5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil5.1.1 Penyebaran target strength ikan
Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran besar kecilnya target (ikan) diperoleh dari nilai TS-nya. TS berbanding lurus dengan ukuran ikan, yaitu semakin besar nilai TS maka ukuran ikan juga semakin besar dan semakin kecil nilai TS maka ukuran ikan juga semakin kecil.
Penyebaran TS rata-rata ikan pelagis per kedalaman menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 4, Gambar 15 dan Gambar 16. Nilai TS rata-rata ikan pelagis pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka terdapat perbedaan, walaupun relatif kecil. Nilai TS rata-rata pada transek siang hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman, namun pada kedalaman 4-14 meter nilai TS rata-rata lebih besar dibandingkan dengan lapisan di bawahnya sampai pada kedalaman 54 meter. Nila TS yang lebih besar pada transek siang hari terkonsentrasi di lapisan kedalaman 54-74 meter, yaitu berkisar antara -60,34 dB sampai -59,05 dB, sedangkan nilai TS terkecil yaitu -86,33 dB yang terdapat pada strata kedalaman 14-24 meter.
Nilai TS rata-rata ikan pelagis pada transek malam hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Nilai TS terbesar terkonsentrasi pada lapisan kedalaman 54-74 meter berkisar antara -63,72 dB sampai -65,60 dB dan strata kedalaman 94-104 meter sebesar -63,27 dB. Nilai TS ikan pelagis berdasarkan strata kedalaman pada transek siang hari lebih besar dari pada malam hari terutama pada lapisan kedalaman 54-74 meter. Hal ini berarti bahwa ikan pelagis yang terdeteksi pada transek siang hari memiliki ukuran yang lebih besar dari pada transek malam hari terutama pada lapisan kedalaman 54-74 meter.
Tabel 4 Penyebaran vertikal TS (dB) rata-rata ikan pelagis menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Strata Target Strength Rata-rata Ikan Pelagis (dB)
Kedalaman Waktu Lokasi
(meter) Siang Malam Perairan KEPRI *) Perairan TBAB **)
4-14 -65,38 -73,34 -74,87 -65,38 14-24 -86,33 -72,92 -74,81 -82,55 24-34 -79,81 -70,62 -77,80 -68,59 34-44 -68,93 -67,87 -72,25 -67,06 44-54 -66,14 -67,81 -66,89 -68,53 54-64 -60,34 -60,65 -62,40 -59,74 64-74 -59,05 -63,72 -66,29 -60,53 74-84 -68,90 -67,69 -67,45 -69,14 84-94 -63,73 -67,05 -65,66 -66,41 94-104 -63,67 -63,27 -63,79 -63,72 Rata-rata -56,16 -67,49 -69,22 -67,17
Keterangan: *) KEPRI = Kepualauan Riau
**)
TBAB = Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Nilai TS ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berkisar antara -74,87 dB sampai -62,40 dB dengan rata-rata -69,22 dB, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berkisar antara -82 dB sampai -59,74 dB dengan rata-rata -67,17 dB. Sebaran nilai TS ikan pelagis secara horizontal di Selat Malaka dari bagian tenggara yang meliputi Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis, Pulau Rupat dan Perairan Bagan Siapi-api (Kepulauan Riau) ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung meningkat kecuali pada strata kedalaman 14-24 meter, 74-84 meter dan 84-94 meter dengan selang perbedaan yang relatif kecil sekitar -2,05 dB. Hal ini berarti bahwa rata-rata ukuran ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih besar dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau.
Gambar 15 Penyebaran vertikal TS (dB) rata-rata ikan pelagis pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Gambar 16 Penyebaran vertikal TS (dB) rata-rata ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Penyebaran nilai TS ikan demersal secara horizontal di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 5, Tabel 6, Gambar 17 dan Gambar 18. Nilai TS ikan demersal diperoleh dari kedalaman 3 meter dari dasar perairan sepanjang transek akustik. Nilai TS ikan demersal pada area penelitian tersebar di 14 leg dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Nilai TS yang terdeteksi menyebar pada kisaran antara -91,55 dB sampai -33,10 dB. Nilai TS terkecil terdapat pada leg ke-2 yang berlokasi di Perairan Kepulauan Riau sekitar Pulau Bengkalis, sedangkan nilai TS terbesar terdapat pada leg ke-7B yang berlokasi di Perairan antara Tanjung Balai Asahan dan Belawan.
Tabel 5 Penyebaran horizontal target strength (dB) ikan demersal setiap leg di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Target strength (dB)
Minimum Maksimal Rata-rata
1 -84,70 -42,17 -65,77 2 -91,55 -38,82 -68,06 3 -75,45 -38,21 -47,71 4 -78,41 -40,71 -57,84 5 -90,91 -39,55 -64,50 6 -76,28 -38,67 -58,29 7A -77,47 -41,10 -58,86 14B -89,23 -36,69 -60,78 Rata-rata -83,00 -39,49 -60,23
Gambar 17 Penyebaran horizontal nilai TS (dB) rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Tabel 6 Penyebaran horizontal nilai target strength (dB) ikan demersal setiap leg di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Target Strength (dB)
Minimum Maksimal Rata-rata
7B -80,67 -33,10 -57,37 8 -87,21 -48,88 -67,52 9 -78,22 -39,09 -59,26 10 -77,23 -35,83 -58,00 11 -82,46 -47,65 -69,45 12 -76,74 -33,89 -50,93 13 -76,65 -38,34 -51,84 14A -79,61 -40,91 -61,75 Rata-rata -79,85 -39,71 -59,52
Gambar 18 Penyebaran horizontal nilai TS (dB) rata-rata ikan demersal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Penyebaran nilai TS rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau cenderung lebih kecil dibandingkan dengan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Secara horizontal nilai target strength (TS) terkecil ikan demersal di perairan Selat Malaka cenderung berada pada perairan dangkal atau mendekati pantai, sebaliknya nilai TS terbesar cenderung berada di perairan yang lebih dalam atau menjauhi pantai. Secara alami nilai target strength ikan demersal akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman perairan (Pujiyati 2008).
5.1.2 Penyebaran densitas ikan
Penyebaran densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) setiap kedalaman menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 7, Gambar 19, Gambar 20 dan Gambar 21. Nilai densitas ikan pelagis yang terdeteksi baik pada transek siang maupun malam hari umumnya cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Nilai densitas ikan pelagis pada transek siang hari berkisar antara 0,14-30,76 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 94-104 dan 4-14 meter), dengan rata-rata sebesar 4,20 individu/m3. Nilai densitas ikan pelagis pada transek malam hari berkisar antara 0,14-14,74 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 94-104 dan 4-14 meter ), dengan rata-rata sebesar 2,61 individu/m3. Ikan pelagis yang terdeteksi pada transek malam maupun siang hari lebih banyak menyebar pada lapisan kedalaman 4-44 meter dengan jumlah yang berbeda, khususnya pada strata kedalaman 4-14 meter.
Penyebaran nilai densitas ikan pelagis secara horizontal di Selat Malaka dari bagian tenggara yang meliputi Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis, Pulau Rupat dan Perairan Bagan Siapi-api (Kepulauan Riau) ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung menurun kecuali pada strata kedalaman 4-14 meter, dengan selang perbedaan yang cukup besar sekitar 8,46 individu/m3. Nilai densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berkisar antara 1,85-32,50 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 94-104 dan 44-54 meter ), dengan rata-rata 12,63 individu/m3, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berkisar antara 0,14 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 94-104 meter) sampai 30,76 individu/m3 (terdapat pada strata kedalaman 4-14 meter) dengan rata-rata 4,17 individu/m3. Densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau paling tinggi terdapat pada lapisan kedalaman 24-54 meter dengan nilai antara 16,31 individu/m3 sampai 32,50 individu/m3, lebih tebal dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang memiliki nilai densitas tertinggi sebesar 30,76 individu/m3 pada strata kedalaman 4-14 meter.
