• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 POLA ASUH

2.1.1 Pengertian Pola Asuh

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dengan anak, dengan pola asuh orang tua mengajar dan mendidik anak sebagai wujud dari rasa tanggung jawabnya terhadap anak (Papalia et al., 2009). Menurut Gunarsa (2000), pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutihan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Selanjutnya menurut Grusec (Rathus, 2013), pola asuh adalah pandangan tradisional dimana anak akan diajarkan nilai-nilai dan standar perilaku dari orang tuanya.

Peran ayah dan ibu dalam pola asuh menjadi penting untuk mendidik anak ditinjau dari sudut pandang agama, sosial, maupun individu itu sendiri. Jika pola asuh ayah dan ibu dalam keluarga tersebut diberikan dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal (Papalia et al., 2009).

(2)

2.1.2 Tipe-Tipe Pola Asuh

Pola asuh orang tua dibagi menjadi tiga (Papalia et al., 2009), yaitu:

1. Pola Asuh Otoritarian (Authoritarian)

Pola asuh otoritarian adalah pola asuh yang menuntut anak mengikuti perintah orang tua, tegas, dan tidak memberi peluang anak untuk mengemukakan pendapat. Orang tua menghargai kontrol tanpa banyak tanya. Orang tua berusaha membuat anak mematuhi set standar perilaku dan menghukum mereka secara tegas jika melanggarnya. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat dibanding orang tua dengan tipe pola asuh yang lain. Anak mereka cenderung menjadi lebih tidak puas, menarik diri, dan tidak percaya terhadap orang lain.

2. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif adalah pola asuh yang mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa, diberi kelonggaran untuk melakukan hal yang dikehendaki. Orang tua menghargai ekspresi diri dan pangaturan diri, mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Ketika membuat aturan, orang tua menjelaskan alasannya kepada anak, mereka berkonsultasi dengan anak mengenai keputusan kebijakan dan jarang menghukum. Orang tua bersikap hangat, tidak mengontrol, dan tudak menuntut.

3. Pola Asuh Otoritatif (Authoritative)

Pola asuh autoritatif adalah pola asuh yang memperlihatkan pengawasan ketat pada tingkah laku anak, tetapi juga responsif, menghargai pemikiran, perasaan,

(3)

dan mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan. Orang tua menghargai individualitas anak, tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua percaya akan kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Mereka menyayangi dan menerima tetapi juga meminta perilaku yang baik, tegas dalam menetapkan standar, dan berkenan untuk menerapkan hukuman yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan mendukung. Orang tua menjelaskan alasan dibalik pendapat mereka dan mendorong komunikasi verbal timbal balik. Anak dengan pola asuh seperti ini akan merasa aman karena mengetahui bahwa mereka dicintai, tapi juga diarahkan dengan tegas. Anak pra sekolah dengan orang tua yang otoritatif cenderung paling mengandalkan diri, mengontrol diri dan lebih asertif, mengeksplorasi dan lebih merasa pas.

Orang tua membuat aturan yang jelas dan konsisten karena memberikan kesempatan pada anak untuk mengetahui apa yang diharapkan dari mereka.

Dalam pola asuh yang otoritarian, anak sedemikian rupa dikontrol hingga sering kali tidak dapat membuat pilihan sendiri mengernai perilaku mereka. Dalam lingkungan keluarga dengan pola asuh permisif, anak menerima panduan yang sangat sedikit sehingga mungkin mereka merasa tidak pasti dan cemas apakah mereka melakukan hal yang benar. Dalam lingkungan keluarga dengan pola asuh otoritatif, anak tahu kapan mereka dapat memenuhi ekspektasi dan bisa memutuskan apakah layak untuk mengambil risiko ketidaksenangan orang tua untuk mengejar tujuan tertentu. Anak ini diharapkan dapat memiliki kinerja yang baik, memenuhi komitmen, serta berpartisipasi aktif dalam tugas keluraga dan juga kegiatan keluarga bersenang-senang. Mereka mengetahui kepuasan dari

(4)

menerima tanggung jawab dan mencapai sukses. Orang tua yang memberikan pengharapan yang wajar menunjukkan bahwa mereka percaya pada anak dapat memenuhinya dan mereka cukup peduli untuk menekankan bahwa mereka memang bisa. Ketika ada konflik, orang tua dengan pola asuh otoritatif akan mengajarkan anak cara yang positif untuk mengkomunikasikan pandangan mereka dan melakukan negosiasi dengan sangat baik (Papalia et al., 2009).

