• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Tindak Pidana Persetubuhan yang merupakan kejahatan seksual adalah kejahatan yang cukup banyak mendapatkan sorotan di lingkungan masyarakat dikarenakan banyaknya kasus persetubuhan yang terjadi baik yang pelakunya adalah orang dewasa maupun anak dan korbannya juga dari mulai yang dewasa hingga yang masih anak-anak. Hal itu dikarenakan tindak pidana persetubuhan merupakan tindakan yang melanggar norma agama, sosial, kesopanan dan kesusilaan. Terlebih lagi apabila tindakan persetubuhan tersebut dilakukan terhadap anak-anak. Hal tersebut menjadikan masalah yang tidak biasa karena merupakan suatu ancaman yang besar pada anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dari segala macam bentuk kekerasan dan kejahatan, karena anak sebagai korban dari tindak pidana persetubuhan tidak hanya mengalami trauma fisik namun juga mengalami trauma psikologis. Anak sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan, hal ini terjadi karena anak merupakan objek yang lemah secara sosial, sehingga anak sering dijadikan bahan eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana. Hal tersebut disebabkan karena lemahnya perlindungan dan sedikitnya perhatian terhadap kekerasan anak yang diberikan oleh lingkungan sekitar.

Lemahnya perlindungan sosial terhadap anak ini menyebabkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak terjadi di sekitar lingkup sosial masyarakat Indonesia, seperti contoh kasus tindak pidana persetubuhan terhadap anak.

Tindak Pidana Persetubuhan yang dilakukan biasanya dilakukan dengan cara ancaman, paksaan dan kekerasan, sehingga menimbulkan trauma yang besar bagi anak. Anak dianggap lemah, sehingga para pelaku kejahatan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara paksa terhadap anak memanfaatkan kelemahan anak untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Terkadang anak yang menjadi korban pun juga tidak mengetahui apa yang sedang terjadi pada diri mereka dikarenakan usia mereka yang

(2)

masih kecil menyebabkan pemahaman mereka yang kurang akan tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana tersebut. Selain itu, banyak anak-anak yang tidak atau kurang memahami terkait dengan cara melindungi bagian tubuh mereka dari tindak pidana kejahatan. Hal ini tentu mengakibatkan anak mudah terbujuk dengan iming-iming yang ditawarkan pelaku tindak pidana kepada korban. Kemudian, anak-anak masih dalam tahap pertumbuhan, maka dapat dikatakan kelemahan fisik anak-anak menjadi sasaran bagi para pelaku tindak pidana kejahatan. Keadaan mereka yang tidak dapat melawan ketika terjadi tindak pidana persetubuhan oleh para pelaku karena lemahnya fisik mereka untuk melawan. Anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan dapat menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Penderitaan itu menyebabkan efek jangka panjang yang negatif terkait dengan depresi, trauma dengan laki-laki, rendah diri, berpikir untuk bunuh diri, putus asa, dan bahkan tidak mau melanjutkan jenjang pendidikan (Daniel Rees dan Joseph Sabia, 2013:3).

Maraknya kasus persetubuhan terhadap anak, menjadikan tugas bagi aparat penegak hukum untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi korban persetubuhan. Perlindungan hukum merupakan suatu unsur yang sangat penting, di dalamnya memuat unsur untuk mengatur warga negaranya yang menjadi korban para pelaku tindak pidana. Pada Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: “Indonesia adalah negara hukum.”, dalam hal ini maksudnya perlindungan hukum menjadi unsur yang penting serta menjadi tanggungjawab negara hukum dan negara yang wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya. Di Indonesia sebetulnya sejak tahun 1979 pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak yang dengan tegas merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan.

Kemudian Indonesia sendiri telah menandatangani Konvensi Tentang Hak- hak Anak (Convention of The Right of The Child) sebagai hasil Sidang

(3)

Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Conention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak). (Diana, 2020:

621)

Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan diatur khusus melalui UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.

Pemberlakuan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena masih banyaknya perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia. Kemudian, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang diberlakukan untuk memenuhi hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang termasuk di dalamnya yaitu hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa adanya diskriminasi. Setiap anak yang menjadi koban tindak pidana kesusilaan mendapatkan hak untuk perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Tindakan persetubuhan atau persetubuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 81 ayat (1) jo ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-

(4)

Undang dijelaskan bahwa “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”.

Pemeriksaan suatu perkara pidana pada hakikatnya adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari tahu siapakah pelaku dalam suatu perkara pidana tersebut. Penemuan kebenaran materiil itu tidak terlepas dari masalah pembuktian. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian penting pada acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan (Hamzah, 2019: 249). Salah satu cara untuk menemukan kebenaran materiil untuk mengungkapkan tindak pidana yaitu dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang akan melindungi korban, memperkuat posisi korban, dan mengungkapkan tindak pidana dalam persidangan di pengadilan. Berbagai upaya dilakukan dalam memperoleh bukti-buki yang mengacu pada tindak pidana persetubuhan. Bukti-bukti tersebut harus berhubungan erat dengan tersangka, saksi, dan korban persetubuhan itu sendiri. Adapun bukti yang dapat digunakan sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Dalam tindak pidana persetubuhan biasanya dipakai alat bukti berupa Keterangan Ahli.

