• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN (Cetak) : ISSN (Online) :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ISSN (Cetak) : ISSN (Online) :"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

EDITORIAL TEAM Ketua Penyunting

Masykur Arif, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Penyunting Pelaksana:

Syafiqurrahman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Penyunting:

Abd. Warits, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Mohammad Takdir, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Ach. Maimun, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Fathor Rachman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Moh. Wardi, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahzatut Thullab, Sampang.

Moh. Dannur, Institut Agama Islam (IAI) ِ◌Al-Khairat, Pamekasan.

IT Support:

Faizy, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Indonesia Alamat Redaksi: REDAKSI JPIK

Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D)

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)

Jl. Bukit Lancaran PP.

Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep 69463 Email:

jpik.instika@gmail.com Website:

http://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik

Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Jawa Timur, Indonesia. Terbit 2 kali dalam setahun yakni pada bulan Maret dan September. Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman menerbitkan hasil penelitian, baik penelitian pustaka maupun lapangan, tentang filsafat dan pemikiran serta ilmu-ilmu keislaman meliputi bidang kajian pendidikan Islam, politik, ekonomi syariah, hukum Islam atau fikih, tafsir, dan ilmu dakwah

(4)

1-28 Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer

Dainori

29-56 Pendidikan Islam Inklusif dalam Pemikiran Sayyed Hossein Nasr

Tatik Hidayati dan Ah Mutam Muchtar

57-74 Mengakrabkan Anak dengan Tuhan (Upaya Membangun Kesadaran Beragama Anak-Anak) Abdul Wahid dan Abdul Halim

75-103 Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk- Guluk Sumenep

Fairuzah dan Unsilah

104-121 Metode Istinbath Hukum dan Pengaruhnya terhadap Fiqih di Indonesia

Moh Jazuli, A Washil, dan Lisanatul Layyinah 122-144 Zakat Profesi Menurut Pandangan Yusuf Al

Qardhawi

Masyhuri dan Mutmainnah

(5)

Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-

Guluk Sumenep

Fairuzah

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep fairuzah@gmail.com

Unsilah

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep unsilah21@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini menjelaskan sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap santri tahfidzul qur’an di pondok pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep. Dalam penelitian ini dibatasi pada masalah penting yang perlu diteliti, yaitu bagaimana kondisi santri tahfidzul Quran di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep? Bagaimana sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap kondisi santri tahfidz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk- Guluk Sumenep? Penulis menggunakan metode kualitatif- lapangan (field research) yaitu berupaya memaparkan penelitian dalam bentuk kata-kata, narasi, atau uraian- uraian dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara kepada beberapa subyek. Kerangka teori yang digunakana adalah teorinya Peter L. Berger yaitu teori kontruksi sosial.

Hasil dari penelitian ini menerangkan bahwa kondisi santri tahfidz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri adalah kurang lancar, kurang memahami, waktu yang cukup sedikit, rasa malas, dan lupa kepada ayat yang dihafalkannya. Selain itu, dukungan dari orangtua kurang maksimal, sebelum mendaftarkan menjadi santri tahfidz

(6)

harus mampu membaca al-Quran dengan lancar, lulus dan menguasai kitab Nubdatul Bayan, adanya kajian kitab tafsir Jalalyn, dan adanya amalan khusus dalam menghafal al- Quran.

Kata Kunci: Pesantren, Tahfidzul Quran, Tafsir

Pendahuluan

Menjadi generasi Qur’ani bukan berarti menjadi penghafal al- Qur’an. Menjadi generasi Qur’ani setidaknya perlu ada empat tangga yang perlu dilalui. Pertama, bisa membaca al-Qur’an dengan fasikh, yakni memenuhi semua ketentuan tajwid; panjang-pendek dan makharijul hurufnya dengan benar. Tangga kedua adalah menghafal.

Namun perlu digaris bawahi bahwa menghafal al-Qur’an adalah sebuah kebolehan dan bukan keharusan. Ketiga, menguasai bahasa Arab. Keempat adalah menguasai cabang-cabang ilmu-ilmu al-Qur’an.

Setelah dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar dan mengerti bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an (bahasa Arab), yang harus dipelajari selanjutnya adalah cabang-cabang ilmu al-Qur’an (‘ulumul Qur’an), seperti asbabun nuzul, munasabah, nasakh wal mansukh,

‘aam dan khash, muhkam dan mutasyabih, mujmal-mubayyan, mantuq-mafhum, muthlaq-muqayyad, haqiqah-majaz, kinayah dan ta’ridh dan lain sebagainya.

Mempelajari cabang-cabang ilmu al-Qur’an tersebut menjadi sebuah keharusan, sebab tanpa ilmu tersebut kita dapat keliru dalam menafsirkan suatu ayat dan tersesat dalam menarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya. Maka menghafal al-Qur’an saja dapat dikatakan tidak cukup untuk menjadikan seseorang disebut sebagai genarasi Qur’ani. Masih dibutuhkan empat tangga yang perlu dilalui,

(7)

sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Selain itu, untuk bisa menjalankan syari’at Islam dengan baik, mengerti al-Qur’an saja belum cukup. Seseorang masih harus mengerti hadits dan berbagai ilmu lainnya. Sebab itu dikatakan bahwa menghafal al-Qur’an bukanlah sebuah keharusan.

Jelas-jelas dalam surat Yusuf tersebut kita diperintahkan untuk memahami al-Qur’an, diturunkan dalam bahasa Arab karena Rasulullah SAW adalah orang Arab dan mudah bagi beliau untuk memahaminya. Dan bagi kita yang memiliki bahasa sehari-hari bukan Arab, maka jalan untuk memahaminya adalah belajar bahasa Arab atau membaca al-Qur’an dan terjemahannya kalau perlu beserta tafsirnya.

Bahkan ketika Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada orang-orang Quraisy, mereka memahaminya serta menangis ketika mendengar bacaan-bacaan al-Qur’an.

Seolah melupakan kandungan ayat tersebut, yang terjadi saat ini adalah banyak lembaga pendidikan yang dikelola khusus untuk para penghafal al-Qur’an (Tahfidzul Qur’an), baik yang mengharuskan keseluruhan santrinya untuk mengafal atau hanya tertentu kepada sebagian santri yang mempunyai minat untuk menghafal. Hal tersebut kemudian mendorong banyak orang, baik yang berangkat dari keinginan diri sendiri ataupun dari dorongan orang tua, berbondong- bondong masuk ke lembaga Tahfidzul Qur’an. Sehingga hal tersebut terlihat seolah hanya demi mengikuti tren yang sedang ada, yakni bahwa menjadi hafidz/hafidzah itu dambaan setiap orang. Yang menjadi tujuan hanyalah bagaimana agar mereka bisa menghafal al- Qur’an, tanpa mempedulikan pentingnya memahami maksud dari ayat- ayat yang telah dihafal. Selain tidak memahami, dampak yang dialami

(8)

santri tahfidz adalah mereka mengalami berbagai hambatan yang menyebabkan target dalam menghafal santri tidak maksimal.

