• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAGEMENT ANESTESI PADA PASIEN GERIATRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAGEMENT ANESTESI PADA PASIEN GERIATRI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

MANAGEMENT ANESTESI PADA PASIEN GERIATRI

Oleh:

dr. I Made Agus Kresna Sucandra, SpAn, KIC

DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH 2019

(2)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik “Management Anestesi pada Pasien Geriatri” ini dapat selesai pada waktunya.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, September 2019

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Perubahan Fisiologis pada Proses Penuaan ... 3

2.2 Implikasi Anestesi pada Proses Penuaan Pasien Geriatri ... 5

2.2.1 Sistem Kardiovaskular ... 5

2.2.2 Sistem Respirasi ... 5

2.2.3 Fungsi Ginjal ... 6

2.2.4 Sistem Gastrointestinal ... 6

2.2.5 Sistem Saraf ... 6

2.3 Farmakologi Anestesi pada Pasien Geriatri ... 7

2.4 Evaluasi Perioperatif pada Geriatri ... 8

2.4.1 Evaluasi Preoperatif ... 8

2.4.2 Perawatan Intraoperatif dan Managemen Anestesi ... 9

2.4.3 Perawatan Postoperatif ... 10

2.5 Sistem Kardiovaskuler pada Geriatri ... 10

2.6 Ca Buli pada Geriatri……… BAB III LAPORAN KASUS ... 11

3.1 Identitas Pasien ... 11

3.2 Anamnesis ... 11

3.3 Pemeriksaan Fisik ... 12

3.4 Pemeriksaan Penunjang ... 12

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan ... 13

3.6 Persiapan Anestesi ... 14

3.7 Manajemen Operasi ... 15

BAB IV DISKUSI KASUS ... 16

BAB V PENUTUP ... 20 DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Menurut WHO, geriatri atau orang lanjut usia dikategorikan dalam rentang usia 65 tahun sampai 80 tahun. Pada tahun 2040 diperkirakan sebanyak 24% dari keseluruhan populasi di dunia merupakan individu berusia 65 tahun atau lebih yang dimana memerlukan pelayanan kesehatan sebanyak 50%. Pasien lanjut usia umumnya memiliki beberapa perubahan anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan proses penuaan yang mereka alami, antara lain pada sistem kardiovaskular, pernapasan, metabolisme, endokrin, pencernaan, sistem saraf, dan muskuloskeletal.

Perubahan pada individu lanjut usia berisiko memiliki beberapa kondisi medis kronis dimana dalam salah satu penanganannya membutuhkan tindakan operasi, namun tindakan tersebut dapat memiliki konsekuensi mengalami penyakit akut pasca operasi. Walaupun usia bukan sebagai kontraindikasi dari anestesia dan tindakan operasi, tetapi tingkat kematian dan penyakit perioperatif pada pasien lanjut usia cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pasien usia muda, maka dari itu pemahaman tehadap perubahan anatomi, fisiologi, dan respon terhadap agen farmakologi pada pasien lanjut usia menjadi hal yang penting untuk manajemen anestesi yang optimal dan dapat mengakomodasi faktor usia (Butterworth J.F., dkk. 2013).

Proses penuaan adalah menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan strukur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses penuaan ini membuat manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit degenerative (hipertensi, aterosklerosis, DM, dan kanker). Perubahan fisiologis penuaan dapat memengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum, pada geriatri terjadi penurunan cairan tubuh total, lean body mass, dan juga respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan hipotermia (Satya I.M.H, 2015).

(5)

Perbaikan dalam anestesi dan teknik bedah telah sangat mengurangi angka kematian karena pembedahan pada populasi umum tetapi anestesi terkait kematian pada pasien yang lebih tua masih cukup tinggi. Populasi individu lanjut usia (lansia) sangat sensitif terhadap obat-obat anestesi dan membutuhkan penggunaan obat anestesi yang tepat untuk mencapai efek tujuan dan menghindari efek samping yang mungkin terjadi (Kakkar, 2017). Karena itu, ahli anestesi perlu mempersiapkan diri untuk tantangan baru dan untuk ini mereka harus sepenuhnya menyadari kemungkinan perubahan karena perubahan fisiologis pada usia terkait dan tambahan dampak dari komorbiditas terkait (Butterworth J.F., dkk. 2013)..

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis pada Proses Penuaan

Penuaan adalah proses yang tak terhindarkan yang melibatkan banyak mekanisme termasuk pemendekan telomer, akumulasi radikal bebas, stres oksidatif, dan kerusakan mitokondria DNA. Proses penuaan didefinisikan sebagai penurunan progresif normal dalam fungsi dan kemampuan dalam merespons rangsangan intrinsik (katekolamin, peradangan) atau rangsangan ekstrinsik (infeksi, pembedahan) (Doshi A., ddk 2018).

Pada sistem kardiovaskular, penuaan akan memengaruhi aspek farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan anestesi. Penurunan kapasitas fungsional organ dan penyakit yang ada pada pasien berkontribusi terhadap perubahan yang terjadi. Berkaitan dengan fungsi jantung, pasien geriatri memiliki penurunan respons beta-adrenergik dan terjadi peningkatan insiden kelainan konduksi, bradyarrythmias dan hipertensi. Output jantung menurun sebesar 1% per tahun dan bertanggung jawab atas keterlambatan penyerapan, onset kerja dan eliminasi obat. Penerapan hukum Frank-Starling untuk curah jantung juga turut meningkat, maka dari itu pemberian terapi cairan harus diperhatikan dengan baik.

Terganggunya compliance pada hepar mengakibatkan perubahan kecil pada aliran balik vena akan menghasilkan perubahan besar pada preload ventrikel dan curah jantung. Disfungsi diastolik dan penurunan compliance pembuluh darah menyebabkan kompensasi hipovolemik pada pasien lansia menjadi buruk.

Demikian pula, transfusi yang bercampur juga tidak dapat ditoleransi dengan baik ( Mohanty S, dkk. 2016).

Terkait dengan sistem pernapasan, terjadi perubahan berupa penurunan elastisitas jaringan paru, kapasitas dan volume residual meningkat, kapasitas penutupan meningkat, penurunan fungsi otot pernapasan, dan penurunan compliance dinding paru. Selain itu, terjadi pula perubahan pada dukungan otot faring yang menyebabkan pasien lanjut usia memiliki risiko lebih tinggi mengalami obstruksi jalan nafas atas. Mekanisme proteksi batuk dan menelan juga menurun pada pasien lanjut usia sehingga beresiko tinggi mengalami aspirasi. Perubahan

(7)

pada sistem pernafasan tersebut menyebabkan komplikasi pasca operasi, seperti peningkatan usaha pasien untuk bernafas akibat penurunan compliance dinding paru, gangguan mekanisme pertukaran udara dan kapasitas penutupan yang kecil dapat mengarah pada terjadinya atelektasis. Pemberian premedikasi sebagai profilaksis aspirasi harus benar-benar diperhatikan, misalnya dengan pemberian natrium sitrat, simetidin hidroklorida dan gastro prokinetik, metoclopramide hidroklorida ( Schlitzkus L., dkk 2015).

Penuaan juga mempengaruhi fungsi ginjal, yang menyebabkan penurunan aliran darah dan berat dari ginjal, meningkatkan risiko gagal ginjal akut pada periode pasca operasi dan mempengaruhi farmakokinetik obat. Fungsi ginjal yang ditentukan oleh laju filtrasi glomerular dan eliminasi kreatinin mengalami penurunan sekitar 45%, saat fungsi ginjal menurun, maka kemampuan eleminasi obat ikut menurun, dan pemberian obat relaksan (doxacurium chloride, pancuronium bromida) akan bekerja lebih lama (Kakkar B. 2017).

Pada sistem gastrointestinal, massa hepar dan aliran darah hepar menurun 1%

per tahun hingga sekitar 40% setelah 60 tahun. Perubahan lainnya seperti penurunan motilitas lambung, peningkatan pH lambung, penurunan aliran darah hepar dan massa hepar serta penurunan fungsi enzim mikrosomal hepar yang mempengaruhi farmakokinetik obat. Waktu pengosongan lambung yang menurun menyebabkan perlambatan penyerapan obat dan tingginya insiden aspirasi ( Kakkar B. 2017).

Selanjutnya pada sistem saraf, penuaan dikaitkan dengan peningkatan ambang batas untuk hampir semua modalitas sensorik, termasuk sentuhan, sensasi suhu, propriosepsi, pendengaran, dan penglihatan. Disfungsi otonom meningkatkan potensi terjadinya penurunan respon fisiologis kompensasi terhadap hipotensi dan termoregulasi, sehingga lansia lebih rentan mengalami shivering atau menggigil dan hipotermia. Pasien lanjut usia lebih mudah mengalami confussion, akibat stres karena infeksi, dehidrasi, hipotensi atau prosedur anestesi atau bedah. Pemeliharaan cairan, terapi antibiotik profilaksis dan perawatan bedah yang baik dapat mengurangi terjadinya hal tersebut pasca operasi ( Schlitzkus L. dkk, 2015).

Penuaan mempengaruhi sistem muskuloskeletal pasien lansia, terdapat kenaikan jumlah lemak tubuh, penurunan dalam massa dan kekuatan otot karena

(8)

kehilangan serat otot dan perubahan hormon pertumbuhan, atrofi pada kulit sehingga rentan mengalami trauma akibat plester, elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi (Schlitzkus L. dkk, 2015).

2.2 Implikasi Anestesi pada Proses Penuaan Pasien Geriatri 2.2.1 Sistem Kardiovaskular

Pada rangkaian rencana tindakan anestesi, terdapat beberapa obat-obatan anestesi yang memiliki efek menurunkan tekanan darah hingga menyebabkan hipotensi. Hipotensi yang terjadi selama induksi anestesi seharusnya dapat dikelola dengan betaagonis, akan tetapi pada usia lanjut terjadi penurunan respon pada reseptor beta di otot jantung sehingga menurunkan respon terhadap hipotensi dan ketokolamin yang menyebabkan kompensasi terhadap keadaan hipotensi tersebut tidak terjadi (Schlitzkus L. dkk, 2015).

2.2.2 Sistem Respirasi

Hilangnya kontur wajah akibat resorpsi alveolar tulang dan hilangnya gigi, dapat menyebabkan kesulitan dalam pemilihan masker sungkup yang tepat.

Berkurangnya jumlah alveoli dengan ukuran yang meningkat dapat mengganggu pertukaran gas. Kadar oksigen darah menurun 10% - 15% tetapi kadar karbon dioksida tetap tidak berubah. Respons ventilasi untuk hipoksemia dan hiperkapnia menurun pada orang tua sehingga pemantauan gas darah arteri akan menjadi tanda yang lebih bermakna dalam menilai fungsi pernafasan dibandingkan dengan tanda- tanda klinis sederhana seperti denyut nadi, laju pernapasan atau tekanan darah.

Kelemahan otot yang terjadi akibat penuaan akan mengurangi kemampuan pasien lanjut usia untuk batuk secara paksa dan menghilangkan sekresi secara efektif. Pneumonia aspirasi sering menjadi komplikasi pada pasien lansia akibat dari penurunan refleks laring yang progresif. Pemberian premedikasi sebagai profilaksis aspirasi harus benar-benar diperhatikan, misalnya dengan pemberian natrium sitrat, simetidin hidroklorida dan gastro prokinetik, metoclopramide hidroklorida ( Mohanty S. dkk., 2016).

(9)

2.2.3 Fungsi Ginjal

Pasien lanjut usia mengalami perubahan farmakokinetik dalam absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi obat-obat anestesi. Terjadi pula penurunan pada clearance secara sistemik yaitu obat yang tereleminasi tidak mengalami perubahan oleh ginjal karena perubahan pada laju filtrasi glomerulus dan fungsi tubular. Terdapat perubahan pada laju darah ginjal dan autoregulation, yang mengarah pada peningkatan prevalensi terjadinya gagal ginjal akut perioperatif (Alvis & Hughes 2015).

2.2.4 Sistem Gastrointestinal

Penurunan aliran darah hepar karena perubahan aterosklerotik dan penurunan aktivitas enzim mikrosomal, mempengaruhi terapi obat untuk obat- obatan yang bergantung pada metabolisme dan ekskresi oleh hepar misalnya fentanyl citrate, vecuronium bromide. Obat-obatan yang membutuhkan oksidasi mikrosomal (reaksi tahap I) sebelum konjugasi (reaksi tahap II) dimetabolisme perlahan, sedangkan yang hanya membutuhkan konjugasi dapat dibersihkan secara normal. Obat-obatan yang tergantung pada hepatosit seperti warfarin, dapat menghasilkan efek berlebihan karena peningkatan sensitivitas sel Mohanty S. dkk., 2016).

2.2.5 Sistem Saraf

Sistem saraf merupakan sasaran untuk hampir setiap obat anestesi, perubahan akibat penuaan dalam sistem saraf fungsi memiliki implikasi kuat dalam pengelolaan anestesi, yakni penurunan massa jaringan saraf, kepadatan neuron dan konsentrasi neurotransmiter, serta reseptor norepinefrin dan dopamin. Kebutuhan dosis untuk anestesi lokal dan umum berkurang, kebutuhan volume anestesi epidural menghasilkan penyebaran cephalic yang lebih banyak meskipun durasi blok sensorik dan motorik lebih pendek. Pasien usia lanjut membutuhkan lebih banyak waktu untuk pulih dari anestesi umum terutama jika mereka mengalami disorientasi perioperatif. Pasien lansia sensitif terhadap obat antikolinergik yang bertindak terpusat. Dikatakan bahwa insiden delirium pada regional anestesi jarang terjadi, jika tidak ada sedasi tambahan (Schlitzkus L. dkk 2015) .

(10)

2.3 Farmakologi Anestesi pada Pasien Geriatri

Penuaan menyebabkan perubahan pada farmakokinetik (dosis obat dengan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik (konsentrasi plasma dengan efek klinis) obat. Penuaan menurunkan tingkat sirkulasi albumin, yang merupakan protein utama pengikat plasma untuk obat-obatan yang bersifat asam, memengaruhi distribusi dan eleminasi obat. Di sisi lain, terjadi peningkatan kadar α-1 asam glikoprotein sebagai protein yang mengikat obat-obatan dasar. Efek penuaan pada farmakokinetik tergantung pada obat yang digunakan. Penurunan jumlah total air dalam tubuh menyebabkan penurunan pada kompartemen sentral dan peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus. Di sisi lain, peningkatan lemak tubuh menghasilkan volume yang terdistribusi lebih besar, sehingga memperpanjang half life dan efek pada obat lipofilik seperti propofol, benzodiazepin, opioid. Metabolisme obat dipengaruhi oleh fungsi hati atau ginjal.

Penurunan protein plasma akan menyebabkan obat yang seharusnya berikatan kuat dengan protein seperti propofol, lidocaine dan fentanyl menjadi tidak berikatan.

Pasien geriatri lebih sensitif terhadap agen anestesi dan umumnya memerlukan dosis yang lebih kecil untuk mendapat efek dan kondisi klinis yang sama, dan memiliki durasi efek obat yang lebih panjang

Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestesi yang ditunjukkan oleh Minimum Alveolar Concentration (MAC) yang berkurang.

Pemberian titrasi agen anestesi yang cermat membantu dalam menghindari efek samping dan durasi berkepanjangan yang tidak terduga. Agen kerja pendek, seperti propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin, atau obat-obatan yang tidak tergantung pada fungsi hepar, ginjal, atau aliran darah, seperti atracurium atau cisatracurium mungkin lebih baik diberikan pada pasien geriatri, (Ersan T. dkk 2015).

Tabel 2.1 Farmakologi Klinis Agen Anestesi pada Geriatri

Obat Sensitif

terhadap Otak

Pharmakokinetik Dosis

Agen inhalasi ↑ ↓

Thiopental ↔ ↓(↓volume distribusi) ↓

(11)

Etomidate ↔ ↓(↓volume distribusi) ↓

Propofol ↑ ↓(↓klirens) ↓

Midazolam ↑ ↓(↓klirens) ↓

Morphine ↑ ↓(↓klirens) ↓

Ramifentanil ↑ ↓(↓klirens) ↓

Atracurium - - ↔

Cis-atracurium - - ↔

2.4 Evaluasi Perioperatif pada Geriatri 2.4.1 Evaluasi Preoperatif

Penyakit umum pada geriatri memiliki dampak signifikan pada anestesi dan memerlukan perawatan khusus. Risiko dari anestesi lebih terkait dengan adanya penyakit penyerta dibandingkan dengan usia pasien. Dengan demikian, lebih penting untuk menentukan status pasien dan memperkirakan kondisi fisiologis saat evaluasi pra-anestesi. Jika kondisi dapat dioptimalkan sebelum operasi, ini harus dilakukan tanpa penundaan, karena penundaan yang lama dapat meningkatkan tingkat morbiditas.

Diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular sangat umum pada pasien geriatri. Komplikasi paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas pasca operasi pada pasien geriatri, sehingga optimasi paru diperlukan untuk pasien. Studi laboratorium dan diagnostik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting diperhatikan. Selain itu, kemungkinan depresi, malnutrisi, imobilitas, dan dehidrasi juga harus diperhatikan.

Penting untuk menentukan status kognitif pasien geriatri. Defisit kognitif dikaitkan dengan prognosis yang buruk dan morbiditas perioperatif yang lebih tinggi. Masih kontroversial apakah anestesi umum mempercepat perkembangan senile dementia.

Pasien geriatri memerlukan dosis premedikasi yang lebih rendah.

Premedikasi opioid hanya diperlukan jika pasien mengalami nyeri hebat pada saat penilaian praoperatif. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada geriatri terjadi atrofi kelenjar saliva. Antagonis H2 bermafaat untuk mengurangi risiko aspirasi.

(12)

Metoclopramide juga dapat digunakan untuk pengosongan lambung, meskipun risiko efek ektrapiramidal lebih tinggi pada pasien geriatri Schlitzkus L. dkk, 2015).

2.4.2 Perawatan Intraoperatif dan Managemen Anestesi

Peningkatan usia bukan merupakan kontraindikasi untuk dilakukan baik anestesi umum maupun regional. Beberapa aspek anestesi regional dapat memberikan keuntungan kepada pasien. Hal tersebut memengaruhi sistem koagulasi dengan mencegah perdarahan postoperatif. Lebih lanjut lagi, hal tersebut menurunkan insiden dari trombosis vena dalam setelah tindakan total hip arthroplasty.

Efek hemodinamik anestesi regional dapat berhubungan dengan penurunan kehilangan darah pada operasi pelvic dan tungkai bawah. Lebih penting lagi, pasien dapat menjaga jalan nafas dan fungsi paru-paru.

Geriatri dan anestesi umum berhubungan dengan hipotermi.

Mempertahankan suhu tubuh pada keadaan normotermi, merupakan hal yang penting karena hipotermi berkaitan dengan terjadinya iskemia miokard, dan hipoksemia pada periode awal postoperasi.

Pada kasus anestesi umum merupakan hal yang utama untuk melakukan titrasi dosis obat dan hal tersebut menjadi perlu diwaspadai pada pemberian obat yang bekerja cepat.

Penggunaan blok perifer pada geriatri menjanjikan outcome yang baik tanpa memengaruhi keamanan jalan nafas, dan risiko efek hemodinamik mayor.

Mengingat bahwa pada geriatri terjadi perubahan anatomi, namun blok perifer tetap menunjukkan efek yang lebih panjang.

Managemen fisiologis yang optimal diperlukan untuk menghasilkan hasil operasi yang terbaik (Schlitzkus L. dkk, 2015).

2.4.3 Perawatan Postoperatif

Masalah paru sangat penting dalam periode pasca operasi. Pada pasien geriatri tidak perlu terlalu ditekankan untuk melakukan rawat inap yang lebih pendek. Operasi invasi minimal dan anestesi regional bila dibandingkan dengan

(13)

anestesi umum, kemungkinan dapat mengarahkan pada hasil yang lebih menguntungkan bagi pasien geriatri ( Schlitzkus L. dkk, 2015).

2.5 Sistem Kardiovaskuler pada Geriatri

Penyulit yang sering dijumpai pada pasien yang akan menjalani pembedahan adalah adanya hipertensi dan gagal jantung kronis. Prevalensi kedua penyakit ini juga meningkat seiring bertambahnya usia. Penilaian perioperatif yang perlu dilakukan pada pasien dengan hipertensi yakni terapi farmakologis yang sudah digunakan, kerusakan target organ dan status volume cairan. Data tersebut dapat diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang serta pemeriksaan laboratorium rutin. Penggunaan diuretika yang rutin sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Evaluasi jantung dengan EKG dan x-ray toraks sangat berperan untuk penapisan jejas organ target. Adanya LVH dapat menyebabkan risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Apabila ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan (Putra I.M.A., 2014)

Saat ini belum terdapat protokol yang pasti penentuan batas maksimal tekanan darah untuk melakukan tindakan operasi. Banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 mmHg atau 115 mmHg adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Tekanan darah diastolik (TDD) dijadikan tolak ukur karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS > 180 mmHg dan/atau TDD > 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam

(14)

dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. (Putra I.M.A., 2014)

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi. Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi dan penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak. (Putra I.M.A., 2014

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial.

Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah

(15)

luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan, distensi dari kandung kemih atau nyeri. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. (Putra I.M.A., 2014)

Adanya gagal jantung telah digambarkan sebagai faktor risiko yang paling penting untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pada periode perioperatif, semua faktor yang mempresipitasi gagal jantung harus dicari dan diterapi secara agresif sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Pasien dengan gagal jantung biasanya sudah mendapatkan pengobatan yang dapat mempengaruhi tatalaksana anestesi. Diuretik biasanya dapat dihentikan pada hari operasi. Terapi Beta-Blocker dapat diteruskan karena dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa Beta-Blocker dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas perioperatif.

Akibat penghambatan pada RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System), ACEIs (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor) dapat menyebabkan peningkatan resiko terjadinya hipotensi intraoperatif. (Wiryana M 2008)

Hipotensi tersebut dapat diterapi dengan obat simpatomimetik seperti ephedrine, agonis seperti phenylephrine atau vasopressin. Jika ACEIs digunakan untuk mencegah remodeling ventrikel pada pasien gagal ginjal dan disfungsi ginjal pada pasien diabetes, penghentian obat tersebut pada saat atau 1 hari sebelum operasi tidak secara signifikan akan mengubah efek obat tersebut. Namun, jika ACEIs digunakan untuk mengobati hiperentensi, penghentian obat tersebut pada saat atau 1 hari sebelum operasi akan menyebabkan hipertensi yang signifikan.

Penghambat reseptor angiotensin akan menyebabkan blok RAAS yang berat, oleh karena itu harus distop sehari sebelum operasi. Terapi digoksin dapat dilanjutkan sampai hari operasi. (Wiryana M 2008)

Semua jenis anestesi umum dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung, namun mungkin memerlukan penyesuain dosis.Opioid mempunyai efek yang menguntungkan pada pasien dengan gagal jantung oleh karena efeknya pada reseptor yang menghambat aktifasi adrenergik. Ventilasi tekanan positif dan PEEP mungkin menguntungkan karena dapat menurunkan bendungan paru dan

(16)

memperbaiki oksigenasi arteri. Pemasangan alat monitor hemodinamik disesuaikan dengan kompleksitas operasi. Pemasangan monitor tekanan intra arteri dilakukan pada pasien yang mengalami operasi besar. Monitoring pengisian ventrikel dan status cairan penting dilakukan karena kelebihan cairan sewaktu periode perioperatif dapat memperburuk gagal jantung. Pemasangan kateter arteri pulmonalis intraoperatif dapat membantu mengevaluasi pengisian cairan yang optimal. Penggunaan TEE merupakan alternatif yang lebih baik karena tidak hanya dapatmemonitor pengisian ventrikel tetapi juga menilai fungsi katup dan gerakan dinding ventrikel. (Wiryana M 2008)

Anestesi regional dapat dilakukan pada pasien gagal jantung. Penurunan sedang dari SVR, sekunder akibat blok SNS perifer dapat meningkatkan cardiac output. Namun, penurunan SVR yang diakibatkan oleh anestesi spinal atau epidural tidak selalu mudah dikontrol atau diprediksi. Pedoman penggunaan obat inotropik dan vasopresor pada tatalaksana gagal jantung akut telah dipublikasikan oleh ESC (European Society of Cardiology). Dalam prakteknya, agonis adrenoseptor masih merupakan pilihan pertama. Pasien dengan gagal jantung akut sewaktu operasi harus dirawat di unit perawatan intensif dan monitoring invasif dapat dilanjutkan postoperatif. Tatalaksana nyeri harus dilakukan secara agresif karena konsekwensi hemodinamik akibat nyeri dapat memperburuk gagal jantung. Pasien sesegara mungkin diberikan obat-obatan yang biasanya digunakan. (Wiryana M 2008)

2.6. Ca Buli pada Geriatri

Risiko kanker kandung kemih meningkat dengan bertambahnya usia dan sekitar sepertiga dari kanker kandung kemih pada laki-laki didiagnosis pada pasien berusia lebih dari 60 tahun. Kanker kandung kemih pada geriatri memiliki prognosis yang lebih buruk dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berusia muda. Hal ini mungkin disebabkan karena keterlambatan dalam mendiagnosis dan kurangnya perawatan pada pasien kanker kandung kemih pada usia lanjut. Pembedahan adalah komponen utama terapi kuratif untuk kanker kandung kemih stadium awal. Morbiditas perioperatif rendah, dan angka kematian berkisar dari 0% sampai 2%. Hal ini lebih berhubungan dengan komorbiditas daripada usia. Bagi mereka yang memiliki penyakit komorbid yang

(17)

signifikan, pembedahan dengan anestesi lokal memberikan toleransi lebih baik daripada anestesi umum. Tidak seperti pasien yang berusia muda, pasien geriatri yang menjalani anestesi umum dapat mengalami gangguan kognitif jangka pendek.

(Samuel S. dkk, 2010

(18)

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : IAS

No. RM 19029707

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 74 tahun (22/09/1944)

Agama : Hindu

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Br Perangsada, Pering Gianyar

Diagnosis : Ca Buli T2-3N1M0 Low Grade + Hipertensi stage I + HHD

Tindakan : Pelvic Eksenterasi Anterior (Cystectomy + TAH + BSO) + Ileal Conduit + Deseksi Pelvic Lymph Node MRS : 30 Agustus 2019, pukul 14.17 WITA

3.2 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan sulit menahan kencing sejak 1 tahun yang lalu, sehingga pasien sering terlambat ke kamar mandi dan akhirnya mengompol. Pasien mengaku keluhan ini semakin terasa sejak 6 bulan SMRS, disertai dengan rasa anyang – anyangan atau BAK menjadi tidak tuntas namun frekuensinya cenderung meningkat. Pasien juga sempat mengalami BAK berdarah dengan pendarahan yang cenderung menetes. Kurang lebih 6 bulan SMRS, pasien memeriksakan diri ke RS Kasih Ibu dan akhirnya dilakukan USG serta tindakan biopsy. Dari pemeriksaan penunjang tersebut diketahui adanya pertumbuhan massa di area kandung kemih sehingga pasien disarankan untuk mendapatkan tatalaksana di rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap dan akhirnya dirujuk ke RSUP Sanglah. Di RSUP Sanglah, pasien kembali dilakukan pemeriksaan biopsy pada 8 Agustus 2019 dan akhirnya diputuskan untuk dilakukan operasi pengangkatan kandung kemih.

Saat ini pasien mengeluh adanya nyeri pinggang hilang timbul, namun keluhan berkemih, mual muntah, maupun demam disangkal.

(19)

Riwayat alergi obat dan makanan : alergi makanan (-) alergi obat penisilin Riwayat pengobatan : Riwayat hipertensi yang diketahui sejak 1

bulan terakhir dan sudah rutin mengkonsumsi ramipril 2.5 mg setiap 24 jam per oral

Riwayat penyakit sistemik : Riwayat HHD (Hypertensive Heart Disease) dengan hipertensi stage I terkontrol

Riwayat operasi : 8/8/2019 Tur-B dan biopsy / RSUP Sanglah / RA – BSA /tanpa komplikasi Riwayat makan/minum terakhir : 1 September 2019 pukul 22.00 WITA Riwayat sosial : Pasien sebelumnya adalah seorang ibu

rumah tangga yang masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri dada ataupun sesak nafas. Riwayat kebiasaan merokok atau minum alkohol tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik

BB : 51 kg, TB : 155 cm, BMI : 21,2 kg/m2, Suhu aksila : 36,5oC, NRS diam 0 dari 10, NRS bergerak 0 dari 10, Apfel Score ¾

SSP : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6

Respirasi : Frekuensi 16x/menit, tipe vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (- /-), SpO2 98% udara ruangan

KV : TD 130/70 mmHg, HR 65x/menit, bunyi jantung S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

GIT : Supel, bising usus (+) normal, distensi (-) nyeri tekan (-) UG : BAK spontan UO dalam 8 jam terakhir

MS : Fleksi defleksi leher normal, Mallampati II, gigi geligi tidak utuh, akral hangat, celah interspinosum thoracolumbalis teraba baik, tanpa tanda-tanda infeksi di sekitarnya

(20)

3.4 Pemeriksaan Penunjang 1. Darah Lengkap (19/8/2019)

• WBC 9.09 x 103/µL (4,1-11); HGB 11.55 g/dL (13.5-17.5); HCT 36.68 % (41-53); PLT 240.60 x103µL (150-440) PPT 13,6 detik (10,8-14,4), APTT 31,9 detik (24-36), INR 1,1 (0,9-1,1)

2. Kimia Klinik (19/8/2019)

• BUN 13.8 mg/dL (8-23) ; SC 0,92 mg/dL (0,7-1,2) ; SGOT 19.9 U/L (11-33); SGPT 19.9 U/L (11-50)

3. Elektrolit (19/8/2019)

• Na 143 mmol/L (136-145); K 3,84 mmol/L (3,5- 5,0); Cl 100,9 mmol/L (94 – 110); GDS 100 mg/dL; Alb 4.2 gr/dL (3.4 – 4.8) 4. Foto Thorax PA (26/07/2019)

• Cardiomegaly (CTR 57%); spondylosis thoracalis; tidak tampak proses metastase pada paru dan tulang – tulang yang tervisualisasi 5. Echocardiography (01/08/2019)

• Dimensi ruang jantung normal; LVH Concentric remodelling ; LV fungsi sistolik normal (EF 58.3%); LV fungsi diastolik menurun grade I; RV fungsi sistolik normal (TAPSE 2.0 cm); LV wall motion global normokinetik; MR mild. Konklusi: Fungsi sistolik LV dan RV normal, Fungsi diastolik menurun grade I, MR mild

6. EKG (31/08/2019)

• Normal sinus rhythm, HR 65x/menit, axis normal, ST-T changes tidak ada

7. ST Scan Abdomen (19/07/2019)

• Massa solid intralumen buli pada dinding posterior terukur +/- 5.6 x 5.68 x 6.02 cm, mengesankan massa malignant pada buli;

Lymphadenopathy multiple subsentimeter pada paraaorta;

Spondylosis Lumbalis 8. Hasil Patologi Anatomi (8/8/2019

• Invasive papillary urothelial carcinoma low grade; Invasi otot (+)

(21)

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan Permasalahan Aktual :

Geriatri : dengan mini kognitif 25/30

Kardiovaskular : HT Stage I terkontrol dengan ramipril 2.5 mg per oral (fluktuasi tekanan darah di ruangan 130 – 140 / 70 – 80 mmHg); CAD OMI inferior (pernah diberikan asetosal 8 mg dan sudah ditunda 5 hari yang lalu); HHD dengan gambaran ro thorax cardiomegaly (CTR 57%

dan echocardiography : Dimensi ruang jantung normal; LVH Concentric remodelling ; LV fungsi sistolik normal (EF 58.3%); LV fungsi diastolik menurun grade I; RV fungsi sistolik normal (TAPSE 2.0 cm); LV wall motion global normokinetik; MR mild. Anemia ringan susp inflamasi kronis (11.55 gr/dL)

Permasalahan Potensial : Bradikardia; Iskemik Miokard; Hipotermia, pendarahan, gangguan kognitif pasca operasi Kesimpulan : Status Fisik ASA III

3.6 Persiapan Anestesi

Persiapan di Ruang Perawatan:

• Evaluasi identitas penderita

• Persiapan psikis

− Anamnesis pasien

− Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan

• Persiapan fisik

− Puasa 8 jam sebelum operasi

− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi

(22)

− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi

− Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang

− Memeriksa surat persetujuan operasi

− Memasang IV line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan 20 tetes per menit

Persiapan di Ruang Persiapan OK IBS:

• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi

• Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan

• Evaluasi ulang status present dan status fisik

• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi Persiapan di Kamar Operasi:

• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas

• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi

• Mempersiapkan obat dan alat anestesi

• Menyiapkan obat dan alat resusitasi

• Evaluasi ulang status present penderita

3.7 Manajemen Operasi

➢ Teknik Anestesi: GA-OTT + Epidural Anesthesia Pre medikasi : Dexamethasone 10 mg IV

Dipenhidramine 10 mg IV Midazolam 0,5 mg IV Analgetik : Fentanyl 750 mcg IV

Bupivacain plain 0,5% vol 10mL

Induksi : Propofol 75 mg titrasi sampai pasien terhipnosis Maintenance : Compressed air : O2 ; Sevoflurane 1,5 Vol % Medikasi lain : Ondansetron 4 mg IV

➢ Durante operasi

Hemodinamik : TD 120-140/ 60-80 mmHg, Nadi 60-80x/menit, RR 14x/menit, SpO2 99-100%

Cairan masuk : Kristaloid 2000 ml

(23)

Koloid 1000 ml Darah PRC 465 ml

Cairan keluar : Urin residu 100 ml, perdarahan 1200 ml Lama operasi : 5 jam

➢ Post Operasi

Analgetik : Bupivacaine 0,062% + Morphin 0,5 mg volume 10 mL tiap 10-12 jam

Paracetamol 500 mg tiap 6 jam (PO) Perawatan : Ruangan Intensif

(24)

BAB IV DISKUSI KASUS

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa usia tidak dianggap sebagai kontraindikasi untuk setiap intervensi bedah tetapi semakin banyak jumlah pasien dengan usia terkait atau penyakit penyerta, dapat membawa risiko tinggi komplikasi pasca operasi Butterworth, J.F. dkk., 2013). Untuk hal tersebut, manajemen atau perawatan pra operasi dan perioperatif harus dilakukan dengan baik sehingga ahli anestesi harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai penyakit penyerta.

Pada pasien ini dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu pemeriksaan darah lengkap, faal hemostasis, kimia klinik, elektrolit, rontgen thorax, echocardiography, EKG, ST Scan Abdomen dan Patologi Anatomi. Pada pemeriksaan darah lengkap yang penting untuk diperhatikan adalah jumlah kadar hemoglobin dan sel darah putih. Pada pasien ini hanya ditemukan sedikit penurunan pada sel kadar hemoglobin dan hematokrit kemungkinan akibat penyakit kronis.

Pemeriksaan urea, elektrolit, dan kreatinin akan memberikan informasi mengenai fungsi ginjal karena secara bertahap ginjal akan mengalami penurunan fungsi dengan bertambahnya usia. Pada kasus ini tidak didapatkan peningkatan BUN maupun serum kreatinin. Hasil pemeriksaan profil koagulasi dan elektrolit pada pasien ini masih dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat HHD dengan hipertensi stage I yang terkontrol. Pada pemeriksaan rontgen thorax ditemukan kardiomegali (CTR 57%). Sedangkan pada pemeriksaan echocardiography didapatkan Dimensi ruang jantung normal; LVH Concentric remodelling ; LV fungsi sistolik normal (EF 58.3%); LV fungsi diastolik menurun grade I; RV fungsi sistolik normal (TAPSE 2.0 cm); LV wall motion global normokinetik; MR mild.

Konklusi: Fungsi sistolik LV dan RV normal, Fungsi diastolik menurun grade I, MR mild, katup lain normal, thrombus tidak ditemukan. Dan elektrokardiogram (EKG) juga dilakukan pada pasien ini dan dikesankan dengan normal sinus rhytm.

Dalam kepustakaan dijelaskan bahwa, pemilihan teknik anestesi pada geriatri akan cenderung dipilih anestesi regional, kecuali jika tindakan pembedahan yang akan dikerjakan tidak memungkinkan untuk anestesi regional. Pada kasus ini

(25)

digunakan teknik anestesi umum dengan oral trachea tube. Pertimbangan pemilihan teknik anestesi umum pada pasien ini didasarkan pada jenis operasi yang dilakukan. Analisis terhadap tindakan pembedahan atau operasi pada pasien ini adalah (1) lokasi operasi akan dilakukan di daerah abdominal bawah, (2) manipulasi operasi, dimana pada kasus ini membutuhkan relaksasi lapangan operasi yang optimal (3) lama operasi yang cukup panjang sehingga penggunaan anestesi umum lebih dipertimbangkan dan (4) Dan kombinasi dengan regional anestesi diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obat sistemik pada pasien geriatri. Selain itu dikatakan bahwa regional anestesi seperti teknik TEA (Thoracic Epidural Anesthesia) memberikan beberapa keuntungan, terutama dalam menjaga hemodinamik pasien durante operasi, serta profil pemulihan post operasi yang lebih baik. Dikatakan bahwa dengan blok simpatis segmental sementara pada TEA efektif dalam mengatasi respon stress yang terjadi pada tubuh pasien. Blok secara segmental ini dikompensasi dengan aktivitas simpatis pada segmen yang tidak terblok. Keuntungan dari berkurangannya respon stres ini adalah dilengkapi dengan stabilitas miokardial dan hemodinamik oleh TEA. Pada TEA akan meningkatkan repolarisasi dan memperpanjang refraktori miokardium yang melindungi terhadap aritmia, khususnya yang berasal dari ventrikel. Hasil studi menunjukkan bahwa TEA menjaga demand dan supply oksigen dengan menjaga perfusi koroner termasuk pada jaringan miokardium yang mengalami iskemi. Jadi dengan simpatektomi pada TEA akan berpotensial mendilatasi pembuluh darah koroner yang mengalami konstriksi, mengurangi workload dan mengoptimalkan penghantaran oksigen ke miokardium yang memberi dampak positif terhadap status kardiovaskular (Lahiry, 2016).

Dalam manajemen operasi pasien ini dilakukan teknik anestesi GA-OTT + Epidural Anesthesia. Saat di ruang persiapan operasi, pasien diberikan pre medikasi yang bertujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien, dimana pemberian midazolam 0,5 mg untuk menghilangkan rasa cemas, diphenhydramine 10 mg untuk sedasi agar membantu memudahkan dan memperlancar induksi serta dapat mengurangi resiko terjadinya aspirasi, dan dexamethasone 10 mg untuk mencegah mual dan muntah.

(26)

Anestsesi regional dilakukan dengan pemasangan kateter epidural di Th4- Th5 dengan LOR (Loss of Resistance) 4 cm, panjang kateter 10 cm. Regimen anestesia epidural menggunakan bupivacaine plain 0,5% volume 10 mL. Setelah itu dilakukan pemasangan OTT. Sebagai langkah awal dimulainya proses induksi dan anestesi umum, preoksigenasi dengan fraksi oksigen 100% diberikan pada pasien dan dilakukan pemberian analgetik fentanyl 75 mcg dibantu dengan induksi propofol 75 mg secara titrasi. Selanjutnya, sebagai pemeliharaan sedasi, pada pasien ini dilakukan pemberian agen inhalasi berupa Sevoflurane 1,5 Vol% yang diberikan dengan oksigen serta compressed air. Induksi inhalasi direkomendasikan pada pasien usia lanjut terutama sevoflurane yang dikatakan sangat cocok untuk induksi inhalasi dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien usia lanjut. Selain itu, Sevoflurane juga efektif dan optimal diberikan pada pasien usia lanjut sebagai pemeliharaan atau maintenance anestesi (Owczuk, R., 2013) . Pada pasien ini juga dilakukan pemberian fentanyl sebelum dilakukan insisi (25 mcg).

Pemantauan hemodinamik pada pasien ini menunjukkan kestabilan dimana tidak terjadi lonjakan penurunan maupun peningkatan mendadak. Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya peningkatan afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta gangguan respon vasokonstriksi menyebabkan pasien geriatri sangat tergantung pada preload yang memadai. Oleh sebab itu, terapi pemeliharaan cairan yang cukup dapat menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera setelah induksi anestesia. Pada pasien ini diberikan cairan berupa Kristaloid 2000 ml, koloid 1000 ml dan darah PRC 465 ml.

Pada kasus ini pasien terdiagnosis dengan Ca Buli T2-3N1M0 Low Grade.

Ca Buli merupakan pertumbuhan abnormal pada jaringan di buli. Beriringan dengan pertambahan usia, terjadi beberapa perubahan biologi pada geriatri yang dapat memengaruhi risiko kanker, aktivitas kanker, serta respon terhadap terapi.

Peningkatan risiko kanker pada geriatri terjadi melalui dua proses, yaitu terjadi kerusakan DNA secara perlahan dan penurunan progresif pada kemampuan host melawan pertumbuhan tumor (Tesarova, 2013). Pada pasien ini dilakukan tindakan Pelvic Eksenterasi Anterior (Cystectomy + TAH + BSO) sebagai modalitas penatalaksanaan Ca Buli. Tindakan tindakan Pelvic Eksenterasi Anterior yang

(27)

dilakukan akan menimbulkan stres yang disebabkan oleh tindakan bedah tersebut dan juga nyeri yang dialami oleh pasien. Untuk mengkontrol nyeri pada kasus ini, maka dilakukan pemberian analgetik berupa fentanyl sebelum dilakukan insisi (25 mcg).

Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah geriatri, dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Bila tidak dilakukan kontrol terhadap nyeri, dimana nyeri itu sendiri dapat merangsang saraf simpatis yang akan berdampak pada peningkatan denyut jantung, maka hal tersebut akan memperberat kinerja jantung pada pasien geriatri. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada geriatri dengan salah satu penyakit komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik. Sebagai analgetik post operasi, diberikan kombinasi Bupivacaine 0,062% + Morphin 0,5 mg volume 10 mL tiap 10-12 jam serta Paracetamol 500 mg tiap 6 jam (PO) pada pasien ini. Perawatan pasca operasi dilakukan di ruangan intensif.

(28)

BAB V KESIMPULAN

Menurut WHO, geriatri atau orang lanjut usia dikategorikan dalam rentang usia 65 tahun sampai 80 tahun. Pasien lanjut usia umumnya memiliki beberapa perubahan anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan proses penuaan yang mereka alami, antara lain pada sistem kardiovaskular, pernapasan, metabolisme, endokrin, pencernaan, sistem saraf, dan muskuloskeletal. Perubahan pada individu lanjut usia berisiko memiliki beberapa kondisi medis kronis dimana dalam salah satu penanganannya membutuhkan tindakan operasi, namun tindakan tersebut dapat memiliki konsekuensi mengalami penyakit akut pasca operasi. Penuaan juga dapat menyebabkan perubahan pada farmakokinetik (dosis obat dengan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik (konsentrasi plasma dengan efek klinis) obat sehingga diperlukan pemilihan obat anestesi yang tepat. Oleh karena itu, meminimalkan risiko perioperatif pada pasien geriatri sangat diperlukan melalui penilaian operatif terhadap fungsi organ dan memperhatikan manajemen intraoperatif terhadap penyakit penyerta pada pasien, serta kontrol nyeri post operasi. Pemilihan teknik anestesi pada geriatri akan cenderung dipilih anestesi regional, kecuali jika tindakan pembedahan yang akan dikerjakan tidak memungkinkan untuk anestesi regional.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Alvis, B.D., Hughes, C.G., 2015, 'Physiology Considerations in Geriatric Patients', HSS Public Acces, 33(3): pp 447–456

Butterworth, J.F. dkk., 2013, Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology, edisi 5, New York: McGraw-Hill.

Doshi, A., Cabeza, R., Berger, M., 2018. Geriatric Anesthesia: Age-Dependent Changes in the Central and Peripheral Nervous Systems, edisi 3, Chan : Switzerlan

Hernández, S.G. dkk., 2019, 'Conservative Management of Gallstone Disease in The Elderly Population: Outcomes and Recurrence', SJS Scadinavian Journal, 3(1): pp 1-4

Kakkar, B., 2017, 'Geriatric Anesthesia', Anesth Commun , 1(1) : pp 1–7.

Kanonidou, Z., Karystianou, G., 2007. Anesthesia for the elderly. HIPPOKRATIA 11(4): pp 175–177.

Kumra, V., 2008. Issues in geriatric anesthesia. SAARC J. Anesthesia. 1(1) ; pp 39- 49

Mohanty S. Dkk., 2016, ‘Optimal Perioperative Management of The Geriatric Patient: A Best Practices Guideline from the American College of Surgeons NSQIP anf the American Geriatrics Society’. Journal of American Collage of Surgeon, 222(5) pp 930-947

Owczuk, R., 2013, 'Guidelines for general anaesthesia in the elderly of the Committee on Quality and Safety in Anaesthesia , Polish Society of Anaesthesiology and Intensive Therapy., 45(2), pp.57–61.

(30)

Putra I.M.A., 2014, ‘Tatalaksana Gagal Jantung Perioperatif. Jurnal Komplikasi Anestesi’ , 1(1) : pp 64-69

Samuel S. dkk, 2010, ‘ Karsinoma Kandung Kemih’, Jurnal Biomedik , 2(1): pp 60-65

Satya I.M.H., dkk. 2015, 'Efektivitas Blok Kepala Leher pada Operasi Hemimandibulektom Wide Eksisi Parotidektomi pada Pasien Geriatri untuk Mengurangi Penggunaan Opiat Sistemik', KPPIA 10-13 Juni 2015. pp. 78

Schlitzkus L. dkk, 2015, ‘Perioperative Management of Elderly Patients.

Departement of Surgery, University of Nebraska Medical Center’. Journal of American Collage of Surgeon. 99(2) : pp 391-415

Wiryana M., 2008, ‘Manajemen Perioperatif Pada Hipertensi’, Jurnal Penyakit Dalam, 9(2) ; pp 145-151

Gambar

Tabel 2.1 Farmakologi Klinis Agen Anestesi pada Geriatri

Referensi

Dokumen terkait

Jaringan berkembang begitu pesat sejalan dengan perkembangan pola hidup manusia yang bertambah waktu demi waktu.

Bila human capital yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan kejuruan berkualitas, visioner, memiliki komitmen yang kuat dan integritas pribadi yang mumpuni; sarana

Survei terhadap 84 mahasiswa eksakta dan non-eksakta pada Universitas 17 Agustus 1945 menunjukkan bahwa intensi kewirausahaan di kalangan mahasiswa dan faktor yang

Pada grafik kedua pada hubungan antara Pressure Drop vs Laju Alir dapat dilihat bahwa pada saat sebelum mencapai kecepatan umf, maka nilai dari pressure drop akan semakin

Hasil penelitian terkait menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan kemampuan psikomotorik setelah diberikan pembelajaran serta melalui metode bedside teaching dapat

Jenis alat stabilisasi yang biasa digunakan oleh dokter gigi dalam penanganan fraktur dentoalveolar ada banyak macamnya, berikut adalah jenis alat stabilisasi berdasarkan

Angket respon peserta didik terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) berbasis pendidikan karakter berdasarkan teori

1) Memberikan perawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan sentuhan kasih sayang. 2) Melaksanakan tindakan perawatan yang telah disususun. 3)