SEGMENTASI PENYAKIT PADA CITRA DAUN TEBU MENGGUNAKAN
METODE HYBRID ARTIFICIAL BEE COLONY - FUZZY C MEANS
Mustika Mentari1), R.V. Hari Ginardi2), dan Chastine Fatichah3)
1, 2,3)Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Departement of Informatics,Faculty ofInformation Technology, ITS Surabaya 60111 e-mail: [email protected]), [email protected]), [email protected])
ABSTRAK
Otomatisasi sistem untuk mendeteksi penyakit pada tanaman tebu perlu dilakukan untuk mempercepat penanganan penyakit yang mengakibatkan penurunan produktivitas. Informasi penyakit dari ahli seringkali membutuhkan banyak waktu dan biaya sehingga terjadi keterlambatan penanganan penyakit. Untuk itu sebagai penanganan awal diperlukan adanya deteksi penyakit pada daun tebu secara otomatis. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sistem otomatis untuk segmentasi citra daun tebu berpenyakit dengan metode Hybrid Artificial Bee Colony (ABC) - Fuzzy C Means (FCM). Penelitian ini memiliki beberapa tahapan yaitu preprocessing yang memisahkan bagian daun dengan background serta menghilangkan tulang daun yang tidak digunakan dalam penelitian ini, pemilihan region of interest, ekstraksi fitur, dan segmentasi. Citra yang diproses menggunakan pemilihan ROI yang menunjukan dominasi area penyakit pada daun menggunakan overlapping window seluas 100x100 pixel. ROI tersebut kemudian dilanjutkan pada proses segmentasi menggunakan ABC-FCM. Metode segmentasi yang diusulkan mampu menunjukkan rata-rata akurasi yang tinggi, yaitu sebesar 91%. Segmentasi menggunakan metode ABC-FCM menunjukkan hasil yang baik dari pada menggunakan metode FCM saja.
Kata Kunci: Segmentasi penyakit, daun tebu, ABC, FCM I. PENDAHULUAN
anaman tebu di Indonesia merupakan salah satu kebutuhan yang harus selalu dipelihara. Faktor yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan tebu seharusnya dipelihara, sedangkan yang menghambat harus segera diatasi. Faktor penghambat utama adalah penyakit yang menyebabkan penurunan produktivitas, sehingga berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Penyakit tebu yang menjadi sumber permasalahan seharusnya segera diselesaikan dan diatasi. Penanganan yang sigap dapat mengurangi pemborosan biaya dan pencemaran akibat penggunaan pestisida yang berlebihan jika terjadi kesalahan dalam pendeteksian penyakit pada daun tebu [1]. Salah satu penyebab penyakit pada daun tebu adalah jamur. Penyakit karena jamur ini mempunyai karakteristik berupa bercak pada daun. Bagian inilah yang dapat diamati dan dapat digunakan sebagai media pendeteksian penyakit pada daun tebu.
Penelitian [2] mendeteksi tingkat keparahan pada daun zaitun yang diambil secara langsung pada tanaman di alam bebas. Hal ini menyebabkan data
citra yang terambil sangat rentan dengan pencahayaan yang tidak merata. Teknik yang digunakakan pada penelitian ini adalah klastering. Tahap awal setelah pengambilan data di lapangan adalah merubah resolusi citra menjadi 256 x 256
pixel. Tahap kedua adalah transformasi dari ruang
warna Red Green Blue (RGB) menjadi L*a*b* color space, dikarenakan L*a*b* memiliki kedekatan dengan persepsi mata manusia. Tahap ketiga pemilihan ROI (Region of Intereset) dengan metode pemotongan secara poligonal. Dan tahap terakhir menggunakan metode klasifikasi FCM (Fuzzy C
Means) yang dilanjutkan pada metode statistika
untuk penentuan area terdeteksi penyakit pada daun. Percobaan yag dilakukan memperlihatkan hasil yang sangat baik menggunaaan FCM dan manual scoring dengan rata-rata akurasi 86%. Hasil tersebut lebih baik jika dibandigkan dengan penggunaan metode
K-mean Clustering (KCM) yang hanya menghasilkan
tingkat akurasi 66%.
Metode klastering sering kali memiliki kelemahan karena tidak mampu menemukan solusi optimal dalam menemukan titik pusat klaster. Salah satu metode yang mampu mengatasi kelemahan tersebut T
adalah metode optimasi. Beberapa metode optimasi telah banyak diteliti di era sekarang ini. Penelitian [3] melakukan pembandingan beberapa metode optimasi seperti Particle Swarm Optimization (PSO), Artificial Bee Colony (ABC) dan juga metode lain-lain. Penelitian ini menggunakan data numerik dari database UCI Machine learning. Hasil uji coba dari penelitian membuktikan bahwa metode ABC menunjukkan tingkat error yang paling kecil dibandingkan dengan metode lain yang dibandingkan dalam metode penelitian ini.
Penelitian yang diangkat setelah setelah melakukan beberapa studi literatur adalah mengenai segmentasi penyakit pada citra daun tebu. Segmentasi penyakit dilakukan dengan metode gabungan FCM dan optimasi ABC. Metode ABC digunakan karena dapat membantu metode klastering FCM dalam menemukan pusat klaster secara optimal.
Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan sistem segmentasi otomatis pada citra daun tebu berpenyakit menggunakan metode gabungan ABC dengan FCM. ABC membantu menemukan pusat klaster secara optimal pada FCM dengan membangkitkan sejumlah lebah yang melakukan pergerakan sesuai aturan dan berulang-ulang untuk mendapatkan solusi yang paling mendekati benar. Solusi ini merupakan wujud dari pembagian antara area daun tebu berpenyakit dan area daun tebu normal.
II. SEGMENTASI CITRA MENGGUNAKAN HYBRID
ABC-FCM
Segmentasi menggunakan metode gabungan ABC-FCM memiliki beberapa proses yang diawali dengan pengambilan data sampai dengan proses segmentasi citra. Proses awal yang dilakukan adalam pengambilan data. Pengambilan data dilakukan pada beberapa lahan tebu di kota Malang dan Mojokerto. Pengambilan ini dilakukan dalam beberapa tahap pencahayaan saat pengambilan citra. Mulai dari cuaca yang cerah sampai dengan mendung. Selain itu pengaruh kejelasan citra didukung oleh pengambilan citra menggunakan beberapa jenis kamera dengan kualitas yang berbeda-beda. Proses kedua yaitu pengolahan data sebelum masuk ke proses inti. Pengolahan data melakukan pemisahan citra daun
tebu yang sudah terambil dengan bagian alas berupa kertas putih. Setelah hanya bagian daunnya saja, kemudian proses pengolahan data dilakukan dengan menghilangkan bagian tulang daun yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Setelah hanya bagian daging daunnya saja, maka dilanjutkan pada proses ketiga yaitu proses pemilihan ROI menggunakan
overlapping moving window berukuran 100 x100 pixel. Dari keseluruhan window yang ada pada suatu
citra, akan dipilih window yang merupakan daerah dominan penyakit berdasarkan nilai standar deviasi yang paling tinggi. Proses keempat adalah proses ekstraksi fitur menggunakan fitur warna dengan
channel a* dari color space L*a*b*. Proses kelima
yang merupakan proses terahir pada penelitian ini adalah segmentasi menggunakan metode gabungan ABC dengan FCM. Gabungan ABC-FCM menggunakan kelebihan ABC untuk menemukan solusi optimal dalam menemukan titik pusat klaster pada metode FCM. Keseluruhan tahap penelitian ini dijelaskan pada Gambar 1.
