• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

!

Mengapa RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) perlu segera disusun?

Apakah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan Persero Jamsostek, Persero Taspen, Persero Asabri dan Persero Askes belum mencukupi untuk dijadikan dasar hukum bagi penyelenggara program jaminan sosial sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)?

Status hukum PT. (Persero) Jamsostek, PT. (Persero) Taspen, PT. (Persero) Asabri dan PT.

Askes Indonesia (Persero) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Agustus 2005 terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005 dalam posisi transisi. Mengapa dalam posisi transisi?

Karena Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 yang menyatakan ke-4 (empat) Persero tersebut sebagai BPJS menurut UU No. 40 Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan antara lain:

“seandainya pembentuk undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama ini belum terbentuk BPJS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) badan-badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatas diberi hak untuk bertindak sebagai BPJS, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Pasal 52 UU No. 40 Tahun 20041. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2004justru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechstsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszckerheid) karena belum adanya BPJS yang memenuhi persyaratan agar UU No. 40 Tahun 2004 dapat dilaksanakan.2

Lebih lanjut Mahkamah Kostitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa UU No. 40 Tahun 2004 tidak boleh menutup peluang Pemerintah Daerah untuk ikut juga mengembangkan Sistem Jaminan Sosial. Perumusan Pasal 5 UU No. 40 Tahun 2004 menurut Mahkamah

1

!

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

(2)

!

Konstitusi menutup peluang Pemerintah Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub sistem jaminan sosial dalam kerangka sistem jaminan sosial dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945.3

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menambahkan bahwa dengan adanya Pasal 5 ayat (4) dan dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tidak memungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk BPJS tingkat daerah. Oleh karena itu Pasal 5 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004 juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bertitik tolak dari uraian diatas dapat dikemukakan 4 (empat) alasan yang dijadikan pertimbangan mengapa RUU BPJS perlu segera disusun:

1. Sebagai pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005.

2. Untuk memberikan kepastian hukum bagi BPJS dalam melaksanakan program jaminan sosial berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004.

3. Sebagai dasar hukum bagi pembentukan BPJS tingkat daerah yang dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004.

4. Untuk meningkatkan kinerja BPJS tingkat nasional dan sub sistemnya pada tingkat daerah melalui peraturan yang jelas mengenai tugas pokok, fungsi, organisasi yang efektif, mekanisme penyelenggaraan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, mekanisme pengawasan, penanganan masa transisi dan persyaratan untuk dapat membentuk BPJS daerah.

Undang-undang tentang BPJS harus sudah ditetapkan paling lambat pada tanggal 19 Oktober 2009, sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004. Waktu yang tersedia untuk proses penyusunan UU BPJS + 2,5 tahun lagi. Dalam waktu yang tersedia tersebut perlu dilakukan langkah-langkah terencana untuk penyusunan RUU, harmonisasi RUU, pengajuan kepada Presiden, pengajuan usul agar RUU BPJS dijadikan prioritas Program Legislasi Nasional, pembahasan di DPR dan pengesahannya menjadi undang-undang. Jika tidak dikuatirkan batas waktu penetapan UU BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat dipenuhi.

Pasal-pasal yang terkait dalam UU No. 40 Tahun 2004 yang menjadi dasar hukum pembentukan BPJS:

1. Pasal 1 angka (6) menentukan : ”BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”

" !

(3)

!

2. Pasal 4 menentukan SJSN diselenggarakan berdasarkan pada prinsip:

a. kegotong royongan;

b. nirlaba;

c. keterbukaan;

d. kehati-hatian;

e. akuntabilitas;

f. portabilitas;

g. kepesertaan bersifat wajib;

h. dana amanat; dan

i. hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

3. Pasal 5 menentukan : ”BPJS harus dibentuk dengan undang-undang”. Selanjutnya Pasal 52 ayat (1) pada intinya menyatakan bahwa pada saat UU No. 40 Tahun 2004 mulai berlaku Persero Jamsostek, Persero Taspen, Persero Asabri dan Persero Askes tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan UU No. 40 Tahun 2004. Dalam ayat (2) ditentukan :

”semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan undang-undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan”.

4. Pasal 47 yang menentukan bahwa Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh BPJS secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati- hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai. Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial sebagaimana tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

5. Pasal 48 menentukan bahwa Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya kesehatan keuangan BPJS. Apa, bagaimana, kapan dan konsekuensi tindakan khusus yang dapat dilakukan oleh Pemerintah tidak ada penjelasannya dan juga tidak ada pendelegasian untuk mengatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.

