesadaran, dan

ketidakmampuan menyusui atau minum.

- Adanya takipneu :

Usia < 2 bulan = ≥60x/menit Usia 2-11 bulan =

≥50x/menit

Usia 1-5 tahun = ≥40x/menit Usia >5 tahun = ≥30x/menit Sakit kritis Acute Respiratory

Distress Syndrome (ARDS)

Penegakan diagnosis berdasar kepada pencitraan dada

Onset : perburukan dalam waktu satu minggu atau terjadi secara tiba-tiba (sudden onset).

Pada ultrasonografi paru atau

CT scan toraks ditemukan efusi

pleura dengan penyebab tidak

(11)

15

diketahui, opasitas bilateral, kolaps nodul, kolaps paru Terdapat edema yang diakibatkan oleh kegagalan bernapas namun pada pemeriksaan ekokardiograf belum ditemukan gagal jantung.

Kriteria ARDS pada dewasa:

- ARDS ringan: 200mmHg

< PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

- ARDS sedang: 100 mmHg

< PaO2 / FiO2 ≤ 200 mmHg (dengan PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

- ARDS berat: PaO2 /FiO2

≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5cmH2O, atau yang tidak diventilasi Kriteria ARDS pada anak :

- Usia: eksklusi pasien

perinatal dengan penyakit

paru

(12)

16

- Waktu: dalam 7 hari semenjak onset penyakit - Penyebab edema: bukan

oleh kelebihan cairan atau gagal jantung

- Radiologis: ditermukan infiltrat pada penyakit paru akut

1.6. Diagnosis a. Anamnesis

Diagnosis diawali dengan skrining gejala yang dilakukan pada anamnesis. Pada anamnesis biasa ditemukan demam, batuk kering, dan kesulitan bernapas atau sesak sebagai tiga gejala utama (Burhan et al., 2020). Gejala tambahan yang dapat ditemukan yaitu nyeri kepala, nyeri otot, lemas, dan diare (Rothan and Byrareddy, 2020).

b. Pemeriksaan Fisik

Ringan dan beratnya manifestasi klinis dapat terlihat pada pemeriksaan fisik. Pada tingkat kesadaran dapat ditemukan komposmentis atau terjadi penurunan kesadaran (Burhan et al., 2020). Tanda vital meliputi nadi biasanya meningkat, frekuensi napas meningkat, suhu tubuh meningkat, tekanan darah normal atau menurun, dan saturasi dapat ditemukan normal atau menurun (Burhan et al., 2020). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pengembangan dinding dada tidak simetris pada kondisi statis dan dinamis, fremitus teraba mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara napas bronkovesikuler dan ronki kasar (Burhan et al., 2020).

c. Pemeriksaan Laboratorium

Penyebaran penyakit COVID-19 yang begitu cepat membuat

Negara-negara yang terdampak pandemi dituntut untuk dapat mendiagnosis

secara cepat dan tepat sebagai upaya untuk mencegah penyebaran COVID-19

(13)

17

lebih luas lagi. Pemeriksaan laboratorium hematologi memainkan peran penting untuk mendiagnosis COVID-19 karena banyaknya biomarker yang ditemukan, beberapa biomarker hematologi yakni hitung limfosit absolut, nilai rasio neutrofil/limfosit, dan jumlah leukosit (Frater et al., 2020).

Penemuan laboratorium pada hitung limfosit absolut ditemukan limfopenia pada 80% kasus terkonfirmasi positif COVID-19. Pada 41 kasus yang terkonfirmasi positif dengan RT-PCR ditemukan 26 pasien dengan hitung limfosit <1.0x10^9 (Frater et al., 2020). Pada Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) pada pasien covid meningkat diatas 3.13 (Iriani, 2020). Ditemukan juga leukositosis pada 11.4% pasien dengan gejala berat dan 4.8% pasien dengan gejala sedang (Frater et al., 2020).Selain marker hematologi, juga ditemukan marker/penanda yang meningkat pada pasien COVID-19 yakni kadar C- reactive protein(CRP), procalcitonin, dan juga marker koagulasi seperti table dibawah ini yang menunjukan interpretasi dari hasil pemeriksaan tersebut.