Salah satu lembaga non formal yang menyediakan program khusus tahfidz adalah Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep. Pondok ini tidak menekankan semua santrinya untuk menghafal al-Qur’an. Program tahfidz al-Qur’an hanya tertentu kepada santri yang berminat. Para santri tersebut kemudian ditempatkan dalam satu kamar khusus.

Selain mengikuti program tahfidz mereka juga menempuh pendidikan formal setiap harinya. Adapun target menghafal al-Qur’an di Pondok ini adalah 3 sampai 6 tahun. Namun, mayoritas—bahkan dapat dikatakan semua—peserta tahfidz memilih menempuh program selama 3 tahun. Maka dapat dikatakan bahwa peserta dalam setiap tahunnya harus menghafal sebanyak 10 juz. Pada akhir proses penghafalan dan telah dirasa rampung, peserta masih diwajibkan mengikuti proses tahqiq selama satu tahun, sehingga proses yang harus dilalui oleh peserta adalah 4 tahun. Akan tetapi, durasi waktu tersebut hanyalah durasi minimal. Santri yang memiliki kemampuan menghafal lebih rendah dapat menghabiskan waktu lebih dari 4 tahun. Maka dapat dikatakan bahwa proses penghafalan juga tergantung pada kemampuan masing-masing santri.

Salah satu ciri khas dari lembaga tahfidz di Pesantren Nurul Hikmah Putri ini adalah sima’an. Sima’an hanya dikhususkan bagi santri yang sudah hafal 5 juz atau kelipatannya. Proses Sima’an dilakukan secara bergantian bagi mereka yang telah hafal 5 juz atau kelipatannya. Adapun santri lain hanya menyimak hafalan santri yang telah hafal 5 juz atau kelipatannya. Sima’an dilakukan setiap hari

(9)

Jum’at pagi secara kondisional tergantung ada tidaknya santri yang hafal 5 juz atau kelipatannya. Santri yang telah menghafal 5 juz baru diperbolehkan untuk menambah hafalannya jika hafalan 5 juz yang sudah diperoleh tersebut dirasa cukup kuat oleh pembimbing. Jadi, Pesantren Nurul Hikmah Putri ini lebih menekankan pada kualitas hafalan dari pada kuantitas hafalan. Selain itu, lembaga ini juga tergolong lembaga yang baru didirikan, yakni berdiri pada tahun 2014 silam.

Selain itu, Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri ini juga menerapkan metode khusus dalam mempermudah hafalan santri yakni dengan metode Tikrar. Dengan metode tersebut santri mampu mengingat al-Qur’an dengan cara membaca berulang-ulang sehingga memudahkan santri dalam menghafal ayat yang telah dibaca. Akan tetapi, banyak santri yang sudah mengikuti program tahfidz cukup lama atau lebih dari target yang ditentukan belum dapat menyelesaikan hafalan tersebut dengan sempurna dan belum memahami ayat yang dihafal. Oleh sebab itu penulis ingin meneliti sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap kondisi santri tahfidz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep.

Sejarah Munculnya Tahfidz al-Qur’an

Menghafal al-Qur’an adalah obyek perhatian para sahabat Rasulullah SAW. setelah wafat beliau. Mereka berlomba-lomba untuk menghafal, mempelajari, dan memahami maknanya. Mereka saling mendahulukan satu dengan yang lain berdasarkan jumlah hafalan yang mereka miliki. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan sehingga jumlah mereka yang hafal al-Qur’an tidak terhitung banyaknya.

(10)

Banyaknya para sahabat yang hafal al-Qur’an tidaklah mengherankan karena: 1) secara tradisi mereka sudah terbiasa dan terlatih dalam hafal-menghafal, terutama menghafal syair-syair dan garis keturunan, 2) mereka sangat mencintai al-Qur’an, 3) fasilitas tulis-menulis yang sangat terbatas, sampai sekarangpun bangsa Arab masih memelihara tradisi hafal-menghafal tersebut.

Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat- ayat al-Qur’an beliau membacanya di depan para sahabat, kemudian para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Dalam kitab shahih Bukhari disebutkan bahwa ada tujuh hafidz, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda’ 1 . Kemudian beliau menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya itu.

Al-Zarqânî mengatakan diantara para penulis wahyu tersebut adalah al-Khulafâ’ al-Râshidûn, Mu’âwiyah, Abân bin Sa’îd, Khâlid bin Walîd, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsâbit, Tsâbit bin Qais, Arqam bin Ubay, dan Hanzhalah bin al-Rabî’.2

Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang binatang. 3 Di samping itu banyak juga sahabat- sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an setelah wahyu diturunkan. Tradisi menghafal al-Qur’an dipelihara umat Islam turun-

1 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2013), 180.

2 Muhammad ‘Abdul Aẓîm Al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî Ulûm al- Qur’ân juz 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 368.

3 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, 186.

(11)

temurun sepanjang zaman di seluruh dunia, tidak hanya bangsa Arab, termasuk Indonesia. Sangat mudah menemukan para penghafal al- Qur’an 30 juz, baik tua maupun muda dan juga anak-anak. Baik yang memahami maksud ayat yang dibaca maupun tidak memahaminya.

Tahfidz al-Quran di Indonesia dimulai sejak abad ke-18 dibawa oleh ulama atau kyai yang belajar di Mekkah. Ulama yang dimaksud yakni K.H. Muhammad Sa’id bin Isma’il (Sampang, Madura), K.H.

Munawwar (Sidayu, Gresik), K.H. Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi (Termas, Pacitan), K.H. Muhammad Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), dan K.H. M. Dahlan Khalil (Rejoso, Jombang).4

Lembaga atau pondok pesantren yang menyelenggarakan program penghafal al-Quran seperti pesantren Krapyak Yogyakarta (1909), Ponpes Yanbu’ul Quran Kudus (1970), Perguruan tinggi Ilmu al-Quran/PTIQ (1971), IIQ (1977). Pada pengembangan selanjutnya bermunculan lembaga-lembaga tahfidz antara lain Pondok Pesantren Tahfidz Alquran Bina Madani Putra Ciawi Bogor, Lembaga Kaderisasi Imam dan Da’I Bogor, program tahfidz alquran Universitas Djuanda Bogor melalui Pendidikan Kader Dakwah (PKD), program hafalan yang diterapkan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA JAKARTA), termasuk PPA Daarul Quran, Pesantren Terpadu Darul Quran Mulia Bogor.5

Pesantren Krapyak milik KH. Muhammad Munawwir merupakan perintis pembelajaran tahfidz di Indonesia. Pesantren yang

4 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Memelihara Kemurnian Al- Quran Profil Lembaga Tahfidz Al-Quran di Nusantara (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, 2011), 5.