6. Pasal 49 yang menentukan BPJS mengelola pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Kemudian ditentukan bahwa subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain tidak diperkenankan. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa subsidi silang yang tidak diperkenankan dalam ketentuan ini misalnya dana pensiun tidak dapat digunakan untuk mempunyai Jaminan Kesehatan (JK) dan sebaliknya.

Selanjutnya di tentukan bahwa peserta berhak setiap saat memperoleh informasi tentang akumulasi iuran dan hasil pengembangannya serta manfaat dari jenis program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM).

(4)

!

BPJS wajib memberikan informasi akumulasi iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta JHT. Se-kurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.

Sayangnya UU No. 40 Tahun 2004tidak mengatur secara lebih jelas tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh BPJS dan hak-hak yang diperoleh oleh peserta. UU No. 40 Tahun 2004 juga tidak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut pelaksanaan teknis dari ketentuan Pasal 49 tersebut. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam penyusunan RUU BPJS agar ketentuan Pasal 49 tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dalam praktek.

7. Pasal 50 menentukan BPJS wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa cadangan teknis menggambarkan kewajiban BPJS yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban dimasa depan kepada peserta.

8. Pasal 51 menentukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan BPJS dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini juga tidak jelas menentukan instansi mana yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan BPJS dan tidak juga menunjuk peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud.

9. Pasal 52 ayat (1), 4 (empat) Perusahaaan Perseroan (persero) yang telah ada pada saat UU No. 40 Tahun 2004 mulai berlaku, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan UU No. 40 Tahun 2004 yaitu :

a. Perusahaan Persero (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468);

b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok–Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3014) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25, Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3200);

(5)

!

c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 88);

d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16);

Dari uraian diatas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1. BPJS adalah badan hukum bersifat nirlaba yang harus dibentuk dengan undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Secara teoritis BPJS merupakan badan hukum yang ingesteld4 (dibentuk) oleh open baar gezag (penguasa umum) dalam hal ini oleh pembentuk undang-undang dengan undang-undang.

2. Sepanjang belum disesuaikan dengan UU No. 40 Tahun 2004 maka pada saat UU No. 40 Tahun 2004 mulai berlaku Persero JAMSOSTEK, Taspen, Asabri dan Askes tetap berlaku dengan kewajiban untuk menyesuaikan semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS tersebut dengan UU No. 40 Tahun 2004 paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan.

3. UU No. 40 Tahun 2004 tidak secara tegas menentukan program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh masing-masing BPJS.

4. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Agustus 2005 Pemerintah Daerah dapat membentuk BPJS Daerah sebagai sub sistem penyelenggaraan program jaminan sosial sebagaimana diatur ddalam UU No. 40 Tahun 2004.

5. Pasal 48, 49 dan Pasal 51 UU No. 40 Tahun 2004 yang terkait dengan BPJS belum jelas definisi operasionalnya dan tidak ada pendelegasian untuk mengatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, karena itu perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU BPJS.

6. Ketentuan lebih lanjut Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

7. Selama belum terbentuk BPJS senagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) badan-badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (3) diberi hak untuk bertindak sebagai BPJS5, sampai semua ketentuan yang mengatur BPJS tersebut disesuaikan dengan ketentuan UU No. 40 Tahun 2004 paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang SJSN diundangkan.

#$ % &' ( ' ( ) *

+ ,

(6)

!

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, terbuka peluang bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk BPJS Daerah sebagai sub sistem penyelenggaraan jaminan sosial berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004.

Perlu dikemukakan bahwa jangkauan kepesertaan program jaminan sosial sampai saat ini masih sangat terbatas. Perluasan kepesertaan menurut UU No. 40 Tahun 2004 dilakukan secara bertahap, diawali dengan program Jaminan Kesehatan (JK) bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu sebagai penerima bantuan iuran. Pentahapan pendaftaran penerima bantuan iuran sebagi peserta jaminan sosial akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah6. Demikian pula mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan diluar hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah7. Sampai sekarang Peraturan Pemerintah dimaksud belum ditetapkan.

* # - # ) &.& / 0*1

" - )2 # / 0"1

(7)

!

