• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self Compassion pada Remaja Awal Panti Asuhan "X" di Kota Pekanbaru.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self Compassion pada Remaja Awal Panti Asuhan "X" di Kota Pekanbaru."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui derajat self-compassion beserta ketiga komponen utamanya pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif.

Penelitian ini juga menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari 26 item. Kuesioner ini merupakan hasil terjemahan dari kuesioner yang dirancang oleh Dr. Kristen D. Neff (2003) mengenai self-compassion. Kuesioner tersebut dialih-bahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Missiliana R., M.Si., Psikolog. Validitas kuesioner ini 0,323-0,606 dan reliabilitasnya sebesar 0,818.

Dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa kebanyakan remaja awal panti asuhan

“X” di kota Pekanbaru memiliki self-compassion yang rendah. Derajat self-compassion yang rendah kebanyakan berada pada komponen self-kindness pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru. Pada penelitian ini, faktor yang dapat diduga ada kaitannya dengan derajat compassion adalah maternal. Sisanya tidak ditemukan adanya kaitan dengan derajat self-compassion dalam penelitian ini.

(2)

ABSTRACT

The purpose of this research is to know the degree of self-compassion and it is main components of early teenager of orphanage "X" in the city of Pekanbaru and the possible connection with some influenting factors. This research employs descriptive survey method.

This study uses a questionnaire which consist of 26 items. The questionnaire is the translation of the questionnaire designed by Dr. Christian D. Neff (2003) about self-compassion. The questionnaire was translated into Bahasa Indonesia by Missiliana R., M.Sc., Psychologist. The validity of questionnaire is arranged between 0,323 and 0,606; and the reliability is 0,818.

The results show that most teenager living in orphanage "X" in the city of Pekanbaru have low self-compassion. The low degree of self-compassion are mostly on the self-kindness component. Another results are maternal factors has possible relationwith the degree of self-compassion.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vii

Daftar Bagan ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian... ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pikir ... 10

1.6 Asumsi Penelitian ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-compassion ... 19

2.1.1 Pengertian Self-compassion ... 19

2.1.2 Komponen Self-compassion ... 22

2.1.2.1 Self-Kindness ... 22

(4)

2.1.3 Manfaat Self-Compassion ... 26

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Compassion... 27

2.1.3.1 Faktor Internal ... 27

2.1.3.2 Faktor Eksternal ... 34

2.2 Masa Remaja ... 37

2.2.1 Pengertian Remaja ... 37

2.2.2 Batasan Usia Remaja ... 39

2.2.3 Ciri-ciri Masa Remaja Awal ... 39

2.2.4 Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja Awal ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 43

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 43

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 43

3.3.1 Variabel Penelitian ... 43

3.3.2 Definisi Konseptual ... 43

3.3.3 Definisi Operasional ... 44

3.4 Alat Ukur ... 45

3.4.1 Kuesioner Self-compassion ... 45

3.4.1.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 45

3.4.1.2 Sistem Penilaian ... 47

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 48

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 48

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 48

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 49

(5)

3.5.1 Sasaran Populasi ... 49

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 49

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 50

3.6 Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 51

4.2 Hasil Pengukuran Komponen Self Compassion ... 52

4.3 Pembahasan ... 56

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 67

5.2 Saran ... 67

5.2.1 Saran Teoritis ... 67

5.2.2 Saran Praktis ... 68

Daftar Pustaka ... 70

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 ... 45

Tabel 3.2 ... 46

Tabel 4.1 ... 50

Tabel 4.2 ... 51

Tabel 4.3 ... 52

(7)

DAFTAR BAGAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seorang remaja sangat membutuhkan orang tua untuk dapat mengembangkan dirinya dan memenuhi kebutuhannya. Terpenuhinya segala kebutuhan dan adanya penerimaan dalam keluarga membuat remaja akan merasakan bahwa dirinya diinginkan, dicintai, diterima, dihargai, serta merasa mendapatkan dukungan hingga akhirnya akan membantu dirinya untuk dapat menghargai diri sendiri. Perasaan aman dan kasih sayang yang diterima dari keluarga akan membawa remaja menuju pada pendewasaan yaitu terbentuknya rasa percaya diri, harga diri dan kemampuan berinteraksi dengan sesama. Gunarsa, 1993 (dalam Skripsi Rosalia Dyah Puspita, 2008) mengatakan bahwa perasaan aman dan terlindungi memungkinkan adanya suatu perkembangan yang wajar bagi anak agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab dan matang pribadinya.

