PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN DANA BAGI HASIL PADA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI
TAHUN 2009-2013
SKRIPSI
Oleh :
GEDE FERDI WILLIANTARA NIM : 1206305092
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA
i
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN DANA BAGI HASIL PADA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI
TAHUN 2009-2013
SKRIPSI
Oleh :
GEDE FERDI WILLIANTARA NIM : 1206305092
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana Denpasar
ii
Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetuji oleh pembimbing, serta diuji
pada tanggal: 15 Januari 2016
Tim Penguji : Tanda Tangan
1. Ketua : Ni Luh Supadmi, SE., M.Si., Ak ...
2. Sekretaris : Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE., M.Si., Ak ...
3. Anggota : I Made Karya Utama, SE., M.Com., Ak ...
Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya,
di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila ternyata dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 15 Januari 2016 Mahasiswa,
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013” dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada:
1) Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Udayana.
2) Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
3) Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
4) Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si., Ak selaku Pembantu Dekan
III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
5) Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak selaku Ketua Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
6) Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si., Ak selaku Sekretaris Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
7) Dr. I Gusti Ayu Made Asri Dwija P, SE., M.Si., selaku Pembimbing
v
8) Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE., M.Si., Ak selaku Pembimbing Skripsi atas
waktu, bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat besar kepada penulis
selama penulisan skripsi.
9) I Made Karya Utama, SE., M.Com., Ak selaku dosen pembahas yang telah
memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.
10) Ni Luh Supadmi, SE., M.Si., Ak Selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan terhadap skripsi ini.
11) Segenap dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
12) Seluruh pegawai dan staf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana, yang telah memberikan bantuan selama proses pengadministrasian
skripsi.
13) Orang tua penulis I Nyoman Sunarya, Ediarti Sudarsih, SE., dan Ni Ketut
Sukasih, SE., MM., Ak yang telah memberikan amanat kepada penulis
sedari dini untuk menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya, dan juga
memberikan dukungan berupa materiil, semangat, dan doa yang tiada henti
untuk penulis.
14) Adik penulis Tania atas bantuan yang telah diberikan selama perkuliahan
dan penulisan skripsi.
15) Pendamping masa depan penulis Nofi Anggela atas cinta, motivasi, dan
vi
16) Sahabat-sahabat terbaik penulis Dewa Ayu, Mayta, Puput atas dukungannya
selama perkuliahan dan penulisan skripsi.
17) Seluruh teman-teman penulis di kampus yang sering membantu penulis
terkait perkuliahan ataupun terkait dengan penulisan skripsi ini.
18) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan, saran dan dukungan kepada penulis dalam penulisan
skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun mengenai
skripsi ini sangat penulis butuhkan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan,
vii
Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013
Nama : Gede Ferdi Williantara NIM : 1206305092
ABSTRAK
Otonomi daerah memberikan wewenang kepada masing-masing daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri termasuk dalam hal mengatur keuangan daerah yang sering disebut dengan desentralisasi fiskal. Dengan diadakannya otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan daerah yang tercermin dari pembangunan manusia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampling jenuh, dengan total sampel sebanyak 45 amatan. Data yang digunakan adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Belanja Modal (BM), dan Indeks Pembangunan Manusia yang berasal dari laporan realisasi APBD dan Tabel Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil tidak mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan PAD, DAU, dan DBH dalam membiayai Belanja Modal tidak mempengaruhi capaian IPM. Namun Dana Alokasi Khusus menunjukan hasil yang berpengaruh negatif pada IPM. Hal tersebut mengindikasikan semakin besar DAK dalam membiayai Belanja Modal maka akan dapat menurunkan capaian IPM.
