• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang diberikan pada bagian ini bertujuan untuk membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian yang pernah dilakukan oleh orang atau pihak lain. Isi yang ditekankan dalam penelitian sebelumnya, meliputi: konsep yang digunakan, pendekatan dan metode penelitian, hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan.

Pertama, penelitian dengan judul “Pemberdayaan Anak Jalanan (Studi Kasus di Komunitas Save Street Child Malang) oleh Adib Khairil Musthafa tahun 2018 program studi ilmu Pengetahuan Sosial Universitas islam Negeri Malang (Musthafa, 2018). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa faktor penyebab seseorang turun ke jalanan terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Save Street Child Malang (SSCM) dengan menggunakan pendekatan komunitas dan pendekatan jalanan yang dituangkan dalam bentuk program di bidang pendidikan dan keagamaan meliputi Jareng, 1001 susu, 10 ribu berkah, Book Hunter, Happy Vacation, Love and Share, Kakak Asuh, dan Sekolah untuk Semua.

Kedua, penelitian dengan judul “Peran Lembaga Jaringan Kemanusian Jawa Timur (JKJT) dalam Mewujudkan Anak Jalanan yang Berkarakter di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang” oleh Ovin Bella Safura & Agus Purnomo tahun 2019 Universitas Negeri Malang

(2)

9

(Purnomo, 2019). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pembentukan karakter anak jalanan bertujuan untuk menjadikan mereka berperilaku lebih baik dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Terdapat beberapa nilai karakter, diantaranya adalah nilai religius, nilai jujur, nilai kreatif, nilai cinta tanah air, nilai peduli sosial dan nilai tanggung jawab. Teori yang digunakan untuk mengkaji bentuk nilai-nilai karakter yang diterapkan anak jalanan adalah teori tindakan sosial, diantaranya tindakan rasionalitas instrumental, tindakan rasional nilai, tindakan afektif, dan tindakan tradisional.

Ketiga, penelitian dengan judul “Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan Di Kota Malang” oleh Dwi Susilowati Tahun 2017 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang (Susilowati, 2017) . Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui sebagai berikut:

pertama, Mayoritas anak jalanan berada pada usia 10-15 tahun yaitu sebanyak 54,17%, 33,33% berusia lebih dari 15 tahun dan sebanyak 12,5%

berusia kurang dari 10 tahun. Kedua, Peran orang tua sangatlah penting dalam penanggulangan anak jalanan, orang tua seringkali keberatan ketika anaknya dibina untuk memperoleh keterampilan di lembaganya hanya karena waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk mencari uang menjadi tidak bisa. Ketiga, Faktor kemiskinan yang menjadi faktor utama munculnya anak jalanan maka pemerintah, LSM dan masyarakat harus bersinergi untuk memberdayakan keluarga anak jalanan, dengan meningkatnya ekonomi keluarga maka anak dapat fokus untuk menempuh pendidikan.

(3)

10

B. Konsep dan Ruang Lingkup Komunitas

1. Konsep Komunitas

Menurut Montagu dan Matson (Sulistiyani, 2004, hal. 81-82), terdapat sembilan konsep komunitas yang baik dan empat kompetensi masyarakat, yakni:

a. Setiap anggota komunitas berinteraksi berdasar hubungan pribadi dan hubungan kelompok

b. Komunitas memiliki kewenangan dan kemampuan mengelola kepentingannya secara bertanggung jawab

c. Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri

d. Pemerataan distribusi kekuasaan

e. Setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi demi kepentingan bersama

f. Komunitas memberi makna pada anggota g. Adanya heterogenitas dan beda pendapat

h. Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan

i. Adanya konflik dan managing conflict.

Kemudian untuk melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi sebagai berikut :

a. Kemampuan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas

(4)

11

b. Menentukan tujuan yang hendak dicapai dan skala prioritas

c. Kemampuan menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai tujuan

d. Kemampuan bekerjasama secara rasional dalam mencapai tujuan.

Kekuatan pengikat suatu komunitas yang utama adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, deologi, sosial-ekonomi. Disamping tu secara fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau geografis. Oleh karena itu masing-masing komunitas akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapinya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya.

2. Pengertian Komunitas

Istilah kata komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berasal dari kata dasar communis yang artinya masyarakat, publik atau banyak orang. Wikipedia Bahasa Indonesia menjelaskan pengertian komunitas sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa (Kusumastuti, 2014). Komunitas (community) adalah sebuah kelompok sosial yang terdiri dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama, komunitas dalam konteks manusia, individu-individu di

(5)

12

dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak”.

Menurut Mac iver (Mansyur, 1987, hal. 69) community diistilahkan sebagai persekutuan hidup atau paguyuban dan dimaknai sebagai suatu daerah masyarakat yang ditandai dengan beberapa tingkatan pertalian kelompok sosial satu sama lain. Keberadaan komunitas biasanya didasari oleh beberapa hal yaitu:

a. Lokalitas

b. Sentiment Community

Menurut Mac Iver (Soekanto, 1983, hal. 143) unsur- unsur dalam sentiment community adalah:

a. Seperasaan

Unsur seperasaan muncul akibat adanya tindakan anggota dalam komunitas yang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok dikarenakan adanya kesamaan kepentingan

b. Sepenanggungan

Sepenanggungan diartikan sebagai kesadaran akan peranan dan tanggung jawab anggota komunitas dalam kelompoknya

c. Saling memerlukan

(6)

13

Unsur saling memerlukan diartikan sebagai perasaan ketergantungan terhadap komunitas baik yang sifatnya fisik maupun psikis.

3. Bentuk Komunitas

Dalam kaitan komunitas yang diartikan sebagai paguyuban atau gemeinschaft, paguyuban dimaknai sebagai suatu bentuk kehidupan bersama dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, alamiah, dan kekal, biasanya dijumpai dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, rukun warga dan lain sebagainya (Soekanto, 1983, hal. 128-129)

Ciri-ciri gemeinschaft menurut Tonnies (Soekanto, 1983, hal. 130- 131) yaitu: 1) hubungan yang intim; 2) privat; 3) eksklusif. Sedang tipe gemeinschaft sendiri ada tiga yaitu:

a) Gemeinschaft by blood, hubungannya didasarkan pada ikatan darah atau keturunan

b) Gemeinschaft of place, hubungannya didasarkan pada kedekatan tempat tinggal atau kesamaan lokasi

c) Gemeinschaft of mind, hubungannya didasarkan pada kesamaan ideologi meskipun tidak memiliki ikatan darah maupun tempat tinggal yang berdekatan.

Menurut Mac Iver (Mansyur, 1987, hal. 80-81), keberadaan communal code (keberagaman aturan dalam kelompok) mengakibatkan komunitas terbagi menjadi dua, yaitu:

(7)

14

a. Primary group, hubungan antar anggota komunitas lebih intim dalam jumlah anggota terbatas dan berlangsung dalam jangka waktu relatif lama

Contoh: keluarga, suami-istri, pertemanan, guru-murid, dan lain-lain.

b. Secondary group, hubungan antar anggota tidak intim dalam jumlah anggota yang banyak dan dalam jangka waktu relatif singkat

Contoh: perkumpulan profesi, atasan-bawahan, perkumpulan minat/hobi, dan lain-lain.

Dalam hal ini Komunitas Save Street Child Malang (SSCM) dapat dikategorikan sebagai bentuk gemeinschaft of mind atau didasarkan pada kesamaan ideologi atau pemikiran untuk memberdayakan anak jalanan dan menjadi bagian dari secondary group dimana komunitas ini terbentuk karena kesamaan minat dan tujuan anggotanya.

4. Komunitas Save Street Child Malang

Komunitas ini digagas oleh Shei Latiefah pada 23 Mei 2011 yang lalu, yang berusaha membantu permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan melalui berbagai program kegiatan pemberdayaan. Dimana anggota dari komunitas Save Street Child (SSC) melakukan tindakan sosial dengan rasa peduli dan sukarelawan tanpa mendapatkan bayaran maupun keuntungan materi lainnya. Save Street Child (SSC) merupakan organisasi independen yang menaungi anak jalanan yang memiliki akses pendidikan yang minim. Komunitas Save Street Child (SSC) telah tersebar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Pasuruan, Makassar, Medan. Banyak hal yang diajarkan oleh tim SSC

(8)

15

mulai dari membaca, menulis, berhitung hingga keterampilan seperti membuat pita dan bandana. Kreasi yang dibuat anak-anak marjinal biasanya dijual untuk menambah penghasilan bagi keluarga maupun diri mereka sendiri. Meskipun tujuan SSC adalah meningkatkan taraf kesejahteraan anak-anak jalanan dalam aspek pendidikan dan pemberdayaan kreatifitas. Namun, SSC tidak hanya fokus pada kegiatan belajar mengajar saja. SSC juga memiliki program seni dan rekreasi seperti tamasya dan mengadakan bakti sosial bersama komunitas lainnya.

Adapun penelitian ini berfokus pada Komunitas Save Street Child Malang (SSCM) yang berdiri pada tanggal 6 maret 2012 dimulai oleh kalangan mahasiswa hingga akhirnya berkembang pesat hingga saat ini.

Berlokasi di Jalan Saxophone no.05 Kelurahan Tunggulwulung Kota Malang, merupakan lokasi yang cukup strategis karena berada di lingkungan kampus karena pengurus komunitas ini kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa. Untuk menunjang proses pemberdayaan, dan memiliki arah yang jelas Komunitas Save Street Child Malang (SSCM) mempunyai Visi “Menjadi fasilitator bagi anak jalanan dan anak marjinal di Kota Malang demi terwujudnya cita-cita anak jalanan dan anak marjinal”. Yang kemudian diimplementasikan oleh Misi Komunitas Save Street Child Malang (SSCM) yaitu “Meningkatkan rasa kepedulian warga Malang terhadap anak jalanan dan anak marjinal, mewujudkan upaya perlindungan anak terhadap anak jalanan dan anak marjinal, menjadi wadah aspirasi untuk mewujudkan cita-cita anak jalanan dan anak marjinal, menjadi wadah pengetahuan bagi pengembangan minat bakat

(9)

16

anak jalanan dan anak marjinal, serta memberikan wadah bimbingan konseling penunjang perkembangan psikologis anak jalanan dan anak marjinal, menjadi wadah pengabdian masyarakat anak-anak muda yang sadar dan peduli serta mau beraksi untuk perubahan kecil yang mungkin berdampak besar.”

C. Konsep dan Ruang Lingkup Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan

Istilah ‘anak jalanan’ pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalan dan tidak memiliki tali katan dengan keluarga (Bambang, 1993) istilah anak jalanan yang digunakan di beberapa tempat lainnya, berbeda-beda. Di Kolombia mereka disebut gamin (urchin atau melarat) dan chinches (kutu kasur); di Rio de Jenairo disebut marginais (kriminal atau marginal); di Peru disebut pa’jaros frutero (burung pemakan buah), di Bolivia disebut polillas (ngengat); di Honduras disebut resistoleros (perampok kecil); di Vietnam disebut bui doi (anak dekil), di Rwanda disebut saligoman (anak menjijikkan); di Kamerun disebut poussing (anak ayam) atau moustique (nyamuk); di Zaire dan Kongo disebut balados (pengembara). istilah- istilah tersebut secara tidak langsung menggambarkan posisi anak jalanan dalam masyarakat. Meskipun memiliki hak penghidupan yang layak seperti anak-anak pada umumnya, tetapi realitanya berbeda dan hampir semua anak jalanan mengalami marginalisasi pada aspek-aspek

(10)

17

kehidupannya. istilah-istilah tersebut kemudian didefinisikan sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupi anak jalanan. Beberapa definisi anak jalanan, antara lain:

a. UNICEF (1986) dalam S.Sumardi (1996), mendefinisikan anak jalanan sebagai children who work on the streets of urban areas, without reference of the time they spend there or reasons for being there.

b. A. Sudiarja (1997) menyatakan bahwa sulit menghapus anggapan umum bagi anak jalanan, yang sudah terlanjur tertanam dalam masyarakat dimana mereka tu maling kecil, anak nakal, pengacau ketertiban, jorok dan mengotori kota.

c. Indrasari Tjandraningsih (1995) mengungkapkan bahwa anak yang bekerja secara informal di perkotaan yang lebih dikenal dengan anak jalanan, juga dilaporkan dalam kondisi yang lebih rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, kecanduan obat bius, dan pelecehan seksual.

d. Teresita L. Silva (1996) memberikan tiga kategori untuk mengidentifikasi anak jalanan sebagai berikut: a) Children who actually live and work on the street and are abandoned and neglected or have run away from their families; b) Children who maintain regular contact with their families, but spend a majority of their time working on the street; dan c) Children of families living on the streets.

Dari beberapa definisi tersebut, terlihat jelas adanya perbedaan dalam memandang masalah anak jalanan ni. Ada yang menganggap anak

(11)

18

jalanan dapat masuk ke area pekerja anak, tetapi ada juga yang menolaknya. Secara konseptual anak jalanan memang masuk ke dalam pekerja anak, namun secara praktik anak jalanan lebih banyak dianggap sebagai kelompok khusus yang memiliki banyak perbedaan dari pekerja anak. Oleh karenanya, anak jalanan merupakan anak yang dipaksa keberadaannya oleh suatu keadaan (faktor ekonomi, keharmonisan, keluarga, kriminalitas, dan sebagainya) yang mereka sendiri tidak menghendakinya, sehingga membuat dirinya harus mempertahankan eksistensinya sebagai layaknya manusia dewasa untuk terus hidup dengan bekerja apa saja, dimana saja, dan kapan saja mereka bisa (Widodo, 2000)

2. Karakteristik Anak Jalanan

Asmawati (1999) mengelompokkan anak jalanan menjadi dua yaitu anak semi jalanan dan anak jalanan murni. Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga. Sementara itu, anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya.

Sudrajat (1999) membagi anak jalanan dalam tiga kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu: Pertama, anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah, dan tinggal di jalanan (anak yang hidup di jalanan/ children the street); Kedua, anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali, biasa disebut anak yang bekerja di jalanan (children on the

(12)

19

street); Ketiga, anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street children). Jika menurut kondisi anak jalanan di negara lain, bukan hal yang mustahil dapat terjadi pula di sini karena kondisinya yang tidak jauh berbeda. Karakteristik anak jalanan di setiap negara memiliki beberapa kesamaan yang mudah untuk diamati.

Sudrajat kemudian membuat beberapa faktor yang dapat membedakan karakteristik untuk masing-masing kelompok anak jalanan pada tabel berikut:

Tabel 2. 1

Perbedaan Karakteristik Anak Jalanan Faktor

Pembeda

Hidup di Jalanan

Bekerja di Jalanan

Rentan Menjadi Anak Jalanan

Lama di jalanan

24 jam 7-12 jam 4-6 jam

Hubungan dengan keluarga

Putus hubungan

Tidak teratur pulang kerumah

Masih tinggal dengan orangtua

Tempat tinggal

Di Jalanan

Mengontrak (bersama-sama)

Bersama keluarga

Pendidikan Tidak sekolah

Tidak sekolah Masih sekolah

Sumber: sudrajat (1999)

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa anak yang hidup di jalanan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya

(13)