(9)

masa anak-anak menuju ke tahapan remaja, mereka mulai meninggalkan tahapan yang ada di masa anak-anak yang tidak tergantung pada orang tua lagi. Oleh karena itu, masa remaja awal ini dapat dikatakan kunci utama untuk individu mengalami perubahan dari yang kanak-kanak menjadi remaja. Peralihan untuk mencari jati diri yang disertai dengan perkembangan fisik, kognitif, gejolak emosi serta perkembangan psikososial membuat peran orang tua menjadi sangatlah penting. Perubahan-perubahan yang dialami anak menuju ke masa remaja awal akan lebih mudah dihadapi dan dilewati oleh individu ketika sosok orang tua hadir juga dalam memberikan perhatian, kasih sayang dan rasa aman, terlebih ketika anak berada dalam permasalahan yang timbul di masa remaja awal. Inilah yang membuat peran orang tua menjadi sangat penting dalam tahap perkembangan remaja awal (Hurlock, 1993).

(10)

anak. Menurut Paul Gunadi (2006), parenting merupakan pekerjaan atau aktivitas yang berkaitan dengan membesarkan, memelihara, dan mengarahkan anak.

Kenyataannya, tidak semua orang menyukai atau dapat melakukan tugas

parenting (Lerner dalam Berns, 2004). Salah satu ahli dari sejumlah ahli yang meneliti

mengenai parenting styles yakni Baumrind dalam Santrock (2004) menemukan bahwa pola asuh yang ditampilkan orang tua memiliki korelasi dengan perilaku anak. Menurut Santrock (2004), anak yang dibesarkan dengan neglectful parenting (tidak terikat dan tidak terlibat) akan mengalami ikatan yang kurang dengan orangtua, baik secara kognitif, emosi, keterampilan sosial dan perilaku kurang berkembang. Anak juga cenderung mengalami self-control dan self-esteem yang rendah. Pada masa remaja awal, anak kemungkinan menunjukkan perilaku kenakalan remaja, seperti contohnya ketika anak mengalami masa dimana tidak lagi hidup bersama keluarga kandungnya melainkan harus hidup bersama anak lainnya dengan beragam usia dan latar belakang di tempat pengasuhan atau yang kita kenal dengan sebutan panti asuhan.

(11)

Menurut Poerwadarminta (KBBI, 1976) panti asuhan adalah suatu tempat untuk memelihara dan merawat anak yatim, piatu dan yatim-piatu (dalam Skripsi Rosalia Dyah Puspita, 2008), dimana orang-orang yang tinggal di panti asuhan adalah anak-anak dari beragam usia dan latar belakang. Hurlock, 2001 (dalam Skripsi Rosalia Dyah Puspita, 2008) mengatakan bahwa orang yang merawat dan mengasuh anak panti adalah mereka yang bertindak selaku orang tua menggantikan orang tua yang sesungguhnya. Pengasuh di panti asuhan berperan mengurus, merawat, memberikan perhatian dan dukungan, serta kasih sayang. Orang tua asuh juga berperan memberikan cinta dan bimbingan ketika anak sedang dalam proses membina hubungan dengan orang lain Peran pengasuh tersebut merupakan faktor penting bagi perkembangan anak dimana kesempatan membina hubungan dengan banyak orang akan terlaksana dan berkembang.

Orang tua asuh menggantikan peran orang tua kandung dalam mengasuh, menjaga, memberikan bimbingan kepada anak agar anak menjadi manusia dewasa yang berguna dan bertanggung jawab atas dirinya serta masyarakat dikemudian hari (Santoso, 2005). Bagi anak-anak yang tinggal dan tumbuh di panti asuhan, mereka harus menaati aturan yang telah ditetapkan oleh pihak panti asuhan, seperti contohnya

pada panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, mereka harus bangun pagi pada pukul 05.00

WIB. Jika ada yang tidak bangun pada jam tersebut maka mereka akan mendapatkan hukuman berupa pemotongan uang jajan atau berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Setelah pulang sekolah mereka juga diharuskan langsung pulang ke panti asuhan tidak boleh terlambat. Jika terlambat pulang sekolah maka mereka akan mendapatkan hukuman yaitu selama seminggu tidak mendapatkan uang jajan (hasil wawancara

(12)

Anak-anak panti asuhan, khususnya remaja yang berada di masa remaja awal, sama halnya dengan anak-anak lainnya, mereka juga akan merasakan masa yang dikenal sebagai masa peralihan dimana pada masa ini mereka akan mengalami gejolak emosi yang kurang stabil dibandingkan individu yang berada pada masa selain ini. Masa ini bahkan bukan hanya masa peralihan yang penuh gejolak dan bermasalah saja, akan tetapi, masa dimana mereka tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang serta didikan orang tua asuh yang bukan merupakan orang tua kandung yang seharusnya bisa mereka dapatkan dari orang tua kandung. Mereka juga harus menghadapi didikan yang ketat, penuh aturan, dan disiplin yang diterapkan oleh panti asuhannya. Belum lagi hubungan yang kurang harmonis antara pengasuh dan anak asuh ditemukan di beberapa panti asuhan, kekerasan terhadap anak juga sering ditemukan di beberapa panti asuhan, serta pengucilan terhadap mereka yang dilakukan lingkungan karena mereka tidak memiliki keluarga kandung atau dianggap tidak jelas asal-usul keluarganya (www.google.com/m.merdeka.com).