Tabel 7 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka bulan Juni 2008
Strata Densitas Rata-rata Ikan Pelagis (individu/m3)
Kedalaman Waktu Lokasi
(meter) Siang Malam Kepulauan Riau Tg. Balai dan Belawan
4-14 30,76 14,74 14,25 30,76 14-24 5,48 6,03 12,05 5,48 24-34 2,43 2,22 16,31 2,26 34-44 1,28 1,12 29,05 1,15 44-54 0,77 0,72 32,50 0,73 54-64 0,42 0,44 13,06 0,44 64-74 0,31 0,31 2,17 0,31 74-84 0,23 0,23 2,76 0,23 84-94 0,18 0,18 2,30 0,18 94-104 0,14 0,14 1,85 0,14 Rata-rata 4,20 2,61 12,63 4,17
Gambar 19 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka bulan Juni 2008.
Gambar 20 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m3) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka bulan Juni 2008.
Gambar 21 Peta sebaran horizontal densitas total ikan pelagis (individu/m3) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada Juni 2008.
Penyebaran nilai densitas rata-rata ikan demersal secara horizontal di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Gambar 22. Nilai densitas ikan demersal diperoleh dari kedalaman 3 meter dari dasar perairan sepanjang transek akustik. Nilai densitas ikan demersal pada area penelitian tersebar di 14 leg dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Nilai densitas yang terdeteksi menyebar pada kisaran antara 0,13-109,27 individu/m3. Nilai densitas terkecil sebesar 0,13 individu/m3, terdapat pada leg ke-3 yang berlokasi di Perairan Kepulauan Riau sekitar Pulau Bengkalis, sedangkan nilai densitas terbesar (109,27 individu/m3), terdapat pada leg ke-8 yang berlokasi di Perairan Belawan. Densitas ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau rata-rata 3,08 individu/m3, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan rata-rata 2,88 individu/m3. Penyebaran densitas ikan demersal di area penelitian menunjukan penurunan kepadatan dengan bertambahnya kedalaman perairan. Nilai densitas tertinggi terkonsentrasi di sekitar perairan dangkal, sedangkan nilai densitas rendah terdapat pada perairan yang lebih dalam.
Tabel 8 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (individu/m3) setiap leg di Perairan Kepulauan Riau pada bulan Juni 2008
Leg Nilai Densitas (individu/m
3 )
Minimum Maksimal Rata-rata
1 0,72 5,52 2,24 2 0,51 96,88 5,12 3 0,13 0,46 0,25 4 0,14 37,99 3,03 5 0,14 38,02 4,18 6 0,14 38,02 2,40 7A 0,14 38,02 4,32 14B 0,14 50,98 3,11 Rata-rata 0,26 38,23 3,08
Tabel 9 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (individu/m3) setiap leg di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan pada bulan Juni 2008
Leg Nilai Densitas (individu/m
3 )
Minimum Maksimal Rata-rata
7B 0,14 38,02 1,81 8 0,76 109,27 8,37 9 0,35 38,00 1,67 10 0,14 38,00 1,39 11 0,45 24,37 4,17 12 0,24 38,02 1,85 13 0,17 37,97 2,04 14A 0,15 37,97 1,75 Rata-rata 0,30 45,20 2,88
Gambar 22 Peta sebaran horizontal densitas total ikan demersal (individu/m3) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka bulan Juni 2008.
5.1.3 Kondisi oseanografi
Karakteristik suatu kolom perairan pada wilayah tertentu memiliki perbedaan menurut letak geografis dan strata kedalamannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan mudah melalui pembuatan grafik menegak dan melintang dari profil perairan tersebut. Nilai suhu, salinitas dan pola arus dari suatu lingkungan perairan merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi kondisi ekosistem yang ada di dalamanya.
1) Penyebaran suhu
Berdasarkan hasil pengukuran nilai suhu pada setiap stasiun umumnya tidak menunjukkan adanya stratifikasi. Beberapa stasiun pengamatan di area yang lebih dalam terlihat sedikit penurunan suhu pada lapisan kedalaman lebih dari 40 meter. Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan dalam bentuk grafik, sebagai gambaran profil suhu perairan tersebut dari 32 stasiun pengamatan yang dibagi dalam dua lokasi perairan, yaitu Perairan Kepulauan Riau dan sekitar Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Penyebaran suhu rata-rata secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau (stasiun 1-7 dan stasiun 26-32) dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan (stasiun 8-25) ditampilkan pada Gambar 23.
Penyebaran suhu permukaan air laut di Perairan Kepulauan Riau pada setiap stasiun variasinya tidak terlalu lebar, berkisar antara 29,25-30,05°C, dengan rata-rata 29,76°C. Stasiun 1, 4 dan 5 kedalamannya masing-masing mencapai 15 dan 10 meter, sehingga perairan di ketiga tempat ini masih tergolong lapisan permukaan dengan nilai suhu yang relatif sama. Stasiun 2 dan stasiun 6 terlihat perubahan suhu yang cenderung menurun dari permukaan hingga kedalaman 10 meter kemudian stabil sampai pada kedalaman 40 meter. Hal ini disebabkan karena pada kedua stasiun tersebut berada pada lokasi dekat pulau-pulau kecil dan aliran muara sungai sehingga menyebabkan percampuran air yang bersuhu tinggi dan rendah yang tidak stabil sehingga pada lapisan permukaan sampai pada kedalaman 10 meter terjadi perubahan besaran nilai suhu, walaupun tidak terlalu besar. Pengaruh radiasi sinar matahari dari pinggir pantai sangat mempengaruhi kehangatan suhu permukaan di daerah tersebut. Stasiun 27 memiliki kisaran suhu yang hampir sama dari permukaan hingga kedalaman 30 meter. Kondisi ini
disebabkan oleh wilayah pada stasiun tersebut berada di daerah yang sangat sempit dan mendekati pantai sehingga nilai suhu dari permukaan sampai pada kedalaman 30 meter hampir sama, lebih tebal dibandingkan dengan stasiun lainnya pada area ini. Kondisi suhu secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau Selat Malaka pada bulan Juni 2008 relatif stabil, walaupun di beberapa stasiun memperlihatkan perubahan suhu dari permukaan sampai kedalaman tertentu menurun dengan selang yang relatif kecil.
Penyebaran suhu secara vertikal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terjadi secara perlahan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Lokasi pengamatan di beberapa stasiun Tanjung Balai Asahan lebih dalam dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau, kedalaman maksimum pada daerah ini terdapat pada stasiun 23, dengan kedalaman mencapai 60 meter. Kecenderungan penurunan suhu terlihat stabil dari permukaan sampai dasar. Hal ini disebabkan pada wilayah ini termasuk perairan yang lebar karena sudah mendekati perairan Laut Andaman yang memiliki kedalaman lebih dari 100 meter (P2O-LIPI, 2001). Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terdapat beberapa stasiun yang mendekati pantai seperti stasiun 8, 9, 12, 13, 18 dan 19 yang lokasinya mengikuti transek akustik bentuk zig-zag. Stasiun-stasiun tersebut memiliki nilai suhu yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya pada transek ini. Nilai suhu pada lokasi ini berkisar antara 29,44-30,17°C. Pengaruh radiasi matahari terhadap pantai sangat nyata terhadap peningkatan suhu di stasiun tersebut. Stasiun 10, 11, 14-17 dan stasiun 20-23 (trasek akustik zig-zag) di bagian yang menjauhi pantai suhu sudah mulai menurun walaupun relatif kecil dengan selisih sekitar 0,15°C. Pengaruh radiasi matahari terhadap pantai yang dipantulkan ke arah lokasi pengamatan tersebut sudah mulai berkurang. Nilai suhu pada lokasi ini berkisar antara 29,44-30,12°C.