. Gambar 1 Alur Penelitian
Pengambilan Data
Olah Data
Pencarian ROI
Ekstraksi Fitur
A. Dataset
Dataset dalam penelitian ini adalah daun tebu berpenyakit khususnya yang disebabkan oleh jamur.
Ada empat jenis penyakit yang digunakan pada penelitian ini, yaitu ring spot, eye spot, yellow spot, dan rust spot.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2 Penyakit Tebu (a) Ring Spot, (b) Eye Spot, (c)
Yellow Spot, (d) Rust Spot
Penyakit pada daun tebu ring spot muncul karena jamur leptosphaeria sacchari . Media penyebaran penyakit ini berkembang baik pada keadaan lembab dan hangat (musim panas). Mewabahnya penyakit ini semakin cepat dengan bantuan hujan/angin. Secara fisik penyakit ini berwarna bronze brown dengan tepi kekunigan saat dewasa (berbentuk seperti cincin). Dimulai dati bintik sampai berbentuk oval bercak penyakit ini dapat berukuran 1-5 mm sampai 4-18 mm. Ring spot yang dijalaskan pada Gambar 2 (a) [4] merupakan penyakit yang dapat muncul pada daun tebu pada usia dewasa atau dalam kondisi siap panen. Secara langsung penyakit ini tidak menyebabkan hasil panen menurun.
Eye spot yang dijelaskan pada Gambar 2 (b) [5]
muncul akibat jamur bipolaris sacchari. Penyakit ini semakin subur jika kelembaan tinggi disertai embun yang jernih serta deras. Secara fisik peyakit ini sekilas menyerupai bentuk mata manusia. Warna penyakit ini adalah kemerahan/kekuningan dengan tepi kecokelatan. Lebar bercak tersebut berkisar antara 0,5-0,4 mm dan 0,5-2 mm.
Yellow spot muncul pada daun tebu karena suatu
jamur yang disebut dengan mycovellosiella koepki. Efek samping yang disebabkan adalah kadar sukrosa dan hasil panen tanaman yang menurun. Penyebaran penyakit ini disebabkan karena curah hujan dan kelembapan yang tinggi. Pada fase awal penyakit ini berbentuk bercak dengan diameter 1-2 mm yang berwana kuning kemerahan dan berwarna kabur
keabu-abuan pada bagian bawah daun [6]. Penyakit ini dapat dilihat pada Gambar 2 (c) [7].
Jenis penyakit selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyakit karat (rust diseases). Efek jika tanaman terjangkit penyakit ini adalah tanaman menjadi kerdil dan terdapat bercak berwarna kuning. Khsusnya pada daun bercak tersebut awalnya kecil dan kemudian melebar antara 2-10 mm atau bahkan 30 mm dengan warna coklat sampai orange-coklat/merah-coklat. Gambar 2 (d) adalah penyakit karat pada daun tebu [8]. Gambar tersebut juga membuktikan bahwa penyakit ini memiliki perubahan warna daun di daerah sekitar bercak berwarna kekuningan atau kecoklatan.
B. Ekstraksi Fitur
Ruang warna RGB yang menjadi dasar data
penelitian ini kemudian dikonversi terlebih dahulu menjadi L*a*b*. Ruang warna tersebut memiliki
channel masing-masing, yaitu L* yang berarti lightness, a* adalah red/green, dan b* merupakan yellow/blue [9]. Jika digambarkan dengan suatu
diagram bersumbu, maka channel a* berada pada daerah dari kiri ke kanan dimana arah positif cenderung mengarah pada warna merah. Channel b* berada pada daerah dari bawah ke atas dimana arah positif cenderung mengarah pada warna kuning.
Channel l* berada pada pusat diagram yang
cenderung merupakan warna netral. Ruang warna L*a*b* ditunjukkan pada persamaan 1 dimana suatu citra yang awalnya mempunyai ruang warna RGB di konversi menjadi XYZ terlebih dahulu.
𝐿∗ = 116 (𝑌/𝑌𝑛)1/3− 16 𝑎∗ = 500[(𝑋 𝑋𝑛) 1 3 − (𝑌 𝑌𝑛) 1/3] (1) 𝑏∗ = 200[(𝑌 𝑌𝑛 ) 1 3 − (𝑍 𝑍𝑛 )1/3]
C. Artificial Bee Colony
ABC merupakan algoritma optimisasi yang dibuat berdasarkan perilaku lebah madu dalam mencari makanan. ABC mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah tanpa batasan. Selain itu beberapa keutungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode ini, diantaranya perhitungan yang sederhana, termasuk dalam algoritma yang mempunyai tingkat ketahanan tinggi, cepat mencapai kondisi konvergen, fleksibilitas tinggi, dan pengaturan paramater dalam jumlah sedikit. Sumber makanan dan nilai fitness yang didapatkan dari ukuran nektar sumber makanan merupakan kemungkinan solusi yang dihasilkan pada metode ABC. Solusi yang tersedia pada suatu populasi berasal dari jumlah keseluruhan lebah pekerja. Metode ini diawali dengan inisialiasi lebah pekerja yang melakukan generate sumber makanan secara acak. Pada setiap iterasi, tiap lebah pekerja
menemukan sumber makanan disekitar sumber makanan terakhir dan mengevaluasi jumlah nektar menggunakan perhitungan fitness. Beberapa jenis lebah yang ada pada metode ABC bekerja masing-masing sesuai tugasnya secara bergantian dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Hasil dari satu jenis lebah dalam mencari makanan menjadi acuan lebih lain untuk mencari sumber makanan yang terbaik pula. Selain itu yang mempengaruhi solusi yang diinginkan, jumlah lebah yang kita bangkitkan menjadi penentu keberhasilan optimisasi yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Sumber makanan di lambangkan dengan variabel
S pada suatu posisi i. Informasi tersebut dibagikan
oleh lebah pekerja pada sarang lebah. Lebah
onlooker menuju daerah sumber makanan yang telah
dieksplorasi terlebih dahulu oleh lebah pekerja berdasarkan probabilitas pada persamaan 2. FS merupakan total sumber makanan yang ada dengan nilai fitness fiti pada persamaan 3 dimana f(Si)
melambangkan fungsi objektif yang ada. Lebah
onlooker menemukan sumber makanan pada daerah Si menggunakan persamaan 4 dimana Snew adalah
sumber makanan baru yang dieksploitasi oleh lebah
onlooker, dan k adalah solusi daerah I, r adalah angka random diantara -1 sampai +1, dan j adalah jumlah
dimensi dari permasalahan yang akan diselesaikan. Jika nilai fitness baru dianggap lebih baik daripada nilai fitness yang sudah pernah diperoleh, maka
lebah akan bergeser menuju sumber makanan baru ataupun bertahan pada sumber makanan lama jika diketahui nilai fitness bernilai sebaliknya. Informasi tersebut dibagikan oleh lebah onlookers setelah semua lebah pekerja menyelesaikan proses tersebut. Setiap lebah akan mencari sumber makanan yang lebih baik pada beberapa siklus atau batasan, dan jika nilai fitness diketahui tidak semakin baik, maka beberapa lebah bertugas sebagai lebah scout [10].
𝑃𝑖 = 𝑓𝑖𝑡𝑖 ∑𝐹𝑆𝑘=1𝑓𝑖𝑡𝑘 (2) 𝑓𝑖𝑡𝑖 = 1 1+𝑓(𝑆𝑖) (3) 𝑆𝑛𝑒𝑤= 𝑆𝑖𝑗 + 𝑟 ∗ (𝑆𝑖𝑗 − 𝑆𝑘𝑗) (4) D. Fuzzy C Means
Metode yang dapat memisah-misahkan data atau disebut dengan metode klastering sering digunakan dalam menyelesaikan segala bidang permasalahan. Salah satu metode klastering yang cukup terkenal dan sering dipakai adalah FCM. Sesuai dengan namanya yang mengandung kata “fuzzy”, maka metode ini akan mempertimbangkan suatu data dengan suatu derajat keanggotaan. Metode ini dilakukan secara bertahap mulai dari penentuan pusat klaster secara random. Angka random ini kemudian diiterasi dan diperbaharui hingga mendekati solusi pusat klaster yang paling mendekati benar. Solusi yang mendekati paling benar tersebut disesuaikan dengan pedoman
minimisasi fungsi objektif (jarak antar pusat klaster yang sudah diberi bobot oleh derajat keanggotaan dengan data yang akan diuji). Secara berurut FCM diawali dengan penentuan jumlah cluster, variabel
m, inisialisasi matriks derajat keanggotaan dan
maksimum jumlah iterasi. Selanjutnya perhitungan pusat klaster dengan matriks derajat keanggotaan. Kemudian perhitungan matriks keanggotaan beberapa pusat cluster. Dan terakhir pengulangan tahap kedua dan ketiga maksimum iterassi atau kondisi sudah konvergen (pusat cluster tidak berubah dan nilai error yang kurang dari threshold. Dari hasil derajat keanggotaan akhir dipilih angka yang paling besar, maka bagian suatu data merupakan bagian cluster yang mana sudah ditemukan. 𝐽𝑚(𝑈, 𝐸) = ∑𝑘=1𝑛 ∑𝑐𝑖=1(𝜇𝑖𝑘)𝑚‖𝑥𝑘− 𝑒𝑖‖2 (5) 𝜇𝑖𝑘 ∈ {0,1}, ∀𝑖, 𝑘; ∑𝑐𝑖=1𝜇𝑖𝑘 = 1, ∀𝑘 (6) 𝜇𝑖𝑘 = 1 ∑ (‖𝑥𝑘− 𝑒𝑖‖ ‖𝑥𝑘− 𝑒𝑗‖) 2 𝑚−1 𝑐 𝑗=1 (7)
𝑒𝑖 = ∑𝑛𝑘=1(𝜇𝑖𝑘)𝑚𝑥𝑘 ∑𝑛𝑘=1(𝜇𝑖𝑘)𝑚
, 1 ≤ 𝑖 ≤ 𝑐 (8) Fungsi objektif dijelaskan pada persamaan (5)
dimana variabel m merupakan konstanta yang berisi angka lebih besar dari angka satu, variabel 𝑒𝑖 berisi
jumlah klaster yang pastinya lebih dari satu [2], 𝜇𝑖𝑘 pada persamaan (6) merupakan derajat keanggotaan diantara sample k dan cluster i. Metode FCM akan
melakukan update nilai membership function dengan persamaan (7) sejumah iterasi yang ditentukan oleh batasan iterasi atau saat ditemukannya solusi. Pusat klaster dihitung dengan persamaan (8) hal ini pun disesuaikan dengan jumlah iterasi yang ada.
III. HASIL DAN DISKUSI
A. Hasil Percobaan
Penggabungan metode optimasi dengan klastering akan mempermudah menemukan titik pusat klaster sehingga solusi opimal akan diperoleh. Metode optimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ABC. Metode ini mmemiliki hasil yang lebih baik sesuai dengan penelitian [3]. Segmentasi menggunakan metode ABC-FCM menggunakan parameter c=2, m=2, rata-rata iterasi sebanyak 2 kali, error rate sebesar 0,001, Employed Bee sejumlah 15 dan Onlooker Bee sejumlah 10 dengan metode seleksi Tournament. Jumlah Bee yang digeneralisasi sesuai dengan tugas masing-masing ini akan menentukan solusi optimal yang dapat diraih, serta kecepatan komputasi saat menjalankan metode ini. Penambahan metode optimasi menambah ketelitian dalam menemukan pusat klaster yang terdiri dari dua bagian yaitu daerah berpenyakit dan daerah daun sehat. Total akurasi dari 30 citra daun tebu berpenyakit yang telah mengalami segmentasi dengan metode ABC-FCM adalah 91%. Sebagai pembanding pada penelitian ini juga dilakukan segmentasi pada citra daun tebu berpenyakit menggunakan metode FCM saja. Ternyata segmentasi menggunakan metode ini menghasilkan akurasi yang lebih rendah yaitu sebesar 89%.
B. Diskusi
Skenario Segmentasi Citra dengan Optimasi pada Metode Klastering yang menerapkan metode
ABC-FCM menghasilkan keseluruhan akurasi pada Tabel 1. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa Rata-rata akurasi segmentasi citra daun tebu berpenyakit menggunakan metode ABC-FCM adalah 91%. Akurasi tertinggi 99% pada data no. 16, dan akurasi terendah yaitu 68% pada citra no.27. Jika dibandingkan dengan metode FCM saja pada skenario segmentasi citra dengan metode klastering. Akurasi tertinggi mengalami peningkatan sebesar 1%. Akurasi tertinggi pada skenario segmentasi citra dengan optimasi pada metode klastering ini mempunyai hasil yang lebih baik yaitu 99% dibanding dengan akurasi tertinggi pada skenario segmentasi citra pada metode klastering sebesar 98%. Akan tetapi untuk akurasi terendah, ternyata skenario segmentasi citra pada metode klastering mempunyai hasil yang lebih baik, yaitu sebesar 71% dibanding dengan skenario segmentasi citra dengan optimasi pada metode klastering sebesar 68%. Citra terendah yang diperolah oleh jenis skenario segmentasi dengan metode klastering baik tanpa atau dengan optimasi adalah jenis penyakit rust spot. Secara garis besar metode ini menunjukkan hasil yang mayoritas tinggi kurang lebih 90% pada segmentasi citra daun tebu berpenyakit jenis yellow
spot. Hal ini dikarenakan citra uji coba jenis penyakit
ini yang didapatkan dari lapangan, mempunyai ciri berkumpul pada suatu daerah pada daun dengan baik, dan sangat minim menyebabkan daerah di sekitar daun berubah warna menjadi kuning atau coklat yang cukup ekstrim.
TABEL I
DAFTAR JENIS PENYAKIT DATA UJI COBA
Citra Akurasi(%) Citra Akurasi(%)
1 77 16 99 2 78 17 95 3 84 18 96 4 82 19 86 5 79 20 94 6 90 21 91 7 94 22 97 8 94 23 94 9 96 24 97 10 98 25 71 11 95 26 90 12 95 27 68 13 97 28 93 14 98 29 94 15 96 30 97 Rata-rata 91
Visualisasi perbandingan metode FCM dan ABC-FCM dapat dilihat pada Gambar 3. Grafik garis tersebut menggunakan warna merah untuk metode yang digunakan dalam penelitian ini. Dari ke-30 citra daun tebu berpenyakit, memiliki akurasi yang lebih baik untuk segmentasi dengan metode ABC-FCM. Dapat dilihat pada citra tersebut, warna biru yang menunjukkan segmentasi dengan metode FCM maksimal memilik nilai yang sama atau kurang dari segmentasi menggunakan metode ABC-FCM. Dengan bantuan ABC, maka FCM mampu memisahkan antara area daun sehat dan area daun berpenyakit dengan lebih teliti. Meskipun diperngaruhi oleh cahaya, khususnya untuk segmentasi citra yang mempunyai pencahayaan kurang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
mampu bekerja dengan lebih baik. Bagian daun sehat yang berada diantara kerumunan spot penyakit akan tetap mampu dikenali sebagai daun sehat. Jika menggunakan metode FCM saja untuk kasus seperti yang dijelaskan tersebut, maka area daun sehat akan tersegmentasi menjadi area daun sakit. Bukti pernyataan ini terdapat pada Gambar 4. Gambar tersebut merupakan salah satu contoh data yang menunjukkan penyakit yellow spot yang memiliki ciri menyebar dan tidak bergerombol menjadi bentuk yang jelas seperti elips, lingkaran, atau persegi. Penyakit ini lebih condong berbentuk abstrak sehingga daerah daun sehat sangat memungkinkan berada di sela-sela daerah daun sakit.
Gambar 3 Perbandingan akurasi metode FCM dengan ABC-FCM
Gambar 4 Keunggulan segmentasi dengan metode ABC-FCM
IV. KESIMPULAN
Metode gabungan ABC dan FCM melakukan segmentasi bagian penyakit pada citra daun tebu dengan lebih baik daripada FCM, dan hasil rata rata akurasi lebih tinggi sejumlah 89% untuk metode FCM, dan 91% untuk metode ABC-FCM. Optimasi ABC membantu metode klastering FCM menemukan pusat klaster secara lebih optimal sehingga segmentasi penyakit pada citra daun tebu dapat dilakukan dengan lebih detil meskipun dalam kondisi pencahayaan buruk. Penelitian selanjutnya sebaiknya membertimbangkan masalah kecepatan komputasi dan melakukan uji coba pada jenis penyakit lain yang ada pada daun tebu.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Patil, Sanjay B., and Bodhe, Shrikant K.(2011).
“Leaf Disease Severity Measurement Using Image Processing”. International Journal of Engineering and technology 3. Page : 297-301.
[2] Al-Trawneh, Mokhled. (2013).“An empirical
Ivestigation of Olive Leave Spot Disease Using Auto-Cropping Segemention Fuzzy C-Means Classfication”. World Applied Science Journal 23 (9). Page : 1207-1211.
[3] Karaboga, Dervis., Ozturk, Celal. “A novel
clustering approach: Artificial Bee Colony (ABC) algorithm”. Applied Soft Computing 11 (2011) 652-657
[4] Sugar Research Australia, 2013 [5] http://www.vsisugar.com
[6] Ranghoo-Sanmukhiya, V.M.,
Dookhun-Saumtally, A. “Molecular characterisation of Mycovellosiella koepki, the causal agent of yellow spot disease of sugarcane”. African Journal of Biotechnology Vol. 6 (3) (2007) : 198-203.
[7] Schubert, Timothy S., and Irey, Michael S.
“Yellow Spot Disease of Sugarcane”. Plant Pathology Circular No. 289 November 1986. Fla. Dept. Agric. & Consumer Serv. Division of Plant Industry.
[8] Raid, RN., Comstock, JC. “Sugarcane Rust
Disease”. University of Florida IFAS Extension (2007).
[9] http://www.xrite.com/documents/literature/en/L
10-001_Understand_Color_en.pdf
[10] Balasubramani, Kamalam, andMarcus,
Karnan., “Artificial Bee Colony Algorithm to improve brain MR Image Segmentation” . International Journal on Computer Science and Engineering, vol. 5, no. 1 Jan 2013, pp.31-36.
PENGENALAN PENYAKIT NODA PADA CITRA DAUN TEBU BERDASARKAN
CIRI TEKSTUR SEGMENTATION-BASED GRAY LEVEL CO-OCCURRENCE
MATRIX DAN La*b* COLOR MOMENTS
Evy Kamilah Ratnasari1), R. V. Hari Ginardi2), dan Chastine Fatichah3)
1, 2, 3)Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jalan Teknik Kimia, Gedung Teknik Informatika Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111 e-mail: [email protected]), [email protected]), [email protected])
ABSTRAK
Penyakit pada daun tanaman tebu dapat mengakibatkan menurunnya produksi gula. Menurunnya produksi gula tersebut dikarenakan terhambatnya proses fotosintesis daun yang disebabkan oleh lesi atau bercak pada daun yang merupakan gejala yang ditampakkan oleh penyakit noda. Diagnosa dini yang dilakukan pada tanaman tebu yang terserang penyakit noda dapat meningkatkan kualitas produksi gula. Hal tersebut karena keputusan penanganan penyakit yang cepat dan tepat berdasarkan diagnosa yang telah dilakukan akan meminimalisir penyebaran penyerangan penyakit yang akan mengakibatkan kerusakan yang signifikan. Sayangnya keterbatasan keberasaan ahli penyakit tanaman tebu yang berpotensi dalam mendiagnosa penyakit noda tanaman tebu yang memiliki beberapa jenis dan ciri yang berbeda tidak dapat mengatasi hal tersebut. Penelitian ini mengusulkan diagnosa penyakit noda tanaman tebu yang terdiri dari noda cincin, noda karat, dan noda kuning menggunakan metode pemrosesan citra berdasarkan fitur tekstur Segmentation-based Gray Level Co-Occurrence Texture (SGLCM) dan La*b* color moments. Metode yang diajukan terdiri dari ekstraksi ciri warna pada citra masukan yang akan menghasilkan 12 fitur warna dan ekstraksi ciri tekstur pada citra masukan yang tersegmentasi dan menghasilkan 24 fitur tekstur, kemudian gabungan fitur warna dan tekstur tersebut digunakan sebagai masukan klasifikasi k-Nearest Neighbor (kNN) untuk mengenali jenis penyakit noda. Pengenalan penyakit noda pada tanaman tebu menggunakan metode tersebut dapat menghasilkan akurasi tertinggi 93%.
Kata Kunci: citra daun tebu, color moments, segmentasi, GLCM, penyakit noda V. PENDAHULUAN
enyakit pada tanaman tebu yang disebabkan oleh jamur akan menyerang daun dengan menimbulkan infeksi berupa lesi atau bercak pada daun yang disebut dengan penyakit noda. Lesi yang ditimbulkan oleh penyakit noda tersebut dapat merusak daun dan menghambat proses fotosintesis yang dibutuhkan oleh daun untuk proses produksi. Menurut penelitian [1] kerusakan area daun yang merupakan ambang kehilangan hasil yang signifikan yaitu 15%. Diagnosa dini yang dilakukan pada tanaman tebu yang terserang penyakit noda dapat meningkatkan kualitas produksi gula. Hal tersebut karena keputusan penanganan penyakit yang cepat dan tepat berdasarkan diagnosa yang telah dilakukan akan meminimalisir penyebaran penyerangan penyakit. Sayangnya ahli penyakit yang memiliki pengetahuan dalam mengenali penyakit pada tanaman tebu keberadaannya tidak pada semua
wilayah perkebunan tebu dan pelayanan dari ahli tersebut membutuhkan waktu yang lama [2]. Hal tersebut dapat diatasi dengan adanya visi komputer yang dapat mengatasi ketergantungan ahli penyakit dalam mengenali penyakit tersebut menggunakan teknik klasifikasi otomatis berdasarkan perubahan fisik daun yang menampakkan lesi dari suatu jenis penyakit. Lesi yang direkam menggunakan kamera
digital akan menghasilkan citra yang dapat diproses
dan digunakan untuk mengenali jenis penyakit noda secara otomatis, cepat, mudah, murah, dan akurat[2][3].
Pada penelitian [4] melakukan pengealan penyakit noda coklat, kuning, cincin, dan karat pada tanaman tebu telah dilakukan berdasarkan ciri bentuk dari lesi penyakit noda dan menghasilkan akurasi rata-rata 95.3%. Lesi dari suatu penyakit noda secara kasat mata dapat dibedakan dari warna, tekstur, dan bentuk. Tetapi beberapa kasus lesi suatu penyakit noda yang ditemui dalam penelitian ini yang memiliki warna dan tekstur berbeda, P
menampakkan bentuk lesi yang berulang sehingga membentuk pola yang tidak beraturan. Pengenalan penyakit pada padi yang dilakukan pada penelitian [5] menggunakan informasi ciri warna dan tekstur. Penelitian tersebut mengidentifikasi penyakit berdasarkan ciri warna berupa komponen “S” dari ruang warna HSV dan ciri tekstur menggunakan
fractal descriptor berdasarkan fourier spectrum
menghasilkan akurasi 83%. Penggunaan kombinasi fitur warna dan tekstur juga dilakukan pada beberapa penelitian dalam mengenali jenis penyakit noda. Penelitian [6] menggunakan fitur tekstur yang didapatkan dari Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) dan fitur warna mean dari masing-masing komponen RGB untuk mendeteksi penyakit Phalaenopsis dengan akurasi 89.6%. Penelitian tersebut menggunakan Back-Propagation Neural
Network (BPNN) sebagai klasifikasi pada citra yang
tersegmentasi menggunakan exponential transform dengan parameter tertentu dan teknik pemrosesan citra seperti operasi hole-filling, erosi, dilasi, opening, dan closing. Selain itu, penelitian [7] menggunakan fitur tekstur color co-occurrence
matrix dan fitur warna H dan S dari komponen warna
HIS untuk mendiagnosa dan mengklasifikasi penyakit pada daun dan batang tanaman yang menghasilkan presisi klasifikasi Neural Network sebesar 93% pada citra yang tersegmentasi menggunakan klastering K-Means. Sedangkan penggunakan co-occurrence matrix pada warna Hue dari komponen HIS untuk mendeteksi penyakit daun anggur dilakukan oleh penelitian [8]. Penelitian tersebut mengekstraksi tekstur area berlesi menggunakan klastering K-means pada komponen a*b* dari ruang warna La*b* yang digunakan dalam klasifikasi BPNN. Penelitian lain yang melakukan perbandingan segmentasi area lesi yaitu [9] menggunakan thresholding komponen a* dari ruang warna La*b* dapat menghasilkan segmentasi lesi yang akurat. Hal tersebut dikarenakan kompenen a* lebih baik dalam menampakkan gejala penyakit dibandingkan dengan menggunakan ruang warna HIS dan YCbCr.
Oleh karena itu penelitian ini mengusulkan penggunaan ciri tekstur GLCM pada lesi yang tersegmentasi menggunakan thresholding komponen a* dari ruang warna La*b* sebagai ciri tekstur yang dikombinasikan dengan ciri warna La*b* color
moment untuk pengenalan penyakit noda cincin,
noda karat, dan noda kuning pada citra daun tanaman tebu. Kombinasi tersebut dilakukan karena La*b* merupakan ruang warna yang representatif dalam menginterpretasikan permukaan citra buah atau sayuran [10], sedangkan analisis color moment merepresentasikan ciri warna yang diekstraksi dari informasi citra menggunakan perhitungan statistik [11]. Sedangkan metode klasifikasi yang digunakan yaitu k-Nearest Neighbor (kNN) dan evaluasi berupa akurasi untuk mengetahui performa dari pengenalan jenis penyakit tersebut.
VI. PENYAKIT NODA PADA DAUN TANAMAN TEBU
Penyakit pada tanaman tebu dapat disebabkan oleh bakteri, jamur maupun virus. Penyakit pada tanaman tebu yang disebabkan oleh jamur dinamakan penyakit noda. Penyakit tersebut terdiri dari noda karat, noda cincin, noda kuning, dan leaf scorch yang memiliki ciri unik yang dapat dibedakan secara visual oleh mata manusia. Sedangkan dalam penelitian ini penyakit yang diidentifikasi merupakan penyakit-penyakit penting yang terdapat pada bagian daun yaitu noda karat, noda kuning, dan noda cincin [12].
A. Penyakit Noda Cincin
Penyakit noda cincin menampakkan gejala awal terbentuk dari hijau tua menjadi kecoklatan, lesi berbentuk lonjong memanjang dengan lingkaran berwarna kuning. Kemudian lesi melebar dan bagian tengah lesi menjadi kekuning-kuningan dengan tepi yang terlihat jelas berwarna merah kecoklatan. Lesi tersebut terutama terjadi pada helai daun tetapi dapat terjadi pada pelepah daun dan memiliki ukuran yang bervariasi yaitu dari 1-5 x 4-18 mm. Penyakit noda cincin yang disebabkan oleh tiga cendawan yaitu
Heptosphaeria sacchari, Helminthosporium sacchari dan Phyllsticta Saghina pada umumnya
tidak hanya terjadi pada daun yang berumur tua, tetapi juga daun yang berumur lebih muda [12]. Gejala yang ditampakkan oelh penyakit noda cincin pada daun seperti ditunjukkan pada Gambar 1(a).
B. Penyakit Noda Karat
Orange rust dan common rust merupakan dua jenis
penyakit karat yang terjadi pada daun tebu. Penyakit ini menampakkan gejala berupa bercak noda pada bagian permukaan bawah daun dengan panjang 2-20 mm dan lebar 1-3 mm. Penyakit common rust dengan
penyakit karat tersebut dapat menyebabkan kesalahan pada saat diidentifikasi, tetapi common
rust berwarna coklat kemerah-merahan hingga
coklat dan tidak pernah berwarna oranye kecoklatan berupa bercak kecil berwarna kuning memanjang yang tampak pada kedua permukaan daun. Lesi tersebut kemudia menjadi semakin besar dan dapat menjadi berwarna coklat kemerah-kemerahan. Indonesia merupakan Salah satu penyebaran penyakis karat tebu jenis common rust yang disebabkan oleh jamur Puccinia Melanocephala[12]. Gambar 1(b) merupakan contoh gejala visual yang ditampakkan oleh penyakit noda karat.
C. Penyakit Noda Kuning
Penyakit noda kuning yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi yang lembab disebabkan oleh cendawan Cercospora kopkei. Penyakit noda kuning menampakkan gejala timbul noda-noda kuning pucat pada daun muda dan berubah menjadi kuning terang yang bertahan sampai daun menjadi tua. Pada bercak tersebut kemudian timbul noda berupa titik atau garis berwarna darah kotor yang tidak teratur. Pada bagian bawah daun tertutup lapisan putih kotor pada saat cuaca lembab. Sedangkan bercak berwarna agak kehitaman pada helaian daun yang mati. Contoh daun yang mengalami penyakit noda kuning ditunjukkan pada Gambar 1(c).
(a) (b) (c)
Gambar. 1. Gejala Visual Penyakit Noda (a) Noda Cincin (b) Noda Karat dan (c) Noda Kuning
VII. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan informasi ciri tekstur dan warna sebagai informasi klasifikasi dalam mengenali jenis penyakit noda pada citra daun tebu yang terdiri dari noda cincin, noda karat, dan noda kuning. Metode yang diusulkan penelitian secara umum terdiri dari pengumpulan dataset, ekstraksi ciri, dan klasifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 2. Langkah awal yang telah dilakukan yaitu pengumpulan dataset yang digunakan sebagai data
uji dan data latih. Ekstraksi ciri warna dan tekstur dilakukan pada masing-masing data citra latih dan uji menggunakan SGLCM dan color moments pada ruang warna La*b*. Kemudian pengenalan penyakit pada citra berdasarkan informasi ciri tersebut menggunakan klasifikasi kNN.
Gambar 2. Diagram Blok Metode yang Diusulkan Penjelasan langkah-langkah metode yang ditunjukkan diagram blok tersebut yaitu sebagai berikut.
A. Pengumpulan Dataset
Dataset berupa potongan citra berdimensi 50 x 50
piksel merupakan data yang didapatkan dari perekaman menggunakan kamera digital kemudian dipotong dengan memperhatikan lesi yang ditampakkan. Dataset tersebut terdiri dari data citra dengan kelas Cincin untuk citra daun yang berlesi noda cincin, Karat untuk citra daun yang berlesi noda karat, Kuning untuk citra daun yang berlesi noda kuning dan Non-Noda untuk citra yang merupakan area daun tidak berlesi. Gambar 3 merupakan contoh masing-masing potongan citra daun dengan jenis penyakit noda tertentu yang digunakan pada penelitian ini. Pelabelan citra menurut kelasnya dilakukan secara manual yang divalidasi oleh ahli penyakit tanaman tebu dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) sebagai ground
truth. Dataset yang telah dikumpulkan kemudian
dibagi menjadi data citra latih dan data citra uji dengan rincian yang ditunjukkan pada Tabel I.
(a) (b) (c) (d)
Gambar. 2. Contoh Dataset Citra pada Kelas: (a) Cincin; (b) Karat; (c) Kuning; dan (d) Non-Noda
TABEL I
JUMLAH DATASET PER-KELAS
Kelas Data Latih Data Uji Cincin 95 Citra 22 Citra
Karat 58 Citra 15 Citra
Kuning 80 Citra 20 Citra
Non-Noda 53 Citra 24 Citra
Jumlah total
286 Citra 81 Citra
B. Ekstraksi Ciri
Fitur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ciri warna dan ciri tekstur citra. Masing-masing dataset citra latih dan uji diekstrksi menggunakan metode SGLCM untuk ciri tekstur dan La*b* color moments untuk ciri warna. Metode ekstraksi ciri tekstur SGLCM merupakan fitur Haralick yang terdiri dari 6 fitur Angular Second Moment (ASM), kontras,
Inverse Different Moment (IDM), entropi, dan
korelasi yang diekstraksi dari area lesi tersegmentasi menggunakan Otsu Thresholding pada komponen a* dari ruang warna La*b*. Langkah-langkah ekstraksi fitur menggunakan SGLCM dan color moment yaitu sebagai berikut:
1. Citra masukan RGB ditransformasi menjadi La*b* [13] dengan langkah-langkah sebagai berikut: 𝐿 = 116𝑓 (𝑌 𝑌𝑛) − 16 (1) 𝑎∗ = 500 [𝑓 (𝑋 𝑋𝑛) − 𝑓 ( 𝑌 𝑌𝑛)] (2) 𝑏∗ = 200 [𝑓 (𝑌 𝑌𝑛) − 𝑓 ( 𝑍 𝑍𝑛)] (3)
dimana Xn, Yn,, dan Zn, merepresentasikan
koordinat stimulus white point, sedangkan XYZ didapatkan dari perhitungan berikut:
𝑋 = 0,412453𝑅 + 0,357580𝐺 + 0,180423𝐵 (4) 𝑌 = 0,212671𝑅 + 0,715160𝐺 + 0,072169𝐵 (5) 𝑍 = 0,019334𝑅 + 0,119193𝐺 + 0,950227𝐵 (6)
dan 𝑓(𝑞) didefinisikan sebagai berikut: 𝑓(𝑞) = { 𝑞 1 3, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑞 > 0,008856 7,787𝑞 + 16/116, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛 (7)
2. Segmentasi komponen a* dari ruang warna La*b* menggunakan Otsu Thresholding [14], sehingga menghasilkan citra lesi tersegmentasi
3. Mengembalikan warna RGB dari citra asli berdasarkan mask pada langkah 2, sehingga didapatkan citra lesi tersegmentasi RGB
4. Tranformasi RGB ke level keabuan untuk ekstraksi ciri menggunakan fitur Haralick [15] untuk mendapatkan 6 fitur tekstur menggunakan rumus seperti berikut:
a. Angular Second Moment (ASM) merupakan ukuran homogenitas citra ditunjukkan pada rumus (8). Semakin tinggi nilai ASM maka citra tersebut semakin homogen.
𝐴𝑆𝑀 = ∑ ∑ {𝑃(𝑖, 𝑗)}𝑖 𝑗 2
(8)
dimana Pij menyatakan nilai pada baris i dan kolom j pada matrik kookurensi.
b. Kontras yang dihitung dengan rumus (9) merupakan ukuran keberadaan variasi tingkat keabuan piksel satu dengan piksel yang berdekatan di seluruh citra.
Contrast = ∑𝑛=1𝑛2{∑ ∑ 𝑃(𝑖, 𝑗)𝑖 𝑗 }
(9) dimana |𝑖 − 𝑗| = 𝑛
c. Inverse Different Moment (IDM) IDM pada rumus (10) mengukur
homogenitas citra yang berderajat keabuan sama 𝐼𝐷𝑀 = ∑ ∑ P(i,j) 1+(𝑖−𝑗)2 𝑗 𝑖 (10) d. Entropi
Entropi yang ditunjukkan pada rumus (11) merupakan ukuran ketidakaturan tingkat keabuan citra 𝐸𝑛𝑡𝑟𝑜𝑝𝑖 = − ∑ ∑ 𝑃(𝑖, 𝑗) lim 2 𝑃(𝑖, 𝑗) 𝑗 𝑖 (11) e. Korelasi
Korelasi merupakan ukuran ketergantungan linear antar nilai level keabuan citra.
Korelasi dapat memberikan petunjuk adanya struktur linear yang dihitung menggunakan rumus (12).
𝐾𝑜𝑟𝑒𝑙𝑎𝑠𝑖 =∑ ∑ (𝑖𝑗)(𝑃(𝑖,𝑗))−(𝑖 𝑗 𝜇𝑖
′𝜇𝑗′) 𝜎𝑖′𝜎𝑗′
(12)
dimana 𝜇𝑖′𝜇𝑗′ merupakan rata-rata dari 𝑝𝑖′𝑝
𝑗′ dan 𝜎𝑖′𝜎𝑗′ adalah deviasi standar dari
𝑝𝑖′𝑝𝑗′
5. Citra pada ruang warna La*b* yang didapatkan pada langkah 2, selain digunakan sebagai mask untuk ekstraksi ciri tekstur juga digunakan ekstraksi ciri warna menggunakan color moment yang terdiri dai mean, deviasi standar, skewness, dan kurtosis, sehingga menghasilkan 4 fitur untuk masing-masing komponen L, a*, dan b*. Ekstraksi color moment [11] menggunakan rumus-rumus berikut:
a. Mean
Mean digunakan untuk merepresikan nilai
rata-rata pada masing-masing channel warna. Mean merupakan rata- rata nilai
piksel (Pij) pada masing-masing channel R, G dan B. 𝜇 = 1 𝑀𝑁∑ ∑ 𝑃𝑖𝑗 𝑁 𝑗=1 𝑀 𝑖=1 (13) b. Deviasi Standar
Deviasi standar merupakan akar dari
variance yang dihitung dengan persamaan
berikut 𝜎 = √1 𝑁∑ ((𝑃𝑖𝑗 − 𝜇) 2 𝑁 𝑗=1 ) (14) c. Skewness
Skewness merupakan pengukuran untuk
simetri yang dihitung dengan persamaan berikut 𝜃 = ∑ ∑ (𝑃𝑖𝑗− 𝜇) 3 𝑁 𝑗=1 𝑀 𝑖=1 𝑀𝑁𝜎3 (15) d. Kurtosis
Kurtosis yaitu pengukuran suatu distribusi, apakah datar apabila dibandingkan dengan distribusi normal. 𝜃 = ∑ ∑ (𝑃𝑖𝑗− 𝜇) 4 𝑁 𝑗=1 𝑀 𝑖=1 𝑀𝑁𝜎4 (16)
Dimana N merupakan dimensi lebar citra, M merupakan dimensi tinggi dari citra, dan Pij
merupakan nilai intensitas warna baris i dan kolom j.
C. Pengenalan Penyakit Noda
Pengenalan penyakit noda pada citra daun tebu pada penelitian ini menggunakan klasifikasi kNN [16]. Untuk mengetahui performa metode yang diajukan dalam penelitian ini dievaluasi menggunakan akurasi. Akurasi tersebut didapatkan dari perbandingan jumlah data uji yang terklasifikasi dengan benar terhadap jumlah total data uji.
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian pengenalan jenis penyakit noda dilakukan dengan menggunakan variasi variasi nilai k pada 5, 7, 9, 11, dan 15 dengan jarak kNN
euclidean, cosine, correlation, dan cityblock.
Sedangkan untuk mengetahui apakah metode yang diajukan pada penelitian ini dapat mempunyai performa yang baik maka dilakukan percobaan variasi kombinasi fitur sebagai berikut:
a. Kombinasi fitur tekstur GLCM dengan La*b*
color moment (La*b*+GLCM)
b. Kombinasi fitur tekstur GLCM dengan RGB
color moment (RGB+GLCM)
c. Kombinasi fitur tekstur SGLCM dengan La*b*
color moment (La*b*+SGLCM)
d. Kombinasi fitur tekstur SGLCM dengan RGB
color moment (RGB+SGLCM)
Hasil yang didapatkan dari percobaan tersebut ditunjukkan pada Tabel II.
TABEL II
HASIL AKURASI PERCOBAAN
No Jarak k La*b*+GLCM RGB+GLCM La*b*+SGLCM RGB+SGLCM
1 Euclidean 5 0.83 0.84 0.93 0.88 2 7 0.81 0.80 0.93 0.88 3 9 0.80 0.84 0.93 0.91 4 11 0.79 0.85 0.90 0.91 5 15 0.79 0.80 0.89 0.88 6 Cosine 5 0.79 0.84 0.91 0.86 7 7 0.77 0.79 0.90 0.90 8 9 0.80 0.83 0.88 0.89 9 11 0.78 0.80 0.88 0.89 10 15 0.80 0.77 0.88 0.86 11 Correlation 5 0.78 0.80 0.93 0.86 12 7 0.78 0.78 0.93 0.89 13 9 0.78 0.84 0.90 0.90 14 11 0.80 0.84 0.90 0.88 15 15 0.78 0.75 0.89 0.85 16 Cityblock 5 0.79 0.83 0.93 0.88 17 7 0.78 0.80 0.90 0.89 18 9 0.78 0.83 0.91 0.88 19 11 0.78 0.79 0.90 0.89 20 15 0.77 0.78 0.89 0.88
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pengenalan penyakit noda melalui citra daun tebu mengunakan fitur tekstur GLCM dan La*b* color
moment menghasilkan akurasi tertinggi 83% pada k=5 dengan jarak euclidean dan terendah akurasi
sebesar 77% pada k=7 dengan jarak cosine dan k=15 dengan jarak cityblock. Sedangkan percobaan yang mengkombinasikan tekstur GLCM dan RGB color
moments menghasilkan akurasi tertinggi sebesar
85% pada k=11 dengan jarak euclidean dan terendah 75% pada k=15 dengan jarak correlation. Hal tersebut menunjukkan bahwa kombinasi ekstraksi fitur GLCM dan RGB color moment dapat mengenali lebih baik dibandingkan kombinasi fitur GLCM dan La*b* color moments.
Sedangkan ketika La*b* color moment
dikombinasikan dengan fitur tekstur SGLCM dapat menghasilkan akurasi tertinggi lebih baik dibandingkan dengan kombinasi SGLCM dan RGB
color moment. Kombinasi tekstur SGLCM dan RGB color moments menghasilkan akurasi tertinggi
sebesar 91% pada k=9 dan k=11 dengan jarak
euclidean dan terendah 85% pada k=15 dengan jarak correlation. Akurasi tertinggi dari semua kombinasi
yang telah dilakukan dalam percobaan ini dihasilkan dari klasifikasi kNN menggunakan k=5,7, dan 9 dengan jarak euclidean, k=5 dan 7 dengan jarak
correlation, serta k=5 dengan jarak cityblock
mencapai 93%. Akurasi klasifikasi tersebut berdasarkan kombinasi informasi ciri tekstur SGLCM dan La*b* color moment. Kombinasi ciri tersebut memperoleh kurasi terendah sebesar 88% pada k=9, 11, dan 15 dengan jarak cosine. Sedangkan akurasi pengenalan setiap kelas oleh metode yang diusulkan pada nilai k=5 dengan jarak euclidean ditunjukkan pada Tabel III.