5 Muhammad Bagus Abdillah, “Model Pembinaan Tahfidz Al-Quran di Pondok Pesantren Tahfidz Al-Quran Bina Madani Putra Ciawi Bogor”.

Skripsi. Program Studi MPI Unida Bogor, 2014. 19.

(12)

berlokasi di Yogyakarta tersebut membuka kelas khusus santri hafizul Qur’an pada 1900-an, yaitu era sebelum merdeka. KH. Muhammad Munawwir pun membuat sebuah metode pengajaran al-Qur’an agar santri dapat mudah menghafal kitabullah. Hampir seluruh pesantren al- Qur’an di Jawa mempraktikkan metode pembelajaran al-Qur’an yang dikembangkan Munawwir tersebut.

Metode Tahfidz al-Qur’an

Metode menghafal al-Qur’an yang tepat sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Metode sangat penting digunakan, karena tanpa menggunakan metode yang baik, hafalan tidak akan berjalan maksimal.6 Menurut Ahsin W. Al- Hafidz, dalam bukunya Bimbingan Praktis Menghafal al-Qur’an, menyebutkan beberapa metode yaitu7:

Pertama, metode waḥdah. Yang dimaksud dengan metode ini adalah menghafal satu persatu ayat-ayat yang hendak dihafalnya.

Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca sebanyak sepuluh kali, dua puluh kali atau lebih, sehingga proses ini mampu membentuk pola bayangannya. Dengan demikian penghafal akan mampu mengkondisikan ayat-ayat yang dihafalkannya, bukan saja dalam bayangannya, akan tetapi hingga benar-benar membentuk gerak refleks pada lisannya. Setelah benar-benar hafal barulah dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama, demikian seterusnya hingga mencapai satu halaman (muka/kaca).

6 Muh. Hambali, Cinta al-Qur’an Para Hafizh Cilik, (Jogjakarta:

Najah, 2013), 47.

7Ahsin W. Al- Hafiẓ, Bimbingan Praktis Menghafal al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) 63-66.

(13)

Kedua, metode kitabah. Kitabah yaitu menulis. Pada metode ini penghafal terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya sehingga lancar dan benar bacaannya, lalu dihafalkannya. Dengan menuliskannya berkali-kali ia dapat sambil memperhatikan dan sambil menghafalkannya dalam hati. Metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan, aspek visual menulis juga akan sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangannya.

Ketiga, metode sima’i. Sima’i yang berarti mendengar.

Maksudnya adalah mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya.

Metode ini sangat efektif bagi penghafal al-Qur’an yang mempunyai daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra. Metode ini dapat dilakukan dengan dua alternatif, yaitu: Mendengar dari guru yang membimbingnya, terutama bagi penghafal tunanetra, atau anak-anak dan merekam terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dihafalkannya ke dalam pita kaset sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Kemudian kaset diputar dan didengar secara seksama sambil mengikutinya secara perlahan-lahan, sehingga ayat-ayat tersebut benar-benar dihafal di luar kepala.

Keempat, metode gabungan. Metode ini merupakan gabungan kedua metode, yakni gabungan antara metode wahdah dan metode kitabah. Hanya saja metode kitabah (menulis) di sini lebih memiliki fungsional sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah dihafalkannya. Maka dalam hal ini, setelah penghafal selesai menghafal ayat yang telah dihafalnya, kemudian ia mencoba menuliskan dengan bentuk hafalan pula.

(14)

Kelima, metode jama’. Yang dimaksud dengan metode ini ialah cara menghafal yang dilakukan secara kolektif, yakni ayat-ayat yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama, dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama, instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa menirukan secara bersama-sama. Kemudian instruktur membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan siswa mengikutinya. Setelah ayat-ayat dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti bacaan instruktur dengan sedikit demi sedikit tanpa melihat mushaf dan demikian seterusnya.

Pelaksanaan Tahfîdz al-Qurân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep

Program tahfîdz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri ini bermula dari beberapa santri yang mengaji kepada Nyai.

Arifatussholihah (putri Alm. KH. Moh. Ichsan Nawawi) pada tahun 2014-2015 M., yang kemudian mereka memiliki minat dari dalam diri mereka sendiri untuk mengaji dan menghafal al-Qurân. Pada tahun 2016 program tahfîdz tersebut didirikan dan dikelompokkan dalam satu kamar khusus sampai sekarang.

Pada dasarnya santri yang berminat untuk menghafal al-Qurân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah banyak, akan tetapi ada beberapa alasan yang membuat minat mereka itu tidak tercapai misalnya tidak mendapatkan restu dari orang tua, anggapan masyarakat sekitar bahwa orang yang lupa terhadap hafalan al-Qurânnya maka akan berdosa sehingga mereka merasa takut untuk menghafal dan beberapa alasan lainnya. Oleh sebab itu, maka santri yang menghafal al-Qurân di

(15)

Pondok Pesantren Nurul Hikmah tidak banyak yaitu hanya sebagian santri putri yang berminat sedangkan santri putra tidak berminat karena beberapa alasan di atas.

Santri tahfîdz Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri selain menghafal al-Qurân, sebagian dari mereka beraktifitas layaknya santri pada umumnya yaitu sekolah formal, sekolah diniyah dan bahkan ada yang mengajar sebagai bentuk pengabdian bagi santri yang lulus SMKI. Di tengah aktifitas yang padat tersebut tidak membuat santri tahfidz menyerah untuk menghafal dan alhamdulillâh pada tahun 2019 M., Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri ini berhasil mewisuda 3 santriwati tahfîdz dengan hafalan 30 juz.8

Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri memiliki tiga tahapan dalam pelaksanaan program tahfîdz, yaitu: Pra Tahfîdz. Tahapan pra tahfîdz merupakan syarat yang harus dilakukan santri sebelum mendaftar menjadi anggota tahfîdz di Nurul Hikmah. Santri Pondok Pesantren Nurul Hikmah yang berminat untuk menghafalkan al-Qurân maka harus memenuhi beberapa persyaratan berikut; yaitu bisa membaca al-Qurân dengan benar, lulus kitab Nubdatul Bayân (dapat menguasai ilmu Nahwu, Sharraf dan Bahasa Arab). Kedua, inti Tahfîdz. Inti Tahfîdz, tahapan ketika santri sudah terdaftar menjadi anggota tahfîdz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri. Inti Tahfîdz ini berupa kegiatan santri tahfîdz setiap harinya.