viii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 12
1.3 Tujuan Penelitian ... 13
1.4 Kegunaan Penelitian... 13
1.5 Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep ... 16
2.1.1 Teori Fiscal Federalism ... 16
2.1.2Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 19
2.1.3 Dana Perimbangan ... 20
2.1.4 Indeks Pembangunan Manusia ... 25
2.2 Hipotesis Penelitian ... 27
2.2.1Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia ... 28
2.2.2Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia ... 29
ix
2.2.4Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks
Pembangunan Manusia ... 31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 33
3.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... 33
3.3 Obyek Penelitian ... 33
3.4 Identifikasi Variabel ... 33
3.5 Definisi Operasional Variabel ... 34
3.6 Jenis dan Sumber Data ... 36
3.6.1 Jenis Data ... 36
3.6.2 Sumber Data ... 36
3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... 36
3.7.1 Populasi ... 36
3.7.2 Sampel ... 37
3.7.3 Metode Penentuan Sampel ... 37
3.8 Metode Pengumpulan Data ... 37
3.9 Teknik Analisis Data ... 38
3.9.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 38
3.9.2 Uji Asumsi Klasik ... 38
3.9.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 41
3.9.4 Koefisien Determinasi ... 41
3.9.5 Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 42
3.9.6 Uji Hipotesis (Uji t) ... 43
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Provinsi Bali ... 44
4.2 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 46
4.3 Deskripsi Statistik ... 46
4.4 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 48
4.4.1 Uji Normalitas ... 48
4.4.2 Uji Autokorelasi ... 49
x
4.4.4 Uji Heteroskedastisitas ... 50
4.5 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 51
4.6 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 53
4.7 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 53
4.8 Hasil Uji Hipotesis (Uji t) ... 54
4.9 Pembahasan Hasil Penelitian ... 56
4.9.1Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia ... 56
4.9.2Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia ... 57
4.9.3Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia ... 58
4.9.4Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia ... 60
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 61
5.2 Saran ... 62
DAFTAR RUJUKAN ... 63
xi
DAFTAR TABEL
No Tabel Halaman
1.1 Tabel Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi
Bali Tahun 2009-2013 ... 3
1.2 Tabel Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 ... 4
1.3 Tabel Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 ... 6
1.4 Tabel Dana Bagi Hasil Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 ... 7
1.5 Tabel Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013 ... 9
4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali ... 45
4.2 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 47
4.3 Hasil Uji Normalitas ... 48
4.4 Hasil Uji Autokorelasi ... 49
4.5 Hasil Uji Multikolinearitas ... 50
4.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 51
4.7 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 52
4.8 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 53
4.9 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 54
xii
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Halaman
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Halaman
1 Tabulasi Data ... 68
2 Statistik Deskriptif Penelitian ... 70
3 Uji Normalitas ... 71
4 Uji Autokorelasi ... 72
5 Uji Multikolinearitas ... 73
6 Uji Heteroskedastisitas... 74
7 Regresi Linier Berganda ... 75
8 Uji Koefisien Determinasi ... 76
9 Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 77
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya
menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan
sebutan otonomi daerah pada tahun 2001, pemerintah daerah memiliki wewenang
dalam mengatur rumah tangganya sendiri dengan meminimalkan intervensi dari
pemerintah pusat. Kebijakan otonomi daerah di Indoensia diatur dalam UU No. 22
Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No. 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Otonomi daerah dipandang lebih demokratis dan mencerminkan desentralisasi
yang sesungguhnya karena masing-masing daerah dapat lebih leluasa menggali
potensi-potensi yang ada di daerahnya (Wertianti, 2013). Sistem otonomi daerah
juga diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan daerah.
Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia telah merasakan dampak dari
diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, khususnya dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD tersusun dari
komponen penerimaan daerah dan belanja daerah. Pengalokasian anggaran
belanja ke dalam pos yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan akan memicu
2
Alokasi belanja daerah seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, namun dalam penyusunannya sering bercampur dengan kepentingan
politis antara pihak eksekutif dan legislatif yang mengakibatkan kurang efektifnya
belanja modal. Belakangan ini terdapat penurunan alokasi belanja modal untuk
pembangunan daerah dan sebaliknya terjadi peningkatan proporsi belanja pegawai
yang tidak berpengaruh langsung pada pembangunan daerah, hal tersebut
menunjukkan belum efektifnya alokasi belanja daerah.
Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, dalam pelaksanaan otonomi daerah
pemerintah daerah memiliki sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah
daerah yang terdiri atas: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), 2) Dana Perimbangan,
3) Pinjaman Daerah, 4) Lain-lain penerimaan yang sah. Pendapatan Asli Daerah
adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Provinsi Bali yang terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota merupakan daerah
yang kaya akan budaya dan adat istiadat sehingga sektor pariwisata dapat
berkembang secara pesat. Dengan daya tariknya tersebut Provinsi Bali
mendapatkan Pendapatan Asli Daerah relatif besar dan kontribusinya terus
mengalami peningkatan terhadap penerimaan daerah yang diharapkan sebagai
sumber pembiayaan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat sehingga
memacu perkembangan pembangunan manusia dan daerah di Provinsi Bali. Salah
satu indikator pembangunan yaitu Indeks Pembangunan Manusia akan mengalami
peningkatan yakni melalui pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat,
3
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Data
yang berkaitan dengan PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun
2009-2013 disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)
Kabupaten/
2009 2010 2011 2012 2013 Kota
Buleleng 63,485 86,962 109,167 129,003 160,384 Jembrana 23,324 34,380 41,330 46,470 68,485 Tabanan 93,444 116,860 141,046 183,295 255,418
Badung 850,170 979,194 1.406,298 1.872,346 2.279,113 Gianyar 112,540 153,559 209,598 261,222 319,612
Bangli 16,301 16,252 22,963 40,751 56,661 Klungkung 29,566 31,331 40,735 48,561 67,401 Karangasem 47,842 62,696 129,556 144,019 168,652
Denpasar 215,156 260,482 424,959 511,326 658,974 Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015
Berdasarkan Tabel 1.1 PAD tertinggi diperoleh Kabupaten Badung yaitu
sebesar Rp. 2.279.110.000.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua dengan PAD
tertinggi diperoleh Kota Denpasar yaitu sebesar Rp. 658.974.707.435,78 pada
tahun 2013, sedangkan PAD terendah diperoleh Kabupaten Bangli yaitu sebesar
Rp. 16.301.547.341,74 pada tahun 2009. PAD seluruh daerah di Provinsi Bali
mengalami peningkatan setiap tahunnya, seharusnya diimbangi dengan
peningkatan capaian IPM karena daerah mengalokasikan belanja daerahnya untuk
menaikkan sektor-sektor yang mendukung peningkatan capaian IPM.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
4
antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antar pemerintah pusat. Dana
Perimbangan terdiri atas Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana
Bagi Hasil.
Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam membiayai
kebutuhan daerahnya masing-masing, hal ini menyebabkan ketimpangan fiskal
antar daerah satu dengan lainnya. Upaya pemerintah untuk menanggulangi
ketimpangan fiskal adalah dengan cara mengalokasikan dana yang bersumber dari
APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Salah satu
dana perimbangan dari pemerintah adalah Dana Alokasi Umum, yaitu dana yang
berasal dari APBN yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhannya dalam rangka desentralisasi. Penggunaan DAU
diharapkan untuk keperluan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Data yang berkaitan dengan DAU Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun
2009-2013 disajikan pada Tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2 Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)
Kabupaten/
2009 2010 2011 2012 2013 Kota
Buleleng 506,292 512,748 568,131 687,697 796,419 Jembrana 306,361 308,567 339,501 396,762 450,919
Tabanan 424,281 429,919 463,073 574,346 663,156 Badung 280,987 131,919 157,052 353,067 372,625
Gianyar 405,118 387,493 434,899 532,883 609,293 Bangli 276,000 292,695 321,381 396,942 450,812 Klungkung 278,553 285,662 319,611 387,340 444,174
Karangasem 356,681 374,537 409,812 503,028 563,981 Denpasar 360,011 336,125 381,372 512,660 580,807
5
Berdasarkan Tabel 1.2 DAU tertinggi diperoleh Kabupaten Buleleng yaitu
sebesar Rp. 796.419.224.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua dengan DAU
tertinggi diperoleh Kabupaten Tabanan yaitu sebesar Rp. 663.156.595.000,00
pada tahun 2013, sedangkan DAU terendah diperoleh Kabupaten Badung yaitu
sebesar Rp. 131.919.568.000,00 pada tahun 2009. Pengalokasian DAU tertinggi
pada Kabupaten Buleleng disebabkan karena kapasitas fiskalnya rendah
sementara kebutuhan fiskalnya relatif besar. Sejalan dengan alokasi DAU
Kabupaten Badung yang memperoleh DAU terendah disebabkan oleh kapasitas
fiskalnya tinggi cukup untuk memenuhi kebutuhan fiskalnya.
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional. Penggunaan DAK merupakan kewenangan dari pemerintah
daerah karena DAK adalah bagian dari APBD, agar penggunaan DAK oleh
pemerintah daerah (Pemda) sesuai dengan kepentingan nasional maka pemerintah
pusat mengatur penggunaan DAK melalui berbagai regulasi. Setelah
diberlakukannya sistem desentralisasi pada tahun 2001 maka cakupan sektor
bidang atau kegiatan yang dibiayai DAK bertambah banyak meliputi tujuh bidang
pelayananan pemerintahan, yaitu: 1) Pendidikan, 2) Kesehatan, 3) Pertanian, 4)
Pekerjaan Umum (jalan, irigasi, dan air bersih), 5) Prasarana Pemerintahan, 6)
Kelautan dan Perikanan, dan 7) lingkungan hidup. Pengalokasian DAK melalui
Belanja Modal secara otomatis berorientasi pada kesejahteraan publik. Jika DAK
6
infrastruktur penunjang perekonomian masyarakat. Data yang berkaitan dengan
DAK Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel
1.3 berikut ini.