1. Untuk meelaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 52 ayat (2).

2. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 007/PUU-III/2005 bahwa ”pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada ditangan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, dimana kewajiban pelaksanaan SJSN tersebut sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 22H bukan hanya menjadi kewenangan Peemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU No. 40 Tahun 2004 tidak boleh menutup peluang Pemerintah Daerah untuk ikut juga mengembangkan Sistem Jaminan Sosial”.

3. Untuk menyesuaikan kondisi pengaturan penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku sekarang ini sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial sebagaimana tercantum pada Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004.

a. kegotong royongan;

b. nirlaba;

c. keterbukaan;

d. kehati-hatian;

e. akuntabilitas;

f. portabilitas;

g. kepesertaan bersifat wajib;

h. dana amanat; dan

i. hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

4. Untuk adanya kepastian hukum penyelenggaraan program jaminan sosial sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 secara efektif dan efisien guna menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.

5. Untuk menyusun kembali penyelenggaraan pilar-pilar jaminan sosial yang lebih terarah oleh BPJS sesuai dengan standar kompetensi dan profesionalitas sehingga mampu memperluas cakupan kepesertaan dan meningkatkan manfaat jaminan sosial sebesar-besarnya bagi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup rakyat yang layak.

(8)

!

6. Penyesuaian struktur, organisasi, tata kerja, mekanisme, dan managemen pengelolaan dana BPJS, untuk memberikan ruang gerak bagi pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola publik yang baik (public governance).

(9)

!

1. Untuk mengatur pembentukan, tugas pokok, fungsi, organisasi, dan mekanisme kerja BPJS Nasional yang mengelola dana amanah dan bukan kekayaan negara yang dipisahkan seperti kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 angka 1.

2. Mengatur norma standar pembentukan BPJS termasuk badan penyelenggara yang dapat dibentuk dengan Peraturan Daerah dengan memenuhi ketentuan:

a. Pasal 23A UUD 1945 yang menentukan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.

b. Pasal 5 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengatur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

c. Pasal 157 huruf a angka 3 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk memastikan bahwa dana amanah tidak dapat dikatagorikan dalam pendapatan asli daerah yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(10)

!

!

1. Mentranformasikan Badan Penyelenggara yang ada sekarang yaitu PT. (Persero) Jamsostek, PT. (Persero) Taspen, PT. (Persero) Asabri dan PT. Askes Indonesia (Persero) menjadi BPJS menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Untuk itu, pengaturan dalam RUU BPJS diarahkan untuk:

a. Menegaskan pembentukan BPJS Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes dengan UU ini.

b. Menetapkan status BPJS sebagai badan hukum yang bersifat nirlaba untuk menyelenggarakan JS dalam memenuhi sebesar-nesarnya kepentingan peserta.

c. Mengatur kembali pilar-pilar jaminan sosial yang diselenggarakan masing-masing BPJS sebagai berikut:

i. BPJS Jamsostek menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kematian (JKM) untuk seluruh kelompok rakyat;

ii. BPJS Taspen menyelenggarakan program Jaminan Pensiun (JP) seluruh kelompok rakyat;

iii. BPJS Askes menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan (JK) seluruh kelompok rakyat;

iv. BPJS Asabri menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) untuk TNI/Polri, Janda/Duda TNI/Polri.

d. Mengatur kembali pengelolaan dana jaminan sosial sebagai dana amanat milik seluruh peserta yang dihimpun dari iuran peserta dan hasil pengembangannya untuk:

i. pembayaran manfaat kepada peserta;

ii. pembayaran operasional penyelenggaraan program jaminan sosial

e. Membangun kembali struktur organisasi BPJS yang ramping dan kaya fungsi, serta standar operasional dan prosedur kerja BPJS yang sesuai dengan prinsip-prinsip good (public)governance.

(11)

!

" # ! $ % $& ' '' " (

BPJS Daerah

PRESIDEN

DJSN

PEMDA

Dewan Penasehat

Daerah

UU No. 40/2004 UU No. 32/2004

PERDA UU BPJS Anggaran

Pemerintah

(Pajak) Kontribusi

Sekretariat Pusat

BPJS

Jamsostek BPJS

Taspen BPJS

Askes BPJS

Asabri

BPJS Cab Jamsostek

BPJS Cab

Taspen BPJS Cab

Askes BPJS Cab

Asabri Sekretariat Cabang

Monev Monev

Monev Konsultasi

Regulasi &

Kontribusi

2. Menetapkan mekanisme penyelenggaraan SJSN, dengan mengikutsertakan seluruh tingkat pemerintahan, DJSN, BPJS di tingkat nasional dan tata kerjanya di tingkat daerah.