Stasiun 24, 25 dan 26 posisinya terpisah dengan stasiun lain di Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Pada stasiun ini posisinya mengikuti transek akustik yang berbentuk tegak lurus yang berada di tengah-tengah Selat Malaka. Stasiun pengamatan di trasek lurus tersebut perubahan suhu menurut strata kedalaman pada setiap stasiun memiliki kecenderungan penurunan yang stabil, karena lokasinya yang sudah menjauhi pantai dimana suhu sudah semakin menurun baik
secara vertikal maupun secara horizontal, kecuali stasiun 26 yang lokasinya mendekati Perairan Kepulauan Riau yang merupakan perairan sempit di selat ini. Nilai Suhu pada stasiun pengamatan tersebut berkisar antara 29,56-29,96°C.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi sinar matahari pada siang hari. Intesitas matahari ini akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman sehingga nilai suhu pun akan cenderung menurun (Nontji, 2005). Suhu yang cenderung homogen pada lapisan permukaan untuk setiap stasiun di daerah ini terjadi karena adanya pengadukan lapisan oleh angin, arus dan pasang surut di permukaan.
Perubahan suhu air laut secara vertikal baik di Perairan Kepulauan Riau maupun sekitar Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan dari lapisan permukaan hingga pada kedalaman 60 meter, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 tidak memperlihatkan indikasi termoklin. Perubahan terjadi secara perlahan dari lapisan permukaan dengan suhu 29,77°C, kemudian menurun menjadi 29,28°C pada kedalaman 60 meter. Tidak terdapatnya daerah termoklin di perairan ini karena kondisi kedalamannya masih tergolong perairan dangkal.
Gambar 23 Sebaran vertikal suhu rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Pola sebaran horizontal suhu permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008 yang ditampilkan pada Gambar 24, menunjukan bahwa suhu tertinggi terkonsentrasi pada 4 wilayah yang sebagian besar dimulai dekat pantai yakni, sekitar Bengkalis (Stasiun 5 dan stasiun 6) dengan suhu berkisar antara 29,85-30,05°C, Bagan Siapi-api (Stasiun 26, 27, 28) berkisar antara 29,86-30,01°C, Tanjung Balai Asahan (Stasiun 2 dan stasiun 22) dengan suhu sekitar 30,00-30,05°C dan mendekati Belawan (stasiun 9 dan stasiun 10) dengan suhu berkisar antara 30,12-30,17°C. Penyebaran suhu cenderung semakin rendah menuju ke arah lepas pantai karena intensitas matahari yang dipantulkan dari pantai ke arah laut lepas semakin menjauhi pantai semakin berkurang. Selat Malaka merupakan perairan sempit khususnya di Perairan Kepulauan Riau. Suhu di perairan ini cenderung meningkat dan mulai berkurang menuju ke arah barat laut yang berhadapan dengan Laut Andaman.
Suhu rendah di Selat Malaka terkonsentrasi pada beberapa stasiun yang sudah menjauhi pantai, terutama di Perairan sekitar Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang sebagian besar lokasi stasiunnya berada di perairan luas dan menjauhi pantai kecuali stasiun 26 yang lokasinya merupakan perbatasan dengan Perairan Kepulauan Riau yang mengarah ke selat sempit. Suhu permukaan terendah sebesar 29,25°C terdapat di stasiun 1. Stasiun 1 berada di lokasi dekat pantai namun suhu permukaan di stasiun ini paling rendah. Hal ini disebabkan karena adanya aliran sungai yang memasuki lautan sehingga laut menjadi lebih dingin. Stasiun yang menjauhi pantai rata-rata suhunya lebih rendah dibandingkan dengan yang mendekat pantai, yaitu berkisar antara 29,27-29,74°C. Secara keseluruhan hasil pengukuran suhu setiap stasiun (32 stasiun) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
Gambar 24 Pola sebaran suhu permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
2) Penyebaran salinitas
Berdasarkan hasil pengukuran nilai salinitas di setiap stasiun pengamatan memperlihatkan salinitas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan, tetapi perubahannya tidak terlalu besar terutama pada perairan yang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 25 meter). Nilai salinitas minimum pada lapisan permukaan 28,95 psu dan maksimal 32,50 psu dengan rata-rata sebesar 31,05 psu, nilai maksimum sebesar 33,07 psu, ditemukan pada kedalaman 60 meter di stasiun 23. Penyebaran salinitas rata-rata secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau (stasiun 1-7 dan stasiun 26-32) dan Tanjung Balai Asahan-Belawan (stasiun 8-25) ditampilkan pada Gambar 25.
Penyebaran salinitas secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman, dengan perubahan yang relatif kecil, yaitu berkisar antara 0,02-0,06 psu setiap lapisan kedalaman. Nilai salinitas minimum dari permukaan sampai dasar terdapat pada stasiun 1 dengan kisaran 28,95-29,05 psu, nilai maksimum terdapat pada stasiun 23 berkisar antara 32,04-33,05 psu. Rata-rata nilai salinitas di Perairan Kepulauan Riau dari permukaan sampai dasar (kedalaman 0-40 meter) berkisar antara 29,69-29,89 psu. Salinitas
98° 98.5° 99° 99.5° 100° 100.5° 101° 101.5° 102° 102.5° 103° 103.5° 104° Bujur Timur 1° 1.5° 2° 2.5° 3° 3.5° 4° 4.5° 5° L in ta n g U ta ra M A L A Y S I A P . S U M A T E R A P.Bengkalis P.Rupat Bagansiapi Dumai P.Padang Tg.Balai Belawan
rendah rata-rata terdapat di stasiun-stasiun pengamatan Perairan Kepulauan Riau, hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berada dekat dengan pantai dan merupakan daerah aliran sungai, sehingga pengaruh radiasi matahari dan aliran air sungai yang masuk ke laut sangat mempengaruhi rendahnya nilai salinitas di area ini, dengan nilai perubahan yang tidak terlalu signifikan.
Penyebaran salinitas secara vertikal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, menunjukan bahwa perubahan nilai salinitas relatif stabil dari lapisan permukaan sampai pada kedalaman 60 meter. Salinitas minimum pada lapisan permukaan sebesar 30,91 psu yang terdapat pada stasiun 25, salinitas maksimal sebesar 32,50 psu terdapat di stasiun 14. Rata-rata nilai salinitas permukaan di perairan ini sebesar 32,11 psu. Nilai minimum salinitas berdasarkan kedalaman di area ini sebesar 30,91 psu terdapat pada stasiun 25, sedangkan nilai maksimal sebesar 33,50 psu terdapat di stasiun 11 pada kedalaman 45 meter dan nilai salinitas rata-rata sebesar 32,70 psu.
Salinitas di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan rata-rata memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan di Perairan Kepulauan Riau. Hal ini disebabkan karena lokasi Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berada lebih jauh dari pinggir pantai sehingga pengaruh radiasi matahari sudah mulai berkurang, akibatnya salinitas mulai meningkat. Secara vertikal maupun horisontal perubahan nilai salinitas berbanding terbalik dengan perubahan nilai suhu, dimana salinitas secara vertikal akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman sedangkan suhu akan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Demikian pula secara horizontal, salinitas akan meningkat menuju ke arah laut lepas dan menurun apabila mendekati pantai, sedangkan suhu semakin menjauhi pantai akan menurun dan semakin mendekati pantai, suhu semakin meningkat. Sebaran salinitas secara vertikal, baik di Perairan Kepulauan Riau maupun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan menunjukan perubahan nilai yang relatif kecil yaitu berkisar antara 28,95-33,07 psu.
