BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Terdapat berbagai macam defenisi terhadap kata rekonsiliasi. Para ahli biasanya
memiliki pemahamannya masing-masing terhadap kata ini. Bahkan ada beberapa ahli tidak
mendefinisikan kata ini, agar makna kata rekonsiliasi tidak tereduksi.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi didefenisikan sebagai “perbuatan
memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan
perbedaan”.2
Melihat defenisi tersebut, penulis mencoba membatasi kata rekonsiliasi sebagai usaha
mengatasi perbedaan, dengan memperhatikan unsur meminta maaf dan mengampuni.
Batin yang terluka akibat pelanggaran orang lain, membutuhkan permintaan maaf dan
penyesalan dari orang tersebut agar proses penyembuhannya dapat berlangsung.3 Memaafkan memang bukan persoalan mudah, namun menutup kemungkinan untuk
melakukannya hanya akan memperpanjang beban-beban psikologis serta menghilangkan
setiap kemungkinan perbaikan hubungan. Sebelum permintaan maaf disampaikan oleh
pelanggar, korban dapat dilihat sebagai pihak yang paling membutuhkan jaminan keadilan,
1 Roberth J. Screiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru (Ende: Nusa Indah, 2000);
Lyle E. Schaller, Community Organization: Conflict and Reconciliation (New York: Abingdon Press, 1966); Walter Wink, Damai adalah Satu-satunya Jalan : Kumpulan Tulisan Tentang Nir-Kekerasan dari Fellowship of Reconciliation (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
2 http://kbbi.web.id/rekonsiliasi
namun setelah hal itu disampaikan, maka kedua pihak sama-sama membutuhkannya.
Kebencian dan dendam yang tersimpan terlalu lama akan menjadi benih bagi pelanggaran
atau kejahatan baru. Pihak yang sebelumnya menjadi ‘korban’ sewaktu-waktu dapat
berubah menjadi seorang pelanggar. Sebaliknya, pelanggar yang menjadi sasaran dari
tindak pembalasan itu, selanjutnya akan menjadi seorang korban.4 Rekonsiliasi perlu
dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah
rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam
dinamika sejarah komunitas tersebut.5
Rekonsiliasi dibutuhkan untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Konflik pada hakekatnya adalah suatu pertarungan menang
atau kalah antar kelompok atau perorangan yang berbeda kepentingannya dalam
organisasi. Masing-masing pihak membela nilai-nilai yang mereka anggap benar dan
memaksa lawan mereka untuk mengakui nilai-nilai tersebut. Setiap orang memiliki potensi
untuk terlibat konflik kapan saja dan di mana saja. Hal ini disebabkan keberagaman yang
ada dalam setiap kelompok masyarakat yang sangat mudah bergesekan satu sama lain serta
dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Konflik terjadi karena berbagai alasan.
Misalnya, ada konflik yang disebabkan oleh perbedaan nilai, konflik yang berbasis pada
kepentingan dan konflik yang disebabkan oleh kurangnya sumber daya alam.6 Dengan demikian, konflik juga mencakup sistem sosial di mana manusia berinteraksi seperti
4 Ibid, 17.
5 Akhmad Jenggis,
10 Isu Global di Dunia Islam : Palestina, Globalisasi, Konflik dan Perdamaian, Pangan, Terorisma, Kemiskinan, Energi, Demokrasi, Lingkungan Hidup, dan HAM (Yogyakarta: 2012), 95
6 Theofransus Litaay, Mengelola Konflik dalam Konteks Human Security dan Pengetahuan Lokal, dalam Buku
keluarga, persahabatan, negara, bangsa, organisasi dan perusahaan. 7 Hal yang digambarkan di atas, sama dengan realitas dua negeri (desa): Porto dan Haria di Provinsi
Maluku.
Porto dan Haria merupakan nama dari dua negeri yang berada di Kecamatan Saparua,
Kabupaten Maluku Tengah. Kedua negeri ini saling berdekatan dan tidak memiliki batas
wilayah. Negeri Porto sendiri memiliki luas wilayah 30 km2. Penduduk Negeri Porto menganut agama Kristen, dengan presentase 97 % (Jumlah Kepala Keluarga: 547 dan
jumlah jiwa: 2292) merupakan anggota dari Gereja Protestan Maluku (GPM) dan 3%-nya
(69 jiwa)8 merupakan anggota dari Gereja Karismatik. Haria memiliki luas wilayah 10 km2 dengan jumlah penduduk 1218 jiwa. Penduduk Haria 100% merupakan anggota GPM,
dengan perincian jumlah Kepala Keluarga (KK): 1343 dan jumlah jiwa 6554.9 Kedua negeri ini seringkali mengalami konflik yang menyebabkan jatuhnya banyak korban harta
benda dan korban jiwa. Banyaknya upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan konflik ini, belum juga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.