Saat menangani suatu perkara, penegak hukum tidak dapat memutuskan sendiri kebenaran suatu perkara dikarenakan masalah tersebut berada diluar kemampuan atau keahliannya. Dikarenakan hal tersebut, maka adanya seorang ahli membantu dalam pengungkapan suatu perkara pidana dalam hal ini perkara tindak pidana persetubuhan. Bantuan ahli yang digunakan dalam kasus persetubuhan biasanya yaitu dokter ahli dalam kedokteran kehakiman forensik yang akan membuat laporan berupa Visum et Repertum. Laporan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat

(5)

hasil pemeriksaan medis untuk tujuan peradilan. Maksud dari pembuatan Visum et Repertum adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah karena termasuk surat sesuai dengan ketentuan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Kemudian selain diperlukannya bukti-bukti untuk mendukung terpecahkannya suatu perkara, dibutuhkan juga pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan ketentuan di dalam KUHAP, sehingga apa yang menjadi keputusan hakim dapat memberikan rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Pada jurnal internasional (Asan Petrus, 2018:

625-626), menyebutkan bahwa di dalam proses penyelidikan itu dilakukan melalui pantauan dari kehidupan masyarakat secara normal dan penyidik juga meminta bantuan secara profesional seperti bantuan dokter yang disebut Visum Et Repertum. Pendampingan dokter kapada penyidik, pengacara, dan hakim yang mutlak diperlukan dalam hal ini adalah memeriksa korban untuk proses Visum Et Repertum atau yang biasa disebut dengan visum.

Dalam kasus yang diangkat oleh penulis sebagai bahan penelitian penulisan hukum ini yaitu kasus tindak pidana persetubuhan pada anak yang disertai dengan kekerasan dan paksaan, yang dilakukan oleh Terdakwa Latif Jauhari Alias Bosky Bin Djahuri. Korban yang awalnya menginap dirumah teman perempuannya lalu bertemu Terdakwa dan temannya di jalan ketika akan melakukan perjalanan pulang kerumah. Kemudian Terdakwa mengajak untuk pergi ke pantai sendang sikucing turut Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal, selanjutnya pergi ke Curug Sewu Desa Curug Sewu Kecamatan Pantean Kabupaten Kendal untuk menonton dangdut.

Setelah itu korban diantar pulang Terdakwa, namun di tengah perjalanan Terdakwa mengajak korban untuk mampir kerumahnya. Setelah sampai dirumah Terdakwa, korban pun dipaksa oleh Terdakwa untuk bersetubuh dengan Terdakwa dengan cara mencekik leher korban untuk mengancam korban, kemudian Terdakwa memperkosa korban. Pada saat Terdakwa keluar kamar, korban berusaha melarikan diri lewat pintu depan, namun tidak berhasil, karena rambut korban ditarik dari belakang dan mulut korban

(6)

dibekap oleh Terdakwa, lalu korban ditarik masuk ke dalam kamar dan dibanting diatas kasur, lalu leher korban ditekan dengan jari tangan Terdakwa. Setelah itu, Terdakwa memukul bagian wajah korban hingga korban pingsan. Ketika sadar korban sudah di dalam karung dalam keadaan telanjang, lalu berhasil keluar melalui jendela rumah Terdakwa. Setelah itu korban bertemu dengan tetangga Terdakwa, kemudian korban dipakaikan baju dan dibawa ke Puskesmas Rowosari.

Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, korban mengalami sakit memar dibagian tubuhnya yaitu muka, leher, badan dan pada alat genetal/selaput dara (Hymen) sobek arah jam 3 tampak masih baru, sebagaimana hasil Visum Et Repertum pada UPTD Puskesmas Weleri 01 Nomor: VER/19/III/PKM WLR 01 tanggal 15 Maret 2019 yang memeriksa dan menandatangani Dr. Nur Rochim.

Berdasarkan uraian diatas, penulis hendak mengkaji lebih jauh mengenai kekuatan pembuktian yang ada pada suatu perkara dalam alat bukti visum et repertum dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara paksa terhadap anak dengan menganalisis putusan Pengadilan Negeri nomor:

121/Pid.sus/2020/PN.Kdl dalam suatu Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul: “KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN SECARA PAKSA TERHADAP ANAK (Studi Kasus: Putusan Nomor 121/Pid.sus/2020/PN.Kdl)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kekuatan pembuktian Visum Et Repertum pada tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara paksa terhadap anak?

2. Apakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara paksa terhadap anak berdasarkan alat bukti Visum et Repertum sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP?

