10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Pengaturan Hukum
Istilah kata “Pengaturan” secara umum yakni suatu proses maupun upaya demi mencapai suatu tujuan tertentu. Sementara itu “Hukum” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya yakni suat peraturan resmi yang mengikat berupa peraturan perundang- undangan, dan lain-lain yang bertujuan mengatur pergaulan dalam hidup bermasyarakat.
Oleh sebab itu arti dari kedua istilah diatas dapat disimpulkan bahwa “Pengaturan Hukum”
yakni suatu bentuk upaya pemerintah yang bertujuan demi mengatur masyarakat agar dapat terciptanya ketertiban bermasyarakat.
Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil itu sendiri telah diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum pidana formil yang mengatur terkait pelaksanaan dari hukum pidana materiil telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam kesempatan kali ini lebih tepatnya saya akan membahas pengaturan hukum di Indonesia mengenai tindak pidana penganiayaan hewan yang tercantum dalam Pasal 302 KUHP dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Saya akan melaksanakan analisa komperatif terhadap kedua pengaturan hukum tersebut untuk mendapatkan hasil penelitian sesuai rumusan masalah saya.
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Hewan 1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana diketahui berdasarkan beberapa literature yakni berasal dari
kata strafbaarfeit (Bahasa Belanda) yang mempunyai arti yakni Tindak Pidana.
1Tindak pidana itu sendiri menurut Simons yakni suatu tindakan melanggar hukum secara sengaja maupun tak disengaja oleh seseorang yang tak dapat dipertanggungjawabkan tindakannya oleh Undang-Undang dinyatakan sebagai suatu bentuk tindakan yang dapat dikenai hukuman.
2Tindak pidana itu sendiri pun harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut, antara lain:
1) Perbuatan yang dilakukan oleh manusia 2) Dapat diancam dengan pidana
3) Melawan hukum yang berlaku 4) Dilakukan dengan suatu kesalahan
5) Oleh orang yang sanggup untuk bertanggung jawab
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa syarat dari adanya suatu pidana telah melekat dengan perbuatan pidana. Simons tak memisahkan antara criminal act maupun criminal responsibility. Namun bilamana mengikuti pendapat
ini, bilamana ada seseorang yang melaksanakan suatu tindak pembunuhan (Pasal 338 KUHP), namun pelaku tersebut ternyata seseorang yang dapat disebut tak mampu bertanggung jawab, seperti misalnya orang gila. Maka dapat disebut tak terjadi tindak pidana. Karena orang gila tak sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Bilamana tak ada perbuatan pidana maka tak dapat dipidana.
3Kemudian menurut Moeljatno, suatu tindak pidana yakni sebuah perbuatan yang
1
Sudarto, Hukum Pidana jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang, 1975, hlm. 31-32 dalam Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Pres, Malang, 2012, hlm, 91.
2
I Made Widnyana, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm. 34.
3
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Umm Pres,
Malang, 2009, Hal 106.
diancamkan dalam pidana, yakni barangsiapa yang melakukan pelanggaran maka untuk dapat dikatakan terjadinya suatu perbuatan pidana harus dipenuhi beberapa unsur, yakni antara lain:
1) Suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia 2) Memenuhi rumusan dalam Undang-Undang 3) Memiliki sifat yang melawan hukum.
4Berdasarkan beberapa definisi diatas terkait tindak pidana, maka dapat ditarik kesimpulan yakni dalam tindak pidana itu sendiri terdapat beberapa unsure tindak pidana yakni unsure obyektif dan subyektif, yakni antara lain:
1. Unsur objektif yakni suatu hal yang terdapat diluar pelaku yang antara lainnya berupa demikian:
a. Perbuatan b. Akibat
c. Keadaan yang diancam oleh undang-undang.
2. Unsur subjektif yakni suatu unsur yang ada dalam diri pelaku, yang antara lainnya berupa demikian:
a. Suatu hal yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
b. Suatu kesalahan yang memiliki keterkaitan dengan masalah kesanggupan bertanggung jawab diatas. Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab apabila pada diri orang itu memenuhi tiga syarat yakni:
1) Seseorang memiliki keadaan jiwa yang berbeda-beda, sehingga dapat mengerti atas perbuatannya dan juga mengerti akibat atas perbuatannya.
4
Ibid.
2) Seseorang memiliki keadaan jiwa yang berbeda-beda, sehingga seseorang dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukannya.
3) Seseorang harus menyadari perbuatan apa saja yang dilarang oleh Undang-Undang atau tidak.