TABEL III
DATA CITRA YANG MENGALAMI KESALAHAN
KLASIFIKASI PADA K=5JARAK EUCLIDEAN
No Kelas Citra Kelas Hasil
Klasifikasi 1 Cincin Karat 2 Karat Cincin Kuning 3 Kuning Cincin
Berdasarkan tabel tersebut pengenalan yang dihasilkan dari metode tersebut yaitu dapat mengenali dengan baik dengan menghasilkan akurasi 100% pada citra Non-Noda. Sedangkan kesalahan klasifikasi terjadi pada beberapa citra berjenis penyakit cincin yang menghasilkan akurasi 96%. Akurasi tersebut disebabkan karena sebanyak 1 dari 22 data citra yang tidak terklasifikasikan sebagai penyakit noda cincin tetapi sebagai noda karat. Citra yang mengalami kesalahan klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel III. Secara visual citra tersebut menampakkan lesi yang hampir mirip dengan noda karat, yaitu tepi cincin berwarna coklat dan bergaris seperti gejala penyakit noda karat. Sedangkan pada noda penyakit karat didapatkan akurasi pengenalan sebesar 70% dengan kesalahan klasifikasi citra sebanyak 4 data yang dapat dilihat pada Tabel III. Hal tersebut berseberangan dengan pernyataan sebelumya, dimana karat yang memiliki ciri lesi berbentuk garis berwarna coklat dapat dideteksi sebagai noda cincin. Sedangkan citra berpenyakit noda karat lainnya dideteksi sebagai noda kuning yaitu penyakit noda karat yang menampakkan lesi berwarna kuning pada area non lesi yang merupakan gejala awal penyakit noda karat. Kesalahan klasifikasi juga dialami oleh citra berpenyakit kuning sebanyak 1 citra yang dideteksi sebagai penyakit noda cincin. Secara visual lesi dari penyakit noda kuning pada citra tersebut membentuk pola seperti yang ditampakkan pada penyakit noda cincin sehingga citra tersebut dideteksi sebagai noda penyakit cincin.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan evaluasi uji coba yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode yang diajukan dalam mengidentifikasi tiga penyakit noda pada citra daun tebu dapat menujukkan performa paling baik dengan akurasi tertinggi sebesar 93% dibandingkan dengan kombinasi fitur lainnya yang telah dilakukan pada percobaan. Informasi warna dan tekstur berpengaruh terhadap pengenalan jenis penyakit noda pada citra daun tebu, dimana terdapat kesalahan klasifikasi yang memiliki tekstur maupun warna yang mirip. Selain itu segmentasi yang baik diperlukan untuk mendapat informasi yang akurat dari lesi suatu penyakit noda. Segmentasi tersebut berpengaruh pada pengenalan citra dimana terkadang terdapat bercak yang bukan merupakan lesi penyakit noda sehingga dapat menimbulkan kesalahan klasifikasi yang tidak sesuai dengan label
ground truth.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Ibu Ari Kristin selaku ahli penyakit tanaman tebu dari P3GI yang bersedia menjadi validator dataset yang digunakan dalam penelitian ini sehingga data yang digunakan sesuai dengan keadaan lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Sa’diyah, N. & Aeny, T. N., (2013), Keragaman dan Heritabilitas Ketahanan Tebu Populasi F1 Terhadap Penyakit Bercak Kuning di PT Gunung Madu Plantations Lampung, Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika, 12(1).
[2] Vibhute, A., & Bodhe, S. K., ( 2012), Applications of image processing in agriculture: a survey. International Journal of Computer
Applications, 52(2), 34-40.
[3] Rathod, Arti N., Bhavesh Tanawal, dan Vatsal Shah. (2013). “Image Processing Techniques for Detection of Leaf Disease”. International
Journal of Advanced Research in Computer Science and Software Engineering 3(11).
[4] Roopesh K. S., dkk, “An Automated System to Recognise Fungi-caused Diseases on Sugarcane Leaves,” dalam Proc. of Global Engineering,
Science and Technology Conference, Singapore,
ISBN: 978-1-922069-32-0
[5] Asfarian, A., Herdiyeni, Y., Rauf, A., & Mutaqin, K. H. “Paddy diseases identification with texture analysis using fractal descriptors based on fourier spectrum, dalam (IC3INA), 2013 International Conference on (pp. 77-81). IEEE.
[6] K. Y. Huang, (Januari 2007). Application of artificial neural network for detecting Phalaenopsis seedling diseases using color and texture features. ScienceDirect. Computers and
electronics in agriculture, 57(1), 3-11.
[7] Al Bashish, D., Braik, M., & Bani-Ahmad, S. (Desember 2010). A framework for detection and classification of plant leaf and stem diseases. Dalam Signal and Image Processing (ICSIP),
2010 International Conference on (pp. 113-118).
IEEE.
[8] Meunkaewjinda, A., Kumsawat, P., Attakitmongcol, K., & Srikaew, A. (Mei 2008). Grape leaf disease detection from color imagery using hybrid intelligent system. Dalam Electrical
Engineering/Electronics, Computer,
Telecommunications and Information Technology. ECTI-CON 2008. 5th International Conference on (Vol. 1, pp. 513-516). IEEE.
[9] Chaudhari, P., Chaudhari, A. K., Cheeran, A. N., & Godara, S. (2012). Color Transform Based Approach for Disease Spot Detection on Plant
Leaf”. International Journal of Computer
Science and Telecommunications, 3(6).
[10] Mendoza, F., Dejmek, P., & Aguilera, J. M. (September 2006). Calibrated Color Measurements of Agricultural Foods using Image Analysis. Elsevier. Postharvest Biology
and Technology, 41(3), 285-295
[11] Kadir, A., Nugroho, L. E., Susanto, A., & Santosa, P. I. (Agustus 2011). Leaf classification using shape, color, and texture features.
International Journal of Computer Trends and Technology, 225-230.
[12] Rott, Philippe. (2000). A guide to sugarcane diseases. Editions Quae
[13] Busin, L., Vandenbroucke, N., & Macaire, L. (2008). “Color spaces and image segmentation”.
Advances in imaging and electron physics, 151,
65-168.
[14] Otsu, Nobuyuki. (1975). "A threshold selection method from gray-level histograms."
Automatica 11.285-296: 23-27.
[15] Haralick, R. M., Shanmugam, K., & Dinstein, I. H. (1973). Textural features for image classification. Systems, Man and Cybernetics, IEEE Transactions on, (6),
610-621.
[16] T. Cover and P. Hart. (Januari 1967). Nearest Neighbor Pattern Classification. IEEE Trans. Inf.