Konflik sosial ini bermula pada awal tahun 1924, akibat beberapa pemuda
berkelahi karena dipengaruhi oleh minuman keras. Konflik ini berskala kecil dan tidak
sampai menimbulkan korban jiwa. Konflik kedua terjadi tepatnya di Hari Minggu pagi
tahun 1957. Permasalahan ini terjadi kembali akibat dipengaruhi oleh minuman keras dan
mengakibatkan terbakarnya delapan rumah masing-masing desa dan juga konflik ini
menggunakan senjata tajam sehingga menimbulkan korban luka. Tetapi konflik berhasil
7 Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian (Jakarta: Salemba
Humanika, 2010), 1-2.
8 Hasil wawancara dengan Pendeta Bapak Samuel Tahalele, Ketua Majelis Jemaat Negeri Porto pada
tanggal 20 April 2015.
9 Hasil wawancara dengan Pendeta Bapak Jefry Salato Leatemia, Ketua Majelis Jemaat Negeri Haria
ditangani dengan cepat. Konflik ketiga terjadi di tahun 1977 yang juga disebabkan oleh
kenakalan remaja dan mengakibatkan korban jiwa yaitu 2 orang meninggal. Konflik ini
menggunakan senjata rakitan dan juga senjata api. Konflik keempat berskala besar terjadi
di tahun 2001. Konflik ini mengakibatkan 50 rumah terbakar, 1 rumah adat terbakar dan 3
orang meninggal. Hal ini dipicu oleh kejadian saat perlombaan perahu antar negeri di Pulau
Saparua. Perahu dari warga Negeri Porto menabrak Perahu dari warga Negeri Haria.
Konflik yang berikut juga akibat sengketa mata air yang disebut Air Raja. 10
Masing-masing desa memiliki kepentingan dari sumber mata air tersebut sehingga kedua
pihak menyatakannya sebagai milik masing-masing.11
Konflik yang berlarut-larut dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak yang
berkonflik. Bisa dikatakan bahwa konflik ibarat pisau bermata dua. Kondisi konflik pada
kedua negeri ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, rusaknya rumah warga,rumah
ibadah serta retaknya hubungan sosial masyarakat Porto dan Haria yang memiliki
‘hubungan keluarga’. Konflik tersebut menimbulkan kepahitan dan sangat berdampak
buruk bagi kehidupan masyarakat kedua negeri. Hal ini membutuhkan upaya-upaya
perdamaian yang harus dilakukan dari semua pihak: pemerintah daerah, gereja maupun
keseluruhan masyarakat.
Rekonsiliasi berarti mengampuni bukan melupakan. Dalam situasi-situasi tertentu
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi
tidak dapat dipaksakan- rekonsiliasi harus terjadi dengan sukarela dan semua pihak yang
terlibat dalam konflik perlu mengambil keputusan untuk ambil bagian dalam proses
tersebut. Rekonsiliasi dan pengampunan sangat berkaitan atau merupakan konsep yang
saling bertumpang-tindih.12 Setiap proses rekonsiliasi mempunyai jalannya sendiri dan
harus dibina oleh orang-orang yang bertanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan
mereka.13
Selama ini yang sering diberitakan oleh media lokal maupun nasional adalah upaya
perdamaian yang selalu dilakukan oleh unsur pemerintah daerah melalui seminar-seminar
perdamaian Porto-Haria, pembentukan tim perdamaian Porto dan Haria (Tim 10) untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam tulisan ini, penulis akan melihat peran gereja
dalam upaya perdamaian Porto dan Haria yang sudah berlangsung puluhan tahun
berdasarkan langkah-langkah rekonsiliasi. Mengutip pemikiran John Titaley dalam buku
“Religiositas di Alinea Tiga”, gereja merupakan organisasi keagamaan “universal” yang
bermakna dalam konteks sosial tertentu. Dalam hal ini gereja bukan sebagai “tubuh
Kristus” yang menyebabkan gereja tidak menyadari kedudukannya sebagai bagian dari
suatu kehidupan tertentu dengan kebudayaan tertentu juga.14 Berdasarkan hal itu maka Gereja Protestan Maluku (GPM) Jemaat Porto dan Haria merupakan organisasi yang
mampu memberikan solusi demi perdamaian kedua negeri tersebut, sebab tugas gereja
bukan hanya sebagai pemberita firman melalui mimbar-mimbar gereja semata tetapi juga
sebagai sarana perdamaian umat manusia merupakan bagian dari tugas dan panggilan
gereja yang sebenarnya.
12
E. Worthington, Handbook of Forgiveness. (New York: Brunner-Routledge, 2005), 443-461. 13 Hagen Berndt, Agama yang Bertindak (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 168.
Demi kepentingan gereja dalam upaya penyelesaian konflik Porto dan Haria, gereja
tampil dalam memainkan peran seperti ini demi terwujudnya perdamaian abadi antara
Negeri Porto dan Haria. Jika gereja tidak serius dalam upaya pengendalian konflik dengan
baik, maka konflik dapat meledak sewaktu-waktu dan merupakan tindakan kekerasan yang
akan kembali menelan korban jiwa dan harta benda serta merusak hubungan sosial
masyarakat kedua negeri tersebut.
Dalam upaya menanggulangi konflik, GPM memberikan bimbingan khusus yang
berhubungan dengan konflik komunal, melatih majelis dan semua simpul pelayan
(organisasi perempuan, laki-laki dan lain-lain). GPM juga membangun jaringan dengan
pemerintah karena konflik tidak dapat ditangani sendiri, mengadakan acara makan patita15,
mengadakan Natal se-Klasis Lease di Porto-Haria dan pergumulan setiap tanggal 27 untuk
memperingati komitmen yang diikuti oleh pemerintah negeri, petugas keamanan, guru, dan
majelis.16 Meskipun GPM berupaya untuk menyelesaikan konflik, konflik antara kedua negeri ini terus berlanjut.
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dengan melihat peran gereja untuk
menciptakan perdamaian berdasarkan teori rekonsiliasi di Porto-Haria, maka penulis
tertarik untuk meneliti dan menulis hal ini lebih lanjut dengan kajian yang lebih ilmiah
yakni Tesis dengan judul:
Gereja dan Rekonsiliasi
Memahami Peran Sosiologis GPM dalam Proses Rekonsiliasi Konflik di Negeri
Porto-Haria, Saparua - Maluku
15 Tradisi makan patita merupakan salah satu identitas budaya Maluku yang sangat kental dengan
kehidupan masyarakat setempat yakni sebuah acara makan bersama. Bagi masyarakat Maluku, Makan Patita menjadi sebuah alat untuk mempererat tali persaudaraan.
16 Hasil wawancara dengan Samuel Tahalele, Pendeta Jemaat GPM Porto pada tanggal 20 April
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam studi ini, dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
1.Bagaimana peran gereja dalam upaya mewujudkan suatu perdamaian di
Porto-Haria?
2.Alasan apa saja yang menyebabkan belum terciptanya perdamaian antara Porto dan
Haria?
1.3. Tujuan Penelitian
1.Mendeskripsikan peran gereja dalam upaya rekonsiliasi Porto-Haria.
2.Mendeskripsikan alasan-alasan yang menyebabkan belum terciptanya rekonsiliasi
antara Porto-Haria.
1.4. Signifikansi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut di atas, maka penulis menganggap bahwa
hasil penelitian ini dapat berguna sebagai berikut:
1.Manfaat Akademis:
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi studi Sosiologi Agama,
khususnya menyangkut peran gereja dalam menyelesaikan konflik, khususnya
2.Manfaat Empiris/ Praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis terutama dapat
menjadi bahan masukan bagi BPH Sinode GPM agar dapat mewujudkan suatu
rekonsiliasi konflik di Porto-Haria.
1.5. Metode Penelitian
a) Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang dapat diartikan
sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi dari kondisi
sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, dihubungkan dengan pemecahan suatu
masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.17 Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain, secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata – kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.18 Setelah data diperoleh, kemudian data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif-analitis yaitu suatu metode
untuk mengumpulkan data dan menyusun data, kemudian diusahakan adanya
analisis dan interpretasi atau penafsiran data-data tersebut.19
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang bertujuan membuat
deskripsi yaitu gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
17H. Hadari Nanawi, H. M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1992), 209.
18 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 6.
19 Winarno Surakhmad, Pengantar Penulisan Ilmiah : Dasar Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito,
fenomena yang diselidiki. Metode ini dapat menggambarkan dengan jelas dan
menganalisa apa yang dilihat atau didengar tentang sesuatu dengan jelas dan
terperinci dari hasil penelitian.20 b) Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah Negeri Porto dan
Negeri Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah.
c) Teknik Pengambilan Data
Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data, sebagai berikut:
Wawancara
Teknik wawancara ini bertujuan untuk mencoba mendapatkan keterangan
secara lisan dari para respondent, dengan bercakap-cakap berhadapan muka
dengan orang itu. Wawancara ini pun bermaksud mengumpulkan keterangan
tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian
mereka.21 Penulis dalam hal ini melakukan wawancara kepada Ketua Majelis Jemaat kedua negeri yang diyakini sebagai informan kunci22 dari penelitian yang penulis lakukan dan beberapa tokoh masyarakat. Jumlah orang yang
diwawancarai dalam penelitian ini adalah 5 orang.
20 Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta : Rajawali Press, 1990), 20.
21 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), 162.
22 Yang dimaksud dengan informan kunci dalam tulisan ini adalah orang yang mempunyai keahlian
Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti. Jenis observasi yang dipakai yaitu observasi partisipasi
yaitu pihak yang melaksanakan observasi terlibat langsung secara aktif dalam
objek yang diteliti.
1.6. Susunan Pembahasan
Penulisan tesis ini terdiri dari 5 bab, yaitu:
Bab I. Pendahuluan, menguraikan tentang; I) Latar Belakang; II) Rumusan Masalah; III)
Tujuan Penelitian; IV) Signifikansi Penulisan; V) Metodologi Penelitian; VI)
Lokasi Penelitian; VII) Informan Kunci; VII) Sistematika Penelitian.
Bab II. Teori Rekonsiliasi.
Bab III. Merupakan bab yang berisi tentang ulasan data atas dasar penelitian yang
dilakukan oleh peneliti.
Bab IV. Merupakan analisa penulis terhadap hasil penelitian dengan mengacu kepada teori
yang dibahas dalam Bab II.