(13)

individu dengan orang sekitarnya, terlebih dengan orang terdekat, yang dalam hal ini ialah orangtuanya, akan memberi dampak bagi kehidupan individu tersebut.

Survei awal yang dilakukan peneliti terhadap 28 remaja panti asuhan “X”, di kota Pekanbaru juga mendapatkan hasil, yakni ; sekitar 67,85% remaja mengatakan bahwa mereka merasa peran orang tua pengganti yaitu orang tua asuh sudah sesuai dengan yang mereka harapkan. Mereka mengatakan bahwa orang tua asuh yang ada di panti asuhan “X” di kota Pekanbaru sudah berperan seperti orang tua kandung mereka meskipun bukan merupakan orang tua kandung yang sebenarnya. Orang tua asuh dapat membantu mereka untuk menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami masalah. Sedangkan sekitar 32,14% remaja mengatakan bahwa mereka merasa peran orang tua asuh belum sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Beberapa remaja mengatakan bahwa orang tua asuh terkadang keras dalam mendidik mereka, contohnya mereka diwajibkan bangun pukul 05.00 WIB dan wajib mengikuti ibadah pagi, jika tidak mereka akan mendapatkan sanksi bila melanggar aturan ini. Sekitar 35,71% remaja awal mengatakan bahwa hubungan antara mereka dan orang tua asuh masih belum terjalin dekat selayaknya hubungan anak dan orang tua kandung. Mereka mengatakan bahwa mereka lebih merasa sungkan ataupun canggung dibandingkan merasa dekat jika bersama orang tua asuh. Sedangkan sekitar 64,28% awal mengatakan bahwa hubungan yang terjalin antara mereka dan orang tua asuh sudah dekat layaknya anak dengan orang tua kandung. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa nyaman untuk bercanda ataupun bercerita mengenai masalah yang mereka alami di sekolah maupun di lingkungan sosial kepada orang tua asuh.

Penelitian Kristen Neff (2011) menunjukkan bahwa remaja adalah individu yang berada dalam masa “dongeng pribadi”, yang cenderung kurang memiliki

(14)

merupakan hal umum yang terjadi di dalam kehidupan manusia (common humanity). Hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan peneliti pada 28 remaja (dalam hal ini mereka yang dikatakan remaja awal) panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, ada sekitar 85,71% remaja awal cenderung menyalahkan dirinya sendiri ketika mereka mengalami masalah. Mereka menganggap bahwa setiap masalah yang mereka alami adalah akibat dari apa yang mereka lakukan (self-judgement). Sedangkan sekitar 14,28% remaja awal mengatakan bahwa setiap masalah yang datang tidak selalu akibat dari apa yang mereka lakukan. Masalah yang datang bisa saja dari lingkungan sekitar mereka, seperti : teman, sahabat, sekolah, dll.

Selain itu, sekitar 60,71% remaja awal mengatakan bahwa mereka cenderung menceritakan dan meminta solusi dari teman, sahabat ataupun orang tua asuh ketika mereka mengalami masalah. Akan tetapi sekitar 39,28% remaja awal mengatakan bahwa mereka cenderung menyimpan sendiri masalah yang mereka alami dan enggan menceritakan masalah tersebut kepada siapapun (self-isolation). Ada sekitar 10,71% remaja awal mengatakan bahwa jika mereka mengalami masalah, mereka cenderung kecewa pada diri dan menganggap bahwa masalah itu tidak seharusnya terjadi pada diri mereka (over-identification). Akan tetapi, sekitar 89,28% remaja awal mengatakan bahwa mereka tidak harus kecewa pada diri sendiri ketika masalah datang. Karena masalah yang datang tidak selalu akibat dari apa yang mereka lakukan.

Dari hasil survei awal dan dihubungkan dengan self-kindness yang termasuk dalam salah satu komponen utama dari self-compassion, dapat dilihat bahwa dari 28 remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, sekitar 85.71% remaja awal cenderung menyalahkan diri mereka sendiri terhadap masalah yang timbul

(self-judgement) contohnya ketika ada di antara mereka tidak naik kelas, mereka cenderung

(15)

cenderung menganggap bahwa masalah yang datang pada mereka adalah akibat dari apa yang mereka lakukan. Survei juga menunjukkan bahwa 39.28% remaja awal cenderung enggan untuk terbuka pada siapapun ketika mereka mengalami masalah yang menyangkut dirinya meskipun pada teman dekat, sahabat maupun pengasuhnya

(self-isolation) karena menurut mereka masalah yang mereka alami merupakan

masalah pribadi sehingga bukan sesuatu yang perlu untuk diceritakan ataupun dibagikan kepada siapapun. Sekitar 10,71% remaja awal cenderung kecewa pada diri sendiri ketika ada masalah yang muncul (over-identification). Akan tetapi kecenderungan yang muncul, yang bertentangan dengan komponen dalam

self-compassion ini hanya ditunjukkan oleh 25 remaja awal yang ada panti asuhan “X” di kota Pekanbaru. Sedangkan 3 remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru menunjukkan kecenderungan dalam ketiga komponen yang ada dalam

self-compassion.