Tabel 1.3 Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)
Kabupaten/
2009 2010 2011 2012 2013 Kota
Buleleng 50,231 65,768 54,719 62,589 67,312 Jembrana 51,898 34,720 35,488 40,170 45,403 Tabanan 56,388 47,642 41,516 47,366 48,921
Badung 41,648 3,616 0,218 1,838 0,560 Gianyar 59,614 43,762 41,069 35,930 45,158
Bangli 45,611 29,437 29,345 38,259 38,687 Klungkung 51,216 29,499 22,410 24,821 32,783 Karangasem 56,708 56,334 41,729 46,764 51,209
Denpasar 34,918 14,435 3,556 8,489 8,093 Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015
Berdasarkan Tabel 1.3 DAK tertinggi diperoleh Kabupaten Buleleng yaitu
sebesar Rp. 67.312.020.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua dengan DAK
tertinggi diperoleh Kabupaten Gianyar yaitu sebesar Rp. 59.614.000.000,00 pada
tahun 2009, sedangkan DAK terendah diperoleh Kabupaten Badung yaitu sebesar
Rp. 218.175.000,00 pada tahun 2011. DAK dialokasikan untuk daerah-daerah
tertentu dalam rangka mendanai kegiatan khusus dan termasuk dalam program
prioritas nasional. Kabupaten Buleleng dan Gianyar memperoleh alokasi DAK
tertinggi karena Kabupaten Buleleng dan Gianyar merupakan kabupaten yang
berkembang pembangunannya setelah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar,
7
Kabupaten Badung sendiri merupakan kabupaten yang pembangunannya cukup
pesat sehingga mendapatkan PAD yang tertinggi.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan utama dari
DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal. DBH merupakan
sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal
dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi
belanja daerah sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang dapat
diukur melalui IPM. Data yang berkaitan dengan DBH Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel 1.4 berikut ini.
Tabel 1.4 Dana Bagi Hasil Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)
Kabupaten/
2009 2010 2011 2012 2013 Kota
Buleleng 35,614 44,659 37,735 43,254 38,791 Jembrana 26,594 28,610 21,668 27,391 21,511
Tabanan 32,360 36,121 29,814 34,787 22,499 Badung 135,218 186,560 123,435 160,747 55,821 Gianyar 28,590 37,010 29,202 35,584 36,365
Bangli 20,817 23,796 21,634 24,211 22,687 Klungkung 17,297 19,309 16,878 19,970 19,328 Karangasem 25,131 29,539 26,742 28,662 29,001
Denpasar 127,566 148,634 106,085 134,193 72,201 Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015
Berdasarkan Tabel 1.4 DBH tertinggi diperoleh Kabupaten Badung yaitu
sebesar Rp. 186.560.094.466,00 pada tahun 2010 dan posisi kedua dengan DBH
8
tahun 2010, sedangkan DBH terendah diperoleh Kabupaten Klungkung yaitu
sebesar Rp. 17.297.507.524,00 pada tahun 2009. Pengalokasian DBH ini sesuai
dengan PAD yang diperoleh masing-masing daerah dimana PAD tertinggi yaitu
Kabupaten Badung yang diikuti dengan Kota Denpasar, namun dalam
pengalokasian DBH terendah yaitu Kabupaten Klungkung berbeda dengan PAD
terendah yang diperoleh Kabupaten Bangli.
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah melalui
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM
dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat
(kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan kehidupan yang layak (ekonomi).
Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir.
Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi
hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap
sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per
kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan
untuk hidup layak. Data yang berkaitan dengan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi
9
Tabel 1.5 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013
Kabupaten/
2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
Kota Kab/Kota
Buleleng 70,26 70,69 71,12 71,93 72,54 71,31
Jembrana 72,45 72,69 73,18 73,62 74,29 73,25 Tabanan 74,26 74,57 75,24 75,55 76,19 75,16
Badung 74,49 72,02 75,35 75,69 76,37 74,78 Gianyar 72,43 72,73 73,43 74,49 75,02 73,62 Bangli 70,21 70,71 71,42 70,80 72,28 71,08
Klungkung 70,19 70,54 71,02 71,76 72,25 71,15 Karangasem 66,06 66,43 67,07 67,83 68,47 67,17 Denpasar 77,56 77,94 78,31 78,80 79,41 78,40
Rata-rata IPM
71,99 72,04 72,90 73,39 74,09 Prov. Bali
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2015
Berdasarkan Tabel 1.5 terdapat penurunan IPM yang sangat drastis pada
Kabupaten Badung dari tahun 2009 ke 2010 yaitu minus 2,47 dari 74,49 menjadi
72,02. IPM tertinggi diperoleh Kota Denpasar yaitu sebesar 79,41 pada tahun
2013, sedangkan IPM terendah diperoleh Kabupaten Karangasem yaitu sebesar
66,06 pada tahun 2009. IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori capaian IPM yaitu IPM tinggi dengan
kisaran 70-80 yang diperoleh seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bali kecuali
Kabupaten Karangasem yang diklasifikasikan IPM sedang dengan kisaran 60-70.
Rata-rata Kabupaten/Kota di Provinsi Bali mengalami peningkatan IPM setiap
tahunnya dalam kurun waktu 2009-2013, namun belum ada satupun perolehan
IPM Kabupaten/Kota lebih dari 80 tetapi Kota Denpasar dengan capaian IPM
10
suatu daerah lebih dari 80 maka dapat dikatakan IPM daerah tersebut dapat
diklasifikasikan sangat tinggi.