(Frater et al., 2020).

Gambar 4. Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium COVID-19 (Frater et al., 2020).

.

d. Pemeriksaan Radiologi

Kebanyakan pasien COVID-19 memiliki kemiripan gambaran yaitu

opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, dan tampilan ground glass (Duan,

(14)

18

2020). Tampilan ground glass dan infiltrat paru dapat ditemukan di fase awal (Burhan et al., 2020). Jika sudah kasus berat biasanya ditemukan konsolidasi paru bahkan “white lung” (Burhan et al., 2020).

e. Pemeriksaan biomolekuler

Pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction atau RT-PCR merupakan gold standart untuk menegakan diagnosis COVID-19 karena kecepatannya, sensitivitasnya yang tinggi, dan spesifitasnya (Tahamtan and Ardebili, 2020). Saat ini, di Provinsi Hubei, RT-PCR digunakan untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 dan menentukan status klinis pasien COVID-19 (Shui et al., 2020). Pemeriksaan RT-PCR diperlukan pengambilan specimen melalui swab saluran nafas bagian atas yaitu pada nasofaring atau orofaring dan swab saluran nafas bagian bawah (Burhan et al., 2020). Pemeriksaan RT-PCR berbasis deteksi asam nukleat atau Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) yang dapat mendeteksi beberapa gen pada virus yaitu gen N (nucleocapsid) , E (Envelope), RdRp dan ORF (Open Reading frame) (Wu et al., 2020).

Prinsip pemeriksaan RT-PCR yaitu dengan menggunakan fluorescent sehingga setiap terjadi amplifikasi akan terbentuk sinyal fluorescent yang akan ditangkap oleh detector sepanjang proses RT-PCR berlangsung (Corman et al., 2020). Proses amplifikasi tersebut terjadi berulang-ulang, hingga sekitar 40 siklus, dan sinyal fluorescent yang dihasilkan akan berbanding lurus atau proporsional terhadap amplifikasi yang terjadi (Singanayagam et al., 2020). Pada suatu titik, jumlah sinyal fluorescent pada proses amplifikasi tersebut mencapai nilai minimal untuk dapat diinterpretasikan sebagai hasil positif. Titik tersebut dinamakan cycle threshold value atau nilai CT.

f. Pemeriksaan Antibodi

Diketahui pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 mengeluarkan

respon serologik akut (Yongchen et al., 2020). Antibodi mulai muncul pada

hari ke 10-14 dari awal gejala (Iriani, 2020). Kadar antibodi berkorelasi dengan

(15)

19

beratnya penyakit, semakin tinggi kadar semakin berat gejalanya (Iriani, 2020).

2. Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) 2.1. Definisi

Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah salah satu metode diagnosis paling sensitif untuk mendeteksi dan menghitung (kuantifikasi) mRNA (Singanayagam et al., 2020). RT-PCR digunakan untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan menganalisis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target melalu enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycle (Loftis et al., 2014).

Panjang DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum target disebut primer forward dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA yang baru dikenal disebut enzim polimerase. Proses RT-PCR didahului dengan reverse transciptase terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh molekul complementary DNA (cDNA). Molekul cDNA digunakan dalam proses PCR, yaitu digunakan sebagai pengamplifikasi RNA. Tahap ini dikenal sebagai proses RT-PCR (Loftis et al., 2014).

RT-PCR menggunakan fluorescent sehingga setiap terjadi amplifikasi akan terbentuk sinyal fluorescent yang akan ditangkap oleh detector sepanjang proses RT-PCR berlangsung (Corman et al., 2020). Proses amplifikasi tersebut terjadi berulang-ulang, hingga sekitar 40 siklus, dan sinyal fluorescent yang dihasilkan akan berbanding lurus atau proporsional terhadap amplifikasi yang terjadi (Singanayagam et al., 2020). Pada suatu titik, jumlah sinyal fluorescent pada proses amplifikasi tersebut mencapai nilai minimal untuk dapat diinterpretasikan sebagai hasil positif. Titik tersebut dinamakan nilai CT (Tahamtan and Ardebili, 2020).