Menurut Baumrind (Santrock, 2007) pola asuh orang tua dibedakan menjadi 4 tipe pengasuhan, yaitu :

1. Authoritarian

Pola asuh yang membatasi dan menghukum anak dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otorier menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukan amarah pada anak. Anak yang dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.

2. Authoritative

Pola asuh orang tua yang mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku konstuktif anak. Mereka juga mengharapkan

(5)

perilaku anak yang dewasa. mandiri, dan sesuai dengan usia mereka. Anak yang memiliki orang tua yang otortatif seringkali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, beroreantisi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik.

3. Permissive Indifferent atau pengasuhan yang mengabaikan

Pola asuh orang tua yang di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di antartanya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.

4. Permissive Indulgent atau pengasuhan yang menuruti

Pola asuh orang tua yang dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua seperti ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.

Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya.

(6)

Menurut Hersey & Blanchard (Garliah dan Nasution, 2005) pola asuh sebagai salah satu dari bentuk kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi seseorang oleh orang lain, dalam hal ini orang tua berperan sebagai pemimpin ketika mereka mencoba memberi pengaruh yang kuat pada anaknya. Menurut Hersey & Blanchard, pola asuh terdiri atas dua dimensi perilaku yaitu:

1. Directive Behavior

melibatkan komunikasi yang searah, dimana orangtua menguraikan peran anak dan memberitahu anak apa yang harus mereka lakukan, dimana, kapan dan bagaimana melakukan suatu tugas.

2. Supportive Behavior

melibatkan komunikasi dua arah, dimana orangtua mendengarkan anak, memberikan dorongan, membesarkan hati, memberikan teguran positif dan membantu mengarahkan perilaku anak.

Kombinasi dari kedua dimensi tersebut menghasilkan empat bentuk pola asuh yaitu:

1. Telling

Perilaku orangtua yang directive-nya tinggi dan supportive rendah karena dikarakteristikan dengan komunikasi satu arah antara orangtua dengan anak.

Dimana orangtua menentukan peran anak dan mengatakan apa, bagaimana, kapan dan dimana anak harus melakukan berbagai tugas.

(7)

2. Selling

Perilaku orangtua yang directive dan suportive tinggi karena sebahagian besar arahan yang ada diberikan oleh orangtua. Orangtua juga berusaha melalui komunikasi dua arah yang membolehkan anak untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan dan dorongan.

3. Participating

Perilaku orangtua yang directive-nya rendah dan supportive tinggi karena orangtua dan anak saling berbagi dalam membuat keputusan melalui komunikasi dua arah. Anak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk berbagi ide tentang bagaimana suatu masalah itu dipecahkan dan membuat kesepakatan dengan orangtua dengan apa yang harus dilakukan.

4. Delegating

Perilaku orangtua yang directive dan suportive rendah karena meskipun orangtua tetap menetapkan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu masalah, namun anak diperbolehkan untuk menjalankan apa yang diingankannya dan memutuskan kapan, dimana dan bagaimana mereka melakukan satu hal.

2.1.3 Pentingnya Pola Asuh

Pengalaman dengan orang tua sejak masa bayi dapat mempengaruhi adaptasi menuju kedewasaaan. Dalam sebuah penelitian (Scharf et al dalam Papalia et al, 2009), peneliti mewawancarai 88 orang anak laki-laki Israel semasa

(8)

sekolah menengah atas mereka lalu kembali setahun kemudian ketika pelatihan militer dan tiga tahun kemudian ketika masa layanan militer mereka selesai. Pada asesmen awal, peneliti mengadministrasikan Wawancara Kelekatan Dewasa Awal (Adult Attachment Interview – AAI) sebuah wawancara agak terstruktur dimana

orang dewasa diminta untuk mengingat kembali dan menerjemahkan berbagai perasaan dan pengalaman yang berkaitan dengan kelekatan masa kecil mereka.