Gambar 25 Sebaran vertikal salinitas rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Pola sebaran horizontal salinitas permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008 yang ditampilkan pada Gambar 26, menunjukan bahwa salinitas rendah terkonsentrasi di wilayah Perairan Kepulauan Riau, dengan kisaran antara 28,95-30,94 psu, rata-rata 29,67 psu. Salinitas tinggi terkonsentrasi di wilayah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, dengan kisaran antara 30,91-33,50 psu, rata-rata 32,70 psu. Perbedaan nilai suhu dari kedua lokasi ini disebabkan karena di Perairan Kepulauan Riau lokasinya sangat sempit dan berdekatan dengan pulau-pulau kecil di bagian tenggara Selat Malaka yang merupakan perairan sempit dari selat ini. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lokasinya berada di perairan bagian barat laut Selat Malaka yang merupakan perairan lebar dari selat ini dan berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Kondisi demikian sangat berpengaruh dengan nilai salinitas masing-masing lokasi perairan. Stasiun yang lokasinya menjauhi pantai salinitasnya semakin meningkat, sebaliknya stasiun yang lokasinya mendekati pantai salinitasnya akan semakin menurun. Secara keseluruhan hasil pengukuran salinitas setiap stasiun (32 stasiun) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Gambar 26 Pola sebaran salinitas permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008.
Secara umum penyebaran horizontal salinitas di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008, menunjukan bahwa nilai salinitas terendah terdapat pada lokasi bagian ujung tenggara (Perairan Kepulauan Riau) kemudian cenderung meningkat ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan).
3) Pola arus
Kecepatan arus umumnya lebih kuat di Perairan Pulau Bengkalis dan Pulau Karimun Besar (wilayah Perairan Kepulauan Riau), terutama di selat sempit dan dekat muara sungai dengan arah yang bervariasi. Pengaruh pasang surut sangat nyata memicu kecepatan arus yang mencapai lebih dari 0,74 m/s. Pada perairan ini kecepatan arus permukaan umumnya berkisar antara 0,07-0,74 m/s. Kecepatan arus permukaan minimum sebesar 0,07 m/s di stasiun 7, kecepatan maksimal mencapai 0,74 m/s di stasiun 6 dan rata-rata mencapai 0,28 m/s. Kecepatan arus meningkat dengan bertambahnya kedalaman, walaupun relatif kecil karena kondisi perairan yang masih tergolong dangkal. Kecepatan arus bagian dasar minimum 0,26 m/s dan maksimal 0,36 m/s dengan rata-rata 0,30 m/s, terdapat di kedalaman 40 meter. Secara umum di Perairan Pulau Bengkalis dan Pulau Karimun Besar, Pulau Rupat dan Bagan Siapi-api yang termasuk dalam wilayah
98° 98.5° 99° 99.5° 100° 100.5° 101° 101.5° 102° 102.5° 103° 103.5° 104° Bujur Timur 1° 1.5° 2° 2.5° 3° 3.5° 4° 4.5° 5° L in ta n g U ta ra M A L A Y S I A P . S U M A T E R A P.Bengkalis P.Rupat Bagansiapi Dumai P.Padang Tg.Balai Belawan
Perairan Kepulauan Riau, kecepatan arus lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan di Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hal ini disebabkan karena pengaruh pasang surut yang terjadi di ujung tenggara Selat Malaka sangat tinggi akibat perairan selat yang sempit.
Arus permukaan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan memiliki kecepatan yang relatif lemah, berkisar antara 0,07-0,58 m/s dengan rata-rata 0,21 m/s. Sedangkan arus dasar berkisar antara 0,33-0,36 m/s, rata-rata 0,36 m/s. Dasar laut Selat Malaka memiliki arus pasang surut yang kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang bentuknya sama, bagian puncak searah dengan arus pasang surut tersebut (Wyrtki, 1961). Pola arus dan sirkulasi massa air dominan mengalir dari tenggara ke barat laut di kedua musim yang berbeda. Walaupun demikian pada bagian barat laut yang merupakan bagian yang lebar dari selat ini pada musim timur dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia. Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus setiap stasiun (32 stasiun) di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5, Lampiran 6, Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Sumber: Purwandani, 2000
5.1.4 Hasil tangkapan
1) Jenis dan jumlah hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang teridentifikasi pada saat survei akustik di Selat Malaka bulan Juni 2008 terdiri dari 52 family dan 96 spesies terdapat di Perairan Kepulauan Riau, 65 family dan 151 spesies di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan masing-masing tergolong dalam 12 dan 11 kelompok sumberdaya ikan, yaitu ikan hiu (Shark), ikan pari (rays), ikan pelagis, ikan demersal, cumi-cumi (Cephalopoda), udang, kepiting, kerang (shell) dan beberapa biota lain. Total family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 10
Tabel 10 Total family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 2008
No. Komposisi Perairan KEPRI *) Perairan TBAB **)
1 Kelompok Komoditas 12 11
2 Jumlah Family 52 65
3 Jumlah Spesies 96 151
Keterangan: *) KEPRI = Kepualauan Riau
**) TBAB = Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Kelompok ikan demersal berjumlah 70,89% dari total hasil hasil tangkapan berada di Perairan Kepulauan Riau dan 69,94% di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Cephalopoda yang hanya 0,17% dari total hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau menjadi 12,60% di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, dan merupakan hasil tangkapan kedua terbanyak dari seluruh hasil tangkapan trawl selama survei.
Tabel 11 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan Kepulauan Riau
No. Perairan Kepulauan Riau
Kelompok Berat (kg) Presentase (%)
1 Demersal 136,11 70,89 2 Rays 21,74 11,32 3 Pelagic 17,00 8,86 4 Shrimp 6,29 3,27 5 Sharks 5,42 2,82 6 Sea cucumber 2,44 1,27 7 Sea urchin 1,68 0,88 8 Crabs 0,44 0,23 9 Cephalopoda 0,33 0,17 10 Sea star 0,25 0,13 11 Gastropoda 0,22 0,11 12 Jelly fish 0,08 0,04 Jumlah 191,99 100
Tabel 12 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Kelompok Berat (kg) Presentase (%)
1 Demersal 221,84 69,94 2 Cephalopoda 39,98 12,60 3 Rays 30,76 9,70 4 Crabs 9,15 2,88 5 Shrimp 5,39 1,70 6 Pelagic 3,84 1,21 7 Sea urchin 2,22 0,70 8 Shark 1,50 0,47 9 Sea cucumber 1,28 0,40 10 Gastropoda 0,91 0,29 11 Sea star 0,30 0,09 Jumlah 317,18 100
Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Dominasi maupun komposisi family ikan demersal terlihat berbeda antara Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hasil tangkapan trawl yang diperoleh menunjukkan bahwa family Scianidae mendominasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau sebesar
26,95%, diikuti oleh family Pomadasidae, Dasyatidae, dan Tetraodontidae. Family Clupeidae dan Engraulidae. Family Mullidae yang sangat jarang keberadaannya di Perairan Kepulauan Riau, mendominasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan sebesar 20,02%.
Tabel 13 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau
No. Perairan Kepulauan Riau
Family Berat (kg) Presentase (%)
1 Scianidae 43,99 26,95 2 Pomadasidae 33,46 20,50 3 Dasyatidae 29,21 17,90 4 Tetraodontidae 26,85 16,45 5 Clupeidae 13,29 8,14 6 Engraulidae 12,08 7,40 7 Lain-lain 3,16 2,66 Jumlah 163,22 100
Tabel 14 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
No. Family Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan Berat (Kg) Presentase (%)
1 Mullidae 53,01 20,02 2 Loligonidae 39,79 15,03 3 Synodontidae 32,75 12,37 4 Dasyatidae 31,46 11,88 5 Nemipteridae 29,19 11,02 6 Tetraodontidae 24,56 9,27 7 Siganidae 17,53 6,62 8 Platycephalidae 15,86 5,99 9 Apogonidae 14,52 5,48 10 Lain-lain 6,14 2,32 Jumlah 264,80 100
Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 di tampilkan pada Tabel 15 dan Tabel 16. Berdasarkan spesies, Pomadasys hasta jumlahnya 24,24% dari total kelompok ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau, diikuti oleh Arothron sp, Johnius grypotus, Dasyatis kuhli, Nibea mitsukurii dan Harpadon nehereus, dan spesies lainnya kurang dari 5%. Loligo sp menunjukkan persentase tertinggi di
Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, sebesar 19,71% dari total kelompok ikan demersal yang tertangkap, diikuti Upeneus sundaicus, Dasyatis kuhli, Lagocephalus inermis, Upeneus sulphureus, Saurida undosquamis dan Siganus canaliculatus serta spesies lainnya kurang dari 5%.
Tabel 15 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau
No. Perairan Kepulauan Riau
Spesies Berat (Kg) Presentase (%)
1 Gerot-gerot (Pomadasys hasta) 33,00 24,24
2 Buntal (Arothron nigropuncatatus) 26,96 19,81
3 Gulam (Johnius grypotus) 22,45 16,49
4 Pari (Dasyatis kuhli) 16,70 12,27
5 Tigawaja (Nibea mitsukurii ) 16,16 11,87
6 Nomei (Harpadon nehereus) 14,74 10,83
7 Lain-lain 6,11 4,49
Jumlah 136,10 100
Tabel 16 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Spesies Berat (Kg) Presentase (%)
1 Cumi-cumi (Loligo sp) 37,39 19,71
2 Kuniran (Upeneus sundaicus) 22,84 12,04
3 Pari (Dasyatis kuhli) 22,50 11,85
4 Buntal (Lagocephalus inermis) 20,49 10,80
5 Kuniran (Upeneus sulphureus) 19,95 10,52
6 Beloso (Saurida undosquamis) 18,49 9,74
7 Baronang (Siganus canaliculatus) 16,83 8,87
8 Kurisi (Nemipterus peroni) 12,07 6,36
9 Beloso (Saurida micropectoralis) 10,20 5,38
10 Lain-lain 8,95 4,72
jumlah 189,72 100
2) Ukuran ikan
Identifikasi ikan pelagis pada penelitian ini tidak dilakukan karena kegiatan penangkapan hanya terfokus pada ikan demersal. Pendugaan ukuran dan jenis ikan pelagis hanya dilakukan dengan metode split beam acoustic system. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl pada saat survei hidroakustik di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat
Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 17 dan Tabel 18. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau sebesar 22,82 cm, sedangkan dugaan panjang rata-rata ikan demersal menurut formula Foote (1987) sebesar 25,15 cm. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan sebesar 23,18 cm, sedangkan dugaan panjang rata-rata ikan demersal menurut formula Foote (1987) sebesar 25,59 cm. Hal demikian menunjukan bahwa ikan yang tertangkap oleh trawl di Perairan Kepulauan Riau lebih kecil dibandingkan di perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan.
Tabel 17 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei akustik di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 2008
No. Perairan Kepulauan Riau
Spesies L (cm)
1 Gerot-gerot (Pomadasys hasta) 32,14
2 Buntal (Arothron nigropunctatus,) 21,36
3 Gulama (Johnius grypotus) 30,25
4 Pari (Dasyatis kuhli) 16,39
5 Tigawaja (Nibea mitsukurii ) 18,27
6 Nomei (Harpadon nehereus) 18,50
Panjang Rata-rata Hasil Tangkapan Trawl 22,82
Dugaan Panjang Ikan Demersal Menurut Formula Foote (1987) 25,12
Tabel 18 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei akustik di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 2008 No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan
Spesies L (cm)
1 Cumi-cumi (Loligo sp) 17,60
2 Kuniran (Upeneus sundaicus) 18,61
3 Pari (Dasyatis kuhli) 20,57
4 Buntal (Lagocephalus inermis) 16,18
5 Kuniran (Upeneus sulphureus) 19,36
6 Beloso (Saurida undosquamis) 31,75
7 Baronang (Siganus canaliculatus) 25,14
8 Kurisi (Nemipterus peroni) 24,16
9 Beloso (Saurida micropectoralis) 35,20
Panjang Rata-rata Hasil Tangkapan Trawl 23,18
5.1.5 Pemetaan daerah penangkapan ikan
Berdasarkan hasil survei akustik di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 diperoleh peta daerah penangkapan ikan pelagis dan demersal di 14 leg sepanjang transek akustik dari Kepulauan Riau (tenggara Selat Malaka) sampai Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Peta tersebut berdasarkan dua indikator penentuan daerah penangkapan ikan yang telah ditetapkan (nilai TS dan densitas ikan), yang terdiri dari dua klasifikasi, yaitu daerah penangkapan ikan sedang dan kurang potensial.
Daerah penangkapan ikan pelagis yang memiliki potensi sedang di Perairan Kepulauan Riau menyebar pada kedalaman 24-54 meter yang terletak di bagian timur Pulau Bengkalis, sedangkan DPI kurang potensial menyebar pada kedalaman 4-24 meter yang terletak antara Pulau Karimun Besar dan Pulau Panjang, dan sekitar Pulau Rupat. Daerah penangkapan ikan pelagis yang memiliki potensi sedang di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan menyebar pada kedalaman 4-14 meter dan 54-74 meter yang terletak di bagian utara dan barat laut Bagan Siapi-api, utara Tanjung Balai Asahan, dan timur Perairan Belawan, sedangkan DPI kurang potensial menyebar pada kedalaman 14-54 meter yang terletak di bagian barat laut Perairan Tanjung Balai Asahan.
Daerah penangkapan ikan demersal yang memiliki potensi sedang di Perairan Kepulauan Riau terletak di sekitar Perairan Pulau Bengkalis, timur Pulau Rupat dan utara Bagan Siapi-api yang menyebar pada kedalaman 30-50 meter, sedangkan DPI kurang potensial terletak di sekitar Perairan Karimun Besar dan timur Pulau Rupat yang menyebar pada kedalaman 15-25 meter. Daerah penangkapan ikan demersal yang memiliki potensi sedang di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terletak di bagian timur Perairan Tanjung Balai Asahan dan bagian tenggara dan utara Perairan Belawan yang menyebar pada kedalaman 30-60 meter, sedangkan DPI kurang potensial terletak di bagian tenggara Perairan Tanjung Balai Asahan yang menyebar pada kedalaman 20-40 meter. Hal ini sesuai dengan keberadaan ikan demersal yang terkonsentrasi pada kedalaman tersebut. Pemetaan daerah penangkapan ikan dengan menggunakan metode hidroakustik di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 ditampilkan pada Tabel 19, Tabel 20 dan Gambar 28.