3. Memberi kepastian hukum untuk proses transformasi dari penyelenggaraan jaminan sosial oleh BUMN menuju penyelenggaraan berbasis dana amanah.

4. Menetapkan mekanisme pengawasan pelaksanaan program jaminan sosial dengan memberikan peranan kepada Pemerintah Daerah melalui Sekretariat DJSN di daerah.

5. Membangun manajemen sistem informasi BPJS yang terkait dengan peran pemangku kepentingan SJSN.

6. Membangun sistem penyelesaian keluhan dan penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan program jaminan sosial.

(12)

!

) # !

RUU BPJS disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Tentang Muatan

I Ketentuan Umum Pengertian beberapa istilah yang digunakan dalam Rancangan Undang-Undang ini.

II Prinsip Penyelenggaraan dan

Standar Kompetensi 1. Prinsip-prinsip penyelenggaraan.

2. Standar kompetensi:

a. Input: keuangan dan aset, organisasi, administrasi, kepesertaan;

b. Proses: prosedur pemungutan,

pengumpulan, dan pembayaran/ pelayanan;

c. Hasil monitoring dan evaluasi, serta manajemen sistem informasi.

III Pendirian Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial 1. Pernyataan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berikut program jaminan sosial yang dikelolanya.

2. Status hukum sebagai badan hukum.

3. Independensi.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Nasional IV

Bagian Pertama

Kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial

1. Memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya.

2. Memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta dan mengikuti ketentuan yang berlaku.

3. Memberikan konpensasi dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta (diatur lebih lanjut dengan PerPres untuk JK dan dengan PP untuk JKK).

4. Membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.

5. Mengelola dan mengembangkan dana jaminan sosial secara optimal dengan

mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai (diatur lebih lanjut dengan PP).

6. Memberikan informasi akumulasi iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta

(13)

!

Bab Tentang Muatan

JHT sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.

7. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim danberlaku umum (diatur lebih lanjut dengan PP).

8. Melakukan kesepakatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan disuatu wilayah untuk menetapkan besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah.

9. Mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas JK.

10. Mengelola pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Bagian Kedua

Hak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial

1. Mengumpulkan iuran peserta jaminan sosial.

2. Memperoleh dana operasional untuk biaya pengelolaan BPJS.

Bagian Ketiga

Organ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

1. Dewan Direksi (Presiden dibantu oleh seorang Deputi Keuangan dan seorang Deputi

Administrasi, serta satu atau lebih deputi sesuai dengan jumlah program jaminan sosial yang diselenggarakan).

2. Kualifikasi dan kompetensi.

3. Pengangkatan dan pemberhentian.

4. Tugas dan wewenang Dewan Direksi.

5. Unit-unit kerja.

6. Kesekretariatan dan sumber daya.

7. Kantor lokal.

8. Peraturan internal (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang ditetapkan oleh Dewan Direksi).

Pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Tingkat Daerah V

Bagian Kesatu

Pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah

1. Pernyataan dapat dibentuknya Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah oleh Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah.

2. Peraturan Daerah tentang pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah dibatasi untuk penyelenggaraan program jaminan sosial untuk kelompok masyarakat yang iurannya dibiayai dengan APBD.

3. Ketentuan untuk memenuhi prinsip penyelenggaraan program jaminan sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004.

(14)

!

Bab Tentang Muatan

4. Sebagai wadah konsultasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah, dibentuk Dewan Penasehat Daerah oleh masing-masing

Pemerintah Daerah yang beranggotakan unsur- unsur pemangku kepentingan.

Bagian Kedua

Norma, Standar, dan Prosedur

1. Norma mengenai kepesertaan, besaran iuran, dan manfaat harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004.

2. Standar kualitas dan kompetensi mengacu pada Bab II.

Bagian Ketiga

Organ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah

1. Kepala dibantu oleh seorang Wakil Kepala Bidang Keuangan dan seorang Wakil Kepala Bidang Administrasi, serta satu atau lebih Wakil Kepala sesuai dengan jumlah program jaminan sosial yang diselenggarakan.

2. Kualifikasi dan kompetensi.

3. Pengangkatan dan pemberhentian.

4. Tugas dan wewenang pengurus.

5. Unit-unit kerja.

6. Kesekretariatan dan sumber daya.

Bagian Keempat

Pendirian Asosiasi Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah

1. Di setiap provinsi dapat dibentuk sebuah Asosiasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah dan mencakup keseluruhan program.