Metode yang digunakan santri tahfidz Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri adalah metode Tikrar. Metode Tikrar tersebut digunakan untuk memudahkan santri dalam mengingat al-Quran tanpa menghafal

8 Wawancara dengan Ustadz Abd. Adim, Mudzîru Ma’had lil Banîn Pondok Pesantren Nurul Hikmah, di Bakeong, tanggal 20 Maret 2020.

(16)

secara langsung. Yaitu dengan cara membaca secara berulang-ulang.

Jenis mushaf yang digunakan santri tahfidz Nurul Hikmah Putri mayoritas adalah Mushaf Âisyah, dan mushaf-mushaf yang sejenis dengan Mushaf Kudus. Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu santri tahfidz, Nurul Izzah mengatakan: “Jenis mushaf yang kami gunakan kebanyakan adalah Mushaf Aisyah, karena Mushaf Âisyah memiliki pemberhentian (waqaf) di bagian pojok bawah halaman seperti halnya jenis al-Qurân Kudus”.9

Selain kegiatan tersebut santri Nurul Hikmah (baik putra maupun putri, menghafal atau tidak), memiliki kegiatan lain yaitu mengaji kitab Tafsîr Jalâlyn setiap hari setelah shalat subuh. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman santri tahfîdz terhadap ayat-ayat al-Qurân yang telah dihafalnya, sehingga hafalan yang dimiliki akan menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-harinya.

Kegiatan ini dipimpin langsung oleh pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah yaitu KH. Abdul Hamid.

Ketiga, evaluasi Tahfîdz. Evaluasi Tahfîdz ini merupakan tahapan yang dilakukan ketika santri sudah hafal 30 juz. Tahapan akhir tersebut adalah setoran 30 juz bil ghâib sekali duduk. Diantaranya yaitu tes awal surat, tes awal juz, tes posisi dalam halaman, dan tes campuran yang dibimbing lansung oleh direktur atau kepala tahfîdz yaitu Ustadz Abd. Syukur.

Faktor Pendukung dan Penghambat Tahfîdz al-Qurân

9 Wawancara dengan Nurul Izzah, Santri Tahfîdz Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri, di Bakeong, tanggal 19 Maret 2020.

(17)

Ada beberapa faktor pendukung tahfidz al-Qur’an di Ponpes Nurul Hikmah Putri Bakeong. Pertama, mempunyai target hafalan.

Hendaknya para hafîdz mempunyai target setiap harinya dalam menghafalkan al-Qurân. Agar lebih termotivasi untuk mendapatkan hafalan dalam jumlah banyak. Sehingga harapan untuk khatam 30 juz dapat terpenuhi dalam waktu yang singkat.

Kedua, adanya komitmen yang kuat dari diri sendiri untuk menghafal. Komitmen yang kuat dari diri sendiri untuk menghafal al- Quran menjadi faktor yang sangat penting yang dapat membantu santri untuk tidak merasa tertekan, malas, dan jenuh ketika mengikuti proses hafalan tersebut, tetap semangat dan tidak terpaksa sehingga dalam menghafal ia merasa enjoy, senang dan ceria bahkan setelah hafal 30 juz komitmen untuk menjaga hafalan tersebut tetap kuat dalam ingatan karena ia menghafal atas kehendak dirinya sendiri.

Ketiga, adanya motivasi dari orang tua dan guru. Diantara cara meraih kesuksesan dalam hidup adalah mendapatkan dukungan dari orang tua, guru maupun orang terdekat lainnya. Sebab semangat manusia kadang naik turun. Oleh karena itu membutuhkan orang lain yang bisa membangkitkan semangat kapan pun waktunya. Agar tujuan yang telah direncanakan bisa tercapai.

Keempat, berdo’a agar sukses menghafalkan al-Qurân. Manusia hidup di dunia tidak bisa merasakan kebahagiaan maupun kesedihan tanpa kehendak Allah SWT. Begitu pula seorang hafîdz, hendaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan selalu berdo’a agar diberi kemudahan dalam menghafalkan al-Qurân. Maka Allah senantiasa mengabulkannya jika diniatkan dengan ikhlas. Pondok Pesantren Nurul Hikmah ini memiliki suatu amalan untuk menghindari

(18)

kelupaan atau mempermudah dalam mengahafal sebagaimana yang diungkapkan oleh saudari Muthmainnah bahwa dengan amalan tersebut insyâallah hafalan kami akan terjaga dan dapat dipermudah oleh Allah”.10

Kelima, adanya buku perkembangan hafalan santri. Buku perkembangan hafalan sebagai bentuk evaluasi yang diprogramkan pihak pondok. Tujuannya agar orang tua mengetahui perkembangan santri dalam menghafal, sehingga orang tua bisa menilai tingkat keberhasilan menghafal santri. Dengan cara memberi dukungan kepada anak dalam menghafalkan al-Qurân.

Adapun faktor penghambat tahfidzul qur’an, adalah sebagai berikut. Pertama, ayat-Ayat yang Panjang. Karakter ayat yang terdapat dalam satu mushaf al-Qurân tentunya berbeda-beda. Bagi santri Nurul Hikmah Putri yang menjadi hambatan mereka dalam menghafal adalah ketika menjumpai ayat-ayat yang panjang. Untuk menghafalkannya mereka harus mengulangnya sampai 20 kali atau bahkan lebih.

Kedua, kurang lancar dalam melafalkan Ayat. Setiap setoran hafalan pembimbing tidak bosan-bosannya mengingatkan santri secara langsung atau memberi catatan di buku bimbingan untuk nderes di Pondok secara rutin. Agar ketika disuruh pembimbing melafalkan ayat bisa lancar. Sebenarnya guru bisa mengetahui antara anak yang rajin nderes dan tidak melalui kelancaran anak dalam menghafalkan ayat al- Qurân.

Ketiga, terdapat ayat mutasyâbihât. Bagi yang masih sedang menjalani proses menghafal al-Qurân, lalu menjumpai ayat-ayat

10 Wawancara dengan Muthmainnah, Santri Tahfîdz Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri, di Bakeong, tanggal 22 Maret 2020.

(19)

mutasyâbihât,11 sebaiknya ayat-ayat tersebut disalin ke sebuah buku khusus. Tujuannya agar dapat mengetahui, mengingat, dan hafal ketika mengulang hafalan terhadap letak ayat-ayat mutasyâbihât tersebut.