(7)

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan oleh penulis maka dalam suatu kegiatan penelitian terdapat tujuan yang hendak dicapai untuk memberikan arahan atau wawasan dalam melangkah. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

1.1 Untuk mengetahui kekuatan pembuktian Visum et Repertum pada tindak pidana persetubuhan terhadap anak.

1.2 Untuk melihat kesesuaian pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara paksa terhadap anak berdasarkan alat bukti Visum et Repertum sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

2. Tujuan Subyektif

2.1 Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis di bidang ilmu hukum dan hukum acara pidana pada khususnya.

2.2 Untuk memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penulis berharap dengan adanya penelitian hukum ini dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri maupun pihak lain terutama bagi bidang hukum yang diteliti. Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian hukum ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

1.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya.

(8)

1.2 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi serta dapat digunakan sebagai acuan dalam penulisan atau penelitian hukum pada tahap selanjutnya.

1.3 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah atau solusi sesuai dengan masalah yang diteliti oleh penulis.

2. Manfaat Praktis

2.1 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

2.2 Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran maupun masukan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Ilmu Hukum kepada masyarakat umum atau orang-orang yang berprofesi dalam bidang ilmu hukum.

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat penting dalam penelitian hukum karena untuk memperoleh data dengan kegunaan dan tujuan tertentu. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 35). Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum (legal research) adalah sebuah penelitian yang bertujuan untuk menemukan koherensi, yaitu adakah aturan hukum yang sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang bersifat perintah atau larangan yang sesuai dengan prinsip hukum serta apakah tindakan seseorang tersebut sudah sesuai dengan norma hukum

(9)

sehingga cukup disebut dengan penelitian yang bersifat normatif (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 47-49).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang prespektif dan terapan. Sebagai ilmu prespektif, objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku (act), bukan perilaku (behaviour), individu dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41-42).

3. Pendekatan Penelitian

Mengenai pendekatan penelitian, Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133).

Berdasarkan beberapa jenis pendekatan penelitian yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki tersebut diatas, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan sudah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu terhadap kasus tindak pidana persetubuhan secara paksa terhadap anak dalam putusan Nomor: 121/Pid.sus/2020/PN.Kdl.

Kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasioning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan, baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian akademis.

(10)

Ratio decinendi atau reasioning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Mengenai penelitian ini, bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas dalam pelaksanaannya meliputi perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang- undang dan putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181).

4.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan traktat (Burhan Ashshofa, 2010: 103). Adapun, bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini antara lain:

4.1.1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP);

4.1.2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4.1.3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang

(11)

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang;

4.1.4 Putusan Nomor: 121/Pid.sus/2020/PN.Kdl.

4.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer berupa buku, artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis lainnya yang berkaitan dengan rumusan masalah penulis dalam penelitian ini (Burhan Ashshofa, 2010: 103).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksud untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Mengingat pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus, maka pengumpulan bahan hukum yang utama adalah dengan mengumpulkan putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 238). Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan (library research).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik yang digunakan penulis dalam analisis penelitian ini adalah menggunakan metode silogisme yang bersifat deduksi. Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dari kedua premis ini, kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 89-90).

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan hukum ini diperlukan untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri dari 4 (empat) bab, dimana

(12)

tiap-tiap bab terbagi menjadi sub-sub bagian yang dimaksud untuk mempermudah pemahaman mengenai isu penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan teori yang menjadi landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan umum tentang Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Visum Et Repertum, Putusan Hakim dan Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana Persetubuhan Secara Paksa terhadap Anak, dan Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu:

1. Kekuatan pembuktian Visum Et Repertum pada tindak pidana persetubuhan secara paksa terhadap anak;

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada tindak pidana persetubuhan secara paksa terhadap anak berdasarkan alat bukti Visum Et Repertum sudah sesuai dengan Pasal 183 jo. Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

(13)

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Referensi

Dokumen terkait

2ingkungan pengendalian sangat dipengaruhi oleh sejauh mana indi0idu mengenali mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban. &ni berlaku sampai kepada

1) Indikator kinerja Persentase tingkat keamanan dan ketertiban dalam masyarakat pada Tahun 2017 terealisasi sebesar 83,33% dari 100% target yang ditetapkan, dengan capaian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Laba Kotor, Laba Operasi dan Laba

meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa SMP Negeri 2 Banyudono Tahun Pelajaran 2011/2012, sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudrajad

Buka file Peta format JPG hasil registrasi, dengan Global Mapper, maka akan muncul tampilan seperti berikut :... Simpan dengan nama file yang sama dengan nama file

Penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana bagi penulis untuk mengikuti pendidikan

Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis (e) dan (i) adalah mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan (Direktori

Saya lebih senang menerima auditor yang berkenan merubah atau Mengganti prosedur dalam suatu penugasan jika:. Hasil Audit terdahulu tidak terkait dengan adanya masalah klien