Laki-laki yang berdasarkan AAI dinilai sebagai otonomi aman, mereka mampu secara koheren membahas dan mengevaluasi pengakaman kelekatan dini mereka, mengatasi pelatihan militer mereka lebih baik dan tiga tahun kemudian berfungsi lebih baik dalam hubungan dengan teman, pasangan, dan orang tua daripada laki- laki yang mengalami masalah mengingat perasaan dan pengalaman mereka. Laki- laki muda yang berotonom, menurut pengakuan mereka sendiri dan orang tua mereka, cenderung menggunakan layanan militer mereka lebih baik sebagai batu loncatan menuju kematangan. Dengan demikian, hubungan dini dengan orang tua mungkin merupakan landasan bagi penyesuaian diri terhadap tugas-tugas kedewasaan (Scharf et al dalam Papalia et al, 2009).

Hubungan antara orang tua dengan anak dan penerapan pola asuh dalam keluarga sangat penting artinya bagi perkembangan kepribadian anak karena orang tua merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak dan melalui orang tua, anak akan mendapat pandangan pertama tentang dunia luar. Orang tua merupakan orang pertama dan yang paling berperan dalam membimbing tingkah laku anak, orang tua akan bereaksi terhadap tingkah laku anak baik itu dengan menerima, menyetujui, membenarkan, menolak atau melarang. Dengan pemberian

(9)

nilai tersebut maka dalam diri anak akan terbentuk norma-norma tentang apa yang baik atau buruk dan apa yang boleh atau tidak boleh.

2.1.4 Aspek-Aspek Pola Asuh Orang Tua

Menurut Baumrind (Bee & Boyd, 2007), aspek-aspek dalam pola asuh orang tua, antara lain:

1. Kehangatan atau Pengasuhan (Warmth or Nurturance)

Ungkapan orang tua dalam mengasuh anak dan menunjukkan kasih sayang, kehangatan, perhatian, serta memberikan dorongan pada anak.

2. Tingkat Harapan (Level of Expectations)

Tingkat harapan merupakan sikap orang tua dalam memberikan tuntutan dan dorongan kepada anak untuk mandiri, memiliki tantangan emosional dan tanggung jawab pada tindakan. Kedewasaan pada anak merupakan sikap untuk menghadapi lingkungan sekitar. Tingkat harapan ini juga disebut sebagai tuntutan kedewasaan

3. Kontrol (Control)

Kontrol merupakan wujud sikap orang tua dalam menghadapi tingkah laku anak yang kadang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan orang tua.

4. Komunikasi antara Orang Tua dan Anak (Communication between Parent and Child)

(10)

Merupakan usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi yang baik dengan anak melalui hubungan timbal balik antara kedua belah pihak.

Menurut Shochib (Fatimah, 2010), secara khusus perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Pengalaman masa lalu, mencerminkan perlakuan mereka yang diterima dari orang tuanya sewaktu kecil dulu. Apabila perlakuan yang mereka terima keras dan kejam, maka perlakuan mereka terhadap anak-anaknya juga seperti itu dan sebaliknya.

2. Kepribadian orang tua, juga dapat mempengaruhi cara mengasuhnya.

Orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter.

3. Nilai yang dianut orang tua, ada sebagian orang tua yang menganut paham aqualitarian yaitu kedudukan orang tua sama dengan anak, biasanya berlaku di negara barat.

Dari generasi ke generasi berikutnya cenderung ada perubahan dalam hubungan orang tua dengan anak, hal ini dipengaruhi oleh: 1) keadaan masyarakat dimana keluarga itu hidup, 2) kesempatan yang diberikan oleh orang tua, 3) persepsi timbal balik antara orang tua dengan anak (Fatimah, 2010).

2.2 PERAN AYAH

(11)

2.2.1 Peran Ayah dalam Keluarga

Di dalam sebuah keluarga, idealnya seorang ayah berperan sebagai kepala keluarga, ia memimpin kehidupan keluarga dan bertanggung jawab terhadap keseluruhan kehidupan keluarga itu. Untuk menjalankan tanggung jawabnya itu maka ayah dapat menciptakan komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Ayah yang baik akan berperan sebagai pendengar yang baik bagi anggota keluarganya khususnya anak, ia akan mendengar setiap pendapat dan usulan yang diajukan oleh setiap anggota keluarganya, memberikan kebenaran dan penghargaan akan setiap pendapat yang diajukan tersebut dan jika pandangan anggota keluarga tersebut salah maka ia akan membimbing atau memberikan arahan yang benar dengan bijak. Peran ayah dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak meliputi (Santrock, 2007):

a. Sumber kekuasaan dalam keluarga

b. Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar

c. Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga

d. Perlindung terhadap ancaman dari luar

e. Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan

f. Pendidikan dalam segi-segi rasional

Ayah memiliki cara tersendiri dalam pembentukan karakter anak. Peranan ayah dalam keluarga selain sebagai penyedia kebutuhan anak, ayah mempunyai perilaku pengasuhan yang khas antara lain : 1) berorientasi pada gerak dan