2. Tujuan pendirian sebagai wadah komunikasi untuk mewakili kepentingan Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Pemerintah Daerah, dan fasilitas pelayanan jaminan sosial.

Prosedur Administratif Bagian Pertama

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional

1. Tata cara pengambilan keputusan.

2. Tata cara pelaksanaan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk menyampaikan informasi tentang:

a. hak dan kewajiban peserta;

b. akumulasi iuran beserta hasil pengembangan.

3. Tata cara penerbitan kartu identitas peserta.

VI

Bagian Kedua

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah

Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah diatur dalam Peraturan Daerah pembentukannya.

(15)

!

Bab Tentang Muatan

Pertanggungjawaban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Bagian Pertama

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bertanggung jawab mengenai kepesertaan, pengelolaan dan pengembangan dana mengikuti prinsip-prinsip dana amanah, serta kebijakan umum jaminan sosial kepada Presiden melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional.

2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib melaporkan dan memberikan dokumen dan informasi tentang penyelenggaraan program jaminan sosial kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional secara berkala.

3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib menyelenggarakan dan menjalankan kebijakan umum dan kebijakan investasi, serta

rekomendasi yang ditetapkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

bertanggung jawab memberikan pelayanan yang berkelanjutan dan setara, sesuai dengan prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional

VII

Bagian Kedua

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah bertanggung jawab mengenai

kepesertaan, pengelolaan dan pengembangan dana mengikuti prinsip-prinsip dana amanah, serta kebijakan umum jaminan sosial di daerah kepada Kepala Daerah dan Dewan Jaminan Sosial Nasional.

2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah wajib melaporkan dan memberikan dokumen dan informasi tentang

penyelenggaraan program jaminan sosial kepada Kepala Daerah dan Dewan Jaminan Sosial Nasional secara berkala.

3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah wajib menyelenggarakan dan

menjalankan kebijakan umum dan kebijakan investasi yang ditetapkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional secara optimal dengan

mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai, serta memperhatikan Kebijakan Daerah.

4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah bertanggung jawab memberikan

pelayanan yang berkelanjutan dan setara, sesuai

(16)

!

Bab Tentang Muatan

dengan prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

VIII Kewenangan Pemerintah 1. Pemerintah dapat memperoleh informasi mengenai pelaksanaan tugas dan kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

2. Pemerintah berhak melakukan pengawasan preventif dan represif terhadap peraturan- peraturan internal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam rangka harmonisasi dengan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan jaminan sosial.

3. Pemerintah berwenang menetapkan norma, standar, dan mutu sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang harus dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

4. Batasan kewenangan Pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

5. Kewenangan Pemerintah sebagaimana disebut di atas dilaksanakan oleh departemen terkait sesuai dengan lingkup tugas dan wewenangnya.

Kekayaan dan Investasi Bagian Pertama

Kekayaan

1. Pengelolaan kekayaan masing-masing Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

2. Pengaturan penyelenggaraan pembukuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam 1 tahun takwim.

IX

Bagian Kedua Investasi

1. Pengelolaan dan pengembangan dana yang terhimpun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

2. Bentuk-bentuk dan mekanisme investasi yang aman.

3. Bentuk-bentuk dan mekanisme investasi lainnya yang diperbolehkan.

X Perpajakan 1. Ketentuan Undang-Undang Perpajakan agar memberikan fasilitas perpajakan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

2. Hal-hal lain yang menyangkut pajak seperti pajak investasi, pajak pengadaan barang yang

berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan, dan lain-lain agar kondusif untuk pengembangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

(17)

!

Bab Tentang Muatan

3. Kebijakan di bidang perpajakan agar

diharmonisasikan dengan Rancangan Undang- Undang di bidang perpajakan yang sedang dibahas di DPR RI.

Penyelesaian Sengketa Bagian Pertama

Penyelesaian Keluhan

1. Pada tiap-tiap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk satu unit kerja untuk

penyelesaian keluhan.

2. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keluhan kepada unit kerja tersebut di atas.

3. Apabila penyelesaian tidak memuaskan, dapat mengajukan pada instansi setingkat di atasnya.

4. Tata cara dan jangka waktu penyelesaian keluhan.

Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi

1. Pihak yang merasa dirugikan dapat

menyelesaikan sengketa melalui mekanisme mediasi.