Lugastoro (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh
PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di Jawa Timur” menyatakan bahwa rasio Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi Khusus terhadap belanja modal berpengaruh positif signifikan
terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Jawa Timur dimana
semakin besar kemampuan PAD dan DAK dalam membiayai belanja modal akan
dapat meningkatkan IPM, sedangkan rasio Dana Alokasi Umum terhadap belanja
modal berpengaruh negatif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia
sehingga semakin besar kemampuan DAU dalam membiayai belanja modal maka
akan menurunkan IPM, serta rasio Dana Bagi Hasil terhadap belanja modal
mempunyai pengaruh positif terhadap IPM namun tidak signifikan yang artinya
semakin besar DBH membiayai belanja modal akan meningkatkan IPM namun
tidak signifikan. Sejalan dengan penelitian Irwanti (2014) yang berjudul “Analisis
Pengaruh Dana Perimbangan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota Provinsi di Papua Barat Periode 2008-2012” menunjukkan DAU
dan DAK berpengaruh positif terhadap IPM namun terdapat perbedaan hasil
penelitian dalam DBH dimana dalam penelitian ini DBH dikatakan tidak
berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Ardiansyah, dkk. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
11
Tengah” menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif signifikan, sedangkan
DAU berpengaruh negatif tidak signifikan dan DAK berpengaruh negatif
signifikan terhadap IPM. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Setyowati dan Yohana (2012) dimana sama-sama meneliti
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan judul “Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan
Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia dengan
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening”
menunjukkan PAD, DAU, DAK berpengaruh positif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
Penelitian terdahulu masih menunjukan adanya perbedaan hasil penelitian
tentang hubungan PAD, DAU, DAK, dan DBH pada IPM. Berdasarkan uraian
tersebut peneliti merasa perlu untuk meneliti kembali pengaruh PAD, DAU,
DAK, dan DBH pada IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Perbedaan penelitian
ini dengan riset-riset sebelumnya adalah menggunakan seluruh komponen Dana
Perimbangan yang terdiri atas DAU, DAK, dan DBH serta PAD dari tahun
2009-2013 agar lebih menggambarkan pengaruh Desentralisasi Fiskal secara
keseluruhan pada IPM. Penelitian ini dilakukan pada pemerintah Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali, Sedangkan pada penelitian Ardiansyah, dkk., (2014), Setyowati
dan Yohana (2012) sama-sama meneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah, selanjutnya pada penelitian Lugastro (2013) meneliti pemerintah
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur serta Irwanti (2014) meneliti pemerintah
12
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH pada IPM melalui
pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Belanja
Modal digunakan sebagai alat untuk memprediksi IPM karena Belanja Modal
dapat memberikan dampak yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tercermin dari peningkatan IPM melalui alokasi Belanja Modal
(Setyowati dan Yohana, 2012). Menurut Mardiasmo (2002) dalam era otonomi,
pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan
dasar masyarakat. Sejalan dengan peningkatan pelayanan melalui alokasi Belanja
Modal maka dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Manusia dalam
peranannya merupakan subjek dan objek pembangunan yang berarti manusia
selain sebagai pelaku dari pembangunan juga merupakan sasaran pembangunan.
Sarana dan prasarana publik dapat mendorong peran manusia dalam
pembangunan sehingga terciptanya sumber daya manusia yang produktif.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
1) Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh pada Indeks Pembangunan
Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?
2) Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh pada Indeks Pembangunan
Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?
3) Apakah Dana Alokasi Khusus berpengaruh pada Indeks Pembangunan
13
4) Apakah Dana Bagi Hasil berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks
Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
2) Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks
Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
3) Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks
Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
4) Untuk mengetahui pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan
Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
1.4 Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai kemampuan Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil
dalam memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
2) Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Daerah demi
14 1.5 Sistematika Penelitian
Skripsi ini terdiri dari 5 bab yang saling berhubungan antara bab yang satu
dengan yang lain dan disusun secara terperinci serta sistematis. Gambaran umum
mengenai isi dari masing-masing bab adalah sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian,
tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika dalam penulisan
skripsi.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
Bab ini mengkaji landasan teori, konsep-konsep yang digunakan dan
hasil penelitian sebelumnya yang diperlukan dalam menjawab
masalah penelitian yang akan dibahas dalam skripsi.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai desain penelitian, lokasi dan obyek
penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan
sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode
pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan mengenai data amatan, hasil uji asumsi klasik,
15 BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan simpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan
disertakan pula saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan.
16 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Fiscal Federalism
Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan
dapat tercapai melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan terkait dengan
pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002).
Bodman et al. (2009) menyatakan bahwa secara teoritis desentralisasi fiskal
merupakan devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi ekonomi
pertumbuhan. Fungsi utama dari desentralisasi fiskal yaitu meningkatkan efisiensi
sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi,
2011).
Menurut Bahl (1999), dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip
(rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus
diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap pelimpahan wewenang
pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, pelimpahan sebagian
wewenang pemerintah dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang
17
oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas desentralisasi, prinsip
efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan.