52. Pengertian Kejahatan dan Pelanggaran
Dalam sistem perundang-undangan terkait hukum pidana, dibagi menjadi 2 golongan yakni kejahatan dan pelanggaran. Kedua istilah tersebut sebenarnya tak mempunyai perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan keduanya sama-sama delik maupun perbuatan yang dapat dikenakan sanksi.
6Kejahatan serta pelanggaran mempunyai kaitan yang erat terhadap suatu penerapan hukum dan/ maupun peraturan yang berlaku di tengah masyarakat. Namun sebenarnya kejahatan dan pelanggaran yakni 2 hal yang berbeda, oleh sebab itu berikut saya jabarkan perbedaan antara kejahatan dengan pelanggaran dibawah ini:
a. Kejahatan
Istilah “Kejahatan” berasal dari bahasa Belanda, yakni misdrijven yang memiliki arti yakni sebuah perbuatan yang tak baik dan berhubungan dengan hukum. Kejahatan yakni bagian dari suatu perbuatan yang melawan hukum maupun delik, bagian lainnya yakni pelanggaran.
7Sedangkan kejahatan menurut Paul Mudigdo Moeliono yakni suatu perbuatan manusia, yang merupakan hal yang dinilai sebagai
5
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, 1981, Delik-delik Khusus kejahatan yang ditujukan Terdapat Hak Milik, Tarsito, Bandung, Hal. 25 dalam Tongat, 2002, Hukum Pidana Materiil, Umm Press, Malang, Hal 4.
6
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1985, Hlm.
86.
7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, Hlm.71.
pelanggaran norma, yang dapat disebut merugikan, menjengkelkan, bahkan hingga tak dapat dibiarkan.
8Kemudian menurut Soesilo bilamana dilihat dari sudut pandang yuridis, kejahatan yakni suatu tingkah laku yang bertentangan dengan perundang-undangan.
Sedangkan bilamana dilihat berdasarkan sudut pandang sosiologis, kejahatan yakni sebuah bentuk tingkah laku yang dapat merugikan maupun menimbulkan kerugian yakni misalnya kehilangan keseimbangan, ketentraman, dan ketertiban.
9Maka, dari keterangan ahli hukum diatas dapat saya simpulkan dengan sederhana bahwa kejahatan yakni suatu tindakan yang merugikan, melawan norma dalam masyarakat, yang akhirnya menciptakan kekhawatiran pada masyarakat dan mengganggu ketenangan masyarakat. Segala bentuk kejahatan telah diatur dalam buku ke-II KUHP.
b. Pelanggaran
Pelanggaran menurut Moeljanto yakni suatu perbuatan maupun tindakan yang melawan hukum yang hanya dapat ditentukan setelah adanya hukum maupun tindakan yang melawan hukum yang hanya dapat ditentukan setelah adanya hukum maupun Undang-Undang yang mengatur terkait tindakan tersebut.
10Pelanggaran menurut Bambang Poernomo yakni politis-on recht yang artinya suatu perbuatan yang tak taat terhadap suatu larangan maupun keharusan yang telah ditentukan
8
Topo Santoso dan Eva AchjaniZulfa, Kriminologi, Raja Grafindo, Jakarta, 2010, Hlm. 11.
9
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 2013, Hlm. 71.
10
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hlm.71
oleh penguasa negara.
11Sementara itu pelanggaran menurut Wirjono Prodjodikoro yakni suatu perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, artinya tak lain dari pada perbuatan melawan hukum.
12Maka berlandaskan definisi pelanggaran menurut ahli, dapat saya simpulkan secara sederhana bahwa pelanggaran ialah suatu bentuk tindakan yang dinyatakan melanggar undang-undang maupun hukum yang berlaku. Segala bentuk pelanggaran telah diatur dalam KUHP, tepatnya pada buku ke-III
c.Perbedaan Kejahatan dengan Pelanggaran Tabel 1
Tabel Perbedaan Antara Kejahatan Dengan Pelanggaran
KEJAHATAN PELANGGARAN
Suatu tindakan yang mengandung suatu “onrecht”
(perbuatan yang bertentangan dengan hukum) hingga membuat orang memandang bahwa tindakan tersebut pantas untuk dihukum walau tak tercantum di Undang-Undang sebagai suatu tindakan yang terlarang.
13Telah diatur dalam Buku ke-II KUHP tepatnya pada Pasal 104 hingga Pasal 488.