Tabel 19 Klasifikasi daerah penangkapan ikan pelagis di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Posisi Indikator Bobot
Total
Klasifikasi DPI
TS (dB) Bobot Densitas (individu/m3) Bobot
1 2 3 4 5 6 7A 7B 8 9 10 11 12 13 14A 14B 0° 08' 400" dan 103° 12' 800" ~ 1° 00' 750" dan 103° 08' 433" 1° 00' 850" dan 103° 08' 367" ~ 1° 06' 217" dan 102° 10' 267" 2° 00' 433" dan 102° 13' 700" ~ 2° 02' 967" dan 101° 11' 600" 2° 02' 967" dan 101° 11' 600" ~ 2° 05' 600" dan 101° 09' 233" 2° 05' 650" dan 101° 09' 183" ~ 2° 08' 500" dan 101° 06' 600" 2° 08' 500" dan 101° 06' 600" ~ 2° 09' 983" dan 101° 04' 600" 2° 10' 050" dan 101° 04' 483" ~ 2° 13' 033" dan 101° 00' 333" 3° 15' 850" dan 100° 08' 008" ~ 3° 15' 317" dan 098° 13' 042" 3° 14' 333" dan 098° 12' 040" ~ 4° 02' 083" dan 099° 00' 083" 4° 03' 100" dan 099° 00' 093" ~ 3° 11' 433" dan 099° 04' 063" 3° 12' 617" dan 099° 04' 037" ~ 3° 12' 067" dan 099° 09' 000" 3° 11' 367" dan 099° 09' 002" ~ 3° 09' 300" dan 099° 11' 092" 3° 09' 750" dan 099° 12' 045" ~ 3° 07' 900" dan 100° 00' 013" 3° 07' 800" dan 100° 00' 020" ~ 3° 00' 450" dan 100° 10' 052" 3° 00' 450" dan 100° 10' 052" ~ 2° 13' 400" dan 100° 16' 062" 2° 13' 317" dan 101° 00' 005" ~ 0° 13' 233" dan 103° 10' 022" < -60 dB < -60 dB < -60 dB < -60 dB < -60 dB < -60 dB < -60 dB -60 ~ -57 dB < -60 dB < -60 dB -60 ~ -57 dB < -60 dB < -60 dB -60 ~ -57 dB -60 ~ -57 dB < -60 dB 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 3 3 2 < 3 < 3 < 3 < 3 < 3 < 3 < 3 3-5 < 3 3-5 3-5 < 3 < 3 < 3 3-5 >5 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 3 2 2 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4 6 4 5 6 4 4 5 6 6 Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang Sedang Kurang Sedang Sedang Kurang Kurang Kurang Sedang Sedang
Tabel 20 Klasifikasi daerah penangkapan ikan demersal di Selat Malaka pada bulan Juni 2008
Leg Posisi Indikator Bobot
Total
Klasifikasi DPI
TS (dB) Bobot Densitas (individu/m3) Bobot
1 2 3 4 5 6 7A 7B 8 9 10 11 12 13 14A 14B 0° 08' 400" dan 103° 12' 800" ~ 1° 00' 750" dan 103° 08' 433" 1° 00' 850" dan 103° 08' 367" ~ 1° 06' 217" dan 102° 10' 267" 2° 00' 433" dan 102° 13' 700" ~ 2° 02' 967" dan 101° 11' 600" 2° 02' 967" dan 101° 11' 600" ~ 2° 05' 600" dan 101° 09' 233" 2° 05' 650" dan 101° 09' 183" ~ 2° 08' 500" dan 101° 06' 600" 2° 08' 500" dan 101° 06' 600" ~ 2° 09' 983" dan 101° 04' 600" 2° 10' 050" dan 101° 04' 483" ~ 2° 13' 033" dan 101° 00' 333" 3° 15' 850" dan 100° 08' 008" ~ 3° 15' 317" dan 098° 13' 042" 3° 14' 333" dan 098° 12' 040" ~ 4° 02' 083" dan 099° 00' 083" 4° 03' 100" dan 099° 00' 093" ~ 3° 11' 433" dan 099° 04' 063" 3° 12' 617" dan 099° 04' 037" ~ 3° 12' 067" dan 099° 09' 000" 3° 11' 367" dan 099° 09' 002" ~ 3° 09' 300" dan 099° 11' 092" 3° 09' 750" dan 099° 12' 045" ~ 3° 07' 900" dan 100° 00' 013" 3° 07' 800" dan 100° 00' 020" ~ 3° 00' 450" dan 100° 10' 052" 3° 00' 450" dan 100° 10' 052" ~ 2° 13' 400" dan 100° 16' 062" 2° 13' 317" dan 101° 00' 005" ~ 0° 13' 233" dan 103° 10' 022" < -60 dB < -60 dB > -57 dB -60 ~ -57 dB < -60 dB -60 ~ -57 dB -60 ~ -57 dB -60 ~ -57 dB < -60 dB -60 ~ -57 dB -60 ~ -57 dB < -60 dB > -57 dB > -57 dB < -60 dB < -60 dB 2 2 4 3 2 3 3 3 2 3 3 2 4 4 2 2 < 3 > 5 < 3 3-5 3-5 < 3 3-5 < 3 > 5 < 3 < 3 3-5 < 3 < 3 < 3 < 3 2 3 2 3 3 2 3 2 4 2 2 3 2 2 2 2 4 5 6 6 5 5 6 5 6 5 5 5 6 6 4 4 Kurang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang
5.2 Pembahasan
5.2.1 Hubungan target strength dan ukuran ikan
Dugaan panjang rata-rata ikan demersal dari data hidroakustik split beam echosounder diperoleh dengan menggunakan formula Foote (1987). Pemilihan formula Foote (1987) didasarkan pada nilai normalisasi TS (A) dalam persamaan umum, hubungan antara TS dengan panjang ikan (L), yaitu TS = 20 Log(L) + A. Menurut Foote (1987) in Arnaya (1991), persamaan ini dapat menjelaskan mengenai gambaran kasar dari ukuran ikan. Hubungan nilai TS dengan panjang ikan (L) dapat berbeda-beda sesuai dengan jenis ikan. Umumnya untuk ikan yang memiliki gelembung renang tertutup (physoclist) mempunyai nilai A sebesar -67,5 dB, ikan dengan gelembung renang terbuka (physostomes) mempunyai nilai A sebesar 71,9 dB dan ikan tanpa gelembung renang (bladderless fish) sebesar -80,0 dB (Foote, 1987 in Arnaya, 1991). Jenis ikan hasil tangkapan trawl pada saat survei akustik umumnya memiliki gelembung renang tertutup (physoclist). Hasil tangkapan trawl yang diperoleh dalam penelitian ini sebagian besar ikan-ikan demersal (91,14%), sedangkan ikan pelagis hanya (8,86%) dari total hasil tangkapan selama survei, sehingga hasil tangkapan ikan pelagis tidak dilakukan pengukuran panjang untuk verifikasi dengan data hidroakustik.
Nilai TS ikan pelagis di lokasi penelitian, pada transek siang maupun malam hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kecenderungan meningkatnya nilai TS dengan meningkatnya kedalaman perairan disebabkan oleh meningkatnya ukuran ikan. Hal demikian menandakan bahwa ikan-ikan yang berukuran lebih kecil menyebar di bagian lapisan permukaan, sedangkan ikan yang berukuran lebih besar menyebar di lapisan perairan yang lebih dalam. Keberadaan ikan-ikan pelagis tersebut berkaitan dengan pola tingkah laku makan ikan sebagaimana diutarakan oleh Nelson dan Dark (1986), bahwa ikan-ikan yang lebih kecil umumnya memangsa plankton di lapisan permukaan, sedangkan ikan-ikan yang lebih besar mencari makan tidak hanya terbatas di lapisan permukaan dan kolom perairan, tetapi juga mencari mangsa lain yang berada di lapisan perairan yang lebih dalam.
Nilai TS ikan pelagis yang terdeteksi pada transek siang hari terkonsentrasi pada strata kedalaman 4-14 meter, sedangkan pada transek malam hari
terkonsentrasi pada strata kedalaman 54-74 meter. Kisaran penyebaran nilai TS pada transek malam hari lebih tebal dibandingkan dengan siang hari, hal ini dipengaruhi oleh perubahan tingkah laku ikan pada periode terang dan gelap, sebagaimana dikemukakan oleh Laevastu dan Hayes (1981), bahwa pada waktu siang hari ikan pelagis cenderung bergerombol di permukaan, sedangkan pada malam hari mereka lebih menyebar secara merata/homogen di kolom perairan. Nilai TS ikan yang lebih besar di strata kedalaman 94-104 meter pada waktu malam hari, diduga merupakan nilai TS dari ikan demersal, dimana tingkah laku makan ikan demersal pada waktu malam hari menyebar merata pada lapisan kolom perairan (midwater), sedangkan pada siang hari umumnya berkumpul di dasar perairan (Burczynski et al., 1987).
Berdasarkan pola penyebaran nilai TS ikan pelagis secara vertikal tersebut di atas dapat dihubungkan dengan potensi keberadaan sumberdaya ikan yang potensial dalam operasi penangkapan ikan. Siang hari ikan-ikan pelagis lebih terkonsentarsi pada lapisan permukaan sehingga pengoperasian alat tangkap dapat dilakukan dengan baik pada lapisan tersebut seperti jenis alat tangkap pukat cincin (purse seine). Malam hari ikan pelagis terkonsentrasi pada lapisan kolom perairan (54-74 meter) bersama dengan ikan demersal yang melakukan aktivitas pada malam hari, sehimgga alat tangkap sangat baik dioperasikan pada kedalaman tersebut.