2.2 Prinsip Pemeriksaan RT-PCR

(16)

20

Proses RT-PCR dibuka dengan reverse transcription dari RNA template menjadi cDNA oleh RNA-dependent DNA polymerase (Yu, Cao and Ji, 2017). Kemudian cDNA didenaturasi pada suhu 93-94°C menyebabkan pemisahan rantai lalu setelah itu tahap annealing 2 oligonukleotida primer dan cDNA template pada suhu 55°C. Tahap selanjutnya adalah pemanjangan dengan dibatu oleh enzim Taq DNA polymerase dan terbentuk rantai baru (Yu, Cao and Ji, 2017). Siklus dilanjutkan dengan amplifikasi sebanyak 40 siklus dan akan menghasilkan nilai CT (Shui et al., 2020).

Menurut PDS patklin, hasil RT PCR dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor pra analisis, analisis, dan pasca analisis. Faktor pra analisis meliputi teknik sampling, persiapan spesimen, pengemasan atau penyimpanan spesimen, dan waktu pengambilan spesimen (WHO, 2020). Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pengambilan sampel meliputi kebersihan tangan, penggunaan APD lengkap, Higiene petugas, dan kebersihan ruangan untuk mengurangi dekontaminasi (Andriyoko, 2020). Saat Faktor saat analisis meliputi metode dan reagen yang digunakan (Corman et al., 2012).

2.3 Pemeriksaan RT-PCR pada pasien COVID-19

Pemeriksaan RT-PCR sangat direkomendasikan oleh WHO untuk mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2 dengan menggunakan sampel berupa lender yang diperoleh dari swab nasofaring atau swab orofaring (Kementrian Kesehatan, 2020). Kemudian sampel yang sudah diperoleh akan diestraksi untuk mendapatkan RNA murni dan dilanjutkan dengan deteksi virus SARS-CoV-2 menggunakan RT-PCR (Tahamtan and Ardebili, 2020).

Prinsip pemeriksaan RT-PCR pada pasien COVID-19 sama dengan

kasus lainnya, yang membedakan adalah gen target virusnya. Virus SARS-

CoV-2 memiliki gen ORF1ab, RdRp, spike (S), envelope (E), dan

nukleokapsid (N) (Wu et al., 2020). Menurut PDS Patklin, gen E pada SARS-

CoV-2 umumnya digunakan untuk skrining sedangkan gen N dan ORF1ab

digunakan untuk konfirmasi. Jadi gen target tersebut yaitu ORF1ab atau gen N

akan diamplifikasi sebanyak 40 siklus dan akan menghasilkan nilai CT, jika

nilai CT kurang dari 37 menandakan positif dan lebih dari 37 menandakan

(17)

21

negatif (Shui et al., 2020). Gambar 5 dibawah ini menunjukan panjang total SARS-CoV-2 dan panjang gen-gen yang berada di dalamnya yaitu RdRp, gen E, dan Gen N (Corman et al., 2020).

Gambar 5. Beda Genom SARS-CoV dan SARS CoV-2 (Corman et al., 2020) 3. Hubungan Nilai Cycle Threshold dengan Derajat Penyakit pada Pasien

COVID-19

Penegakan diagnosis COVID-19 tergantung pada hasil dari nilai CT dari gen ORF1ab, RdRp, E, dan N yang didapat melalui pemeriksaan RT-PCR (Xu et al., 2020). Nilai CT sendiri merupakan jumlah siklus amplifikasi gen target pada RT-PCR yang diperlukan untuk menghasilkan fluorescent yang melebihi ambang batas (Zhou et al., 2020).

Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa nilai CT pada pemeriksaan RT-PCR dapat mengindikasikan derajat penyakit pasien COVID- 19 (Zhao et al., 2020). Dalam penelitian (Singanayagam et al., 2020) terhadap 324 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi positif RT-PCR didapatkan 92%

kasus diklasifikasikan asimtomatik dan ringan-sedang sementara 8% kasus diklasifikasikan berat. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan jauh nilai CT pada kasus asimtomatik, ringan-sedang, dan berat, tetapi memiliki kesimpulan yang sama dimana semakin rendah nilai CT semakin tinggi viral load (Singanayagam et al., 2020). Kemudian menurut penelitian (Zhao et al., 2020) yang menguji hubungan faktor klinis dengan nilai CT menyebutkan bahwa semakin rendah nilai CT mengindikasikan semakin parah penyakitnya.

Kesimpulan dari beberapa penelitian, derajat penyakit ditentukan

oleh viral load (Zhou et al., 2020). Semakin rendah nilai CT, semakin tinggi

viral load-nya dan viral load ini lah yang menentukan derajat dan progresifitas

(18)

22

penyakit (Xu et al., 2020). Nilai CT ini dapat menjadi sumber informasi untuk menentukan derajat penyakit sehingga dapat melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan tepat (Singanayagam et al., 2020).

B. Kerangka Pemikiran

: Tidak diteliti : Diteliti

Gambar 6 Kerangka Pemikiran

Virus SARS-CoV-2

Saluran

Pernapasan Asimptomatik Respon Inflamasi Peningkatan sitokin

pro inflamasi (TNF-α, Il-6, IL-10)

Gejala Ringan (Demam, nyeri tenggorokan, batuk, sesak nafas, malaise,

nyeri kepala) Berlebihan dan

berkepanjangan

Disfungsi sistem imun Penurunan

regulasi ACE2

Disfungsi RAS

Pulmonary edema Replikasi

dan kerusakan sel

yang cepat

Badai Sitokin Respon

inflamasi sistemik

ARDS Kerusakan

organ

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan Antibodi Pemeriksaan

Biomolekuler

RT-PCR Nilai CT

Gejala Sedang - Berat

Gejala Kritis

(19)

23 C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara nilai cycle threshold (CT) dengan derajat

penyakit pada pasien COVID-19.

Gambar

Gambar 1. Struktur Virus SARS-CoV-2 (Duan, 2020).
Gambar 2. Struktur Genom dari SARS-CoV-2 (Nawaz et al., 2021)
Gambar 4. Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium COVID-19  (Frater et al., 2020)
Gambar 5. Beda Genom SARS-CoV dan SARS CoV-2 (Corman et al., 2020)  3.  Hubungan  Nilai  Cycle  Threshold  dengan  Derajat  Penyakit  pada  Pasien
+2

Referensi

Dokumen terkait

menggunakan perhitungan Chi-square (χ 2 ) yaitu Fisher’s exact test diperoleh nilai ρ = 0,000 (ρ &lt; 0,05) yang berarti bahwa ada hubungan antara faktor pemungkin

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik

Bank merupakan Lembaga Keuangan yang menghimpun dana masyarakat yang berkelebihan dan memberikan jasa-jasa keuangan untuk memperlancar kegiatan memberikan perekonomian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan jumlah bilangan peroksida minyak goreng yang digunakan pedagang gorengan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang

Kebanyakan anak menunjukkan perbaikan neurologis yang baik setelah dilakukan penanganan yang spesifik terhadap penyebab penurunan kesadaran, dan dalam hal ini

Dalam strategi pengajaran dan pembelajaran seni bahasa guru harus menetapkan objektif yang perlu dicapai oleh murid dengan merujuk Standard Kandungan dan

mengambil prinsip terhadap isu-isu, yang bertujuan mengganggu muslimin serta memecah-belah dan melemahkan persatuan muslimin, Allah berfirman, ”Hai, orang-orang

Melaksanakan penyiapan penyusunan kebijakan teknis, rencana, pelaksanaan dan pengembangan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pelatihan di bidang sumber daya