(12)

bermain, 2) membantu anak bereksplorasi dan menyukai tantangan, 3) mengajarkan sikap asertif, kebijaksanaan, dan pengambilan keputusan, 4) menjadi pendisiplin yang tegas, 5) mengajarkan sekaligus sebagai model sifat maskulin dan model pria dewasa, 6) peletak dasar kemampuan intelektual anak, 7) memberikan afeksi, 8) merawat anak, dan 9) mendukung anak untuk mencapai keberhasilan (Abdullah, 2010). Keterlibatan ayah dalam pengasuhan, menurut Lamb (Cabrera et al., 1999) meliputi :

a) Paternal Engagement

pengalaman ayah berinteraksi langsung dan melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main, meluangkan waktu bersama, dan seterusnya.

b) Paternal Accessibility

kehadiran dan kesediaan ayah untuk anak. Orangtua ada di dekat anak tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan anak.

c) Paternal Responsibility

sejauh mana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan merencanakan masa depan anak.

Makna peran ayah merefleksikan relasi dan keterhubungan emosional ayah dengan anak, melalui kehadiran dan partisipasi dalam tugas pengasuhan dan perawatan, selain daripada dukungan materi. Keberfungsian ayah dalam perkembangan anak merefleksikan perannya dalam engagement, accessibility dan responsibility (Malelak dan Afiatin, 2015).

Pada kondisi tertentu dimana ayah tidak hadir dalam pengasuhan, misalnya ayah yang meninggal, ayah yang bekerja di luar kota/negeri, ibu perlu menghadirkan figur pengganti ayah seperti paman atau kakek (Irawan, 2013).

(13)

Namun, walaupun anak mendapatkan pengasuhan dari figur lain sebagai pengganti figur ayah, penerapan pola asuh oleh keluarga besar ada kecenderungan menggunakan cara mengasuh memberikan kasih sayang yang berlebihan, saling membela bila salah satu ada yang menegur atau menasehati, dan menyalahkan lainnya, pengasuhan ini masuk dalam pola asuh permisif sehingga menimbulkan perilaku anak mencari pelarian untuk mendapatkan keuntungan diri, tidak punya figur yang stabil, juga tidak percaya diri dan tidak dapat bertanggung jawab karena mendapatkan figur dari imitasinya dalam keluarga (Dajuwitaningsih, 2015). Apabila pengasuhan oleh extended family (dalam hal ini pengasuhan dilakukan oleh paman) dibarengi dengan pengasuhan dengan anaknya sendiri maka akan terasa sulit apalagi umurnya sebaya, harus bisa bersikap bijaksana dalam menghadapi permasalahan anak-anak karena bisa menimbulkan rasa iri, sakit hati dan dendam dari perlakuan yang tidak adil (Dajuwitaningsih, 2015).

Sedangkan penerapan pola asuh dari kakek sebagai pengganti dari figur ayah ada kecenderungan menggunakan pola asuh otoritatif, mereka menerapkan cara mengasuh yang membimbing, belajar, mendidik untuk saling membantu, bersikap jujur dan hidup sederhana serta menerapkan norma (Dajuwitaningsih, 2015).

Walaupun demikian, meskipun anak mendapatkan pengasuhan dari figur pengganti ayah tetapi akan lebih baik bila pengasuhan diberikan oleh ayah kandungnya sendiri.

Ayah memiliki peranan yang sangat penting dalam keluarga, keterlibatan ayah memiliki dampak positif terhadap (BKKBN, 2013):

1. Perkembangan Kognitif

(14)

Anak menjadi lebih cerdas, memperbanyak kosakata anak, anak menjad lebih terampil, prestasi di sekolah lebih baik, perilaku buruk berkurang, anak menjadi lebih aktif, peluang karir lebih baik, resiko kenakalan remaja menjadi lebih rendah.

2. Perkembangan Sosio – Emosional

Anak merasa aman, anak tidak mudah stress, anak mudah beradaptasi, anak sehat secara mental, anak berperilaku pro-sosial, anak mudah bergaul, anak terhindar dari konflik, kehidupan dewasanya lebih baik, anak memiliki empati, anak dewasa secara moral.