2. Penyelesaian yang dilakukan oleh mediator bersifat final dan mengikat.

3. Mediator terdiri dari 3 (tiga) orang ahli di bidang jaminan sosial dan hukum dengan ketentuan sebagai berikut:

a. 1 (satu) orang ditunjuk oleh pihak yang mengajukan keberatan.

b. 1 (satu) orang ditunjuk oleh pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

c. 1 (satu) orang ditunjuk bersama oleh kedua belah pihak.

4. Tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

XI

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

1. Apabila penyelesaian keluhan tidak dapat diatasi oleh unit kerja penyelesaian keluhan dan instansi setingkat di atasnya, atau melalui mekanisme mediasi, maka sengketa diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal pemohon.

2. Proses peradilan dilakukan dua tingkat, yaitu pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri dan pengadilan banding di Pengadilan Tinggi.

3. Putusan pengadilan tingkat banding bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum di tingkat kasasi.

4. Jangka waktu penyelesaian sengketa di tingkat Pengadilan Negeri paling lama 90 hari dan di tingkat Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari.

(18)

!

Bab Tentang Muatan

XII Ketentuan Peralihan 1. Penyesuaian terhadap Peraturan Perundang- Undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku.

2. Pengaturan mengenai konsekuensi hukum atas peralihan Persero Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang meliputi proses pengalihan:

a. Modal Persero yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan statusnya menjadi modal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

b. Kekayaan Persero menjadi kekayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial setelah melalui proses audit oleh tim audit independen.

c. Kepesertaan program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Persero menjadi kepesertaan program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

d. Pengumpulan iuran oleh Persero menjadi pengumpulan iuran oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial.

e. Penyelenggaraan pelayanan jaminan sosial yang dikelola oleh Persero menjadi

penyelenggaraan pelayanan jaminan sosial yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

f. Penyelesaian proses pembayaran kewajiban Persero kepada peserta dan fasilitas jaminan sosial sebelum Undang-Undang ini disahkan menjadi tanggung jawab Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial.

g. Organ Persero menjadi organ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

h. Sumber daya Persero menjadi sumber daya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

3. Jangka waktu proses peralihan selama 1 (satu) tahun

4. Pengawasan pengadilan apabila terjadi sengketa sebagai akibat peralihan dan jangka waktu penyelesaian sengketa.

XIII Ketentuan Penutup 1. Pencabutan pasal-pasal yang mengatur

mengenai Badan Penyelenggara dalam Undang- Undang terkait (Bab VI Pasal 25 s.d. 28 UU No. 3 Tahun 1992) dan dalam Peraturan Pemerintah terkait (Bab VIII Pasal 13 PP No. 25 Tahun 1981, Bab VI Pasal 11 PP No. 67 Tahun 1991, dan Bab

(19)

!

Bab Tentang Muatan

V Pasal 14 s.d. 16 PP No. 69 Tahun 1991).

2. Ketentuan mulai berlakunya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

3. Perintah untuk pengundangan Undang-Undang dengan penempatannya dalam Lembaran Negara RI.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, konsep desain PNPM Peduli telah mengatur pembentukan Kelompok Dukungan Teknis (Technical Support Group—TSG), yang bertujuan untuk mendukung sejumlah fungsi yang

Harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan manajemen mutu dengan struktur organisasi yang efisien, serta tata pamong yang lengkap dan fungsi- fungsi yang jelas

Kantor Cabang Syariah Banjarmasin, yang dimaksud coaching (pembinaan) metode atau cara pembinaan yang dilakukan oleh manajer untuk membina karyawan khusunya

Berdasarkan data di atas terdapat beberapa kasus yang dilakukan oleh siswa SMP Gajah Mada Bandar Lampung dan diantara kasus-kasus tersebut yang paling sering

Ukuran kemiskinan konvensional yang biasa digunakan adalah konsep yang diperkenalkan Bank Dunia pada tahun 1990 dengan mengukur sejumlah pengeluaran berdasarkan Paritas Daya

IAIN METRO 5 Tampilan tersebut merupakan tahapan yang berfungsi untuk proses entry materi yang akan di upload. Materi tersebut berupa file yang berisi naskah,

Hasil analisis menunjukkan simpulan sebagai berikut hasil analisis kesenjangan menunjukkan prioritas atribut produk coca cola yang harus ditingkatkan kinerjanya

Dalam film, genre dapat di definisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) seperti setting, isi dan subjek cerita,