Cholilatul karimah salah satu santri tahfîdz mengatakan: “Jika saya menemukan ayat mutasyabihat ketika menghafal, maka saya tidak akan cepat hafal. Jika sudah tidak hafal saya menangis dan pikiran tidak tenang, maka saya akan meminta kepada teman saya yang tahfidz untuk membacakan ayat tersebut atau dengan cara lain yaitu berwudhu’, membaca shalawat, istighfar atau amalan-amalan lainnya”.12

Ketiga, kurangnya motivasi dari orang tua. Kurangnya motivasi dari orang tua, juga akan menjadi kendala bagi anak dalam menghafalkan al-Qurân. Hal tersebut seharusnya diminimalisir atau dihilangkan. Seharusnya dikembangkan penghargaan-penghargaan kepada para penghafal al-Qurân di seluruh tingkat satuan masyarakat.

Dimulai dari keluarga, karena orang tua secara langsung akan mendapatkan manfa’at dan kebaikan dari anak-anaknya yang menghafal al-Qurân.

Keempat, malas. Malas adalah kesalahan yang jamak dan sering terjadi. Tidak terkecuali dalam menghafal al-Qurân. Karena setiap hari harus bergelut dengan rutinitas yang sama, tidak aneh jika suatu ketika seseorang dilanda kebosanan. Walaupun al-Qurân adalah kalam yang tidak menimbulkan kebosanan dala membaca dan mendengarkannya,

11 Ayat mutasyabihat yang dimaksud adalah karena keserupaan atau kemiripan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain (mutasyabih dari segi lafadz). Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Ra’d: 2 dan QS. Lukman: 29.

12 Wawancara dengan Cholilatul Karimah, Santri Tahfîdz Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri, di Bakeong, tanggal 16 Maret 2020.

(20)

tetapi bagi sebagian orang yang belum melaksanakan nikmatnya al- Qurân, hal ini sering terjadi. Rasa bosan ini akan menimbulkan kemalasan dalam diri untuk menghafal al-Qurân atau muraja’ah al- Qurân.13

Analisis Kondisi Santri Tahfidzul Quran di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep

Setelah peneliti mengadakan penelitian tentang sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap santri tahfîdzul qur’ân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep, akhirnya peneliti memperoleh data-data yang dikumpulkan, dan dari data tersebut terkumpul ke dalam laporan. Hasil penelitian ini telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis sehingga dapat dipaparkan dan dapat disimpulkan bahwa kondisi santri tahfidzul Quran di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri adalah sebagai berikut;

Pertama, kurang Lancar dalam menyetorkan hafalannya. Santri tahfidz Nurul Hikmah Putri ada yang tidak lancar dalam menyetorkan hafalannya. Hal itu disebabkan oleh tindakan santri yang terburu-buru untuk cepat khatam 30 juz sehingga berakibat pada ketidaklancaran ketika menghafal al-Qurân.

Kedua, kurang memahami ayat yang dihafal. Menghafal al- Qurân adalah perbuatan yang mulia, dan akan lebih sempurna jika menghafal diimbangi dengan memahami ayat yang telah dihafalkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu,

13 Zaki Zamani, Metode Cepat Menghafal al-Quran, (Yogyakarta: al- Barokah, 2014), 69.

(21)

memahami al-Qurân terlebih dahulu akan mempermudah dalam menghafalkannya dan membuat hafalannya tertanam kuat dalam ingatan. Santri tahfidz Nurul Hikmah Putri masih ada yang kurang memahami ayat yang dihafalkannya sehingga mereka mudah untuk melupakan ayat yang telah disetorkan sebelumnya.

Ketiga, waktu yang cukup sedikit. Waktu yang digunakan untuk menghafal atau menambah hafalan di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri terlalu sempit, karena mereka disibukkan dengan kegiatan lain selain kegiatan tahfîdzul Qurân seperti mengajar, sekolah formal, sekolah diniyah dan kegiatan-kegiatan pondok lainnya.

Keempat, rasa malas untuk menghafal. Rasa malas adalah kesalahan yang jamak dan sering terjadi. Tidak terkecuali dalam menghafal al-Qurân. Santri Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri sering sekali mengeluhkan rasa bosan yang pada akhirnya malas untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menghafal atau mentakrir hafalannya karena setiap hari harus bergelut dengan rutinitas yang sama dan padat.

Kelima, lupa terhadap ayat yang dihafal. Sebagai santri tahfidz maka sepantasnya menjaga hafalannya, baik dengan cara mentakrir atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, santri tahfidz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri yang sedang menjalani proses menghafal atau sudah hafal 30 juz, ada sebagian dari mereka yang lupa akan sebagian ayat-ayat yang sudah mereka hafal.

Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfîdzul Qurân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep

(22)

KH. Abdul Hamid (pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri) memiliki pandangan terhadap kondisi santri tahfidz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri. Beliau tidak pernah memaksa santri untuk menghafal al-Qurân, ketika ada santri yang ingin menghafal, hal itu murni dari mereka sendiri yang berkeinginan untuk menghafal dan sudah mendapat izin dari orangtua, apabila orangtua mereka tidak mengizinkan untuk menghafal karena khawatir anaknya akan berdosa karena lupa kepada hafalannya, pikiran tersebut haruslah dibuang jauh- jauh karena Allah akan menjaga hafalan orang-orang yang benar-benar ikhlas dan istiqamah dalam menghafal al-Qurân.

Ada juga santri tahfidz yang terpaksa berhenti menghafal karena dinikahkan oleh orangtua mereka seperti Khairiyah, Mailah, dan Fatimatuz Zahroh (kecuali Helmiyatun berhenti sudah hafal 30 juz dan Lailatul Badriyah yang berhenti menghafal karena meninggal), sebenarnya saya merasa eman kepada mereka tetapi apalah daya saya untuk melarang orangtua mereka yang ingin menikahkan anaknya karena umur mereka sudah sampai pada batas untuk menikah, begitulah anggapan para orangtua mereka, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa untuk menikahkan anaknya yang apabila umurnya sudah pantas untuk menikah maka harus menikah. Selain menghafal, Pondok ini juga mengadakan kajian kitab tafsir Jalalyn untuk membantu santri dalam memahami isi kandungan yang terdapat dalam al-Qurân.14

Sebagai santri tahfidz maka seharusnya bukan hanya otak yang bekerja akan tetapi hati dan sikap keseharian haruslah qurânî.

14 Wawancara dengan KH. Abdul Hamid, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah di Bakeong, tanggal 16 Maret 2020.