3. Perkembangan Fisik

Resiko kelahiran yang dialami oleh ibu menjadi lebih kecil, resiko penyakit dan kecelakaan rendah, anak lebih sehat,

Keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan akan tumbuh seiring dengan adanya “father instinct”, tetapi father instinct ini tidak tumbuh dengan sendirinya.

Ada beberapa pria (calon ayah) dapat dengan sendirinya merasakan adanya dorongan untuk mengasuh anak, namun ada pula calon ayah yang tidak menyadarinya jika tanpa bantuan. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya upaya meningkatkan tumbuhnya budaya pengasuhan ayah, sehingga kesadaran untuk terlibat dalam pengasuhan muncul karena pengasuhan ayah sangat penting bagi perkembangan anak.

2.2.2 Peran Ayah Untuk Anak Laki-Laki

(15)

Selain sebagai model maskulinitas bagi seorang anak laki-laki, dari figur ayah anak belajar mengenai ketegasan, kebijaksanaan, keterampilan kinestetik dan kemampuan kognitif. Ayah juga membantu anak bagaimana bersifat tegar, kompetitif, menyukai tantangan dan senang bereksplorasi (Abdullah, 2010).

Peran ayah dalam kehidupan anak akan semakin memperkaya dan memperluas wawasan mereka, terutama dalam mengenal dunia sosial. Menurut Biller (Gottman dan DeClaire, 1997) : “...memiliki ayah yang punya kecakapan tidak akan memfasilitasi perkembangan intelektual anak jika ayah tidak secara konsisten masuk dalam kehidupan anak laki-laki atau jika kualitas hubungan ayah dan anak laki-lakinya negatif...”.

Bagi anak laki-laki pada umumnya mereka akan lebih banyak belajar dari sosok ayah, mencontoh figur ayah, dan menerapkan permainan peran sebagai laki- laki ketika menghadapi ibu atau perempuan lainnya. Hal yang bisa dicontoh anak laki-laki dewasa dari figur seorang ayah dalam memilih dan membangun keluarganya kelak adalah (Winarto dan Santoso, 2010):

1. Dalam kondisi keluarga yang normal (figur ayah dan ibu baik), anak laki-laki cenderung meniru figur dan sikap ayahnya dalam mendekati lawan jenisnya.

2. Dalam kondisi keluarga yang normal (figur ayah dan ibu baik), anak laki-laki akan mencari soulmate atau pasangan hidupnya yang mirip dengan ibunya karena akan sesuai dengan caranya bersikap sebelumnya sebagai laki-laki, yaitu menjadi suami dan ayah seperti figur ayahnya.

3. Jika figur yang dicontohkan ayah dalam keluarga tidak baik, misalnya tidak bertanggung jawab dalam mengurus keluarga, maka laki-laki akan

(16)

meniru bagaimana ibu bersikap. Dia tetap mencari pasangan hidup yang cocok dengan figur ibu, namun setelah itu dia akan belajar berperan menjadi figur ayah baik yang diinginkannya (menghindari figur ayah yang kurang baik yang dicontohkan ayahnya).

4. Jika figur ibu rusak, misalnya ibu selingkuh, maka anak laki-laki cenderung membenci perempuan tetapi tetap ada yang berusaha mencari pasangan hidup yang memilki sifat figur ibu yang baik seperti yang diinginkannya (menghindari figur tidak baik yang dicontohkan ibunya).

5. Jika figur ayah dan ibu sama-sama tidak baik, seorang anak laki-laki akan menjadikan lingkungan sebagai standart belajarnya. Dalam kondisi seperti ini, anak tersebut bisa mengalami dua kemungkinan, yang pertama si anak tersebut mungkin akan mengalami kekacauan dalam konsep gender (laki-laki – perempuan) atau yang kedua mungkin sia anak akan mengidealkan konsep keluarga yang diinginkannya yang tidak pernah ia alami.