Secara horizontal penyebaran nilai TS ikan pelagis dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka) cenderung meningkat. Hal ini berarti bahwa rata-rata ukuran ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih besar dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan yang berbeda di kedua wilayah tersebut. Perairan Kepulauan Riau termasuk perairan dangkal, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan dalam yang berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Selain itu Maclennan et al, (1990) menyatakan bahwa perubahan variasi nilai TS mungkin disebabkan oleh perubahan nilai distribusi secara horizontal oleh ikan itu sendiri.
Nilai TS rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau lebih kecil dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kedalaman perairan di kedua lokasi tersebut, dimana Perairan Kepulauan Riau termasuk perairan dangkal, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan yang lebih dalam. Hal demikian menunjukan bahwa nilai TS ikan demersal yang lebih kecil cenderung berada pada perairan dangkal atau mendekati pantai, sebaliknya nilai TS yang lebih besar cenderung berada di perairan yang lebih dalam atau menjauhi pantai, sebagaimana dikemukakan oleh Pujiyati (2008), bahwa nilai TS ikan demersal akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman perairan. Selain hal tersebut di atas perbedaan nilai TS ikan demersal juga dipengaruhi oleh jenis ikan di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Habitat ikan demersal yang berada di dekat dasar perairan mengakibatkan koreksi hasil deteksi akustik terhadap ikan demersal memerlukan ketelitian yang tinggi agar echo dari ikan demersal tidak bercampur dengan echo yang berasal dari dasar perairan. Hal ini dapat dilakukan dengan menghilangkan echo yang bersasal dari dasar perairan melalui koreksi bottom noise pada saat analisis data ikan demersal.
Berdasarkan data hidroakustik split beam echosounder diperoleh dugaan panjang rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau sebesar 25,12 cm dan panjang rata-rata hasil tangkapan trawl sebesar 22,82 cm, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan dugaan panjang rata-rata ikan demersal hasil deteksi hidroakustik sebesar 25,59 cm dan panjang rata-rata hasil tangkapan trawl sebesar 23,18 cm. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh metode pengambilan contoh, sistem pengoperasian alat tangkap (trawl) dan pengoperasian transducer di bawah permukaan laut. Pengambilan contoh TS sulit dilakukan secara bersamaan dengan proses penangkapan, karena pengoperasian trawl hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja dan terbatas pada perairan dengan kedalaman maksimal 60 meter, sedangkan deteksi hidroakustik dilakukan sampai pada dasar perairan sepanjang jalur pelayaran. Hal demikian mengakibatkan ikan yang terdeteksi pada perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 60 meter tidak
ikut tertangkap oleh trawl, sehingga data hasil tangkapan trawl yang ada tidak mewakili seluruh data hasil deteksi dari hidroakustik split beam echosounder.
Pengoperasian transducer di bawah permukaan laut yang mencapai kedalaman sampai 1,5 meter dari lunas kapal, dimana badan kapal yang trendam air ±2,5 meter, sehingga total lapisan perairan yang dapat terdeteksi oleh pancaran beam akustik secara vertikal mulai dari kedalaman 4 meter. Hal demikian mengakibatkan ikan-ikan yang berada pada lapisan kedalaman 0-4 meter tidak terdeteksi oleh transducer.
5.2.2 Densitas dan penyebaran ikan
Densitas dan penyebaran ikan pelagis baik pada transek siang maupun malam hari cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Tingginya densitas ikan pada lapisan permukaan, disebabkan karena ikan cenderung mencari tempat dengan fluktuasi yang rendah sehingga tidak memerlukan usaha yang berat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Densitas ikan pelagis pada transek siang dan malam hari mulai dari kedalaman 14 meter sampai 104 meter mengalami perubahan nilai yang relatif sama, akan tetapi pada lapisan permukaan (strata kedalaman 4-14 meter), densitas ikan pelagis yang terdeteksi pada siang hari lebih besar dibandingkan dengan malam hari. Perbedaan nilai densitas ini disebabkan oleh aktivitas ikan yang berbeda pada waktu siang dan malam hari. Pola tingkah laku ikan pelagis terhadap periode terang dan gelap telah dikemukakan oleh Laevestu dan Hayes (1981), bahwa pada waktu siang hari ikan pelagis cenderung bergerombol di permukaan, sedangkan pada malam hari mereka lebih menyebar secara merata/homogen di kolom perairan. Keadaan tersebut mengakibatkan konsentrasi penyebaran ikan pelagis di lapisan permukaan pada siang hari lebih tinggi dibandingkan dengan malam hari.
Densitas ikan pelagis tertinggi di Perairan Kepulauan Riau terkonsentrasi pada kedalaman 4-54 meter, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terkonsentrasi pada strata kedalaman 4-14 meter. Secara horizontal penyebaran densitas ikan pelagis dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka) cenderung menurun dengan perbedaan yang cukup tinggi sekitar 8,46 individu/m3. Perbedaan densitas ini dipengaruhi oleh kesuburan
Perairan Kepulauan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, sesuai dengan hasil penelitian BRPL (2004), disebutkan bahwa penyebaran kandungan oksigen terlarut dari barat laut ke arah tenggara Perairan Selat Malaka semakin meningkat dan keberadaan fitoplankton serta zooplakton lebih tinggi di Perairan Kepulauan Riau daripada Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, tetapi di Perairan Belawan pada bagian yang mengarah ke Laut Andaman memiliki tingkat kesuburan perairan dominan tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya di wilayah ini. Keadaan tersebut mengakibatkan konsentrasi ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan perairan Belawan.
Densitas ikan pelagis pada strata kedalaman 4-14 meter di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau. Hal ini menunjukan bahwa pada saat survei hidroakustik di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan pada strata kedalaman 4-14 meter terdapat kelompok ikan pelagis dalam jumlah yang banyak dengan volume perairan yang kecil karena bentuk pancaran beam yang berbentuk kerucut pada bagian atas. Densitas ikan pelagis pada lapisan kedalaman 24-54 meter di Perairan Kepulauan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan perairan yang tinggi di Kepulauan Riau pada lapisan kedalaman tersebut (BRPL, 2004) dan jenis ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan pelagis yang ada di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan.
Berdasarkan nilai densitas dan penyebaran ikan pelagis sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dihubungkan dengan metode operasional penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan lokasi atau daerah penangkapan ikan yang baik berkaitan dengan keberadaan sumberdaya ikan sebagai target utama dalam kegiatan penangkapan ikan. Daerah penangkapan ikan yang baik di Perairan Kepulauan Riau berdasarkan hal tersebut di atas adalah pada lapisan kedalaman perairan 24-54 meter, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berada pada lapisan kedalaman 4-14 meter. Jenis alat tangkap yang dapat dioperasikan pada kedalaman perairan tersebut adalah purse seine dan pancing.
Densitas ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, tetapi pada leg 8 yang berlokasi di Perairan Belawan densitas ikan demersal yang terdeteksi lebih tinggi dibandingkan dengan 13 leg lainya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kesuburan perairan pada lokasi tersebut, sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh BRPL (2004), disebutkan bahwa wilayah yang berlokasi di Perairan Belawan bagian yang mengarah ke Laut Andaman memiliki kesuburan perairan dominan tinggi dibandingkan lokasi lainnya di wilayah ini. Selain hal tersebut di atas perbedaan densitas ikan juga dipengaruhi oleh jenis ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan demersal yang ada di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Jenis ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau didominasi oleh jenis ikan-ikan yang lebih kecil dari family Scianidae, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan didominasi oleh ikan-ikan demersal yang lebih besar dari family Mullidae.