Teori Fiscal Federalism terbagi dalam dua perspektif yakni teori tradisional
atau teori generasi pertama (First Generation Theories) dan teori perspektif baru
atau teori generasi kedua (Second Generation Theories). Hayek (1945)
mengemukakan bahwa teori tradisional menekankan keuntungan alokatif dari
desentralisasi. Dalam pandangan teori tradisional terdapat dua pendekatan yang
menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, adalah tentang
penggunaan knowledge in society, yang menyatakan bahwa proses pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi
yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat. Dalam
konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih
baik dibanding pemerintah pusat tentang kondisi daerah masing-masing, sehingga
pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan penyediaan
barang dan jasa publik dibanding penyediaan hal tersebut oleh pemerintah pusat.
Keadaan ini disebut alloocative efficiency. Kedua, Tiebout (1956)
memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar
daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih
berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka.
Hal ini tidak terjadi jika pemerintah pusat sebagai penyedia barang dan jasa publik
yang seragam.
Teori generasi kedua yang dikenal dengan teori perspektif baru yang
18
pentingnya revenue dan expenditure assignment antar level pemerintahan. Teori
ini menjelaskan bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perilaku
pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat
peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam
perekonomian daerah dibatasi.
Menurut Mardiasmo (2002), desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah
memiliki kemandirian fiskal yang tinggi dengan mencari alternatif sumber
pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari
pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal dikatakan menawarkan sejumlah manfaat
bagi tata kelola sektor publik, termasuk pertumbuhan, akuntabilitas, dan
responsivitas para pejabat pemerintah terhadap tuntutan lokal dan kebutuhan
(Amagoh & Amin, 2012).
Desentralisasi fiskal dapat dibagi menjadi dua luas kategori, yaitu: (i)
otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii) pentingnya fiskal pemerintah daerah.
Otonomi fiskal pemerintah daerah berkaitan dengan transfer fiskal antar
pemerintah. Pinjaman daerah dan tanggung jawab untuk penyediaan barang dan
jasa publik, sedangkan kepentingan fiskal terhubung langsung dengan tingkat
tanggung jawab pengeluaran pemerintah daerah terhadap tingkat dari seluruh
pengeluaran pemerintah (Aristovnik, 2012). Desentralisasi fiskal memberikan
struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk lebih efisien dalam
mengalokasikan sumber daya keuangannya, namun itu tidak selalu mengaruh
pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatknya kesenjangan antar daerah
19
Menurut Penthury (2011), dalam desentralisasi fiskal pemerintah daerah
harus mampu memberikan fasilitas pelayanan publik dengan baik untuk seluruh
masyarakat lokal. Infrastuktur merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi,
dengan menyiapkan infrastuktur yang baik maka akan meningkatkan
produktivitas (Modebe et al, 2012). Pemberian pelayanan publik kepada
masyarakat sangat penting mengingat masyarakat telah memberikan sumber daya
kepada daerah berupa pembayaran pajak-pajak yang mampu meningktakan
penerimaan daerah. Untuk mencapai salah satu tujuan utama dari desentralisasi
fiskal, yakni meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola keuangan
daerahnya dengan baik dan mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar untuk
belanja langsung, khususnya belanja modal (Irwanti, 2014).
2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah
pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari PAD adalah untuk
memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. PAD
merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan
melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang oleh PAD terhadap
APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli
Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah
20
Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, Pendapatan Asli Daerah
bersumber dari: (1) pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan (4) lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang
sah. Dari keempat Sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut, pajak merupakan
sumber pendapatan terbesar bagi daerah (Olatunji, et al, 2009)
Pendapatan Asli Daerah diperoleh dengan sumber dari daerah itu sendiri,
maka dalam pemanfaatannya lebih fleksibel. Semakin besar rasio Pendapatan Asli
Daerah terhadap pengeluaran daerah yang disebut sebagai derajat kemandirian
daerah, akan berdampak terhadap pengalokasian anggaran yang lebih banyak
untuk publik. Salah satu komponen PAD adalah pajak daerah dimana pajak
tersebut merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam
penyelenggaran otonomi daerah (Feltensein dan Iwata, 2005). Syahril (2011)
mengatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber
penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar
hal ini dapat dicapai, tentunya komponen-komponen yang berkaitan dengan itu
harus ditindak lanjuti dengan cara memberikan pelayanan yang baik dan
perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat
turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.
2.1.3 Dana Perimbangan
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
21
Perimbangan mempunyai tujuan untuk mengurangi kesenajangan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun antar pemerintah daerah.