Pola asuh seorang ayah terhadap anaknya, terutama bagi anak laki-laki sangat penting. Pada anak laki-laki, jika hubungan dalam keluarganya ia sangat dekat dengan ibu dikombinasikan dengan hubungan yang renggang dengan ayah akan menyebabkan terjadinya gangguan identitas gender. Bila ditelusuri, kurangnya model kepriaan sebagaimana yang terjadi bila ayah jarang hadir dalam kehidupan anak, akan membuat identifikasi anak laki-laki lebih kuat kepada figur kewanitaan (Elia, 2000). Ayah melihat cerminan dirinya pada remaja putranya, dan remaja putra melihat ayahnya sebagai cerminan dirinya di masa depan. Bagi remaja putra, ayah menjadi model serta teladan untuk perannya kelak

(17)

(Dirgagunarsa & Dirgagunarsa dalam Atwater, 2004). Ayah dapat dianggap sebagai contoh keberhasilan bagi anak laki-laki di lingkungan yang lebih luas, bila anak memiliki banyak kesempatan untuk mengamati dan meniru sikap yang sesuai pada ayahnya maka hal ini juga dapat membantu perkembangan anak terutama kemampuan dalam menyelesaikan masalah (Kamila dan Mukhlis, 2013)

2.3 KONSEP FATHERLESS

Keluarga inti yang utuh idealnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang masing-masing memilki peranan tersendiri di dalam struktur keluarga tersebut.

Dengan seiringnya perkembangan jaman dan modernisasi, peranan ayah dan ibu dalan pola pengasuhan anak menjadi lebih bervariasi dan perlu kajian lebih lanjut.

Dalam pengasuhan anak biasanya lebih diutamakan peranan ibu, namun pada kenyataannya peran ayah juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keterlibatan peran ayah pada anak yang dimulai sejak dini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak baik secara sosial, emosional, maupun intelektual. Pengaruh keterlibatan peran ayah yang dimulai sejak dini akan terus berlanjut dalam kehidupan anak, pada lima tahun pertama kehidupan seorang anak dianggap sebagai tahun-tahun dimana kerangka dasar kepribadian dan konsepsi diri diletakkan. Dimana dalam tahun- tahun tersebut anak akan menanam sejumlah besar prinsip dasar bagi kepribadian dan pembiasaan tingkah laku normatif yang menjadi bekal bagi sikap dan pola berfikirnya kelak (Burns dalam Sundari dan Herdajani, 2013). Peran ayah seharusnya dapat menjadi pelindung, penyokong materi dan model keteladanan

(18)

bagi anak-anaknya. Idealnya, ayah dapat memberikan kenyamanan tempat tinggal dan keamanan dari bahaya yang mengancam secara fisik maupun psikologis.

Dengan begitu perlindungan, jaminan finansial dan pemenuhan spiritual yang menyeluruh dapat menyentuh jiwa dan raga anak-anak dan seluruh anggota keluarga.

Ketiadaan peran atau figur ayah dalam pengasuhan anak dikenal dengan istilah fatherless, kondisi fatherless dapat berupa ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan anak bisa secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak.

Kondisi fatherless ini juga dikenal dengan istilah father absence, father loss atau father hunger. Fatherless terjadi pada anak-anak yatim atau anak-anak yang

dalam kehidupan sehari-harinya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Seseorang dikatakan mendapat kondisi fatherless ketika ia tidak memiliki ayah atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya, bisa disebabkan perceraian atau permasalahan pernikahan orangtua (Horn dalam Sundari dan Herdajani, 2013).

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa ketiadaan peran atau figur ayah bisa dialami anak secara fisik maupun psikologis, banyak hal yang melatar belakangi seorang anak mengalami fatherless dalam kehidupannya, antara lain:

- Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kock dan Lowery (dalam Sundari dan Herdajani, 2013) ditemukan adanya ketidakpuasan dalam segi kuantitas pada komunikasi anak dengan ayahnya. Ketidakpuasan komunikasi ini mengindikasikan adanya kekosongan figur dan keteladanan serta pengaruh ayah dalam hidup anak-anak tersebut

(19)

karena jumlah pertemuan dan komunikasi yang terjadi diantara ayah dan anak yang minim. Selain itu, bagi para pria yang mengalami perceraian dan harus berpisah tempat tinggal dengan anak-anaknya menjadi jarang bertemu dengan anak-anaknya. Ketiadaan figur ayah yang dirasakan anak-anak ini bisa dikarenakan alokasi waktu yang kurang dari si ayah itu sendiri dalam mengatur schedule untuk bertemu, kualitas dari pertemuan yang kurang maksimal atau dapat pula dikarenakan faktor ibu yang tidak bersedia untuk mempertemukan anak dengan ayahnya.