Penyebaran densitas ikan demersal di daerah penelitian menunjukan penurunan kepadatan dengan bertambahnya kedalaman perairan. Ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau tersebar pada kedalaman 20-60 meter. Nilai densitas ikan demersal tertinggi terkonsentrasi di sekitar perairan dangkal (Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat) sedangkan nilai densitas rendah terdapat pada perairan yang lebih dalam (Perairan Tanjung Balai Asahan). Menurut Pujiyati (2008), penyebaran densitas ikan demersal di perairan dangkal relatif tinggi, sedangkan di perairan dalam lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut di atas keberadaan ikan-ikan demersal dapat dihubunganya dengan metode operasi penangkapan ikan untuk mendapat daerah penangkapan ikan yang baik berkaitan dengan keberadaan ikan demersal. Daerah penangkapan ikan demersal yang baik di wilayah penelitian berada pada perairan dangkal dan jenis alat tangkap yang dapat dioperasikan pada wilayah tersebut adalah gillnet, dan jaring dasar lainnya. 5.2.3 Faktor oseanografi yang mempengaruhi ukuran dan densitas ikan
Suhu perairan di Selat Malaka pada umumnya menurun dengan bertambahnya kedalaman, sebaliknya salinitas meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Kondisi lingkungan perairan sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme yang ada di dalamnya, termasuk ikan. Suhu dan salinitas di
Perairan Kepulauan Riau relatif rendah (rata-rata 29,76°C dan 29,69 psu) dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (rata-rata 29,70°C dan 32,11 psu). Kisaran suhu dan salinitas ini masih dapat ditoleransi oleh ikan untuk kelangsungan hidupnya, seperti diutarakan oleh Laevestu dan Hayes, (1981), bahwa lingkungan perairan yang disukai oleh ikan pelagis adalah perairan yang masih mendapatkan sinar matahari (eufotik) dengan kisaran suhu antara 28-30°C. Perbedaan suhu dan salinitas di kedua perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh letak geografis masing-masing daerah. Perairan Kepulauan Riau merupakan perairan dangkal terletak di tenggara Selat Malaka yang merupakan bagian sempit dari selat ini, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan yang lebih dalam terletak di barat laut Selat Malaka dan merupakan bagian yang lebar dari selat ini.
Berdasarkan nilai TS, baik ikan pelagis maupun ikan demersal tampak bahwa semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai TS cenderung meningkat. Hasil deteksi hidroakustik dan hasil tangkapan trawl menunjukan bahwa, ukuran ikan yang ada di Perairan Kepulaun Riau sebagian besar berukuran kecil, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan umumnya berukuran besar. Hal ini berarti bahwa ikan-ikan yang berada pada lokasi perairan dangkal memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan yang berada di perairan yang lebih dalam. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa ikan-ikan yang berukuran kecil selalu mencari makan di lapisan permukaan dan perairan dangkal yang memiliki suhu relatif hangat dan salinitas rendah, sebaliknya ikan yang berukuran besar mencari makan pada lapisan perairan yang lebih dalam dengan suhu rendah dan salinitis relatif tinggi.
Densitas ikan mempunyai penyebaran yang berbeda dengan TS, yaitu semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai densitas ikan semakin rendah. Hal ini menunjukan bahwa densitas ikan lebih padat pada lapisan permukaan dan bagian perairan dangkal dan mulai menurun pada perairan yang lebih dalam. Densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau paling tinggi terdapat pada kedalaman 24-54 berbeda dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang memiliki kepadatan densitas ikan pelagis tertinggi pada strata kedalaman 4-14 meter. Suhu di Perairan Kepulauan Riau pada lapisan kedalaman
dengan kepadatan densitas ikan tertinggi tersebut berkisar antara 29,53-29,64°C dan salinitas 29,87-29,89 psu. Kondisi demikian menunjukan bahwa ikan berusaha mencari lapisan perairan dimana mereka masih mampu untuk beradaptasi dengan perubahan suhu dan salinitas perairan, sebagaimana diutarakan oleh Laevastu dan Hayes (1981), bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (0,03°C) saja dapat menyebabkan perubahan densitas ikan.
Kepadatan densitas ikan pelagis tertinggi, baik di Perairan Kepulauan Riau maupun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terkonsentrasi pada lapisan kedalaman 4 meter sampai 54 meter, dengan suhu berkisar antara 29,24-29,76°C dan salinitas 29,69-33,06 psu. Hal ini disebabkan karena pada lapisan kedalaman tersebut mendapatkan masukan sinar matahari (eufotik) yang cukup untuk fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen sebagai sumber kehidupan organisme laut terutama ikan.
Densitas ikan demersal di Selat Malaka umumnya tinggi di perairan dangkal dan rendah pada perairan yang lebih dalam. Suhu dan salinitas di selat ini pada bagian dasar perairan rata-rata berkisar antara 29,24-29,53°C dan 29,89-33,07 psu. Kondisi lingkungan tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan demersal sebagai lingkungan hidupnya, sebagaimana diutarakan oleh Widodo in Affandi (1998), bahwa salinitas optimum bagi ikan demersal sekitar 33 psu. Umumnya ikan demersal tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan demersal tidak akan melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan salinitas, akan tetapi ikan demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang berpengaruh terhadap ketersediaan makanan (Okonski in Gunarso, 1985).
Penyebaran densitas ikan pelagis dan demersal di Selat Malaka secara horizontal dari barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) ke arah tenggara (Perairan Kepulauan Riau) cenderung semakin meningkat. Perbedaan densitas ikan tersebut, juga dipengaruhi oleh pola arus yang terjadi di selat ini. Pola dan sirkulasi massa air dominan yang bergerak ke arah barat laut Selat Malaka merupakan arus permukaan yang berasal dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan pada dua musim yang berbeda, walaupun demikian pada musim timur, massa air yang bergerak dari Samudera Hindia masuk ke Selat Malaka melalui Laut Andaman (Wyrtki, 1961). Dua massa air tersebut mempunyai
karakteristik yang berbeda berupa suhu, salinitas dan zat-zat hara yang terkandung di dalamnya, karena wilayah perairan yang dilewatinya berbeda. Kondisi demikian menyebabkan sumberdaya ikan yang ada di dalamnya juga akan berbeda, baik densitas, jenis maupun pola penyebarannya (Simbolon, 1996). 5.2.4 Penyebaran daerah penangkapan ikan
Daerah penangkapan ikan (DPI) di Selat Malaka pada bulan Juni 2008 tersebar di 14 leg transek akustik dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) sampai Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Daerah penangkapan ikan pelagis (DPI sedang) di Perairan Kepulauan Riau terletak di bagian timur Perairan Pulau Bengkalis dan utara Pulau Rupat yang menyebar pada kedalaman 24-54 meter. Penyebaran ikan pelagis pada kedalaman tersebut bila dihubungkan dengan kegiatan operasional penangkapan ikan, maka alat tangkap yang baik untuk dioperasikan adalah gillnet, jaring apung dan pancing. Lokasi DPI ini berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai dan merupakan daerah penangkapan ikan yang selama ini menjadi wilayah operasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setempat (BRPL, 2004). Wilayah perairan yang termasuk DPI pelagis kurang potensial berada pada kedalaman 4-24 meter, menyebar di Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Panjang dan sekitar Perairan Pulau Rupat. Wilayah ini tidak baik dilakukan kegiatan penangkapan ikan karena sumberdaya ikan yang ada masih belum layak tangkap.
Daerah penangkapan ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang memiliki potensi sedang, menyebar di bagian utara dan barat laut Tanjung Balai Asahan yang berada pada kedalaman 4-14 meter dan 54-74 meter. Alat tangkap yang bisa dioperasikan di wilayah perairan ini adalah purse seine, pancing, gillnet dan jaring apung lainnya. Lokasi ini dapat dijangkau oleh nelayan setempat karena jaraknya lebih dekat dengan pantai dan tidak memerlukan kapal yang berukuran lebih besar. Daerah penangkapan ikan pelagis kurang potensial di Perairan Tanjung Balai asahan dan Belawan menyebar di bagian barat laut Perairan Tanjung Balai Asahan, berada pada kedalaman 14-54 meter. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang tinggal di pesisir Tanjung Balai Asahan, sehingga mereka harus