Menurut Saragih (2003), Dana perimbangan yang merupakan bentuk dari
perimbangan pusat dan daerah diimplementasikan melalui tiga pendekatan, yaitu:
presentase (by percentage), formula (by formula), dan berdasarkan kebutuhan
yang bersifat khusus atau insidental (by specific need). Pendekatan persentase
adalah strategi yang paling baik untuk menciptakan keadilan bagi semua daerah,
artinya daerah yang potensial dari sudut ekonomi dan SDA maka wajar jika
daerah tersebut mendapatkan bagian pendapatan (share) yang relatif lebih besar
dibandingkan daerah yang tidak memiliki potensi SDA (bukan daerah penghasil).
Pendekatan formula bertujuan untuk mendekati pembagian yang relatif objektif
sesuai dengan kondisi terakhir daerah. Sedangkan pendekatan khusus untuk
menanggulangi pengeluaran daerah yang disebabkan oleh suatu keadaan tertentu.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 159 dan UU Nomor 33 Tahun
2004 Pasal 10 Ayat 1, Dana Perimbangan terdiri atas:
1) Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka desentralisasi. DAU berperan dalam pemerataan horizontal
(horizontal equalization) dengan cara menutup celah fiskal (fiscal gap) yang
berada diantara kebutuhan fiskal dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. DAU
22
merupakan jenis transfer antar tingkat pemerintah yang tidak terikat dengan
program pengeluaran tertentu (Ardiansyah, dkk., 2014).
Selanjutnya dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, DAU untuk suatu Daerah
dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan
selisih antara kapasitas fiskal daerah/potensi daerah (fiscal capacity) dan
kebutuhan fiskal Daerah (fiscal need). Sedangkan alokasi dasar dihitung
berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Alokasi DAU bagi daerah
yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh
alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun
kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara
implisit prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan
kapasitas fiskal.
Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur
secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks
Pembangunan Manusia (Mardiasmo, 2002).
2) Dana Alokasi Khusus (DAK)
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Khusus adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK atau specifict grants
23
bantuan tersebut. Bentuk transfer pemerintah pusat ini diberikan untuk mendorong
pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu sesuai
dengan program pemerintah pusat, tanpa harus membebani pembiayaan dari
pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002).
Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 DAK dialokasikan kepada
daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang
dimaksud diatas adalah: (1) kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu
daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan
transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan
jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer, dan (2) Kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional.
3) Dana Bagi Hasil (DBH)
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan
angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Tujuan utama dari DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan
fiskal vertikal.
DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH yang bersumber
dari pajak terdiri atas: (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (2) Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan (3) Pajak Penghasilan (PPh) pasal
24
Sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: (1)
Kehutanan, (2) Pertambangan Umum, (3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak
Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi, dan (6) Pertambangan Panas Bumi.
Perimbangan dalam bentuk prosentase ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah
nomor: 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Untuk DBH PBB, 10%
(sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada
seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB
tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: 65% (enam puluh
lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan
35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten
dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan sektor tertentu (Badrudin, 2011).
Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang
dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk
Daerah. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah
yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan
Pertambangan Umum terdiri atas Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan
Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). Penerimaan
25
persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh
kabupaten/kota (Saragih, 2003).
2.1.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan rakyat dimana manusia
bukan hanya merupakan obyek pembangunan tetapi diharapkan dapat menjadi
subyek, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi kemajuan
suatu wilayah yang secara makro menjadi kemajuan suatu negara. Keberhasilan
pembangunan diukur dengan beberapa parameter, dan paling populer saat ini
adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks
(HDI) (Pratowo, 2011). Indeks Pembangunan Manusia adalah suatu indikator
yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur
dan representatif yang diperkenalkan melalui United Nations Development
Programe (UNDP) pada tahun 1990 oleh seorang pemenang nobel India Amartya
Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom dari Pakistan yang dibantu oleh Gustav
Ranis. Artaningtyas, dkk. (2011) mengemukakan bahwa IPM lebih fokus pada
hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya pendapatan per kapita
untuk melihat kemajuan pembangunan yang selama ini digunakan. IPM dapat
mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan:
1) IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam
pembangunan kualitas manusia.
2) IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan
26
haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan.
3) IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam
hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat penduduk.
4) Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam
pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan
kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas
hidup manusia.
Menurut BPS (2015) IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar yaitu umur
panjang dan hidup sehat (a long and helathy life), pengetahuan (knowledge), dan
standar hidup layak (decent standard of living). Dalam publikasi BPS mengenai
variabel dalam IPM metode baru maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Angka Harapan Hidup Saat Lahir – AAH (Life Expectancy – e0) yaitu
rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir.
2) Rata-rata Lama Sekolah – RLS (Mean Years of Scholling – MYS) yaitu
jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan
formal.
3) Angka Harapan Lama Sekolah – HLS (Expected Years of Scholling – EYS)
yaitu lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh
27
4) Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan yang dapat ditentukan dari nilai
pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (Purchasing Power Parity –
PPP).