- Menurut Dagun (2002), ketiadaan peran atau figur ayah juga bisa berarti bahwa ayah tidak terlibat dalam mengasuh anak meski si ayah tetap anggota keluarga dan masih tinggal bersama. Kondisi ayah yang seperti ini bisa disebabkan karena ayah yang sering bepergian atau memang si ayah tidak peduli pada anaknya, kondisi ketiadaan peran atau figur ayah yang seperti ini lebih ke dalam bentuk ketidakhadiran ayah secara psikologis yang dirasakan oleh sang anak.

- Ketiadaan peran ayah secara fisik oleh karena kematian, mengarahkan pada adanya sebutan anak yatim. Namun apabila ketidakhadirannya disebabkan oleh karena “kepergian” dari perannya sebagai seorang ayah, maka anak tersebut dapat dikatakan “seolah-olah” menjadi yatim sebelum waktunya (Sundari dan Herdajani, 2013).

(20)

- Ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak dapat juga terjadi dikarenakan anak tersebut merupakan hasil dari hubungan di luar pernikahan (Dawson dalam Sundari dan Herdajani, 2013).

Anak mempunyai kecenderungan kuat untuk meniru sesuatu dari figur tertentu, figur yang paling mungkin menjadi model bagi anak adalah orang tuanya sendiri karena orang tua adalah sosok yang paling dekat dengan anak (Sears et al., 1988). Begitu pula dengan kehadiran seorang ayah bagi seorang anak laki-laki, berikut dampak yang ditimbulkan dari ketiadaan sosok ayah dalam pengasuhan anak (terutama anak laki-laki), antara lain:

- Hetherington dan Hagan (Kamila dan Mukhlis, 2013) menyatakan bahwa bagi anak-anak (terutama anak laki-laki) yang tumbuh tanpa figur seorang ayah sebagian besar memiliki masalah pada peran gender dan perkembangan identitas gender, kinerja sekolah, penyesuaian sosial dan kontrol agresi.

- Berdasarkan penelitian yang dilakukan Afiatin pada 10 orang remaja pengguna narkoba, tujuh diantaranya adalah remaja laki-laki, menunjukkan ketujuh remaja pengguna tersebut memiliki masalah dalam berhubungan dengan anggota keluarga dan adanya konflik dengan ayah (Maharani dan Andayani, 2003).

- Adanya tingkat agresi yang lebih tinggi pada anak laki-laki yang hanya tinggal dengan ibu dalam sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan

(21)

pada siswa kelas 4 SD (Osborne dan McLanahan dalam Sundari dan Herdajani, 2013).

- Anak-anak dengan kondisi tanpa ayah yang dikarenakan anak tersebut merupakan hasil dari hubungan di luar pernikahan rentan mengalami ketertinggalan di sekolahnya atau tidak naik kelas (Dawson dalam Sundari dan Herdajani, 2013).

Keterlibatan ayah dalam pola asuh sangatlah penting bagi perkembangan anak, jika ayah tidak terlibat dan tidak bisa menjalankan perannya dengan baik dalam pola asuh maka cenderung akan berdampak negatif bagi perkembangan anak.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi dari aplikasi ini adalah untuk memasukan data barang masuk dan data barang keluar , pada aplikasi ini proses penginputan data barang dilakukan dengan cara memasukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5 aspek pelayanan keluarga berencana (prosedur, petugas, biaya, sarana prasarana, dan informasi) yang memiliki hubungan

PKL merupakan salah satu mata kuliah dalam Kurikulum 2015 yang harus ditempuh dan wajib lulus oleh setiap mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah S1, Geografi S1,

Universitas Sumatera Utara... Universitas

Telah dirancang sebuah prototype ruang penyimpanan benih padi berdasarkan pengontrolan temperatur dan kelembaban. Berdasarkan data referensi yang dikumpulkan, diperoleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) penguasaan kompetensi keterampilan dasar mengajar mahasiswa pada tingkat sedang sebanyak 17 %, pada tingkat baik sebanyak 62

Melihat Dari Flow Map,dan DFD diatas sistem kerja pelayanan akta kelahiran masih ada kekurangan, oleh Karna itu penulis akan melakukan usulan, Usulan Sistem

Demster shafer (DS) kerusakan pewangi tidak turun/ larut yang dipilih dengan menggunakan nilai believe yang telah ditentukan pada setiap gejala Pl(s)= 1 – Bel(¬s)