Sebagai contoh tindak kejahatan yang dimisalkan yakni
Suatu perbuatan yang perbuatannya baru diketahui bahwa hal tersebut merupakan suatu pelanggaran yang bersifat melawan hukum hingga dapat dihukum ketika setelah tindakan tersebut dilarang dalam undang- undang.
14Pelanggarandiaturdalam KUHP tepatnya pada Pasal 489 hingga 569.
Sebagai contoh tindak pelanggaran misalnya penadahan ringan (Pasal 482 KUHP),
11
Bambang Poernomo, Dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, Hlm. 40.
12
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2003, Hlm.
33.
13
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, Hlm. 210.
14
Ibid.
pembunuhan, pembunuhan itu sendiri diatur pada KUHP tepatnya pada Pasal 338, kemudian pemerkosaan yang diatur pada Pasal 285, dan pencurian yang diatur pada Pasal 362.
mabuk di tempat umum (Pasal 492 KUHP/ 536 KUHP).
Terdapat perbedaan Opzet dan Culpa dalam kejahatan.
15Dalam peraturan perundang- undangan tidak ada perbedaan terkait Opzet dan Culpa.
16Apabila seseorang ikut serta dalam membantu seseorang dalam melakukan kejahatan dapat dikenakan sanksi.
17Apabila seseorang ikut serta dan membantu seseorang dalam melakukan pelanggaran, tidak dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 60 KUHP.
Salah satu syarat penuntutan yakni adanya pengaduan.
18Dalam perundang-undangan tak mengatur terkait salah satu syarat penuntutan yakni adanya pengaduan.
19Suatu percobaan dalam melakukan kejahatan, dapat diancam pidana.
Berdasarkan Pasal 54 KUHP, percobaan dalam melakukan pelanggaran tidak dapat dikenai sanksi.
Berdasarkan Pasal 78 KUHP, memiliki jangka waktu yang lebih lama daripada pelanggaran
untuk daluwarsa
kewenangannya.
Berdasarkan Pasal 78 Ayat 1 KUHP, memiliki jangka waktu yang lebih singkat daripada kejahatan untuk daluwarsa kewenangannya.
Suatu kejahatan dapat diancam dengan pidana penjara.
Suatu pelanggaran tak pernah diancam dengan pidana penjara.
20Sumber: Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Hlm.
15
Ibid, Hlm. 211.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid, Hlm. 212.
19
Ibid, Hlm. 212.
20
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2014, Hlm. 107.
210.
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Hewan
Penganiayaan Hewan akan dijatuhi hukuman seperti yang terkandung dalam Pasal 302 KUHP yang didalamnya terdapat 2 bentuk tindak pidana terkait demikian:
a) Suatu bentuk penganiayaan ringan terhadap hewan dapat diancamkan pidana berupa hukuman penjara selama 3 bulan maupun pidana denda Rp 4.500,- yang dirumuskan demikian:
1. Tanpa tujuan yang jelas serta melampaui batas dalam mencapai suatu tujuan dengan sengaja menyakiti maupun melukai hewan serta merugikan kesehatannya.
2. Tanpa tujuan yang jelas serta melampaui batas dengan sengaja tak memberi makan dan minum untuk hewan bertahan hidup yang seluruhnya maupun sebagian menjadi kepemilikannya dan menjadi jagaannya serta yang dipeliharanya.
b) Suatu bentuk penganiayaan hewan yang dapat diancamkan dengan pidana penjara maksimal 3 bulan maupun pidana denda Rp 300,- sebagaimana yang dirumuskan diatas namun mengakibatkan hewan tersebut sakit melebihi seminggu maupun cacat dan luka-luka berat hingga mati.
2121
Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003,
hlm. 127
C. Tinjauan tentang Pengertian Hewan
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 1 Ayat (3) mencantumkan terkait pengertian hewan yakni satwa maupun binatan yang siklus hidupnya sebagian maupun secara kesemuaan berada di dalam air, darat, maupun juga udara, yang dipelihara maupun hidup bebas di habitatnya masing-masing. Selain itu, Pasal ini juga menjelaskan terkait jenis hewan yang dibedakan menjadi 3, yakni hewan peliharaan, hewan ternak, serta hewan liar.
Dalam Undang-Undangini, pengertian istilah hewan peliharaan terdapat dalam Pasal 1 Ayat (4) yang artinya yakni hewan yang hidupnya bergantung sebagian maupun sepenuhnya terhadap manusia dengan maksud tertentu. Contoh hewan yang termasuk dalam jenis hewan peliharaan yang biasa dipelihara oleh masyarakat di Indonesia yakni kucing dan anjing. Kucing dan anjing memiliki sifat yang setia, pintar, manis dan bisa dijadikan teman dan hiburan bagi pemiliknya.
Dengan tingkah lakunya yang lucu dan menggemaskan, dapat menularkan dan meningkatkan hormone endorfin yang menimbulkan kebahagiaan terhadap pemiliknya. Oleh sebabitu, masyarakat Indonesia umumnya memilih kucing dan anjing sebagai hewan peliharaannya.
Kemudian definisi hewan ternak pada undang-undang ini telah dijelaskan
pada Pasal 1 Ayat (5) yakni hewan yang dipelihara sebagai hewan yang
menghasilkan pangan, bahan baku industry, jasa, dan beberapa hasil lainnya yang
terkait dengan pertanian. Contoh hewan yang termasuk dalam jenis hewan ternak
yakni ayam, bebek, ikan, sapi, kambing, dan masih banyak lagi. Beberapa hewan
tersebut diternak dengan maksud untuk memenuhi pangan masyarakat di Indonesia
yang mayoritas setiap hari membutuhkan kandungan protein dari hewan-hewan tersebut. Hewan-hewan tersebut diambil dagingnya, kemudian dimasak oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangannya setiap hari. Selain diambil dagingnya, hewan tersebut juga bisa diambil hasilnya. Misalnya ayam dan bebek diambil telurnya, sementara itu sapi dan kambing bisa diambil susunya.
Sementara itu satwa liar pada undang-undang ini tepatnya pada Pasal 1 Ayat (6) diartikan sebagai binatang yang hidup di darat, air, maupun udara yang memiliki sifat liar, baik yang hidup secara bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Contoh dari satwa liar yang ada di Indonesia antara lain harimau, singa, zebra, gajah, ular, dan masih banyak yang lainnya. Beberapa hewan tersebut ada yang tinggal secara bebas di sekitar kita, maupun tinggal di habitatnya masing-masing. Tapi tak jarang hewan-hewan tersebut juga dipelihara oleh perorangan maupun suatu lembaga kebun binatang. Hewan-hewan tersebut memiliki sifat yang liar, oleh sebab itu meskipun sudah dipelihara dan akrab dengan pemiliknya tetap harus diberikan perhatian ekstra dikarenakan sifat liar dan naluri berburu mangsanya masih ada di dalam jiwanya. Namun bukan berarti sang pemilik dapat bertindak kasar dan keji kepada mereka. Karena hak mereka sudah diatur didalam KUHP dan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2014. Begitu pula hewan-hewan tersebut yang hidup liar di habitat nya. Tak boleh diburu dengan sembarangan. Dikarenakan ada beberapa satwa liar yang dilindungi dan tak boleh dijadikan hewan buruan. Oleh sebab itu saya harap masyarakat dapat berburu hewan dengan bijak.
Manusia selaku pemilik maupun pengelola hewan tentu harus memberikan
perhatian dalam menyejahterakan hewan yang berhubungan dengan kondisi fisik
dan mental hewan dalam rangka memberikan perlindungan hewan terhadap segala
tingkah laku manusia yang tak layak terhadap hewan. Terdapat 5 asas kesejahteraan
hewan yang perlu diperhatikan oleh manusia sebagai pemilik maupun orang yang mengelola hewan dalam rangka memastikan bahwa hewan tersebut dapat memenuhi syarat untuk dapat dikatakan bahwa hidup dari hewan tersebut telah sejahtera, yakni antara lain:
a. Bebas dari rasa lapar, haus dan malnutrisi
b. Bebas dari rasa sakit dan tak nyaman.
c. Bebas dari rasa takut dan tertekan.
d. Bebas dari kesakitan, luka dan penyakit.
e. Bebas untuk mengekspresikan pola perilaku normal.
22D. Tinjauan tentang Hukum Positif
Dalam dunia ini, setiap masyarakat mempunyai Bahasa serta hukumnya masing-masing, hukumnya pun mempunyai penataan hukumnya sendiri. Hukum Positif yakni suatu tata hukum yang berlaku dalam waktu dan wilayah tertentu. Maupun secara lebih mudah dipahami, hukum positif yakni hukum yang berlaku dalam waktu sekarang untuk suatu kelompok masyarakat dalam suatu daerah tertentu.
23Hukum positif Indonesia itu sendiri berdasarkan bentuknya, terdiri dari hukum tertulis (berupa peraturan perundang-undangan) dan hukum tak tertulis (hukum adat).
Sumber hukumnya pun ada 2, yakni sumber hukum materiil dan formil.
24Sumber Hukum Positif
22
Epifanius, Eksistensi Pasal 302 KuhpTerhadap Tindak Pidana Penganiayaan Hewan Di Indonesia, jurnal ilmiah fakultas hukum, 2014, hlm. 7
23
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, C.V Armico, Bandung, 1985, Hlm. 23.
24
Ibid,Hlm. 37.
Sumber hukum materiil yakni suatu factor yang dapat membantu pembentukan hukum maupun tempat dimana material hukum tersebut diambil. Berikut yakni hal yang termasuk sumber hukum materiil, antara lain:
a. Norma b. Hukum c. Tradisi d. Kebiasaan
Sumber hukum formil yakni suatu tempat yang dapat ditemukannya hukum, prosedur dan cara pembentukan Undang-undang. Berikut yakni hal yang termasuk sumber hukum formil antara lain:
25a. Peraturan perundang-undangan.
b. Adat maupun kebiasaan.
c. Yurisprudensi.
d. Traktat maupun perjanjian internasional e. Doktrin hukum
E. Tinjauan tentang Lex Specialis Derogat Legi Generalis
Lex Specialis derogate legi generalis yakni suatu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang memiliki sifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang memiliki sifat umum (lex generalis). Sebagai contoh aturan yang memiliki sifat umum (lex generalis) yakni Pasal 18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara demokratis. Namun juga menghormati pemerintahan daerah yang
25
Ibid,Hlm. 38.
memiliki sifat khusus (lex specialis) sehingga Daerah Istimewa Yogyakarta yang Gubernurnya tak dipilih secara demokratis tetap dapat dipertahankan.
Dalam peraturan-peraturan di hukum pidana dipisahkan menjadi dua jenis yakni salah satunya hukum pidana yang memiliki sifat umum dan hukum pidana yang memiliki sifat khusus. Ditempatkan di luar Hukum Pidana Umum yang punya penyimpangan-penyimpangan dari Hukum Pidana Umum dari segi Hukum Pidana Materriil maupun dari segi Hukum Pidana Formil. Apabila tak memiliki sesuatu itu penyimpangan tak dapat disebut Hukum Pidana Khusus maupun Hukum Tindak Pidana Khusus.
26Hukum Tindak Pidana Khusus yang diatur yakni suatu perbuatan yang dapat berlaku kepada orang-orang terpilih yang tidak dapat dilakukan oleh orang lainnya yang bukan merupakan orang terpilih tersebut. Meskipun demikian hukum tindak pidana khusus dapat dilihat terkait substansinya. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam perundang-undangan diluar hukum pidana umum.
Aparat yang terdapat dalam penegakan hukumnya yakni Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang memiliki tugas yakni sebagai pelaksana penyidikan serta memberi tuntutan terhadap perbuatan pidana.
27Serta hakim yang berlaku sebagai penegak hukum yang wajib menggali serta mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat.
28Dalam melakukan putusan wajib untuk memperhatikan terkait tuntutan dan objek lainnya sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penetapan atas suatu putusan pengadilan. Dalam halnya penuntutan mengenal sebuah asas yakni asas lex specialis derogate legi generalis yakni suatu asas yang menafsirkan hukum yang
26
Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm.
21.
27
Tolib Effendi, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana: Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia, Setara Press, Malang, 2014, Hlm. 49.
28
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1991, Hlm. 11.
dinyatakan bahwa hukum yang memiliki sifat khusus itu lex specialis mengesampingkan hukum yang memiliki sifat umum legi generalis. Yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogate legi generalis, yakni:
1. Seluruh keputusannya yang bisa dapat didalam pengaaturan hukum umum harus diberlakukan, mengecualikan segala yang mengaturnya itu khusus didalam aturanya yang hukumnya khusus.
2. Seluruh keputusannya lex specialis sama maupun sederajat keputusannnya lex generalis undang-undang dengan undang-undangnya yang sudah ada.
3. Seluruh keputusannya lex specialis harus ada didalam suatu ruang lingkungan hukum maupun kompleks yang disama oleh lex generalis KUHP.
29Keberadaan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis telah dicantumkan dalam Pasal 63 ayat(2) KUHP, pada pasal ini dikatakan bahwa meskipun perbuatan tersebut termasuk dalam suatu aturan dalam pidana umum, namun diatur juga pada pidana khusus. Oleh sebab itu hanya khusus itulah yang diterapkan.
29