Penghitungan IPM dihitung sebagai rata-rata aritmatik dari indeks
kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran yang disajikan dalam rumus sebagai
berikut:
IPM = 1/3 (Ikesehatan + Ipendidikan + Ipengeluaran) X 100 ... (1)
Dimana:
Ikesehatan = indeks angka harapan hidup
Ipendidikan = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata
lama sekolah)
Ipengeluaran = indeks pengeluaran per kapita disesuaikan
Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui
pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:
IPM < 60 : IPM rendah
60 ≤ IPM < 70 : IPM sedang
70 ≤ IPM < 80 : IPM tinggi
IPM ≥ 80 : IPM sangat tinggi
2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, landasan teori, dan hasil penelitian sebelumnya,
maka berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model
penelitian. Hubungan beberapa variabel tersebut di atas dapat digambarkan
28
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah,
pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat. Kemampuan daerah untuk menyediakan
pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan
merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan
ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah
yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2007).
PAD merupakan sumber pembiayaan yang paling penting dalam
mendukung kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
Artinya suatu daerah harus memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri, karena
salah satu indikator untuk melihat kadar otonomi suatu daerah terletak pada besar
kecilnya kontribusi daerah tersebut dalam PAD. Besar kecilnya hasil PAD paling
tidak dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat dan pada
gilirannya akan membawa dampak pada peningkatan kadar otonomi daerah
tersebut. PAD merupakan pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan H1
Pendapatan Asli Daerah (X1)
Dana Alokasi Umum (X2)
Dana Alokasi Khusus (X3)
Dana Bagi Hasil (X4)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Y) H3
H4
29
untuk masing-masing daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan daerah (Wijaya, 2007). Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif
terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak secara langsung
terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada daerah tersebut (BAPPENAS,
2003). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ardiansyah, dkk. (2014) menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah
berpengaruh signifikan terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan terhadap IPM.
Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai
berikut.
H1: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan
Manusia
2.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai
kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah satu
dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini,
pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan
dari pemerintah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya
menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan
penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004).
Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari
pemerintah pusat kepemerintah daerah, dan pemerintah daerah seharusnya
30
pelayanan lebih baik kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sebagaimana tuntutan dari otonomi daerah. Oleh karena itu, alokasi
yang tinggi bagi daerah bukan indikator kekayaan, melainkan pengalokasian dana
yang lebih tinggi bagi belanja langsung yang sangat berpengaruh pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Hal
tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014)
menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia. Setyowati dan Yohana (2012) menyatakan bahwa Dana
Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai
berikut.
H2: Dana Alokasi Umum berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan
Manusia
2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia Dalam hubungannya dengan perimbangan antara keuangan pusat dengan
daerah, Dana Alokasi Khusus hanya mempunyai fungsi sebagai pelengkap dari
jenis dana perimbangan lainnya. Namun dewasa ini peran Dana Alokasi Khusus
sangat penting dalam pembangunan daerah, hal ini disebabkan karena pada
umumnya komponen-komponen utama Dana Perimbangan yaitu Dana Alokasi
Umum digunakan untuk belanja tidak langsung. Oleh sebab itu, pemanfaatan dan
penggunaan DAK menjadi faktor penting guna pembangunan daerah itu sendiri
yang akan berdampak pada pembangunan nasional.
Sejak pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2001,
31
tahun 2007, penggunaan DAK telah meliputi tujuh bidang pelayanan
pemerintahan, yakni pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerja umum, prasana
pemerintahan, kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup. Jadi APBN
mengalokasikan DAK untuk membiayai pelayanan publik tertentu yang
disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Selain berperan dalam menunjang
penerimaan daerah DAK juga berperan cukup penting dalam meningkatkan
kapasitas belanja modal pemda dengan kecenderungan yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Jadi hal ini mampu mendorong pemerintah daerah agar dapat
meningkatkan mutu kualitas pembangunan manusia melalui pengalokasian
anggaran belanja modal yang secara otomatis berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat (Usman, 2008). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus
berpengaruh positif terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana
Alokasi Khusus berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal
tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.
H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan
Manusia
2.2.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah
penghasil berdasarkan angka presentase tertentu untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi hasil dimaksudkan
32
hasil & dana alokasi umum) menyamakan kemampuan fiskal pemerintah daerah
mendorong belanja daerah untuk kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan
nasional, mendorong pencapaian pelayanan dan standar minimum, dan
merangsang mobilisasi pendapatan. Dana Bagi Hasil merupakan sumber
pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar
pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja
daerah, khususnya belanja langsung sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai yang dapat diukur dengan IPM (Colfer, 2005 dalam Irwanti, 2014). Hal
tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lugastro (2013)
menyatakan bahwa Dana Bag Hasil berpengaruh positif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang
dihasilkan adalah sebagai berikut.
H4: Dana Bagi Hasil berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan