• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian sediaan gel penyembuh luka pada tikus jantan galur wistar dengan kombinasi zat aktif kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dan ekstrak kulit manggis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian sediaan gel penyembuh luka pada tikus jantan galur wistar dengan kombinasi zat aktif kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dan ekstrak kulit manggis."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI ZAT AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus monodon)

DAN EKSTRAK KULIT MANGGIS

Adis Pranaya Yakin

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari gel kitosan yang diambil dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak kulit manggis ditinjau dari bentuk, warna, bau, daya sebar dan viskositas dan mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kulit manggis terhadap penyembuhan luka pada tikus jantan galur Wistar.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 7 ekor tikus jantan galur Wistar diberikan perlakuan pemberian luka sebanyak 7 kelompok luka secara acak. Kelompok I (kontrol Bioplacenton) diberikan bioplacenton. Kelompok II (kontrol kitosan) diberikan gel kitosan 2%. Kelompok III (kontrol ekstrak) diberikan gel ekstrak kulit manggis konsentrasi 3%. Kelompok IV, V, dan VI (perlakuan gel kombinasi) diberikan gel kombinasi kitosan 2% dengan konsentrasi ekstrak kulit manggis 1%; 2% dan 3%. Dalam 7 hari setelah pemberian luka dan pengolesan gel, keropeng, kemerahan luka dan diameter luka diukur untuk mengetahui efek yang disebabkan. Data yang didapatkan diolah dengan uji statistika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kulit manggis pada gel kitosan 2% menaikan viskositas, merubah warna menjadi semakin berwarna cokelat tua tanpa adanya bau spesifik dan menurunkan daya sebar gel. Tidak ada perbedaan pada proses penyembuhan luka baik pada luka dengan gel kitosan 2% atau gel kombinasi kitosan dan ekstrak kulit manggis pada tikus jantan galur Wistar.

(2)

PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI ZAT AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus monodon)

DAN EKSTRAK KULIT MANGGIS

Adis Pranaya Yakin

ABSTRACT

The purposes of this study were to investigate the characteristic of combination gel derived from Peneaus monodon skin tissue and mangosteen peelings by looking at the colour, smell, viscosity and spreadability and to investigate the effect of addition of mangosteen peeling extract for wound healing.

This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total 7 male Wistar rats were wounded with 7 wounds each rat by punch biopsy. Group I ( bioplacenton) was given bioplacenton gel. Group II (chitosan control) was given chitosan gel 2%. Group III (mangosteen peelings extract control) was given mangosteen peelings extract 3%. Group IV, V, and VI (combination gel) was given a combination of chitosan gel 2% and mangosteen peeling extracts with concentration 1%, 2%, and 3%. At the 7 days after administration of the gels the scab, redness and the wound diameter were measured to know the effect. The data were analysed by statistic with confident interval 95%.

The result of this study showed that addition of mangosteen peelings extract 1,2 and 3% to the chitosan 2% gel increased viscosity, colour to dark

brown without any specific odor and decreased gel combination’s spreadability.

There was no different result in wound healing process, neither the chitosan 2% gel nor extract mangosteen peelings extracts on male Wistar rats.

(3)

i

PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI ZAT AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus monodon) DAN

EKSTRAK KULIT MANGGIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Adis Pranaya Yakin

NIM : 128114103

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

The best feeling in the world is knowing you actually mean something to somebody”

Dengan penuh puji syukur

Saya persembahkan skripsi saya ini kepada

Tuhan Yesus Kristus yang super luar biasa

Mami, my angel on heaven

Papi, my superhero in the world

Cece, Koko and my little nephew

Keluarga besar semuanya

Dosen, sahabat, teman seperjuangan dalam hidup

dan Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(7)
(8)
(9)

vii

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Sediaan Gel Penyembuh Luka pada Tikus Jantan Galur Wistar dengan Zat Aktif Kitosan dari Limbah Kulit Udang Windu (Peneaus monodon) dengan Penambahan Ekstrak Kulit Manggis. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian tahun 2015 yang berhasil

didanai oleh Dinas Pendidikan Tinggi dan merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Program Studi Farmasi Fakultas

Farmasi Univesitas Sanata Dharm

Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, dukungan dan

dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak berikut (in no particular

order) :

1. Ibu Phebe Hendra, M. Si., Apt., Ph. D. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan banyak bimbingan, arahan, semangat, dan dukungan selama

proses penuangan ide penelitian, penelitian maupun penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Ipang Djurnarko, M.Sc., Apt, selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan dan saran dalam penelitian ini.

3. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukan dan saran dalam penelitian ini.

4. Dr. Fenty selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan

nasehat, arahan, bimbingan dan saran selama ini.

5. Pihak – pihak laboraturium Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang turut membantu dalam penelitian, Pak Mus, Pak Parlan, Pak Heru dan semua

(10)

viii

6. Papi, Mami, atas kesabaran, kasih sayang, dan dukungan tanpa henti. Kakak

yang telah memberikan dukungan semangat, saran dan perhatian selama ini.

7. Reinaldy Dharmawan, yang telah menjadi partner skripsi serta partner yang

selalu memberikan motivasi dan dukungan untuk penyelesaian skripsi ini.

8. Rekan-rekan Program Kreativitas Mahasiswa “Gelitik”, Richardus Yudistira, Nadia Okky Luciana, Reinaldy Dharmawan, dan Fenny Marisza atas

kesediaan untuk bersama melakukan penelitian PKM.

9. Teman-teman gembira, Gabriela Rawing, Siti Sisca, Venny Valeria, Edward

Christian, Sona Karisnata, Novita dan Reinaldy Dharmawan atas semua solusi

dan kegembiraan yang telah diberikan selama ini.

10.Teman-teman bergosip, Rivena Meidina, Grace Shelia Pramitha Putri,

Megarista Afriana Putri, Richard Andrison Sadeli dan Maria Angelica Suhadi

atas segala dukungan dan keceriaan yang telah diberikan.

11.Rekan-rekan kelas FSM C dan FKK B 2012 atas semua bantuan dan

kenangannya selama ini.

12.Seluruh teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2012 yang selalu

menjadi motivasi terbesar untuk menyelesaikan skripsi ini, dan angkatan2013

yang turut serta menyemangati peneliti dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata, “tiada gading yang tak retak” penulis sadar banyak keterbatasan

dan kekurangan yang ada dalam skripsi ini, sehingga penulis berharap akan adanya

kritik dan saran yang dapat diberikan demi kemajuan di masa yang akan datang.

Penulis berharap agar skripsi ini akan memberikan manfaat dalam bidang kesehatan,

terutama dalam bidang kefarmasian, juga terhadap segala pihak, baik mahasiswa,

lingkungan akademis, maupun di masyarakat.

Yogyakarta, 30 Oktober 2015

(11)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan masalah... 4

2. Keaslian penelitian ... 5

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6

(12)

x

A. Udang Windu (Peneaus monodon) ... 7

B. Manggis dan kulit manggis ... 10

C. Kitin dan Kitosan ... 15

D. Pembuatan Kitin menjadi Kitosan... 19

1. Deproteinisasi ... 20

2. Demineralisasi ... 20

3. Depigmentasi... 20

4. Deasetilasi ... 20

E. Karakterisasi Kitosan ... 21

F. Luka Terbuka dan Uji Penyembuhan Luka ... 23

G. Proses Penyembuhan Luka ………...25

H. Landasan Teori ... 28

I. Hipotesis ... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ... 30

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 30

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 30

(13)

xi

3. Ekstraksi kitin dari kulit udang ... 34

4. Pembuatan gel kitosan dari kulit udang dan ekstrak kulit manggis. ... 36

5. Karakterisasi gel kombinasi ... 37

6. Sterilisasi produk. ... 38

7. Pengujian gel kombinasi pada hewan uji . ... 38

8. Pembuatan luka pada hewan uji ... 39

9. Pemberian gel, kontrol positif dan negatif pada hewan uji ... 40

10.Pengamatan kecepatan penyembuhan luka ... 40

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 41

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A.Pembuatan Gel Kitosan 2% dengan ekstrak kulit manggis………....46

B.Pengujian Gel Kombinasi ……….47

1. Uji organoleptis ... 47

2. Uji pH………...48

3. Uji viskositas………50

4. Uji daya sebar………..52

5. Uji efektifitas anti luka ... 53

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Sumber-sumber kitin dan kitosan ... 12

Tabel II. Formulasi gel pada penelitian ... 36

Tabel III. Hasil organoleptis formula gel yang dibuat ... 48

Tabel IV. Hasil pH formula gel yang dibuat ... 49

Tabel V. Viskositas formula gel... 51

Tabel VI. Rerata daya sebar formula (cm) ... 52

Tabel VII. Rerata diameter luka dan presentase kesembuhan luka ... 58

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Morfologi udang windu (Peneaus monodon)... 8

Gambar 2. Struktur kimia kitin ... 17

Gambar 3. Struktur kimia kitosan ... 17

Gambar 4. Spektogram membran kitosan. ... 22

Gambar 5. Luka pada setiap hewan uji ... 39

Gambar 6. Hasil FTIR yang dihasilkan... 45

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto kulit buah manggis. ... 74

Lampiran 2. Foto kulit udang. ... 75

Lampiran 3. Foto serbuk kitosan dari kulit udang. ... 76

Lampiran 4. Foto ekstrak kulit manggis ... 77

Lampiran 5. Foto gel kombinasi 1,2, dan 3%. ... 78

Lampiran 6. Certificate of Analysis ekstrak kulit manggis ... 79

Lampiran 7. Surat ethical clearance penelitian ... 83

Lampiran 8. Surat keterangan penggunaan IBM SPSS Statistics 22 asli ... 84

Lampiran 9. Hasil analisis gel (viskositas, pH, homogenitas, daya sebar) ... 85

Lampiran 10. Hasil analisis kualitatif luka (keropeng luka)... 88

Lampiran 11. Hasil analisis kualitatif luka (kemerahan luka) ... 89

Lampiran 12. Hasil analisis kuantitatif luka (diameter luka). ... 90

Lampiran 13. Hasil statistika ... 92

(17)

xv

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari gel kitosan yang diambil dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak kulit manggis ditinjau dari bentuk, warna, bau, daya sebar dan viskositas dan mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kulit manggis terhadap penyembuhan luka pada tikus jantan galur Wistar.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 7 ekor tikus jantan galur Wistar diberikan perlakuan pemberian luka sebanyak 7 kelompok luka secara acak. Kelompok I (kontrol Bioplacenton) diberikan bioplacenton. Kelompok II (kontrol kitosan) diberikan gel kitosan 2%. Kelompok III (kontrol ekstrak) diberikan gel ekstrak kulit manggis konsentrasi 3%. Kelompok IV, V, dan VI (perlakuan gel kombinasi) diberikan gel kombinasi kitosan 2% dengan konsentrasi ekstrak kulit manggis 1%; 2% dan 3%. Dalam 7 hari setelah pemberian luka dan pengolesan gel, keropeng, kemerahan luka dan diameter luka diukur untuk mengetahui efek yang disebabkan. Data yang didapatkan diolah dengan uji statistika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kulit manggis pada gel kitosan 2% menaikan viskositas, merubah warna menjadi semakin berwarna cokelat tua tanpa adanya bau spesifik dan menurunkan daya sebar gel. Tidak ada perbedaan pada proses penyembuhan luka baik pada luka dengan gel kitosan 2% atau gel kombinasi kitosan dan ekstrak kulit manggis pada tikus jantan galur Wistar.

(18)

xvi

ABSTRACT

The purposes of this study were to investigate the characteristic of combination gel derived from Peneaus monodon skin tissue and mangosteen peelings by looking at the colour, smell, viscosity and spreadability and to investigate the effect of addition of mangosteen peeling extract for wound healing.

This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total 7 male Wistar rats were wounded with 7 wounds each rat by punch biopsy. Group I ( bioplacenton) was given bioplacenton gel. Group II (chitosan control) was given chitosan gel 2%. Group III (mangosteen peelings extract control) was given mangosteen peelings extract 3%. Group IV, V, and VI (combination gel) was given a combination of chitosan gel 2% and mangosteen peeling extracts with concentration 1%, 2%, and 3%. At the 7 days after administration of the gels the scab, redness and the wound diameter were measured to know the effect. The data were analysed by statistic with confident interval 95%.

The result of this study showed that addition of mangosteen peelings extract 1,2 and 3% to the chitosan 2% gel increased viscosity, colour to dark brown without

any specific odor and decreased gel combination’s spreadability. There was no

different result in wound healing process, neither the chitosan 2% gel nor extract mangosteen peelings extracts on male Wistar rats.

(19)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah perairan

sebesar tiga juta dua ratus lima puluh tujuh tibu empat ratus delapan puluh tiga

kilometer persegi (3.257.483 km2) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Oleh

karena itu banyak sekali hewan air yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Banyak biota laut yang digunakan sebagai sumber pangan Indonesia yang biasa

disebut dengan seafood atau makanan laut.

Udang windu (Peneaus monodon) merupakan hewan laut yang banyak

digemari oleh orang Indonesia untuk dikonsumsi, baik anak kecil hingga orang

dewasa. Tetapi seperti yang kita ketahui bersama bahwa bagian yang dikonsumsi dari

binatang itu adalah bagian daging dan terkadang kepalanya saja, sehingga

menyebabkan bagian kulit atau cangkangnya hanya terbuang begitu saja dan menjadi

limbah lingkungan. Udang windu (Peneaus monodon) merupakan binatang jenis

Crustacea yang bagian kulitnya mengandung protein 25-40%, kitin 15-20% dan

kalsium karbonat 45-50%. Kitosan merupakan biopolimer yang diperoleh dari

deasetilasi kitin. Akhir-akhir ini kitosan banyak dimanfaatkan dalam beragam industri

(20)

menjadi sesuatu yang berguna, selain itu kitosan banyak digunakan karena sifat-sifat

kitosan yang tidak beracun dan biodegradable (Suhardi, 1992).

Proses utama dalam pembuatan kitosan meliputi penghilangan protein dan

kandungan mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, yang

massing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, kitosan

diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa

(Tolamatea, Desbrieresb, Rhazia, Alaguic, 2003; Rege dan Lawrence, 1999).

Di Indonesia, kitosan masih jarang digunakan, terlebih dalam penggunaan di

bidang medis. Di negara Barat, penggunaan kitosan dalam dunia medis sudah banyak

dimanfaatkan antara lain sebagai basis hidrogel penyembuh luka, pembawa obat

anti-kanker, dan sistem penghantaran obat nanoteknologi pada terapi jaringan mata. Selain

itu telah diketahui bahwa kitosan memiliki sifat bakteriostatik, fungistatik,

menstimulasi proliferasi sel, merangsang makrofag, agen hemostatik dan membantu

penyembuhan luka secara cepat (Sarmento, 2012; Yamazaki. 2007). Oleh karena itu,

perlu adanya penelitian medis dengan menggunakan kitosan sebagai tambahan bahan

penting yang dapat membantu mempercepat penyembuhan luka.

Kulit manggis yang dahulu hanya dibuang saja ternyata menyimpan sebuah

harapan untuk dikembangkan sebagai kandidat obat. Kulit buah manggis setelah

diteliti ternyata mengandung beberapa senyawa dengan aktivitas farmakologi

misalnya antiinflamasi, antihisamin, pengobatan penyakit jantung, antibakteri, anti

(21)

kandungan kulit buah manggis yang dilaporkan bertanggungjawab atas beberapa

aktivitas farmakologi adalah golongan xanton. Senyawa xanton yang telah

teridentifikasi, diantaranya adalah alfa mangostin dan gamma mangostin Ekstrak kulit

manggis yang mengandung antiinflamasi dan antioksidan yang tinggi menimbulkan

harapan yang besar terkait dengan proses penyembuhan luka.(Jinsart, Ternai,

Buddhasukh, Polya, 1992). Berbagai penelitian menunjukkan, senyawa xanthone

memiliki sifat antidiabetes, antikanker, antiperadangan, meningkatkan kekebalan

tubuh, antibakteri, dan antifungi. Kandungan alpha mangostin dan gamma mangostin

pada buah manggis juga bersifat sebagai antibakteri dan antiinflamasi. Kedua jenis

xanthone tersebut dapat membantu menghentikan inflamasi dengan cara menghambat

produksi enzim cox yang menyebabkan inflamasi (Nakatani, Yamakuni, Kondo,

Arakawa, Oosawa, Shimura, Inoue, dan Ohizumi, 2004).

Luka terbuka di kulit disebabkan goresan, tekanan, atau benda tajam. Waktu

untuk proses penyembuhan luka terbuka ini dibagi atas tahap inflammasi selama 0-3

hari, tahap proliferasi 3-24 hari dan tahap maturasi 24-365 hari (Australian Wound

Management Association, 2008). Waktu proses penyembuhan luka yang relatif lama,

menyebabkan rasa yang tidak nyaman pada pasien, dan kulit menjadi rentan

mengalami infeksi oleh mikroorganisme.

Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian memberikan banyak

manfaat untuk mahasiswa yang ingin berkreasi dalam melakukan penelitian akan

hal-hal baru yang belum diketahui banyak orang. Penelitian ini merupakan penelitian

(22)

Pemanfaatan Limbah Kulit Udang sebagai Bahan Baku Pembuatan Gel Kitosan Gel

Anti Luka yang menyimpulkan bahwa penggunaan gel kitosan yang terbuat dari kulit

udang windu (Peneaus monodon) dapat dijadikan sebagai gel dan dapat membantu

proses penyembuhan luka dengan konsentrasi efektif sebesar 2% (Yakin, Luciana,

Marizsa, Yudistira dan Dharmawan, 2015).

Oleh karena itu penelitian dilakukan pembuatan bentuk sediaan gel dengan

bahan dasar kitosan dari kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan

ekstrak kulit manggis, lalu dilakukan uji viskositas gel dan uji daya sebar gel. Selain

itu, untuk melihat pengaruh pemberian kitosan dari kulit udang windu (Peneaus

monodon) yang ditambah ekstrak kulit manggis terhadap proses regenerasi sel kulit

dilakukan uji terhadap tikus jantan galur Wistar.

1. Permasalahan

a. Bagaimana karakteristik gel penyembuh luka dengan zat aktif kitosan yang

dibuat dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dan ekstrak kulit

manggis?

b. Bagaimana pengaruh penambahan ekstrak kulit manggis pada gel penyembuh

luka dengan zat aktif kitosan dari kulit udang windu (Peneaus monodon)

(23)

2. Keaslian penelitian

Penelitian serupa yang dilakukan Laksana (2013) yaitu pembuatan polimer

bakteri selulosa dengan kitosan untuk penyembuhan luka memiliki perbedaan

yaitu penelitian tersebut menggunakan biomaterial limbah cucian ketela pohon

dengan penambahan kitosan yang telah ada dipasaran, dan penelitian oleh

Puspawati dan Simpen (2010) mengenai optimasi deasetilasi khitin dari kulit

udang dan cangkang kepiting limbah restoran seafood menjadi khitosan melalui

variasi konsentrasi NaOH, sedangkan penelitian ini menggunakan kitosan yang

diproses dan diperoleh dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dan

ekstrak kulit manggis. Sejauh yang peneliti ketahui belum ada penelitian

mengenai pembuatan gel penyembuh luka dengan memanfaatkan limbah kulit

udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak kulit manggis.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu

pengetahuan tentang pembuatan gel penyembuh luka berbahan dasar kitosan

yang didapatkan dari kulit udang windu (Peneaus monodon) dan ekstrak kulit

manggis.

b. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

metode pengembangan yang dapat dilakukan oleh kitosan dan ekstrak kulit

(24)

c. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif gel

penyembuh luka yang dibuat dari limbah yang bersifat ramah lingkungan.

B. Tujuan

1. Penelitian ini bertujuan utuk mengetahui karakteristik gel penyembuh luka

dengan zat aktif kitosan yang diambil dari limbah kulit udang windu (Peneaus

monodon) dengan penambahan ekstrak kulit manggis ditinjau dari bentuk, warna,

bau, daya sebar dan viskositas.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kulit

manggis pada gel penyembuh luka dengan zat aktif kitosan dari limbah kulit

udang windu (Peneaus monodon) terhadap penyembuhan luka tikus jantan galur

(25)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Udang Windu (Peneaus monodon)

Udang windu adalah nama popular yang dikenal di seluruh wilayah

Indonesia. Nama-nama lokal dari jenis udang ini yaitu udang pancet, udang bago, dan

udang tepus hanya dikenal didaerah tertentu saja. Nama internasional dari udang

windu adalah tiger prawn lantaran berukuran besar dan warna tubuhnya

bergaris-garis hitam-putih melintang seperti harimau. Terkadang ada juga yang menyebutnya

jumbo tiger prawn untuk udang windu yang ukurannya ekstra besar, yakni mencapai

50 gram sampai lebih dari 100 gram. Bahkan, induk-induk udang windu yang

ditangkap di laut dalam dapat mencapai berat badan 270-300 gram per ekor (Suyanto,

dan Takarina, 2009).

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada

(cephalotorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas,

yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle,

mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped

dan 5 pasang kaki jalan (peripoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas

yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang

(pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama

(26)

Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan

endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti

kulit luat atau eksoskleton secara periodic yang biasa disebut dengan istilah moulting

(Mujiman dan Suyanto, 1999).

Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Paneaus monodon) (Suwignyo, 1990).

Habitat hidup udang windu muda adalah wilayah pantai berair payau pada

daerah hutan bakau yang berlumpur dengan campuran pasir subur. Menjelang

dewasa, udang akan berpindah ke arah laut dalam, tempat udang tumbuh dewasa dan

melakukan perkawinan untuk selanjutnya bertelur di kedalaman laut 10-40 m. Jumlah

telurnya dapat mencapai 500.000-1.000.000 butir, tergantung pada berat badan sang

(27)

Udang windu digolongkan dalam family Penaeidae pada filum Arthopoda.

Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Fillum : Arthropoda

Subfillum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

Kandungan nutrisi udang windu adalah protein 21%, lemak rendah 0,2%,

Vitamin B1 0,01 mg yang dapat bermanfaat untuk meningkatkan energi tubuh,

mencegah anemia, membantu metabolisme glukosa, menjaga fungsi otak, menjaga

sistem pencernaan, mencegah neuropati, dan menyembuhkan penyakit beri-beri.

Vitamin A sebesar 60 SI/ 100, kandungan mineral berupa zat kapur dan fosfor

masing-masing 136 mg dan 170 mg per 100 gram bahan dan kitin sebesar 25 %

(28)

B. Manggis dan Kulit Manggis

Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah buah tropis yang ada di daerah

Asia Tenggara. Manggis digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati infeksi,

luka dan diare (Mahabusarakam, Kuaha, Wilairat, Taylor,2006). Buah manggis

sekarang menjadi terkenal karena bahan aktifnya yang bisa digunakan untuk

membantu pengobatan. Ada lebih dari 50 xanthone alami yang telah dilaporkan

berada didalam kandungan buah manggis (Pedraza-Chaverri, Cardenas-Rodriguez,

Orozco-Ibara, Perez-Rojas, 2008). Xanthones adalah metabolit sekunder yang sering

muncul di famili tanaman yang lebih tinggi, dan jamur. Xanthone dan tanin memiliki

peran untuk menjaga tanaman dari serangga, jamur, virus tanaman, bakteri dan hewan

predator saat buah belum matang (Akao, Nakagawa, Iinuma, Nozawa, 2008).

Xanthone dan tanin juga memiliki fungsi farmakologis sebagai antimalarial

(Mahabusarakam, et al., 2006), antibakteri (Chomnawang, Sakagami, Nukoolkarn,

Gritsanapan, 2005), antifungi dan antivirus, anti inflamasi dan antialergi, senyawa

antioksidan dan antitumor (Nakagawa, Iiunuma, Naoe, Nozawa, Akao, 2007).

Xanthone biasa dipisahkan dengan kromatografi pada silica gel,

menggunakan campuran pelarut yang sesuai pada HPLC. Fase terbalik HPLC,

dengan detektor diode array yang diaplikasikan secara luas untuk analisa senyawa

karena sensivitas tinggi dan cara pengoperasian yang mudah. Struktur dari xanthone

dideterminasi dengan menggunakan IR (Perez, Nagem, De Oliveira, 2000).

Xanthone seperti kelas fenolik lainnya tidak dapat diproduksi oleh tubuh

(29)

pertumbuhan dari makanan fungsional yang memerlukan pengetahuan dari komposisi

kimia makanan. Komponen fenolik terdistribusi luas di tanaman, sayuran,

buah-buahan, gandum dan lain-lain yang mengandung antioksidan alami dengan efek yang

menguntungkan bagi tubuh. Antioksidan dapat berpartisipasi pada proteksi melawan

radikal bebas. Radikal bebas dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan kondisi

buruk dan merupakan penyebab dari penyakit kronis, seperti penyakit kardiovaskular

dan kanker (Zerena dan Sankar, 2009). Selain itu masih banyak aktivitas biologis

yang bisa dipengaruhi oleh xanthone yaitu :

1. Anti inflamasi

Penelitian telah menemukan bahwa terdapat efek anti inflamasi yang

terdapat pada kulit manggis, gamma mangostin pada sel NG108-15.

Penelitian menunjukan dengan adanya peningkatan ekspresi dari serotonin 2,

histamin H1 dan reseptor bradikinin 2 merupakan peran yang penting pada

tahap inflamasi, nyeri dan neuropsychiatric symptoms (Sukma, Tohda,

Suksamran, Tantisira, 2011). Penelitian lain juga menunjukan bahwa alpha

dan gama mangostin yang diekstrak dari kulit buah manggis menghambat

lipopolisakarida yang menginduksi inflamasi dari manusia yang berupa

makrofag dan adiposa. Kedua xanthone tersebut mengurangi TNF-alpha,

ekspresi gen IL- 6, namun untuk mekanisme pastinya belum diketahui

(Bumrungpert, Kalpravidh, Chuang, Overman, Martinez, Kennedy, 2010).

(30)

Penelitian terkait dengan isolasi xanthone dari kulit manggis yang dibuat

menjadi serbuk ekstrak. Pelarut yang digunakan adah siklo heksan,

kloroform, dan etil asetat. Kemudian ekstrak dikonsentrasikan dengan

penguapan dibawah tekanan dan kemudian xanthone diisolasi didalam

bentuk ekstrak oleh HPLC dengan kolom normal untuk mengambil

xanthone. Xanthone yang telah berhasil diisolasi yaitu forbexanthone,

isocudraniaxanthone A dan 5, 7-dihydroxychromone,

6-0-methyl-2-deprenylrheediaxanthone B dan vieillardixanthone diujikan aktivitas

antioksidannya dengan menggunakan metode DPPH. Hasil dari uji anti

oksidan menunjukan bahwa terdapat 2 xanthone yang mempunyai aktivitas

sebagai antioksidan yaitu vieillardixanthone dan isocudraniaxanthone A

(Hay, Aumond, Mallet, Dumontet, Litaudon, Rondeau, 2004). Mekanisme

molekular yang terjadi pada mangiferin sebagai xanthone alami adalah

memproteksi fungsi hati. Mangiferin mengandung antioksidan dan

antiapoptosis, yang dapat melindungi hati agar tidak kehilangan fungsinya

(Pal, Sunha, Sil, 2013).

3. Anti bakteri

Sebuah penelitian mengatakan bahwa alpha mangostin, yang diisolasi dari

batang Garcinia mangostana L., baik sendiri maupun dengan kombinasi

dengan gentamicin atau vancomiycin itu menjadi aktif untuk melawan

(31)

Staphylococcus aureus (MSRA) (Sakagami, Iinuma, Piyasena, Dharmaratne,

2005).

4. Anti kanker

Senyawa xanthone dilaporkan memiliki aktivitas farmakologis sebagai anti

kanker dan telah diteliti oleh beberapa penelitian, yaitu alpha mangostin,

dapat menghambat induksi apoptosis dan menghambat pertumbuhan sel

leukemia HL60 (Matsumoto, Akao, Kobayashi, Ohguchi, Ito, Tanaka,

2003). Penelitian lain terkait dengan kanker payudara juga mendapatkan

hasil positif, penggunaan kulit manggis dapat menormalkan fungsi sel yang

mengakibatkan mutase sel p 53 (Kurose, Shibata, Iinuma, Otsuki, 2012).

Penelitian juga menunjukan bahwa alpha mangostin dapat menurunkan sel

kanker prostat dengan dosis tertentu, penelitian dilakukan pada tikus yang

diimplan dengan sel 22 Rv 1, dan menunjukan bahwa alpha mangostin dapat

menurunkan pertumbuhan tumor bila dibandingkan dengan kontrol

(Johnson, Petiwala, Syed, Rasmussen, Adhanmi, Siddiqui, 2012).

5. Antihistamin

Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil peran penting adalah

sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya yaitu histamine dan

serotonin. Alergi disebabkan oleh respon imunitas terhadap suatu antigen

ataupun allergen yang berinteraksi dengan limfosit B yang dapat

memproduksi immunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin E yang diproduksi

(32)

mast. Setelah adanya interaksi kembali antara antigen-antibodi, akan

merangsang sel mast untuk melepaskan histamin ( Kresno, 2001).

Berhubungan dengan reaksi alergi atau pelepasan histamine tersebut,

Chairungsrilerd, Furukawa, Ohta, Nozoe, Ohizumi, pada tahun 1996a,

1996b, 1998, melakukan pengujian ekstrak methanol kulit buah manggis

terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang diinduksi oleh histamin

maupun serotonin. Dari hasil analisa komponen-komponen aktif dari fraksi

lanjutan hasil dari kromatogradi gel silica, mengindikasikan bahwa senyawa

aktifnya adalah alfa dan gamma mangostin. Alfa mangostin sendiri mampu

menunjukkan aktivitas penghambatan kontraksi trakea marmot terisolasi,

yang diinduksi simetidin, antagonis resesptor histmain H2. Namun, senyawa

tersebut tidak menunjukan aktivitas pada kontraksi yang diinduksi karbakol,

fenilefrin, dan KCL. Alfa mangostin juga mampu menghambat ikatan

mepiramin terhadap sel otot polos aorta tikus. Senyawa terakhir tersebut

merupakan antagonis spesifik bagi reseptor histamine H1. Dari analisa

kinetika ikatan mepiramin mengindikasikan bahwa alfa mangostin

menghambat secara kompetitif. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa

alfa mangostin tersebut dikategorikan sebagai pengeblok reseptor

histaminergic khususnya H1, sedangkan gamma mangostin sebagai

pengeblik reseptor serotonergic khususnya 5- hidroksitriptamin 2A atau

5HT2A.

(33)

Telah disebutkan sebelumnya terkait dengan berbagai fungsi dari alpha

mangostin. Berkaitan dengan fakta bahwa alfa mangostin dapat menghambat

proses oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL) yang sangat berperan

dalam aterosklerosis (William, Ongsakul, Proudfoot, Croft, Beilin, 1995).

Sedangkan Mahaburasakam, Proudfoot, Taylor, Croft (2000) melaporkan

bahwa xanton terprenilasi juga dapat menghambat proses oksidasi dari LDL

tersebut. Penelitian lainnya, mangostin dilaporkan menghambat poten

terhadap HIV-1 protease (Chen, Wan, Loh, 1996). Sementara itu,

Gopalakrishnan, Banumathi, Suresh (1997) melaporkan bahwa senyawa

xanton mangostin dari kulit buah manggis mampu menghambat

pertumbuhan jamur patogenik : Fusarium oxysporum vasinfectum,

Alternaria tenuis, dan Dreschlera oryzae.

C. Kitin dan Kitosan

Kitin merupakan polisakarida alami nomor 2 di dunia setelah selulosa dan

terbuat dari β (1-4) yang terhubung dengan 2-acetamido-2 deoxy- β-D-glukosa

(N-acetylglucosamine). Biasanya dianggap sebagai derivate dari selulosa, meskipun

tidak muncul pada organisme yang menghasilkan selulosa. Strukturnya seperti

selulosa, tetapi mempunyai gugus asetamida (-NHCOCH3) pada posisi C-2. Kitin

diperkirakan diproduksi secara berkala sebanyak selulosa. Perkembangan fungsi dari

(34)

polisakarida mengandung nitrogen yang ditemukan di eksoskeleton. Limbah dari

polimer alami ini adalah sumber dari polusi di permukaan laut.

Derivat dari kitin dapat diklasifikasikan kedalam 2 kategori yaitu, pada

setiap kasus, grup N-asetil dibuang, dan gugus fungsi amino bereaksi dengan acyl

chlorides atau anhidrat untuk memberikan group NHCOR atau dimodifikasi dengan

aminasi reduktif menjadi NHCH2COOH. Reaksi tersebut yang membawa kitin atau

kitin yang belum terdeasetilasi sempurna, kitosan, sehingga menghasilkan polimer

yang mengandung 3 tipe unit monomer. Polyampholytes ini efektif untuk membuang

logam dari larutan (Kumar, Dutta, Tripathi, 2004).

Kitin biasanya digunakan untuk imobilisasi enzim dan seluruh sel, imobilasi

enzim digunakan untuk industru makanan seperti jus buah dan proses pembuatan

susu ketika α-dan β-amilase atau invertase ada didalamnya. Karena sifatnya yang

biodegradable, tidak toksik, inert, antibakteria, hidrofilik, gel-forming properties dan

afinitas terhadap protein tinggi, kirtin sering digunakan menjadi biosensors. Kitin

biasa digunakan untuk penanganan polusi industry yang sering terhadi (Rinaudo,

2006).

Kitosan didapat dari derivat kitin. Kitin biasanya didapatkan dari

eksoskeleton crustacea seperti kepiting dan udang. Dalam pembentukan kitosan, kitin

ini harus melewati proses deasetilasi terlebih dahulu. Kitosan ini ketika dilarutkan

cenderung membentuk lapisan film dan berserat, sehingga kitosan biasa dimanfaatkan

sebagai pembentuk basis gel, tetapi pH kitosan tidak larut dalam larutan netral atau

(35)

terprotonasi sehingga meningkatkan kelarutan kitosan dalam air. Kitosan juga

memiliki kelarutan yang baik dengan polimer lain dalam pembentukan kompleks atau

kelat (Niekraszewicz, 2005; Sarmento, 2012).

Pembentukan kitosan dari kitin terjadi penambahan gugus fungsi NH2 akibat

deasetilasi (Gambar 2). Semakin tinggi tingkat deasetilasinya, maka semakin murni

kitosan yang dihasilkan. Jadi sebenarnya kitin dan kitosan merupakan polimer yang

sama, namun yang membedakan adalah derajat deasetilasinya(DD). Secara umum,

jika molekul polimer memiliki lebih dari 50% N-asetilglukosamin maka disebut

dengan kitin, sedangkan jika unit N-glukosamin lebih dari 50% maka disebut dengan

kitosan (Gambar 3) (Liu, 2007)

Gambar 2. Struktur kimia dari kitin (Foudad,2008)

(36)

Meskipun kitosan tidak ada di mamalia, namun beberapa mammalian enzyme seperti

lisozim dapat menghidrolisis kitosan. Proses biodegradasi kitosan ini tergantung dari

2 faktor utama yaitu derajat deasetilasi kitosan dan jumlah N-asetilglukosamin.

Biodegradasi kitosan akan berkurang jika derajat deasetilasi lebih dari 70% dan

kitosan dengan distribusi N-asetilglukosamin acak menjadi kurang rentan terhadap

degradasi enzim lisozim dibandingan kitosan yang memiliki tiga blok

N-asetilglukosamin berurutan (Lee, Ha, dan Park 1995 ; Aiba, 1992).

Ada banyak binatang yang digunakan sebagai penghasil kitin (Tabel I).

Penghasil kitosan yang paling besar adalah udang dengan konsentrasi kitin sebesar

70% diikuti dengan kepiting yang mengandung 69%.

Tabel I. Sumber-sumber kitin ( Muzzarelli, 1977 ).

No Sumber Jumlah ( %)

1. Jamur / cendawan 5-20

2. Tulang cumi-cumi 3-20

3. Kalajengking 30

4. Laba-laba 38,5

5. Kecoa 35

6. Kumbang 37

7. Ulat sutra 44

8. Kepiting 69

(37)

Kitosan mempunyai sifat tidak berbau, berwarna putih seperti serbuk putih

cream. Pembentukan serat kitosan biasa terjadi selama proses presipitasi dan kitosan

dapat terlihat seperti kapas. bersifat hidrofilik, menahan air dalam strukturnya dan

membentuk gel secara spontan. Pembentukan gel berlangsung pada harga pH asam

dan sedikit asam, disebabkan sifat kationik kitosan. Gel kitosan terdegradasi secara

berangsur-angsur, sebagaimana halnya kitosan melarut (Muzzarelli, 1977).

Kitosan banyak digunakan dalam bidang kosmetik dan dengan pengawasan

digunakan dalam formulasi farmasi. Kecocokan dan performa dari kitosan sebagai

komponen dari formulasi farmasi sebagai penghantar obat telah diteliti pada banyak

percobaan. Kitosan telah diproses melalui beberapa bentuk sediaan farmasi termasuk

gel, film, tablet dan coating untung liposoma (APhA, 2006).

Serbuk kitosan adalah materi stabil yang dapat disimpan pada suhu ruangan

namun serbuk kitosan bersifat higroskopik setelah pengeringan. Kitosan seharunya

dapat disimpan pada tempat yang tertutup rapat pada tempat sejuk, dan kering. PhEur

2005 menspesifikasikan bahwa kitosan seharusnya disimpan pada suhu 2-80C.

Kitosan mempunyai sifat inkompatibilitas dengan agen oksidator kuat (APhA, 2006).

D. Pembuatan Kitin menjadi Kitosan

Selain kitin, di dalam eksoskeleton crustacean juga terdapat protein, material

anorganik terutama kalsium karbonat, pigmen dan sebagian kecil lemak. Secara

(38)

1. Deproteinisasi

Tahap awal dimulai dengan pemisahan protein dengan larutan basa, yang

disebut dengan tahap deproteinasi. Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein

pada bahan dasar cangkang. Efektifitas prosesnya tergantung pada konsentrasi NaOH

yang digunakan.

2. Demineralisasi

Tahap kedua yaitu demineralisasi. Tahap demineralisasi bertujuan untuk

memisahkan mineral organic yang terikat pada bahan dasar, yatu CaCO3 sebagai

mineral utama dan Ca(PO4)2 dalam jumlah minor. Dalam proses demineralisasi

menggunakan larutan asam klorida encer.

3. Depigmentasi

Penghilangan zat-zat warna dilakukan pada waktu pencucian residu setelah

proses deproteinasi dan proses demineralisasi. Pada proses ini hasil dari proses

demineralisasi direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan agensia pemutih atau

peroksida. Proses decolorisasi ini bertujuan untuk menghasilkan warna putih pada

kitin.

4. Deasetilasi

Transformasi kitin menjadi kitosan disebut sebagai tahap deasetilasi, yaitu

dengan memberikan perlakuan dengan basa berkonsentrasi tinggi. Rekasi deasetilasi

bertujuan untuk memutuskan gugus asetil yang terikat pada nitrogen dalam struktur

senyawa kitin untuk memperbesar presentase gugus amina pada kitosan (Indra dan

(39)

E. Karakterisasi Kitosan

Karakterisasi kitosan menggunakan analisis Gugus Fungsi dengan Fourier

Transford Spectm Infra Red Spectroscopy (FT-IR) yang pada dasarnya merupakan

gambaran dari pita absorpsi yang spesifik dari gugus fungsional yang mengalami

vibrasi karena pemberian energi. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada

atau tidaknya absorbs pada frekuensi tertentu merupakan penanda ada tidaknya gugus

fungsional tertentu. Penggunaan spektrofotometri infra merah pada bidang kimia

organik dilakukan pada daerah bilangan gelombang 650-4000 cm-1 (15.4-2.5 µm)

(Sastrohamidjojo,2001).

Evaluasi intensitas sinyal yang didapatkan didasarkan pada hokum Lambert

Beer, seperti yang dinyatakan oleh persamaan berikut :

� = �I� = Ɛ . .

E merupakan kerapatan optis atau absorbansi. I0 dan I adalah intensitas pada panjang

gelombang tertentu dari sinar terekstitasi dan intensitas sinar setelah melewati

sampel. Ɛ adalah koefisien molar ekstinksi, c adalah konsentrasi polimer, dan d

adalah ketebalan lapisan.

Nilai E dapat langsung diperoleh dari alat, namun demikian evaluasi polimer

membutuhkan pertimbangan lebih lanjut, pada umumnya banyak pita pada spectrum

(40)

harus dilakukan, dan intensitas sinyal yang disebabkan oleh absorbs tetangga dan

background harus dapat dipisahkan dari absorpsi pita yang dimaksud. Kemudian,

baik absorbansi pada serapan maksimal (Emax) maupun intensitas sinyal maksimum

(yang didapatkan dari integrasi seluruh sinyal) dapat digunakan untuk informasi

kuantitatif (Braun, Cherdon, Rehahn, Ritter, Voit, 2005).

Pada beberapa kasus, polimer kristalin akan menunjukan pita absorpsi pada

spectrum IR, misalnya pita “kristalin” plyethylene pada 730 cm-1, atau pita

“amorphous” polyethylene pada 1300 cm-1. Dengan adanya penentuan intensitas

pita-pita ini dapat digunakan sebagai acuan kemungkinan terjadinya perubahan

derajat kristalinitas sampel akibat pemanasan maupun perubahan kondisi sediaan

(Davis, 2004).

Gambar 4. Spektogram membrane kitosan (Anicuta, Dobre, Stroescu, Jipa, 2010).

Puncak (peak) absorpsi karakteristik kitosan terletak pada bilangan

gelombang 1559,17 cm-1, yang menunjukan adanya vibrasi stretching gugus amino

(41)

lainnya berada pada bilangan gelombang 3367,1 yang menunjukan vibrasi amina NH

simetrik 2927,41 cm-1 yang menunjukkan vibrasi C-H, dan dua puncak pada 896,73

cm-1 serta 115,19 cm-1 yang menunjukan keberadaan struktur sakarida kitosan

(Costa-Junior, Pereira, Mansur, 2009).

F. Luka Terbuka dan Uji Penyembuhan Luka

Luka terbuka adalah luka yang terjadi karena rusaknya jaringan kulit bagian

luar hingga terjadi pendarahan luar. Luka terbuka memungkinkan mikroorganisme

untuk masuk ke dalam bagian dalam kulit melalui luka ini. Luka Insisi merupakan

luka terbuka yang disebabkan karena pisau, gunting atau benda tajam lainnya yang

cukup dalam dan memiliki resiko pendarahan cukup tinggi (Grafft dan Sarff, 2012).

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai

kegiatan bioseluler dan biokimia terjadi secara berkesinambungan. Jenis

penyembuhan yang paling sederhana dapat terlihat pada insisi pembedahan yang tepi

lukanya dapat saling didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan.

Penyembuhan seperti ini yang disebut penyembuhan primer (healing by first

intention). Apabila luka yang terjadi cukup parah seperti adanya kerusakan epitel

yang menyebabkan kedua tepi luka berjauhan maka disebut penyembuhan sekunder

(healing by second intention atau penyembuhan dengan granulasi) (Price, Mc Carty,

1992). Berdasarkan perubahan morfologik, terdapat tiga fase persembuhan luka yaitu

(42)

Ketika suatu jaringan mengalami kerusakan, jaringan yang rusak tersebut

akan melakukan respon perbaikan diri. Sel endotel kapiler berproliferasi dan tumbuh

ke dalam daerah yang diperbaiki. Pembuluh vaskuler ini tersusun sebagai

lengkung-lengkung yang masuk ke dalam daerah yang mengalami kerusakan. Pada saat yang

bersamaan, fibroblast akan terangsang untuk membelah dirinya dan menghasilkan

kolagen. Fibroblast akan memerlukan serabut – serabut otot dan perlekatan pada

stroma serta sel yang berada didekatnya. Sel ini yang disebut dengan miofibroblast.

Campuran lengkung kapiler dan miofibroblast dikenal sebagai jaringan granulasi.

Cacat pada jaringan dapat berkurang hingga 80 % sebagai akibat dari pengerutan

miofibroblast dalam jaringan granulasi. Sel ini saling melekat satu dengan yang lain,

serta pada bahan dasar disekitarnya. Pada saat yang bersamaan diproduksi kolagen

sehingga terbentuk jaringan parut pada jaringan yang rusak (Underwood, 1994).

Uji penyembuhan luka dilakukan dengan cara membuat luka terbuka pada

hewan uji terlebih dahulu. Pembuatan luka dilakukan dengan scalpel atau gunting

untuk menghilangkan epidermis, dermis, dan lapisan subkutan termasuk lapisan

panniculus carnosus. Luka yang ditimbulkan cukup parah, sehingga model eksisional

ini dapat digunakan untuk mengamati pergerakan jaringan sentral pada proses

perbaikan, yang dimulai dengan pendarahan, reepitelisasi, pembentukan jaringan

granulam dan angiogenesis (Dipietro dan Burns, 2003)

Proses pengamatan penyembuhan luka dapat dilakukan dengan cara

makroskopis misalnya dengan melakukan pengamatan terhadap pengaruh sediaan

(43)

luka, warna luka, dan penyempitan luka (Anggraeni, 2008). Selain itu dapat

dilakukan analisis kuantitatif terhadap laju penyembuhan luka melalui metode

Morton, yang didasarkan pada perbedaan diameter dan luas luka pada hari pertama

dan hari pengamatan (Kusmiati, Rachmawati, Siregar, Nuswantara, Malik, 2006)

G. Proses Penyembuhan Luka

Wound healing atau penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks

dan dinamis, dengan perubahan lingkungan luka dan dengan perubahan status

kesehatan dari suatu individu. Penelitian terkait dengan luka akut yang dilakukan

pada hewan selaku subjek penelitian terdiri dari 4 fase penyembuhan. Fase yang

terjadi pada penyembuhan luka yang pertama adalah hemostasis, pada fase ini

trombosit akan bekerja untuk melindungi pembuluh darah yang rusak, sebagai respon

untuk luka yang ada. Trombosit mengeluarkaan subtansi vasokontriksi untuk

mengawali proses ini, namun peran utama mereka adalah untuk membentuk clot yang

menutup pembuluh darah yang rusak (Martin, 1997).

Fase selanjutnya dari penyembuhan luka adalah inflamasi, dimana fase

inflamasi ini muncul saat fase yang hampir bersamaan dengan homeostasis. Fase ini

muncul pada beberapa menit setelah terluka hingga 24 jam dan bertahan selama 3

hari. Fase ini melibatkan respon seluler dan vaskuler. Pelepasan dari eksudat yang

kaya protein membuat vasodilatasi dan melepaskan serotonin dan histamin, sehingga

(44)

nekrosis yang susah ditembus oleh aksi enzimatis akan mengeluarkan pus atau nanah

(Aoyagi, Onishi, Machida, 2007).

Fase proliferasi dimulai kurang lebih 4 hari setelah luka, dan bertahan

selama 21 hari pada luka akut, bergantung pada ukuran dari luka dan kesehatan dari

pasien. Proliferasi dikarakterisasi dengan angiogenesis, deposisi kolagen, granulasi

dari pembentukan jaringan, kontraksi luka, dan epitelisasi. Secara klinis, proliferasi

ditinjau dari adanya pembentukan jaringan merah atau kolagen di luka yang termasuk

pergantian jaringan dari jaringan dermal dan jaringan subdermal untuk jaringan yang

lebih dalam. Sel yang bertugas untuk membentuk jaringan baru bernama sel

fibroblast, dimana sel tersebut mengekskresikan kolagen yang akan memicu

regenerasi sel. Fibroblast bertanggung jawab untuk kontraksi luka. Pada

penyembuhan luka, sel yang berada dibawah hormon pertumbuhan dibagi untuk

memproduksi sel baru yang akan bermigrasi ke tempat dimana mereka dibutuhkan

dibawah pengaruh dari sitokin. Setelah itu terjadi proses kesetimbangan antara MMPs

dan TIMPs sehingga terbentuk produksi net dari jaringan baru. Pada luka kronis,

sebaliknya, pembagian sel dan migrasi sel menurun, terjadi inflamasi sitokin yang

tinggi dan MMPs dan TIMPs serta hormone pertumbuhan menjadi sedikit. Sel

menjadi tidak responsif terhadap hormon pertumbuhan (Eccleston, 2007).

Fase selanjutnya setelah fase proliferasi adalah fase maturasi / fase

remodeling. Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir

(45)

terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu.

Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari

jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen

bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari ajringan parut

akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen

yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali

pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase.

Kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan

berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih

baik (proses re-modelling). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan

kulit dan kekuatan ajringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan

aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap

penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi

biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka (Cutting, White, 2002).

Menurut penelitian Gitarja dan Hardian (2008), sejumlah kondisi fisik

memang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Misalnya adanya sejumlah besar

lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada

orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit

menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan lemak kekurangan

persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri dan mengirimkan

nutrisi dan elemen-elemen seluler untuk penyembuhan. Apabila jaringan yang rusak

(46)

penyembuhan luka juga akan terlambat. Hal ini dikarenakan IMT (Indeks Masa

Tubuh) pasien bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses

penyembuhan luka post operasi SC tetapi hanya salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi proses penyembuhan luka (Puspitasari, Ummah, Sumarsih, 2011).

H. Landasan Teori

Kitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau

farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah,

industry-industri kertas, tekstil membrane atau film, kosmetik dan lain sebagainya

(Suhardi, 1992). Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan

antimikroba, karena mengandung enzyme lysosim dan gugus aminopolisakarida yang

dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat kitosan terhadap

bakteri tergantung dari konsentrasi pelarut kitosan. Kemampuan kitosan dalam

menekan pertumbuhan bakteri disebabkan karena kitosan memiliki polikation

bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang

(Tanbury, Peter, Allan, 1984).

Kulit manggis yang dahulu hanya dibuang saja ternyata mengandung

beberapa senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi sebagai antiinflamasi,

antihistamin, antibakteri, dan antijamur. Beberapa senyawa utama yang dilaporkan

memiliki aktivitas farmakologi seperti yang disebutkan diatas adalah senyawa

golongan xanton. Ho, Huang, Chen, 2002 melaporkan senyawa xanton yang diisolasi

(47)

Gel merupakan sediaan setengah padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat

dari partikel organik dan anorganik. Gel dikelompokan ke dalam gel fase tunggal dan

fase ganda. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar dalam

suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul besar yang

terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik

(misalnya karbomer) atau dari gom alam (seperti tragakan) (Sharma, 2008). Gel

segera mencair jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorpsi

pada kulit lebih baik daripada krim. Gel juga baik dipakai pada lesi di kulit yang

berambut (Hamzah, 2007).

Kitosan yang dihasilkan dari kulit udang akan mempercepat proliferasi sel

kulit, kulit manggis akan memberikan senyawa antimikroba, gel sebagai bentuk

sediaan akan menjadi zat pembawa yang membantu proses absorbsi dalam kulit.

Kombinasi ini diharapkan membentuk suatu gel yang dapat digunakan untuk

mempercepat proses penyembuhan luka yang baik, dan mempunyai sifat antibakteri.

I. Hipotesis

Gel kitosan limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan

ekstrak kulit manggis sebagai material gel anti luka pada tikus jantan galur Wistar

memiliki karakteristik yang baik sebagai gel anti luka dan pemberian gel dengan lama

pemberian yang dilakukan dalam penelitian ini mampu meningkatkan proses

(48)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian dengan judul “ Pengaruh Pemberian Gel Kitosan dari Kulit Udang

Windu (Peneaus monodon) dengan Penambahan Ekstrak Kulit Manggis sebagai

Penyembuh Luka pada Tikus Galur Wistar Jantan” merupakan jenis penelitian yang

bersifat eksperimental murni sederhana dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu variabel utama dan

variabel pengacau.

1. Variabel utama :

Variabel utama dalam penelitian ini meliputi

a. Variabel bebas : Konsentrasi ekstrak kulit manggis dalam gel.

b. Variabel tergantung : Kemampuan gel kitosan dengan ekstrak kulit

manggis dalam penyembuhan kulit yang terluka yang diamati secara

kualitatif dan kuantitatif, kualitas dari gel kitosan yang terbuat dari kulit

udang dan ekstrak kulit manggis.

2. Variabel pengacau :

Variabel pengacau dalam penelitian ini meliputi :

a. Variabel pengacau terkendali : tempat pengambilan limbah udang yang

(49)

uji, berat subjek hewan uji, tempat panen buah manggis, tempat ekstraksi

kulit buah manggis, umur tanaman, umur buah.

b. Variabel pengacau tidak terkendali : suhu, kelembapan, cuaca, cahaya

matahari, kondisi patologis dan fisiologis tikus.

C. Definisi Operasional

1. Kitosan yang diperoleh dari kulit udang windu adalah polisakarida alami yang

terdiri dari kopolimer glukosamin dan N – asetilglukosamin, dan dapat

diperoleh dari deasetilasi kitin.

2. Ekstrak kulit buah manggis yang didapat dari hasil ekstraksi diperoleh dari PT

Jamu Borobudur.

3. Gel adalah sediaan setengah padat yang terdiri dari suspense yang dibuat dari

partikel organik dan anorganik. Gel segera mencair jika berkontak dengan

kulit dan membentuk satu lapisan. Absorpsi pada kulit lebih baik daripada

krim. Gel juga baik dipakai pada lesi dikulit yang berambut.

4. Luka adalah bagian kulit yang jaringannya sobek dan terbuka karena adanya

pengaruh dari luar, baik tekanan, goresan, dan lain-lain. Luka dalam

penelitian ini merupakan luka full thickness yang berarti luka yang diperoleh

dengan proses pengambilan penuh pada bagian kulit mulai dari epidermis

sampai area dermis dengan cara menyobek area kulit dengan menggunakan

punch biopsy steril (diameter 0,6 cm) pada bagian punggung (dorsal) dari

(50)

5. Lama pemberian adalah lama pemberian gel anti luka pada luka terbuka tikus

dari hari pertama sampai hari ke tujuh.

6. Parameter penyembuhan luka diamati secara kualitatif ( keberadaan keropeng,

dan kemerahan daerah luka) dan secara kuantitatif (perubahan diameter

daerah luka).

7. Pus / nanah adalah eksudat yang terbentuk selama proses inflamasi

ditunjukkan dengan cairan berwarna putih kekuningan yang merupakan sisa –

sisa sel darah putih maupun hasil infeksi bakteri.

8. Keropeng adalah proses collting yang berupa jalinan fibrin dan trombosit pada

proses pembekuan darah yang telah selesai yang ditunjukan dengan adanya

kerak kering yang berwarna kecoklatan pada daerah luka.

9. Kemampuan gel adalah kemampuan gel kitosan dan ekstrak kulit manggis

dalam meningkatkan penyembuhan luka pada tingkat poliferasi.

10.Kualitas gel yang acceptable adalah gel dengan range pH 6,5-7,5, viskositas

2000-4000 cps, homogen, dan ukuran partikel zat aktif kecil sehingga tidak

terasa pada saat aplikasi.

D. Alat dan Bahan 1. Alat

Alat – alat yang digunakan pada penelitian ini, meliputi : seperangkat punch

biopsy, nampan Lionstar®, kertas penutup, alat-alat gelas, kertas

(51)

viscometer Rion vt 04 f, alat uji daya sebar, pH stick, mortir, stemper, mixer,

gelas plastik, spidol, penggaris.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi limbah kulit

udang yang didapatkan dari restoran seafood Sleman, Yogyakarta, ekstrak

kulit manggis, HCl 37% p.a, NaOH, aseton p.a, asam asetat, kupro sulfat

anhidrat, kalium iodide, iodium, asam sulfat, perak nitrat, aquadest, tikus

jantan galur Wistar (Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma), ekstrak kulit manggis yang didapatkan dari PT Jamu Borobudur,

Semarang, Carbopol, TEA, gliserin, metil paraben.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pemilihan bahan

Bahan yang dipilih adalah kulit udang dari satu rumah makan di

daerah Palagan Tentara Pelajar, Sleman Yogyakarta. Bahan ini diambil dalam

kurun waktu seminggu sekali. Waktu pengambilan bahan dilakukan pada

bulan Februari 2015.

2. Penyiapan bahan

Kulit udang yang diambil dari limbah warung maupun restoran

seafood , direbus, kemudian dicuci dengan air agar kotoran yang melekat

hilang, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 110-120oC selama kurang

lebih satu jam. Setelah kering kemudian dihancurkan menjadi serbuk dengan

(52)

sehingga diperoleh serbuk dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari ukuran

ayakan. Hasil ayakan digunakan sebagai sampel.

3. Ekstraksi kitin dari kulit udang

a. Penghilangan mineral (demineralisasi)

Sebanyak 150 g serbuk kulit udang ditambahkan dengan 2,250 L HCl 1,5

M dengan perbandingan 1:15 (b/v) antara sampel dengan pelarut.

Campuran dipanaskan pada suhu 70- 80oC selama 4 jam sambil dilakukan

pengadukan pada 50 rpm kemudian disaring. Padatan yang diperoleh

dicuci dengan akuades untuk menghilangkan HCl yang tersisa. Filtrat

terakhir yang diperoleh diuji dengan larutan AgNO3, bila sudah tidak

terbentuk endapan putih maka sisa ion Cl yang terkandung sudah hilang.

Selanjutnya padatan dikeringkan pada oven dengan temperatur 70oC

selama 24 jam sehingga diperoleh serbuk kulit udang tanpa mineral yang

kemudian didinginkan dalam desikator. Langkah demineralisasi dari kulit

udang ini diulang sebanyak dua kali, yang satu digunakan pada tahap

optimasi konsentrasi NaOH dan yang satu lagi digunakan pada tahap

optimasi suhu pada proses deasetilasi (Weska dan Moura, 2006).

b. Deproteinase

Masing-masing serbuk kulit udang kering dimasukkan ke dalam gelas

(53)

perbandingan 1:10 (b/v) antara sampel dengan pelarut. Campuran tersebut

dipanaskan pada suhu 65-70oC selama 4 jam sambil dilakukan

pengadukan pada 50 rpm. Selanjutnya padatan disaring dan didinginkan

sehingga diperoleh khitin, yang kemudian dicuci dengan akuades sampai

pH netral. Filtrat yang diperoleh diuji dengan pereaksi biuret, bila filtrat

berubah menjadi biru berarti protein yang terkandung sudah hilang. Khitin

yang sudah dicuci ditambahkan etanol 70% untuk melarutkan khitosan

terlarut sebanyak 100 mL dan dilanjutkan dengan penyaringan, pencucian

kembali dengan akuades panas dan aseton untuk menghilangkan warna

sebanyak dua kali masing- masing 100 mL, lalu dikeringkan pada suhu

80oC selama 24 jam kemudian didinginkan dalam desikator. Adanya

khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini,

khitin direaksikan dengan larutan I2-KI 1% yang memberikan warna

coklat, kemudian jika ditambahkan H2SO4 1 M berubah menjadi violet,

ini menunjukkan reaksi positif adanya khitin (Weska dan Moura,2006).

c. Deasetilasi kitin menjadi kitosan

Kitin hasil deproteinisasi direndam dalam larutan NaOH denggan

konsentrasi NaOH 5 % sedangkan suhu dan waktu reaksi dibuat konstan

yaitu 120oC selama 4 jam.

(54)

Serbuk kitosan yang telah jadi di campur dengan carbopol sebagai

basis gel.

Formulasi dalam 100 gram gel :

R/ Carbopol 0,75 g

Metil paraben 0,02 g

Gliserin 2,0 g

TEA 2,0 g

Aquadest ad sampai 100 g

Formulasi gel yang akan dibuat pada penelitian ini diatur seperti tabel

dibawah ini.

Tabel II. Formulasi gel pada penelitian

(55)

5. Karakterisasi gel kombinasi kitosan dan ekstrak kulit manggis dari kulit udang

Gel kitosan serta gel kombinasi kitosan dan ekstrak kulit manggis

dengan berbagai konsentrasi yang telah jadi dan dapat digunakan diuji

karakterisasinya menggunakan uji pengamatan secara organoleptis (terkait

dengan warna, bau, dan hasil aplikasi di kulit), uji viskositas, uji pH dan uji

daya sebar dari gel.

Pengamatan secara organoleptis yang dilakukan adalah pengamatan

pada gel yang hanya menggunakan mata tanpa alat bantu. Parameter yang

dinilai dari uji organoleptis adalah warna, bau, dan aplikasi gel pada kulit.

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menempatkan sampel dalam

viskometer Rion vt 04 f hingga spindel terendam. Jarum spindle atau nomor

rotor yang digunakan adalah nomor rotor 2. Rotor yang dipilih adalah rotor

nomor 2 dikarenakan besaran viskositas yang diberikan oleh gel adalah

berkisar di atas 200 dpas. Viskometer Rion vt 04f dijalankan, kemudian

viskositas dari gel dapat dibaca dengan menunggu hasil pembacaan stabil.

Pengukuran pH gel dilakukan dengan menggunakan pH universal.

Pengamatan dilakukan dengan mengambil gel yang akan diuji sebanyak 1

gram kemudian pH universal dimasukan kedalam gel hingga semua kolom

warna pH terbasahi. pH universal yang telah terbasahi dibandingan dengan

(56)

Pengukuran daya sebar dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1

gram sediaaan gel dan diletakkan dengan hati-hati di atas kaca nulat

berdiameter 10 cm. Selanjutnya ditutup dengan kaca transparan dan diberikan

pemberat diatasnya dari bobot 0 gram hingga bobot mencapai 200 gram,

kemudian diukur diameter yang terbentuk setelah 1 menit.

6. Sterilisasi produk

Sterilisasi produk gel tidak dilakukan secara langsung mensterilkan gel

yang telah jadi, namun dengan cara mensterilkan semua peralatan yang akan

digunakan untuk membuat gel. Sterilisasi dilakukan dengan cara mencelupkan

semua alat yang akan digunakan kedalam alkohol.

7. Pengujian gel kitosan dan ekstrak kulit manggis pada hewan uji

Tujuh ekor hewan uji menjadi kelompok perlakukan gel kitosan dari

limbah kulit udang dengan konsentrasi 2% ditambah dengan penambahan

ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi 1, 2 dan 3%. Kemudian pada

tiap-tiap hewan uji dibuat luka pada bagian punggung yang digunakan dalam

pengamatan perlakuan. Dibuat tujuh luka pada punggung, yaitu kontrol tanpa

perlakuan, kontrol positif, kontrol negatif, perlakuan gel dengan ekstrak kulit

manggis dengan tiga konsentrasi berbeda (Gambar 5). Dengan demikian

Gambar

Tabel I.  Sumber-sumber kitin dan kitosan ...................................................
Gambar 2. Struktur kimia kitin ............................................................................
Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Paneaus monodon) (Suwignyo, 1990).
Gambar 2. Struktur kimia dari kitin (Foudad,2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

5.3.17 Halaman Laporan Daftar Pembelian Halaman Laporan Daftar Pembelian ini berfungsi untuk menambahkan dan melihat data yang sesuai dengan perintah dapat kita lihat pada gambar

94 interaksi antara penggunaan strategi pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kemampuan memecahkan soal cerita matematika Siswa yang memiliki motivasi belajar kuat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik.Penelitian ini dilaksanakan dengan metode cross

3.3.2 Analisis Pengaruh Pembelajaran Terhadap Pemahaman personal hygiene Dalam Proses Praktikum Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

Aplikasi keuangan yang dimiliki oleh Dana Pensiun Sekolah Kristen sudah.. tidak efektif untuk dipakai

Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan sumbangan teoritis terhadap khasanah keilmuan manajemen pendidikan khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Meskipun hanya menampilkan Microsoft Project Standard Toolbar dan Formating Toolbar, Anda bisa menampilkan toolbar lainnya dengan cara pilih View, Toolbars dari menu dan klik