20

dibandingkan kelompok lain. Berbeda dengan kelompok anak yang berada di jalanan hanya untuk bekerja, mereka relatif lebih aman karena umumnya tinggal berkelompok, atau bersama orang tua dan warga sekampungnya. Meskipun tempat tinggal mereka di daerah kumuh, tetapi masih saling mengontrol satu sama lainnya. Namun demikian, kebersamaan ini justru menjadi salah satu penyebab munculnya penyimpangan perilaku pada anak jalanan, seperti pencurian, judi, seks, dan lain-lain. Penyimpangan perilaku ini dianggap mereka sebagai refreshing untuk menghilangkan penat setelah beraktivitas seharian di jalanan. Kemudian untuk kelompok anak yang rentan menjadi anak jalanan terlihat jauh lebih aman karena mereka hanya beberapa jam di jalanan. Bahkan mereka masih tinggal dengan orang tua dan masih bersekolah. Ancaman mereka adalah pengaruh teman yang kuat yang bisa menyeret mereka lebih lama di jalan, meninggalkan rumah dan sekolah, dan memilih berkeliaran di jalan karena lebih banyak memberikan kebebasan dan kesenangan. Daya tarik ini dirasakan semakin kuat apabila di rumah hubungan dengan orang tua kurang harmonis, orang tua yang bekerja dari pagi sampai malam, sehingga anak tidak terawasi. Atau ada unsur eksploitasi, yaitu dimana anak harus memberikan penghasilannya kepada orang tua, yang jika tidak diberikan maka akan menerima hukuman fisik.

3. Faktor Penyebab Munculnya Anak Jalanan

Di Indonesia penyebab meningkatnya anak jalanan dipicu oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Pada era tersebut selain

(14)

21

masyarakat mengalami perubahan secara ekonomi, juga menjadi masa transisi pemerintahan yang menyebabkan begitu banyak permasalahan sosial muncul. Secara langsung dampak krisis ekonomi memang terkait erat dengan terjadinya peningkatan jumlah anak jalanan di beberapa kota besar di Indonesia. Hal ini akhirnya memberikan ide-ide menyimpang pada lingkungan sosial anak untuk mengeksploitasi mereka secara ekonomi, salah satunya dengan melakukan aktivitas di jalanan. Huraerah (2006) menyebutkan beberapa penyebab munculnya anak jalanan, antara lain:

a. Orang tua mendorong anak bekerja dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga;

b. Kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orang tua semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan;

c. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah;

d. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah mahal/meningkat;

e. Timbulnya persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga anak terpuruk melakukan pekerjaan berisiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa di jalanan.

f. Anak menjadi lebih lama di jalanan sehingga timbul masalah baru;

atau

g. Anak jalanan jadi korban pemerasan, dan eksploitasi seksual terhadap anak jalanan perempuan.

(15)

22

Dengan situasi tersebut semestinya keluarga menjadi benteng utama untuk melindungi anak anak mereka dari eksploitasi ekonomi.

Namun faktanya berbeda, justru anak-anak dijadikan ”alat” bagi keluarganya untuk membantu mencari makan. Orang tua sengaja membiarkan anak anaknya mengemis, mengamen, berjualan, dan melakukan aktivitas lainnya di jalanan. Pembiaran ni dilakukan agar mereka memperoleh keuntungan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi keluarga yang tergolong miskin, membuat dan memaksa anak jalanan untuk tetap “survive” dengan hidup di jalanan. Dapat dikatakan bahwa keberadaan mereka di jalanan adalah bukan kehendak mereka, tetapi keadaan dan faktor lingkungan luar termasuk keluarga yang mendominasi seorang anak menjadi anak jalanan.

Beberapa ahli telah menyebutkan faktor-faktor yang kuat mendorong anak untuk turun ke jalanan. Bahkan selain faktor internal, faktor eksternal pun diduga kuat menjadi penyebab muncul dan berkembangnya fenomena tersebut. Surjana dalam Mustika (2012) mengungkapkan ada tiga tingkat faktor yang sangat kuat mendorong anak untuk turun ke jalanan, yaitu:

a. Tingkat Mikro (Immediate Causes).

Yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab- sebab yang bisa diidentifikasi dari anak jalanan lari dari rumah (sebagai contoh, anak yang selalu hidup dengan orang tua yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan: sering memukul, menampar, menganiaya karena kesalahan kecil), jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung keluar dari

(16)

23

rumah dan memilih hidup di jalanan, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah, dalam rangka bertualang, bermain-main dan diajak teman. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah: terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis karena ditolak orangtua, salah perawatan dari orangtua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child abuse).

b. Tingkat Mezo (Underlying cause).

Yaitu faktor agama berhubungan dengan faktor masyarakat. Sebab- sebab yang dapat diidentifikasi, yaitu: pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, anak-anak diajarkan untuk bekerja. Pada masyarakat lain, pergi ke kota untuk bekerja.

c. Tingkat Makro (Basic Cause).

Yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur ni dianggap memiliki status sebab akibat yang sangat menentukan, dalam hal ni, sebab: banyak waktu di jalanan, akibatnya: akan banyak uang).

5. Hak Anak

Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sejak sebelum seseorang lahir, karena sejatinya hak sudah melekat pada diri seseorang dan tidak dapat dihilangkan. Menurut Undang-Undang perlindungan anak no. 35 tahun 2014 (UU 23/2002 yang diperbarui dalam UU 35/2014) terdapat 13 (tiga belas) hak yang didapatkan oleh anak tanpa pengecualian dan tanpa

(17)

24

membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin,bahasa, agama, warna kulit, kaya atau miskin, dan segala yang dapat dikatakan membedakan. Hak tersebut diantaranya :

 Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

 Hak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua/wali.

 Hak mengetahui orang tua

 Hak pelayanan Kesehatan dan jasmani sosial

 Hak pendidikan dan pengajaran

 Hak menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya

 Hak beristirahat, memanfaatkan waktu luang, dan bergaul

 Hak memperoleh rehabilitasi dan bantuan sosial (bagi anak penyandang disabilitas)

 Hak perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi,

penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilak, perlakuan salah.

 Hak diasuh oleh orang tuanya sendiri

 Hak dilindungi dari penyalahgunaan kegiatan politik, perang, kerusuhan, kekerasan, peperangan dan kejahatan seksual

 Hak perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau hukuman yang tidak manusiawi

 Hak bantuan hukum.

(18)

25

Menurut Konvensi Hak Anak (KHA) yang diadopsi dari Majelis Umum PBB Tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal- usul keturunan, agama maupun bahasa, mempunyai hak-hak yang mencakup empat bidang, yaitu :

a. Hak atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.

b. Hak untuk berkembang mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak cacar atas pelayanan dan perlakuan dan perlindungan khusus.

c. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, pelanggaran kejahatan, dan perlakuan sewenang wenang dalam proses peradilan pidana.

d. Hak partisipasi meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk kut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya (Huraerah, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilaksanakannya kegiatan evaluasi penawaran atas kegiatan Pekerjaan Pengurukan Dan Pematangan Tanah Pengadilan Agama Tanjung Selor. Oleh karena hal tersebut, maka

Pengetahuan dan pemahaman terhadap makanan pokok masyarakat Indonesia yang dituangkan dalam bukel nonteks pelajaran hendaknya dibuat dengan memperhatikan butir- butir pertimbangan

“Analisis rasio adalah menyederhanakan informasi yang menggambarkan hubungan antara pos tertentu dengan pos lainnya.” Analisis rasio merupakan bentuk atau cara umum yang

Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi trend CPUE dan kapasitas penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan metode Peak to Peak Analysis di tiga zona

Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, 1) kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai pekerjaan yang telah

169 S1AW16L0 SKG GD ENERGYSENGKANG 01 170 / PARE-PARE WILAYAH X / MAKASSAR KAWASAN SINAR ENERGY Patila Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan 170 S1AW1740 BAN CB BANTAENG 01 174 /

Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pemberian POC urin ternak pada bibit kelapa sawit tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun bibit kelapa

Model UTAUT menguji faktor-faktor penentu user acceptance dan perilaku penggunaan yang terdiri dari: ekspektasi kinerja (performance expectancy) , ekspektasi usaha