(23)

Walaupun waktu yang dimiliki santri tahfidz untuk menghafal tidaklah banyak karena mereka disibukkan oleh kegiatan pondok lainnya, maka solusi yang harus mereka lakukan adalah mengatur waktu dengan baik, kuasai keadaan, dan jangan larut oleh keadaan artinya jangan kebanyakan santai karena orang yang disibukkan oleh suatu kebaikan akan merasa lebih baik daripada orang yang santai/pengangguran.15

Salah satu cara yang harus dilakukan seseorang agar mudah dalam menghafal al-Qurân adalah apabila ia terlebih dahulu memahami makna dan juga qawaid al-‘Arabiyah yang ada dalam al- Qurân. Ustadz Abd. Syukur (direktur tahfidz Pondok Pesantren Nurul Hikmah) seringkali mengingatkan santri untuk mengulang hafalannya agar supaya lancar dalam melafalkan ayat al-Qurân ketika menghafal.

Ketika mereka menghafal, sebelum melanjutkan hafalannya ke juz berikutnya maka saya akan menanyakan apakah juz yang sebelumnya sudah lancar atau tidak, jika belum lancar maka diulang lagi, jika sudah lancar maka dilanjutkan ke juz berikutnya. Saya juga menganjurkan santri sebelum menghafal untuk memahami terlebih dahulu ayat yang akan disetorkan karena disamping paham juga akan mempercepat dalam menghafal. Selain itu, syarat yang harus dipenuhi oleh santri yang ingin menjadi anggota tahfidz adalah harus lancar membaca al-Qurân, juga lulus dan menguasai kitab Nubdatul Bayan (memahami nahwu, sharraf, dan bahasa arab) sebagai ilmu alat untuk menghafal dan memahami al-Qurân.16

15 Wawancara dengan Nyai Arifatussholihah, Mudzir Ma’had lil Banat Pondok Pesantren Nurul Hikmah di Bakeong, tanggal 18 Maret 2020.

16 Wawancara dengan Ustadz Abd. Syukur, Direktur Tahfidz Pondok Pesantren Nurul Hikmah di Bakeong, tanggal 20 Maret 2020.

(24)

Selain hal tersebut santri tahfidz mengeluhkan bahwa ada sebagian ayat yang mereka lupakan. Ustadz Suandi (pembimbing tahfidz) memberikan solusi kepada santri yang lupa akan ayat yang mereka hafal. Sistem yang diterapkan kepada santri tahfidz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri yaitu dengan metode pagi setoran minimal satu kaca dan maksimal satu lembar, kemudian malamnya mengulang yang disetorkan pada pagi harinya agar supaya anak-anak tidak lupa dengan hafalan yang sudah disetorkan. Oleh sebab itu maka jadikan al-Qurân sebagai wirid dan sebenarnya al-Qurân itu adalah sebaik-baiknya wirid. Jangan percaya adanya wirid tertentu untuk mempertahankan hafalan, kecuali do’a-do’a pendek, memperbanyak membaca istifghfar yang tidak menyita waktu untuk melakukan muraja’ah/takrir/tadarus.

Kemudian mengenai rasa malas yang terjadi kepada santri yang menghafal al-Qurân, Ustadz Badrus Shaleh (pembimbing tahfidz) mengatakan bahwa bagi santri tahfidz yang malas, ingatlah kembali niat kalian untuk menghafal al-Qurân, beri semangat persuasif pada diri kalian agar mau bangkit lagi, dan ingatlah orang tua kalian yang telah membiayai sekolah kalian.17

Dalam menghafal al-Qurân, seseorang tentu tidak akan pernah lepas dari hambatan-hambatan yang menimpanya, dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi santri tahfidz Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri adalah kurang lancar dalam melafalkan ayat, kurang memahami ayat yang dihafal, waktu yang cukup sedikit, rasa malas untuk menghafal, dan lupa terhadap ayat

17 Wawancara dengan Ustadz Badrus Shaleh, Pembimbing Tahfidz Pondok Pesantren Nurul Hikmah di Bakeong, tanggal 19 Maret 2020.

(25)

yang dihafal. Selain hal tersebut, kondisi santri tahfidz lainnya adalah dukungan dari orangtua kurang maksimal, selain itu sebelum menjadi anggota tahfidz santri harus mampu membaca al-Qurân dengan lancar, lulus dan menguasai kitab Nubdatul Bayan. Sedangkan ketika menjadi anggota tahfidz, santri mengkaji kitab tafsir Jalalyn untuk menambah pemahaman santri terhadap kandungan ayat yang telah dihafalnya.

Untuk menyikapi hal tersebut, tokoh pesantren Nurul Hikmah memberikan berbagai solusi untuk mengatasi kondisi santri tahfidz tersebut, yaitu dengan mengadakan kajian kitab tafsir Jalalyn yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh yang dipimpin langsung oleh KH. Abdul Hamid dengan tujuan menambah pemahaman santri terhadap isi kandungan ayat al-Qurân dan mampu menerapkan nilai- nilai yang terkandung dalam al-Qurân di setiap perilaku keseharian santri bernilai qurani.

Al-Quran diturunkan tidak untuk dihafal, melainkan diperintahkan untuk dipelajari dan diamalkan. Karena, dalam menghadapi berbagai persoalan hidup kita akan menemukan jawaban di al-Quran maka dari itu memahami dan mengamalkan al-Quran jauh lebih penting dari menghafal saja. Oleh karena itu, bagi setiap anak yang menghafal al-Quran perlu dukungan penuh dari orangtua untuk tidak hanya sekedar menghafal saja melainkan ada motivasi untuk mempelajarinya. Sedangkan untuk meyakinkan orangtua santri yang tidak mendukung anaknya dalam menghafal disebabkan kekhawatiran anaknya akan lupa dan akan berdosa, maka perlu diadakan sosialisasi bersama dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan yang akan diperoleh bagi orang yang menghafal al-Qurân misalnya Allah akan menempatkannya di surga dan Allah tidak akan menghilangkan

(26)

hafalan itu dari benak seseorang jika ia menghafal dengan niat yang tulus dan selalu istiqamah untuk mengulang hafalannya. Kemudian mengenai santri yang terpaksa berhenti menghafal karena dinikahkan oleh orang tuanya, hal tersebut dapat terjadi karena disebabkan tidak adanya peraturan yang tegas dari pondok pesantren kepada santri tahfidz misalnya, santri tahfidz tidak boleh berhenti sebelum mampu menghafalkan sampai 30 juz.

Sebenarnya dalam menghafal al-Qurân tidak hanya fokus dalam hafalan saja. Namun, juga meliputi kelancaran, ketepatan dan kefasihan dalam menyetorkan hafalannya. Kegiatan di Pondok Pesantren Nurul Hikmah tidak hanya fokus kepada program hafalan al- Qurân, melainkan ada kegiatan-kegiatan formal baik ekstrakulikuler, intrakulikuler maupun ko-kurikuler yang dapat menunjang pengetahuan dan kreativitas setiap santri. Program hafalan al-Qurân di pesantren ini bukanlah kegiatan wajib yang harus diikuti oleh semua santri, melainkan santri yang berminat dalam menghafal saja. Sehingga dengan kemauan itu sendiri maka santri harus dapat membagi waktu sebaik mungkin untuk bisa menghafal dengan baik. Dan sebagian dari santri ada yang mengeluh sulit untuk menghafal karena padatnya kegiatan. Maka dari itu solusi yang tepat adalah kembali kepada diri sendiri. Selama ada kemauan maka santri pasti dapat menghafal disela- sela kesibukannya tanpa mengorbankan kegiatan yang lain.

Dalam melakukan kegiatan yang berdampak baik dan bermanfaat, pasti tidak akan luput dengan gangguan. Baik gangguan itu dari internal maupun eksternal. Gangguan internal yang biasa dirasakan oleh santri adalah rasa malas. Rasa malas untuk menghafal dan mengkaji al-Qurân dengan istiqamah. Selain rasa malas, gangguan

(27)

tersebut juga didapatkan dari lingkungan. Terkadang ada sebagian dari santri, karena melihat teman-temannya malas untuk menghafal, juga ikut-ikutan malas untuk menghafal. Maka dari itu perlu adanya kesadaran dalam setiap santri bahwa bermalas-malasan dan menunda- nunda waktu akan merugi dan pintar-pintarlah dalam bergaul bersama teman-temannya.

Dalam menghafal al-Qurân, santri Nurul Hikmah Putri sering lupa ketika sudah nakrir ayat-ayat yang sudah dihafalkan. Hal ini disebabkan karena terdapat ayat yang hampir sama dan terdapat juga ayat yang panjang. Dan selain itu juga karena kurangnya dalam men- takrir. Sehingga ada beberapa ayat yang lupa. Maka dari itu istiqamah dalam men-takrir akan memudahkan santri dalam mengingat hafalannya. Ustadz Suandi, misalnya memerintahkan santri agar menjadikan al-Qurân sebagai dzikir setiap hari dan memberikan amalan khusus agar terhindar dari kelupaan dan mempermudah dalam menghafal.

Dari hasil wawancara yang penulis dapatkan bahwa terkait kondisi santri tahfidz dalam menghafal al-Qurân tidak hanya dirasakan oleh para santri saja melainkan hal ini juga ada hubungannya dengan para wali santri. Karena minimnya pengetahuan dan belum tahu manfaat dari menghafal al-Qurân sehingga keraguan untuk menjadikan anaknya sebagai hafidzah melekat pada sebagian wali.

Seorang anak dalam menghafal al-Qurân, selain mendapat dukungan dari guru pembimbing, juga harus mendapat dukungan dari orangtua karena dengan dukungan merekalah dapat membantu anak dalam keberhasilan dan semangat untuk menghafalkan al-Qurân.

(28)

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam keberhasilan pelaksanaan tahfidzul Qurân yang berperan andil adalah orangtua, tokoh pesantren (pengasuh, guru, pembimbing), dan santri tahfidz itu sendiri. Peran orangtua sebagai penyemangat, mendoakan, memberi nafkah, peran tokoh pesantren (pengasuh, guru, pembimbing) sebagai orang yang memberi ilmu pengetahuan tentang menghafal dan memahami al-Qurân, kemudian peran santri sebagai orang yang memiliki semangat untuk menghafal al-Qurân dan menjadikan al- Qurân sebagai pedoman kehidupannya sehari-hari.

Sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap kondisi santri tahfîdz di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri tersebut membuktikan bahwa program ini ada bukan sekedar melahirkan lulusan hafidz/hafidzah akan tetapi menjadikan hafidz/hâfidzah tersebut memiliki semangat yang kuat untuk menghafal, mampu memahami ayat yang telah dihafal dan menjadikan al-Qurân sebagai pedoman hidup sehari-harinya.

Pelaksanaan tahfidzul Qurân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri berdasarkan teori Kontruksi sosial Peter L. Berger terbangun melalui tiga proses, yaitu:

Pertama, eksternalisasi. Pengetahuan pengasuh mengenai pelaksanaan tahfidzul Qurân diperoleh lewat interaksi pengasuh dengan pembimbing tahfidz yaitu Ustadz Abd. Syukur yang merupakan salah satu santri tahfidz Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jejeran Bantul Jogjakarta selama 4 tahun yang diasuh oleh KH.

Hasyim Syafi’ie. Dan santri Nurul Hikmah Putri harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peraturan yang diterapkan di Pondok

(29)

Pesantren Nurul Hikmah Putri baik peraturan santri tahfidz itu sendiri atau peraturan santri Pondok Pesantren Nurul Hikmah secara umum.

Kedua, objektifikasi. Proses interaksi pengasuh dengan Ustadz Abd. Syukur sehingga pengetahuan pengasuh mengenai pelaksanaan tahfidzul Qurân menjadi nilai bersama dalam lingkungan Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri dengan adanya pelaksanaan program tahfidzul Qurân yang terdiri dari tiga tahapan; pra tahfidz, yaitu santri mampu membaca al-Qurân dengan benar, lulus dan menguasai kitab Nubdatul Bayan (menguasai ilmu Nahwu, Sharraf, dan Bahasa Arab).

Inti tahfidz, yaitu kegiatan santri tahfidz setiap harinya. Dan evaluasi tahfidz, yaitu setoran hafalan 30 juz bil ghaib sekali duduk.

Ketiga, internalisasi. Penarikan kembali dari dunia luar yang telah menjadi nilai bersama. Santri menyadari atau memberikan pengakuan kepada dirinya sendiri bahwa dia adalah santri tahfidz yang harus menyeimbangkan antara hafalan dan pemahaman terhadap ayat- ayat al-Quran di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk-Guluk Sumenep.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap kondisi santri tahfidzul Qurân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri. Kondisi santri tahfidzul Qurân Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri adalah meliputi; kurang lancar dalam menyetorkan hafalannya, kurang memahami ayat yang dihafal, waktu yang cukup sedikit, rasa malas untuk menghafal, dan lupa terhadap ayat yang dihafal. Selain hal tersebut, juga terdapat kondisi santri dari segi pelaksanaan program tahfidz, yaitu dukungan dari orangtua

(30)

kurang maksimal, selain itu sebelum mendaftar menjadi anggota tahfidz santri harus mampu membaca al-Qurân dengan benar dan menguasai kitab Nubdatul Bayan. Kemudian santri tahfidz mengkaji kitab tafsir Jalalyn dan mengamalkan do’a khusus untuk menjaga hafalannya.

Sikap dan pandangan tokoh pesantren terhadap kondisi santri tahfîdz al-Qurân di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri, terdapat sikap dan pandangan tokoh pesantren sebagai berikut: (1) tidak memaksa santri untuk menjadi hâfidz/hâfidzah, (2) menghimbau santri sebelum menghafal untuk memahami ayat yang akan dihafal, (3) boleh menghafal dengan syarat mampu membaca al-Qurân dengan lancar (sesuai kaidah ilmu tajwid) dan menguasai ilmu penunjang dalam menghafal al-Qurân seperti kitab Nubdatul Bayan (memahami ilmu Bahasa Arab, Nahwu, dan Sharraf), (4) memperingati santri untuk selalu mengulang hafalannya agar tidak mudah lupa dengan memberikan amalan khusus dan memahami makna ayat yang dihafal sebagai pedoman hidup, (5) mengadakan kajian kitab Tafsir Jalalyn sebagai pembekalan tambahan terhadap pemahaman al-Qurân, (6) menghimbau santri untuk tidak bermalas-malasan dan bisa mengatur waktu dengan baik, (7) mengadakan sosialisasi kepada orangtua yang berkaitan dengan pentingnya menghafal al-Quran yang diiringi dengan memahami sehingga dapat mudah diamalkan. Serta memohon kerjasama pada orangtua untuk memberikan dukungan penuh kepada anak-anaknya dalam proses menghafal.

(31)

Daftar Pustaka

Abdillah, Muhammad Bagus “Model Pembinaan Tahfidz Al- Quran di Pondok Pesantren Tahfidz Al-Quran Bina Madani Putra Ciawi Bogor”. Skripsi. Program Studi MPI Unida Bogor, 2014.

Abdurrahman, Hafidz Ulumul Qur’an Praktis-Metode Memahami Al-Qur’an, Bogor: Idea Pustaka Utama, 2004.

Alawiyah, Siti Habibah, “Hubungan Self-Regulated Learning dengan School Engagement pada santri yang mengikuti Tahfidz Al-Qur’an Di Pondok Pesantren Modern Al-Aqsha Jatinagor Sumedang Jawa Barat,” Skripsi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2017.

al-Shiddiqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.

Asy-Sayuti, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an juz 2, Beirut: Darul Fikr, 1979.

Damasyqi, Isma’il ibnu Katsir ad-, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim Juz 14, Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh al-Turats, 2000.

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2008.

Ferdinan, “Pelaksanaan Program Tahfidzul Qur’an; Studi Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Gombara Sulawesi Selatan,” Tarbawi, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2018.

Hambali, Muh. Cinta al-Qur’an Para Hafizh Cilik, Jogjakarta:

Najah, 2013.

Hilali, Syaikh Salim al-, at- Ta’zhim wal Minnah fil Intishari as- Sunnah.

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, Memelihara Kemurnian Al-

Quran Profil Lembaga Tahfidz Al-Quran di Nusantara,

Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, 2011.

(32)

L. Berger, Peter dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, terj.

Hasan Basari, Jakarta: LP3ES, 2012.

--- Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES, 1991.

Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana 2010.

Nawawy, Imam, at-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, terj.

Tarmana A. Qasim, Bandung: al-Bayan, 1996.

Nurhadi, M., “Pembentukan Karakter Melalui Tahfidzul Qur’an;

Studi Kasus di MI Yusuf Abdussatar Kediri Lombok Barat,” Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015.

Qattan, Manna Khalil al-, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj.

Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2013.

Sa’dulloh, 9 Cara Praktis Menghafal al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Shonhaji, M. dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V, Yogjakarta:

Dana Bhakti Wakaf, 1990.

Soehadha, Moh., Metode Penulisan Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, Yogyakarta: SUKA Press, 2012.

Thabari, Ali Ja’far Muhammad bin Jarir al-, Tafsir Jami’ al- Bayan an Ta’wili ay al-Qu’ran Juz 16, Kairo: Dar al-Hijr, 2001.

W. Al-Hafiẓ, Ahsin, Bimbingan Praktis Menghafal al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Wadji, Farid, “Tahfiz al-Qur’an dalam Kajian ‘Ulum Al-Qur’an (Studi atas Berbagai Metode Tahfiz)”, Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Widiastuti, Dara dkk, “Implementasi Metode My Q-Map dalam

Meningkatkan Hafalan Alquran (Studi di Pondok Tahfidz

Bintang Qur’an Cirebon),” Tarbawy, Vol. 6, No. 1, Mei

2009.

(33)

Zabidi, Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif al-, al- Tajrid al-Sahih li al-Hadits al-Jami, Bandung: PT Mizan Pustaka, tt.

Zakiy al-Kaaf, Abdullah, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, terj. Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Bandung:

Pustaka Setia, 2003.

Zamani, Zaki, Metode Cepat Menghafal al-Quran, Yogyakarta:

al-Barokah, 2014.

Zarqânî, Muhammad ‘Abdul Aẓîm Al-, Manâhil al-‘Irfân fî

Ulûm al-Qur’ân juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,

1996.

Referensi

Dokumen terkait

1. Kesatuan merupakan prinsip yang utama di mana unsur-unsur seni rupa saling menun+ang satu sama lain dalam mementuk k$mp$sisi yang agus dan serasi. !ntuk

Daksinapati Raya No.10 Rawamangun Jakarta Timur 700,000,000 13 Lembaga Pengembangan Dharma Gita (LPDG) Provinsi DKI Jakarta Jln.. Kebon Nanas Cipinang Besar Selatan

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

H1 H2 H3 Manajemen Organisasi Kondisi Lingkungan Kerja Fisik Perilaku Keselamatan Kerja Pelatihan Keselamatan Kerja Komunikasi Keselamatan Kerja Peraturan & Prosedur

Jenis yang paling sedikit ditemui adalah Balanophora dioica yang hanya tersebar di dua lokasi di Gunung Talang, Pada penelitian ini jenis yang hanya di temukan

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

Sehingga banyak remaja berpikir bahwa apa yang mereka pikirkan lebih baik dari pada apa yang dipikirkan orang dewasa, hal tersebut yang menjadi penyebab banyak remaja sering

Berdasarkan percobaan Pengaruh Lingkungan Terhadap Denyut Jantung daphnia diperoleh hasi perhitungan denyut jantung Daphnia pada suhu normal 160 denyut/menit, pada suhu panas