Respon-respon yang ditunjukkan 28 remaja awal yang tinggal di panti asuhan

“X” di kota Pekanbaru saat ia mengalami masa sulit dapat menggambarkan

self-compassion mereka (Neff, 2003). Berlandaskan pemahaman tersebut, maka Kristen

Neff mendefinisikan self-compassion sebagai kemampuan memahami dan menerima diri apa adanya, toleran terhadap diri sendiri, serta memperlakukan diri sendiri dan orang lain dengan baik bukan terus menerus menyalahkan diri sendiri; kemampuan melihat bahwa pengalaman yang ia alami juga pernah dialami oleh orang lain bukan malah menarik diri dan enggan terbuka kepada orang lain; serta mampu menyadari bahwa keadaan yang tidak sesuai dengan harapan dan masalah yang datang kepadanya harus ia terima bukan malah menyangkal keadaan tersebut, kecewa dan membesar-besarkan masalah. Self-compassion terdiri oleh 3 komponen utama, yaitu self-kindness

(16)

mindfulness versus over-identification with painful thoughts and emotions (Neff,

2003). Ketiga komponen ini berkombinasi dan berinteraksi bersama membentuk

self-compassion.

Berdasarkan hasil survei awal mengenai self-compassion pada 28 remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, serta melihat latar belakang yang membuat remaja awal harus tinggal di panti asuhan tersebut (seperti: ditinggalkan orang tua karena orangtua bercerai, kurangnya ekonomi keluarga untuk membiayai pendidikan dan kehidupan anak, anak dengan orang tua tunggal karena salah satu dari orangtuanya telah meninggal dunia, serta anak yang tinggal bersama orangtuanya di panti asuhan), peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Derajat self-compassion pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru” dengan harapan remaja awal panti

asuhan “X” di kota Pekanbaru ini dapat merasa lebih bahagia dan merasa bahwa diri

mereka berharga.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

(17)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui derajat self-compassion melalui ketiga komponen utama pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Memberikan informasi dalam bidang Psikologi mengenai derajat self-compassion pada

remaja awal yang tinggal di panti asuhan “X” kota Pekanbaru.

 Memberikan masukkan kepada peneliti lain yang berminat melakukan penelitian

lanjutan mengenai self-compassion. 1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada pengasuh panti asuhan “X” di kota Pekanbaru

mengenai pentingnya self-compassion, sehingga diharapkan pengasuh dapat membantu remaja awal untuk lebih toleran terhadap dirinya (self-kindness), menyadari bahwa ia sama dengan manusia lainnya yaitu tidak sempurna (common humanity) dan memandang masalah yang dialaminya dengan apa adanya tanpa menyangkal dan membesarkannya (mindfulness).

Memberikan informasi kepada anak asuh mengenai pentingnya memiliki

self-compassion, sehingga diharapkan remaja-remaja ini dapat lebih merasa bahagia dan

merasa bahwa diri mereka berharga.

1.5 Kerangka Pemikiran

(18)

mengalami suatu perkembangan (Hurlock, 1993). Perkembangan dan perubahan di masa remaja terjadi hampir dalam semua aspek perkembangan, meliputi : pekembangan fisik remaja, perkembangan kognitif remaja, serta perkembangan psikososial pada remaja (Santrock, 2004). Remaja menurut Santrock (2003) dibagi ke dalam tiga periode, yaitu : remaja awal (usia 11-14 tahun), remaja madya (usia 14-17 tahun), dan remaja akhir (usia 17-20 tahun). Menurut Hurlock masa remaja awal berbeda dengan dua masa remaja lainnya, karena individu yang berada di masa remaja akhir telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa awal. Sedangkan ketika individu dari masa kanak-kanak beralih ke masa remaja awal, ia mengalami begitu banyak perubahan baik dari fisik maupun emosional. Hal di atas ini berlaku juga bagi remaja panti asuhan “X” yang sedang berada pada masa remaja awal.

Remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dianggap masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisiknya. Remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru ini juga cenderung labil dan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Mereka sebagai bagian dari generasi penerus yang menjadi tonggak sebagai individu yang bermakna di kemudian hari diharapkan memiliki pemahaman tentang diri yang benar pula, hal tersebut sangat diperlukan bagi setiap individu dalam menjalani kehidupannya. Gambaran yang jelas tentang diri remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dan kemampuan mereka untuk menjalankan apa yang sudah mereka capai merupakan harapan ketika remaja ini memasuki masa perkembangannya.

(19)

menjalani hidupnya dengan nyaman dan juga memiliki pandangan bahwa dirinya bernilai dan berharga karena sudah memiliki pandangan diri yang jelas. Memiliki pandangan bahwa dirinya berharga dan semua orang memiliki masalahnya masing-masing, sama seperti dirinya, akan membuat remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru tersebut dapat melakukan apa yang mereka ingin lakukan.

Menurut buku Self-Compassion (Neff, 2011), ketika masa remaja muncul, ada satu kemajuan dari segi kognitif remaja, yaitu meningkatnya kemampuan perspektif, yang artinya remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru juga dapat lebih baik dalam melihat diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain. Kemampuan ini berarti bahwa remaja panti asuhan X di kota Pekanbaru seringkali melakukan self-evaluation dan social comprehension tanpa mereka sadari. Untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik, introspeksi diri semasa remaja sering kali mengantarkan pada apa yang disebut

“dongeng pribadi”, pemikiran kognitif yang keliru membawa remaja panti asuhan “X”

di kota Pekanbaru untuk mempercayai bahwa pengalaman mereka unik dan orang lain tidak dapat mengerti apa yang mereka rasakan (self-isolation).

Ketika remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru mengalami masalah dan pengalaman baru, mereka cenderung menyimpan hal tersebut untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak lagi menjadi individu yang terbuka dan polos layaknya ketika mereka berasa di masa anak-anak. Mereka cenderung menganggap bahwa tidak ada seorang pun yang memahami apa yang mereka rasakan dan alami. Hal ini membuat remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru cenderung kurang memiliki

self-compassion, dikarenakan mereka tidak menyadari bahwa masalah, baik itu kesulitan

(20)

mengetahui apa itu self-compassion dan mengapa self-compassion begitu bermanfaat dimasa remaja awal.

Memiliki compassion for other berarti bahwa individu yang dalam hal ini adalah remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dapat memiliki kemampuan untuk mengerti dan berbaik hati kepada orang lain ketika mereka melihat orang tersebut gagal maupun membuat kesalahan, dibandingkan menilai orang tersebut secara keras, dengan kata lain mengkritik. Remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru yang memiliki compassion for other, diharapkan dapat memiliki self-compassion yaitu

compassion yang diarahkan ke diri sendiri. Remaja panti asuhan “X” di kota Pekanbaru tidak hanya memiliki compassion kepada orang lain yang mengalami penderitaan, kegagalan ataupun ketidaksempurnaan, akan tetapi remaja tersebut juga diharapkan memiliki compassion pada dirinya sendiri (self-compassion).

Remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru perlu mengetahui bahwa

self-compassion merupakan cara untuk memberikan mereka pengalaman mengenai

dinamika kehidupan sehari-hari, dimana mereka dapat dengan siap mengatasi permasalahan dengan menganggap dirinya spesial dan diatas rata-rata remaja pada umumnya. Memiliki self-compassion merupakan sebuah cara untuk remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru bisa merasa baik pada diri mereka sendiri bukan hanya kepada orang lain. Self-compassion membantu remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru untuk memahami mengapa self-compassion menjadi cara yang lebih baik bagi remaja untuk menjalani masa peralihan, yaitu dari masa mereka kanak-kanak menuju ke masa remaja awal.

Self-compassion tidak hanya bercerita mengenai bagaimana remaja panti asuhan

“X” di kota Pekanbaru mampu memahami dan menerima diri apa adanya, toleran

(21)

(self-kindness) bukan terus menerus menyalahkan diri sendiri; bagaimana remaja awal

panti asuhan “X” di kita Pekanbaru mampu melihat bahwa pengalaman yang ia alami

juga pernah dialami oleh orang lain (common humanity) bukan malah menarik diri dan enggan terbuka kepada orang lain; serta bagaimana remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru mampu menyadari bahwa keadaan yang tidak sesuai dengan harapan dan masalah yang datang kepadanya harus ia terima (mindfulness) bukan menyangkal keadaan tersebut, kecewa dan membesar-besarkan masalah.

Remaja awal yang dibesarkan di panti asuhan “X” di kota Pekanbaru memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan pendidikannya, melatih kemandiriannya serta membangun pandangan mengenai diri sendiri sehingga pada akhirnya mereka dapat mengetahui dan memahami bahwa dirinya berharga, self-kindness. Ketika remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru ini dapat mengembangkan self-kindness, mereka akan cenderung dapat menyeimbangkan perhatian bagi orang lain dan perhatian untuk dirinya sendiri (Neff, 2011). Selain itu, terdapat faktor-faktor eksternal yang dapat memengaruhi self-compassion remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, yaitu

the role of culture dan the role of parents.

(22)

sendiri, mereka akan lebih mudah menyalahkan diri bila keadaan tidak sesuai dengan harapan dan self-compassion-nya semakin rendah. Peran orangtua juga dapat memengaruhi derajat self-compassion individu. Peran orang tua ini dapat dilihat dari tiga hal, yaitu maternal criticism, modelling parents, dan attachment style. Remaja yang berasal dari keluarga yang disfungsional cenderung mengembangkan derajat

self-compassion yang rendah dan menampilkan kegelisahan dibandingkan dengan remaja

yang memiliki keluarga secara utuh, harmonis serta dekat (Neff, 2011).

Self-compassion dikaitkan dengan empat attachment style menurut Bartholomew

dan Horowitz (Emmanuela Ariana, 2013). Remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru yang mengembangkan secure attachment, yang dicirikan oleh remaja awal yang memiliki rasa percaya dan nyaman akan keintiman/ kedekatan dengan seseorang, akan cenderung memiliki self-compassion yang lebih tinggi. Mereka yang memiliki

preoccupied attachment, dicirikan oleh remaja awal yang memiliki kecemburuan dan

ketergantungan dimana akan cenderung memiliki self-compassion yang lebih rendah. Mereka yang mengembangkan fearful attachment, dicirikan oleh remaja awal yang memiliki rasa tidak percaya kepada oranglain dan perasaan ketidakmampuan diri dimana akan cenderung kurang mampu memberikan compassion pada dirinya.

Dismissing attachment style tidak didapati berhubungan dengan self-compassion

(Emmanuela Ariana, 2013).

(23)

semakin rendah self-compassion remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, begitu pula sebaliknya. Sementara itu, semakin tinggi agreeableness, extraversion dan

conscientlousness, maka semakin tinggi self-compassion. Akan tetapi, tidak ada kaitan

(24)

Faktor internal :

- Jenis kelamin - Usia

- Lama tinggal di panti asuhan “X” kota Pekanbaru

- A sense of common humanity vs feelings of isolation

(25)

1.6 Asumsi Penelitian

 Remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru memiliki derajat self-compassion

yang berbeda-beda.

Self-compassion remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dikatakan tinggi

apabila ketiga komponen dari self-compassion, yaitu ; self-kindness, common

humanity, dan mindfulness tinggi, begitu pula sebaliknya.

Self-compassion remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru dipengaruhi oleh

faktor internal (jenis kelamin, usia, lama tingga di panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, suku bangsa, attachment, personality) dan eksternal (the role of culture dan the role of

parent).

Jika faktor-faktor yang diduga memengaruhi derajat self-compassion maka dapat

(26)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Kebanyakan remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru memiliki self-compassion yang rendah.

2. Komponen yang rendah dari compassion kebanyakan berada pada

self-kindness pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru ini.

3. Self-kindness yang rendah menunjukkan bahwa kebanyakan remaja awal panti

asuhan “X” di kota Pekanbaru belum mampu memahami dan menerima diri apa

adanya serta memberikan kelembutan terhadap diri sendiri. Mereka cenderung menghakimi diri sendiri atas kegagalan dan kelemahan yang mereka miliki

(self-judgement).

4. Pada penelitian ini, faktor yang dapat di dilihat kaitannya dengan derajat

self-compassion adalah maternal. Sisanya tidak ditemukan adanya kaitan dengan

derajat self-compassion dalam penelitian ini.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian, maka disarankan beberapa saran untuk pengembangan penelitian dan saran yang implikatif.

5.2.1 Saran Teoritis

(27)

2. Berdasarkan kesimpulan ditemukan bahwa ada kaitannya antara faktor maternal dengan derajat self-compassion sehingga untuk penelitian berikutnya disarankan agar melakukan penelitian korelasional antara self-compassion dengan faktor

maternal.

3. Peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan, disarankan untuk faktor-faktor yang diduga dapat memengaruhi (seperti : usia, lama tinggal, suku bangsa), dipisahkan berdasarkan kelompok usia, lama tinggal, serta suku bangsanya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pengasuh panti asuhan “X” di kota Pekanbaru, hasil penelitan ini dapat dijadikan informasi mengenai gambaran derajat self-compassion pada 30 remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru sehingga diharapkan pihak panti asuhan dapat membantu anak asuhnya agar lebih toleran terhadap dirinya

(self-kindness), menyadari bahwa dirinya sama dengan manusia lainnya yaitu tidak

sempurna (common humanity) dan memandang masalah yang dihadapinya secara proporsional (mindfulness).

2. Bagi pengasuh panti asuhan “X” di kota Pekanbaru disarankan untuk mengikuti pelatihan ataupun seminar yang berhubungan dengan peningkatan

self-compassion, khususnya self-kindness karena komponen ini yang ditemukan

paling banyak yang rendah. Diharapkan pihak panti asuhan dapat membantu anak-anak panti asuhan dalam meningkatkan derajat self-compassion, baik melalui konseling ataupun support secara tindakan maupun kata-kata.

(28)
(29)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT SELF

COMPASSION PADA

REMAJA AWAL PANTI ASUHAN “X”

DI KOTA PEKANBARU

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh :

ANGELINA PRISKILA NRP : 0733023

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

(30)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ANGELINA PRISKILA NRP : 0733023

Fakultas : Psikologi

menyatakan bahwa laporan penelitian ini adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan duplikasi dari orang lain.

Apabila pada masa mendatang diketahui bahwa pernyataan ini tidak benar adanya, maka saya bersedia menerima sanksi yang diberikan sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2010.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Bandung, September 2016

(31)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ANGELINA PRISKILA NRP : 0733023

Fakultas : Psikologi menyatakan bahwa :

1. Saya setuju memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive

Royalty Free Right) kepada Universitas Kristen Maranatha Bandung sehubungan

dengan pengembangan ilmu pengetahuan atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Studi deskriptif mengenai derajat self-compassion pada remaja awal panti asuhan “X” di kota Pekanbaru”.

2. Universitas Kristen Maranatha Bandung berhak menyimpan, mengalih-mediakan/ mengalih-formatkan, serta mengelola penelitian ini dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikan, menampilkan ataupun mempublikasikannya dalam bentuk softcopy demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta.

3. Saya bersedia menanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Universitas Kristen Maranatha Bandung terhadap segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bandung, September 2016

(32)

Puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus atas anugerah dan berkat-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan penyusunan penelitian yang diajukan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah Skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Biarlah segala puji, hormat, dan kemuliaan hanya bagi nama-Nya selama-lamanya.

Pada kesempatan ini penelti melakukan penelitian tentang Studi Deskriptif mengenai Derajat Self-Compassion pada Remaja Panti Asuhan “X” di Kota Pekanbaru. Dalam penulisan tugas mata kuliah Skripsi, peneliti mengalami banyak hal yang menyenangkan maupun tidak, yang berhasil peneliti lewati dimana tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha beserta jajarannya telah membantu peneliti serta mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi agar dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya.

2. Drs. R. Sanusi Soesanto, M.Psi., Psikolog selaku Dosen Wali yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada peneliti agar tetap semangat dalam menyelesaikan Usulan Penelitian ini.

3. Dra. Sianiwati S. Hidayat, M.Si., Psikolog sebagai koordinator mata kuliah Usulan Penelitian dan Skripsi.

(33)

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan masukan serta dukungan kepada peneliti agar tetap semangat dalam menyelesaikan Skripsinya.

6. Ayah dan Ibu tercinta yang tak hentinya berdoa agar peneliti diberikan kemudahan dan jalan keluar untuk menyelesaikan Skrpsi. Ayah dan Ibu yang dengan sabar mendengarkan keluh-kesah serta memberikan dukungan kepada peneliti dalam menyelesaikan Skripsi ini.

7. Kedua kakak laki-laki, adik laki-laki, serta Kakak Ipar peneliti (Joseph Junior Sitorus, Jordan Perkasa Sitorus, Yeremei Sunday Sitorus, serta Adelia), yang selalu memberikan peneliti dukungan agar tetap semangat. 8. Kedua keponakan, Prince Joy Pratama Sitorus dan Dominique Christine

Angella yang selalu membuat peneliti tersenyum dan lupa dengan segala kepenatan dalam menyelesaikan Skripsi.

9. Saudara-saudara penekiti ; Carlyk Rachel, Ester Lim, dan Febe Tan yang memberikan peneliti masukan dan dukungan untuk menyelesaikan Skripsi ini.

10. Sahabat-sahabatku ; Ngovia Stefanie, Febi Febrina, Riha Yuwanti, Hari Aisyah, Sandra Syafitri, Kiki Shaleha S, dan Prila Anggita M yang selalu menyemangati, mengingatkan serta memberikan waktu luang untuk mendengarkan keluh-kesah peneliti selama menyelesaikan Skripsi.

11. Teman-teman “The Trasher”; Rusli Cahya S, Yunitha Kristin A.B, dan Putu

(34)

Ch. Evaliana, serta Rusli yang meskipun sulit bertemu akan tetapi selalu memiliki waktu yang berkualitas jika bersama-sama.

13. Teman-teman “Las Vegas”; Lili, Ernassi, Nene, Inggrid, Septa, Wantus, Rege, Timo, Ody dan Intan yang selalu ada dan setia di Pondok Bambu untuk melepas penat dan stress selama menyelesaikan Skripsi.

14. Teman-teman “The Hardest Goodbye”; Kicul, Bela, Putba, Esther, Tama,

dan Abun yang hampir selalu mengingatkan peneliti untuk tetap semangat dalam menyelesaikan Skripsi.

15. Teman-teman seperjuangan yaitu mahasiswa-mahasiswi Psikologi Kelas M 2007 “Psychonitelife” dan Keluarga Besar Teater Topeng UKM atas segala

bantuan, dukungan, tangis, dan tawa bersamanya.

16. Para narasumber yang bersedia untuk diwawancara serta telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman berharga bagi peneliti.

17. Teman seperjuangan yang sedang mengambil Mata Kuliah Skripsi dan seluruh pihak yang telah memberi bantuan dalam penyelesaian tugas ini. Peneliti menyadari masih banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang akan bermanfaat dalam perbaikan penyusunan penelitian ini selanjutnya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang membutuhkan.

Bandung, September 2016

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Guilford, J.P. (1959). Fundamental : Statistics in Psychology and Education. London, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Hidayat, S.S. (2015). Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Hofstede. (1991). Cultures and Organizations “Software of the mind”. London, UK: McGraw- Hill.

Hurlock, E. (1993). Perkembangan Anak. New York: McGraw-Hill.

Neff, K. (2011). Self-compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: Harper Collins Publishers..

Santrock, J.S. (2003). Life-Span Development. University of Texas at Dallas.

Santrock, J.S. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja. University of Texas at Dallas. Santrock, J.S. (2004). Adolescence 11th Edition. University of Texas at Dallas.

Sarwono, S. (2003). Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Restu Agung. Gunarsa, S.D. (1995). Psikologi Anak Bermasalah. BPK. Gn. Mulia.

Gunarsa, S.D. (1991). Psikologi Praktis Anak, Remaja & Keluarga. BPK. Gn. Mulia. Snedecor GW, Cochran WG. (1967). Statistical Methods. 6th Edition. Ames: Lowa State

University.

(36)

DAFTAR RUJUKAN

Brown, Kirk Warren ; Ryan, Richard M. (2003). Journal of Personality and Social

Psychology, Vol 84 (4), 822-848. “The Benefits of Being Present, Mindfulness and Its

Role in Psychological Well-Being”. (Online), (

http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.84.4.822). Data base : PsycARTICLES, APA PSYCNET. Diakses : Agustus 2014.

Dela Januarani. (2013). Studi deskriptif mengenai derajat Self-compassion pada mahasiswa

akademi keperawatan “X” semester 4 dan 6 program diploma III di Bandung. Skripsi Sarjana tidak dipublikasikan. Bandung: UK. Maranatha. Diakses : Agustus 2014.

Emmanuela Ariana. (2013). Studi comparatif mengenai derajat Self-compassion pada wanita

yang bekerja dan tidak bekerja di gereja “X”Bandung. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Bandung: UK. Maranatha. Diakses : Agustus 2014.

Howard, C. (2014). Self-compassion. (Online), ( www.en.m.wikipedia.org/wiki/Self-compassion/). Diakses : September 2014.

Missiliana, R. (2014). Self-compassion dan compassion for others pada Mahasiswa Fakultas

Psikologi UK. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Bandung: UK. Maranatha. (Online),

(repository.maranatha.edu/5597/). Diakses : Oktober 2014.

Neff, K. (2003). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2, 223-250. Psychology Press: Taylor & Francis Group. (Online),

(http://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/empirical.article.pdf). Diakses : Oktober 2013.

Neff, K. (2003). Self-compassion scale (long). (Online), (

http://www.self-compassion.org/selfcompassion-scales-for-researchers.html). Diakses : Oktober 2013.

Neff, K. (2009). Self-compassion : A Healthier Way of Relating to Yourself. (Online), (www.self-compasssion.org/selfcompassion). Diakses : Agustus 2014.

(37)

Rosalia Dyah Puspita. (2008). Harga Diri Remaja Panti Asuhan SOS Desa Taruna

Semarang. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Semarang: Universitas Katholik

Soegijapranata. (Online),

(eprints.unica.ac.id./1837/1/03.40.0043_Rosalia_Dyah_P.Ppdf). Diunduh : Oktober 2013.

Zandra Senjaya. (2009). Studi Deskriptif Mengenai Konsep Diri Pada Anak Yatim Piatu Usia

Gambar

Tabel 4.4 ...............................................................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Skor 3: Jika siswa mampu menyalin kalimat sederhana dengan benar proporsi huruf sesuai dengan tempat, jarak antar kata jelas dengan bantuan verbal. Skor 2: Jika siswa mampu

21 Penulis dalam hal ini melakukan wawancara kepada Ketua Majelis Jemaat kedua negeri yang diyakini sebagai informan kunci 22 dari penelitian yang penulis lakukan dan

Kesimpulan dari pengantar karya tugas akhir yang berjudu Theater of Mind Blue ini adalah kesederhanaan ide awal yang berasal dari impulse dan di jabarkan melalui

Hasil optimal yang didapat pada fermentasi satu fasa adalah ;.. Pembentukan biomassa berasosiasi dengan

Untuk kelompok usia <15 tahun terjadi peningkatan jumlah perokok, peningkatan tertinggi pada kelompok usia 10-14 tahun, Sumatra Barat merupakan provinsi tertinggi di yaitu

Melalui tugas akhir ini, dilakukan analisis perbandingan displacement dan kinerja bangunan struktur beton bertulang lima lantai, dengan menggunakan beban gempa dinamis

Ada beberapa macam metode pengajaran antara lain: metode ceramah, metode demonstrasi, metode diskusi, metode eksperimen, dan lain sebagainya. Penelitian ini bertujuan

• Impor merupakan kegiatan pembelian dan pemasukan barang dari luar negeri ke dalam.. negeri  menimbulkan aliran keluar/bocoran,